• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterangan r : Koefisien korelasi Yi : Peubah tak bebas X1i : Peubah bebas

n : Jumlah data

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan

Interpretasi visual yang dilakukan pada penelitian ini mencangkup sembilan kelas penggunaan lahan antara lain badan air (BA), emplasemen (EMP), galian C (GAL-C), kebun campuran (KC), perkebunan karet (KRT), perkebunan kelapa (KLP), hutan (HTN), permukiman (PMK), dan sawah (SWH). Hasil interpretasi selanjutnya dibandingkan dengan hasil pengecekan lapang. Gambar 5 menunjukkan hasil perubahan penggunaan lahan, sebaran titik cek lapang serta foto hasil pengecekan lapang. Penggunaan lahan pada tahun 2001 didominasi oleh penggunaan lahan untuk kebun campuran sebesar 30.28% dan sawah sebesar 30.82% (Tabel 3). Namun demikian, kondisi berbeda terlihat pada tahun 2013 dimana penggunaan lahan didominasi oleh penggunaan lahan untuk permukiman sebesar 42.51% (Tabel 3). Secara umum, luas lahan pertanian terbesar terletak di Kecamatan Rumpin dan Gunung Sindur sedangkan luas lahan terbangun terpusat di Kecamatan Gunung Putri dan Kota Depok. Perbedaan kenampakan pada citra menunjukkan telah terjadi perubahan penggunaan lahan.

Selama kurun waktu dua belas tahun antara tahun 2001 sampai 2013 perubahan penggunaan lahan terjadi cukup menyebar terutama perubahan lahan pertanian menjadi permukiman (Tabel 3). Berdasarkan hasil wawancara dengan aparat desa, peningkatan lahan terbangun dan penurunan lahan pertanian didorong oleh tingginya kebutuhan dasar untuk tempat tinggal serta kecenderungan perubahan aktivitas masyarakat yang mengubah lahan pertanian menjadi emplasemen untuk membangun usaha lain terutama oleh pengusaha dari daerah lain. Selain itu, penyebab lainnya dari perubahan penggunaan lahan di lokasi penelitian adalah tingginya laju urbanisasi. Hal ini dikarenakan di lokasi tujuan urbanisasi cenderung memiliki lahan yang relatif lebih luas dengan harga yang

relatif lebih murah berkisar antara Rp. 15.000,00 sampai Rp. 350.000,00 per m2, sehingga mampu memenuhi kebutuhan lahan bagi para pendatang. Sejalan dengan perkembangan urbanisasi, penurunan lahan pertanian dapat menjadi ancaman terhadap ketahanan pangan bagi manusia (Wu et al. 2011).

Selain perubahan lahan pertanian menjadi lahan terbangun, terdapat pula beberapa perubahan dari lahan pertanian menjadi non terbangun yaitu perubahan lahan sawah menjadi badan air dan galian C serta perubahan hutan menjadi galian C (Tabel 3). Perubahan tersebut menyebabkan peningkatan luasan badan air dan galian C serta penurunan luas lahan sawah dimana banyak terjadi di Kecamatan Rumpin. Meskipun perubahan tersebut dalam luasan kecil namun diperkirakan dapat menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang cukup signifikan seperti penurunan fungsi ekologis hutan (Liu et al. 2014).

Tabel 3. Matrik transisi perubahan penggunaan lahan di lokasi penelitian (ha)

2001 2013 BA EMP GAL-C KC KRT KLP HTN PMK SWH TOTAL % BA 852.69 68.51 921.20 2.06 EMP 1305.88 1305.88 2.91 GAL-C 125.88 125.88 0.28 KC 373.11 73.61 8331.17 4786.10 13563.99 30.28 KRT 210.99 210.99 0.47 KLP 96.94 96.94 0.22 HTN 17.26 137.41 3923.16 127.70 4205.53 9.38 PMK 10567.11 10567.11 23.58 SWH 105.29 224.99 121.35 7840.91 3566.46 1945.99 13804.99 30.82 TOTAL 957.98 1989.75 58.25 16172.08 210.99 96.94 3923.16 19047.37 1945.99 44802.51 % 2.14 4.44 0.13 36.09 0.47 0.22 8.76 42.51 5.24 100

Terjadinya fenomena tersebut disebabkan oleh masih banyaknya sumber daya alam khususnya batuan kapur sehingga mendorong perusahaan untuk melakukan eksplorasi terhadap sumber daya tersebut (Lampiran 1.1). Banyaknya perusahaan yang melakukan investasi berdampak terhadap kerusakan alam khususnya kondisi perbukitan yang terletak di Desa Kertajaya, Sukamulya dan Sukasari. Kerusakan alam tidak hanya terjadi pada hutan namun banyak juga terjadi pada kerusakan lahan sawah yang telah menjadi badan air akibat galian pasir yang dilakukan secara berlebihan.

Gambar 6. Perbandingan luasan perubahan penggunaan lahan antar kecamatan

Gambar 6 menunjukkan perbandingan luasan perubahan penggunaan lahan antar kecamatan di lokasi penelitian. Peningkatan lahan terbangun untuk permukiman pada periode analisis tertinggi terjadi di Kecamatan Rumpin, Cimanggis dan Sawangan. Peningkatan yang tinggi dapat disebabkan oleh ketersediaan lahan untuk dialihfungsikan menjadi permukiman masih luas (As-syakur 2011). Peningkatan yang tinggi diikuti pengurangan luas lahan sawah yang tinggi pula. Peningkatan permukiman terendah terjadi pada Kecamatan Beji. Hal ini terjadi karena kecamatan tersebut tidak memiliki lahan pertanian yang cukup untuk dialihfungsikan. Sebagian besar wilayah Beji merupakan lahan terbangun. Selain ketersedian lahan, berdasarkan keterangan aparat desa dikatakan bahwa pembangunan di Kecamatan Beji lebih banyak dilakukan sebelum tahun 2001 sehingga pada rentang tahun 2001-2013 lebih banyak kegiatan renovasi dan pembangunan dalam luasan kecil. Peningkatan lahan terbangun lainnya terjadi pada penggunaan lahan untuk emplasemen. Peningkatan tertinggi terjadi di Kecamatan Gunung Putri. Berdasarkan data Bappeda Kabupaten Bogor (2013) jumlah industri besar dan sedang yang terdapat di Kecamatan Gunung Putri sebanyak 191 di tahun 2012. Industri-industri tersebut mayoritas berada di Desa Tlajung Udik, Cicadas dan Wanaherang. Fenomena ini terjadi karena adanya peraturan dari pemerintah Kecamatan Gunung Putri yang mengkhususkan desa tersebut menjadi pusat industri serta desa lain sebagai pusat perumahan dan kebun campuran (Lampiran 1.2). Perluasan pembangunan industri dan perumahan menunjukkan terjadinya transformasi fisik di daerah-daerah pinggiran kota. Transformasi fisik akan mendorong terjadinya transformasi-transformasi lain seperti transformasi sosial ekonomi masyarakat sekitar akibat pengaruh yang ditimbulkan oleh kota-kota besar di sekelilingnya (Sari et al. 2007).

Intensifikasi penggunaan lahan pertanian serta perluasan pembangunan struktur untuk tujuan perumahan dan komersial di seluruh lokasi penelitian dapat dipahami sebagai suatu langkah penyesuaian di tingkat rumah tangga akibat pengembangan dan perubahan kebijakan di tingkat makro. Transisi dari ketergantungan pada pertanian ke basis ekonomi yang lebih beragam

-3000 -2500 -2000 -1500 -1000 -500 0 500 1000 1500 BA EMP GC KC KKT KKP HTN PMK SWH P er ub a ha n L ua sa n (ha ) Rumpin Gunung Putri Gunung Sindur Beji Limo Cimanggis Sawangan Sukmajaya Pancoran Mas

menunjukkan adanya keterkaitan antara kondisi ruang di daerah pedesaan dengan daerah perkotaan (Bittner et al. 2013). Perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian di wilayah pinggiran kota sangat tinggi seiring dengan pertumbuhan penduduk. Besarnya perubahan tersebut mengindikasikan perkembangan lahan terbangun dan tingkat kedinamisan wilayah pinggiran kota.

Keterkaitan Lokasi Penelitian dengan Pusat-pusat Kota di Jabodetabek dan Perubahan Parameter Fragmentasi

Tingginya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian di kota besar menyebabkan penurunan luas lahan pertanian sehingga kebutuhan lahan oleh penduduk kota tidak dapat terpenuhi. Akibatnya wilayah pinggiran kota menjadi pilihan utama penduduk kota besar dan para pendatang sebagai tempat hunian baru dengan harga lahan yang lebih murah (Hardati 2011).

Gambar 7 menunjukkan hubungan antara jarak lokasi penelitian dengan kota-kota besar dan perubahan parameter fragmentasi. Empat kota besar yang dijadikan acuan adalah DKI Jakarta, Kota Depok, Tangerang dan Bekasi dengan titik pusat pengukuran jarak berturut-turut antara lain Monas, Margonda Raya, BSD, dan Stasiun Bekasi yang dianggap sebagai pusat kegiatan pada masing-masing kota. Berdasarkan Gambar 7, terlihat bahwa Jakarta dan Kota Depok memiliki pola mendekati linier dan relatif lebih teratur dibandingkan dengan Tangerang dan Bekasi. Hal ini menunjukkan bahwa selain Jakarta, Kota Depok memiliki peluang yang besar dalam mempengaruhi kondisi perekonomian daerah di sekitarnya. Selain itu, Kota Depok juga memberikan pengaruh terhadap perubahan parameter fragmentasi untuk lahan terbangun dan lahan pertanian.

Peningkatan nilai NumP lahan terbangun yang cukup besar terjadi pada lokasi penelitian dengan jarak yang jauh dari Kota Depok (Gambar 7a) begitu juga dengan penurunan nilai MPS dan peningkatan nilai TE (Gambar 7b, 7c). Daerah yang berjauhan dengan Kota Depok mengalami fragmentasi lahan terbangun lebih besar dibandingkan dengan daerah yang berdekatan dengan Kota Depok. Begitu juga dengan kondisi fragmentasi lahan pertanian di daerah yang berjauhan dengan Kota Depok mengalami pola relatif sama dinilai dari tiga parameter fragmentasi lahan (Gambar 7d, 7e, 7f). Penelitian Shrestha et al. (2012) juga menunjukkan bahwa perubahan fragmentasi lebih banyak terjadi pada daerah dengan tingkat pembangunan daerah pada densitas rendah. Peningkatan fragmentasi terjadi pada wilayah pinggiran kemudian menurun pada pusat kota dan daerah terpencil yang belum mengalami pertumbuhan.

a) b)

c) d)

e) f)

Gambar 7. Hubungan jarak lokasi penelitian ke kota besar dengan perubahan NumP lahan terbangun (a), MPS lahan terbangun (b), TE lahan terbangun (c), NumP lahan pertanian (d), MPS lahan pertanian (e), TE lahan pertanian (f)

0 100 200 300 400 500 600 700 0 20 40 60 N u m P T B N Jarak (km) Monas Depok Bekasi Tangerang -50000 -45000 -40000 -35000 -30000 -25000 -20000 -15000 -10000 -5000 0 0 20 40 60 M PS T B N ( m 2) Jarak (km) Monas Depok Bekasi Tangerang 0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 0 20 40 60 T E T B N ( m ) Jarak(km) Monas Depok Bekasi Tangerang -700 -600 -500 -400 -300 -200 -100 0 0 20 40 60 N u m P PT N Jarak (km) Monas Depok Bekasi Tangerang -5000 0 5000 10000 15000 20000 25000 0 20 40 60 M PS PT N ( m 2) Jarak (km) Monas Depok Bekasi Tangerang -600000 -500000 -400000 -300000 -200000 -100000 0 0 20 40 60 T E PT N ( m ) Jarak (km) Monas Depok Bekasi Tangerang

Hubungan Parameter Fragmentasi Lahan Pertanian dan Jarak Kecamatan Terhadap Kota Besar

Kedekatan kecamatan dengan kota besar seperti Jakarta dan Kota Depok secara tidak langsung memberikan dampak terhadap kondisi wilayah sekitarnya. Berdasarkan Tabel 4, sembilan kecamatan di lokasi penelitian dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kecamatan yang berdekatan dengan kota besar antara lain Kecamatan Beji, Cimanggis, Limo, Pancoran Mas, Sawangan dan Sukmajaya, serta kecamatan yang berjauhan dari kota besar yaitu Kecamatan Rumpin, Gunung Sindur dan Gunung Putri.

Tabel 4. Jarak kecamatan dengan kota besar

No Kecamatan Jakarta (km) Kota Depok (km) 1 Rumpin 31.50 18.60 2 Gunung Sindur 24.30 14.10 3 Gunung Putri 25.80 11.40 4 Beji 19.50 1.50 5 Cimanggis 19.20 6.00 6 Limo 17.70 6.00 7 Pancoran Mas 22.20 1.50 8 Sawangan 23.10 6.30 9 Sukmajaya 21.30 3.00

Kedua kelompok tersebut memiliki perbedaan dalam nilai NumP, MPS dan TE. Secara umum, nilai NumP dan TE lahan pertanian mengalami penurunan sedangkan nilai MPS memiliki pola tersendiri dibandingkan dengan kedua parameter lainnya (Gambar 8). Selain itu ditinjau dari nilai NumP dan TE lahan pertanian, terlihat bahwa seluruh lokasi penelitian memiliki sebaran nilai yang lebar (Gambar 8a, 8c). Hal berbeda terjadi pada nilai MPS, dimana seluruh lokasi penelitian memiliki sebaran data yang kecil dan terdapat nilai ekstrem yang tidak termasuk dalam sebaran data di tahun 2001 dan 2013 (Gambar 8b). Berdasarkan pada Gambar 9a, kecamatan yang berdekatan dengan kota besar memiliki nilai NumP yang rendah di tahun 2001. Sedangkan kecamatan yang berjauhan dengan kota besar memiliki nilai NumP yang tinggi. Kecamatan yang kurang dipengaruhi oleh kota besar dan kecamatan yang sangat dipengaruhi oleh kota besar dapat dibatasi oleh nilai ambang batas NumP sebesar 1.100. Kedua kelompok kecamatan tersebut masih dapat dipisahkan dengan jelas pada NumP tahun 2013. Selain dapat dikelompokkan dengan ambang batas nilai NumP, kecamatan di wilayah studi juga dapat dikelompokkan oleh nilai TE. Gambar 9c menunjukkan bahwa kecamatan yang berjauhan dengan kota besar memiliki nilai TE yang lebih tinggi sedangkan kecamatan yang berdekatan dengan kota besar memiliki nilai TE yang lebih rendah di tahun 2001. Kedua kelompok kecamatan tersebut dapat dibatasi dengan nilai ambang batas TE sekitar 1.100.000 meter.

a)

b)

c)

Gambar 8. Boxplot nilai NumP lahan pertanian (PTN) tahun 2001-2013 (a), nilai MPS (b), nilai TE (c)

Pada kelompok kecamatan yang berjauhan dengan kota besar, Kecamatan Rumpin memiliki jarak paling jauh dan mengalami penurunan nilai NumP dan TE paling besar. Tergabung dalam kelompok kecamatan yang berdekatan dengan kota besar, Kecamatan Beji memiliki jarak paling dekat pada kelompok tersebut dan memiliki penurunan nilai NumP dan TE yang rendah. Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa laju peningkatan nilai NumP dan TE dapat digunakan untuk mengetahui pola dan struktur lanskap di setiap kecamatan. Kecamatan yang berjauhan dengan kota besar cenderung memiliki laju penurunan parameter fragmentasi yang lebih besar, begitupun sebaliknya. Hal ini terkait dengan kondisi kecamatan yang berdekatan dengan kota besar yang telah jenuh dalam perubahan penggunaan lahan sehingga kondisi penggunaan lahan cenderung tetap dan fragmentasi lahan menjadi relatif konstan.

Berdasarkan nilai parameter MPS, terdapat dua kelompok kecamatan yang memiliki karakteristik berbeda. Kelompok pertama adalah Kecamatan Rumpin yang masih memiliki ukuran rataan lahan yang relatif besar. Kondisi ini dipengaruhi oleh keberadaan hutan yang masih cukup luas dan berada dalam satu poligon yang kompak (contiguous). Kelompok kecamatan kedua adalah seluruh kecamatan lain yang diteliti selain Rumpin. Kelompok kedua menunjukkan adanya pengaruh wilayah perkotaan yang cenderung menyebabkan zona pemanfaatan lahan menjadi terfragmentasi dan tidak menghasilkan suatu zonasi yang kompak. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian Kamusoko et al. (2007) yang menyimpulkan bahwa lahan pertanian yang semakin menyempit dengan peluang fragmentasi yang besar dapat dipengaruhi oleh tingginya aktivitas lahan terbangun.

Menurut Solon (2009) pada dasarnya semakin jauh jarak suatu wilayah terhadap perkotaan maka kondisi lahan pertanian akan semakin mengelompok dengan bentuk yang sederhana. Konsep tersebut teramati di Kecamatan Rumpin. Berdasarkan kedekatan lokasi penelitian dengan kota besar yaitu Jakarta dan Kota Depok, terdapat kecenderungan awal bahwa kondisi perubahan nilai MPS lebih dipengaruhi jarak kecamatan terhadap Kota Depok. Hal ini sesuai dengan hasil analisis regresi berganda lahan pertanian skala desa (Tabel 5) yang menunjukkan bahwa semakin jauh jarak kecamatan ke kota besar akan mengalami perubahan nilai MPS yang tinggi pula. Wilayah dengan penurunan nilai MPS yang tinggi umumnya terletak pada lokasi yang berjauhan dari Kota Depok. Sebaliknya, terjadi agregasi wilayah non terbangun di kecamatan-kecamatan yang berdekatan dengan pusat Kota Depok sehingga menyebabkan peningkatan nilai MPS. Penurunan nilai MPS menunjukkan peningkatan dinamika pola penggunaan lahan, sehingga struktur lanskap menjadi lebih kecil akibat sistem pembagian lahan (Kamusoko et al. 2007).

a)

b)

c)

Gambar 9. Boxplot nilai NumP lahan pertanian (PTN) antar kecamatan tahun 2001-2013 (a), nilai MPS (b), nilai TE (c)

Kecamatan Rumpin memiliki kondisi khusus dibandingkan kecamatan lain terkait tiga parameter fragmentasi lahan pertanian. Beberapa kondisi yang hanya terjadi di Kecamatan Rumpin dan dapat menjadi faktor yang mempengaruhi perubahan ketiga parameter fragmentasi adalah peningkatan aktivitas pembangunan pada rentang tahun 2001 sampai 2013. Hasil pengamatan lapangan dan didukung dengan wawancara dengan para pihak terkait menunjukkan bahwa pembangunan rumah warga mendominasi perubahan dan selanjutnya beragregasi menjadi zonasi yang lebih besar dan kompleks. Hal ini diduga dapat mempengaruhi penurunan nilai NumP. Kondisi ini umumnya terjadi di sekitar jalan sehingga lahan pertanian dan non pertanian mengumpul dalam suatu kesatuan. Selain keberadaan hutan yang relatif terjaga, faktor lain yang menyebabkan peningkatan nilai MPS yang tinggi adalah terjadinya pemusatan lahan pertanian di beberapa desa seperti Desa Leuwibatu, Cibodas, Gobang, Kampung Sawah, Cidokom dan Rabak. Selain itu, lahan terbangun pada kecamatan ini relatif terpusat pada lokasi utama yaitu di Desa Cipinang, Sukasari, Sukamulya, dan Kertajaya (Gambar 10a, 10b). Lahan pertanian yang cenderung mengelompok memberikan dampak positif terhadap kelestarian lingkungan di desa-desa tersebut, namun demikian hal ini juga berdampak negatif terhadap kelengkapan fasilitasnya.

a) b)

c) d)

Gambar 10. Poligon lahan pertanian Kecamatan Rumpin tahun 2001 (a), Kecamatan Rumpin tahun 2013 (b), Kecamatan Beji tahun 2001 (c), Kecamatan Beji tahun 2013 (d)

Terdapat kecenderungan bahwa semakin dekat suatu wilayah dengan kota besar maka lahan pertanian akan cenderung mengalami penurunan luas. Fenomena tersebut teramati di Kecamatan Beji (Gambar 10). Perubahan nilai MPS yang relatif kecil di kecamatan ini disebabkan oleh pemusatan lahan pertanian yang dikonversi menjadi perumahan dan emplasemen sehingga lahan pertanian yang tersisa umumnya terdapat di sekitar perbatasan antar desa dan di sekitar sungai (Gambar 10c, 10d). Kemudahan aksesibilitas dan kondisi jalan yang baik menjadi penyebab tingginya pembangunan dalam luasan yang besar. Pembangunan yang dilakukan antara tahun 2001 sampai 2013 menurut keterangan aparat desa dan ketua RT antara lain pembangunan ruko, kos-kosan dan perumahan. Pembangunan banyak terjadi mulai tahun 2001 dan mengalami tahap tidak berubah secara signifikan (leveling off) di tahun 2013 akibat ketiadaan lahan yang dapat dikonversi. Hal ini menjadi salah satu penyebab penurunan nilai NumP dan TE lahan pertanian yang rendah di Kecamatan Beji.

Penelitian ini menunjukkan bahwa informasi yang ditunjukkan oleh analisis fragmentasi dapat memperkaya telaah penggunaan lahan terutama berkaitan dengan upaya memproteksi wilayah pertanian. Menurut Rahman et al. (2008), peningkatan 1% fragmentasi lahan akan menurunkan produktivitas beras sebesar 0.05% serta menurunkan efisiensi teknis sebesar 0.03%. Kondisi yang ditemukan di lokasi penelitian selaras dengan hasil penelitian Dewan et al. (2012) yang menunjukkan bahwa bahwa laju pembangunan yang tinggi mengakibatkan lanskap menjadi lebih homogen dan mengelompok.

Hubungan Parameter Fragmentasi Lahan Terbangun dan Jarak Kecamatan Terhadap Kota Besar

Analisis fragmentasi lahan terbangun dilakukan pada penggunaan lahan permukiman, emplasemen dan galian C tahun 2001 dan 2013. Hasil yang diperoleh berupa perubahan nilai parameter fragmentasi untuk sembilan kecamatan di lokasi penelitian. Kesembilan kecamatan memiliki kondisi wilayah yang berbeda-beda terutama dalam peningkatan penggunaan lahan permukiman dan emplasemen. Peningkatan lahan terbangun menyebabkan terbentuknya zona-zona yang merupakan peralihan antara desa ke kota. Perkembangan lahan terbangun yang terletak di pinggiran wilayah Jakarta cenderung tidak teratur (Darda 2009). Kondisi ini akan berpengaruh terhadap tingkat fragmentasi lahan dan kebijakan pemerintah dalam melakukan perencaan penataan ruang.

Gambar 11a menunjukkan sebaran nilai NumP lahan terbangun yang semakin meningkat dari tahun 2001 sampai 2013. Sebaran nilai berbeda ditunjukkan pada nilai MPS dan TE lahan terbangun. Nilai MPS memiliki sebaran nilai yang tinggi di tahun 2001 namun pada tahun 2013 sebaran nilai tersebut menurun dan adanya nilai pencilan yang tidak termasuk dalam nilai sebaran (Gambar 11b). Sedangkan untuk nilai TE memiliki sebaran nilai yang rendah dan adanya nilai pencilan dan ekstrem di tahun 2001 serta memiliki sebaran nilai yang tinggi di tahun 2013 (Gambar 11c).

a)

b)

c)

Gambar 11. Boxplot nilai NumP lahan terbangun (TBN) tahun 2001-2013 (a), nilai MPS (b), nilai TE (c)

Secara umum terdapat dua pola utama pada nilai NumP dan TE lahan terbangun yaitu pola peningkatan nilai NumP dan TE yang signifikan dan pola peningkatan nilai NumP dan TE yang tidak signifikan (Gambar 11). Peningkatan nilai yang signifikan terjadi pada kelompok kecamatan yang berjauhan dengan kota besar dan dua kecamatan yang berdekatan dengan kota besar yaitu Kecamatan Cimanggis serta Sawangan. Sebaliknya, kecamatan lainnya yang berdekatan dengan kota besar mengalami peningkatan nilai NumP dan TE yang tidak signifikan (Gambar 12a, 12c). Berbeda dengan analisis fragmentasi lahan pertanian, terdapat kecenderungan awal dimana nilai NumP dan TE lebih dipengaruhi oleh Kota Depok dibandingkan dengan Jakarta (Tabel 4) terlihat kecenderungan bahwa semakin tinggi laju peningkatan nilai NumP dan TE terjadi pada kecamatan yang berjauhan dengan Kota Depok. Kedua kelompok peningkatan nilai NumP dapat dibedakan pada nilai ambang batas tahun 2001 sebesar 150 dan masih mampu dibedakan dengan jelas pada tahun 2013. Sedangkan untuk peningkatan nilai TE tidak mampu dibedakan pada nilai ambang batas tahun 2001, namun dapat dibedakan pada nilai ambang batas tahun 2013 sebesar 700.000 meter.

Pada nilai MPS terdapat kecenderungan bahwa kecamatan yang berjauhan dengan kota besar mengalami laju penurunan yang tidak signifikan dibandingkan kecamatan yang berdekatan dengan kota besar. Berbeda dengan nilai NumP dan TE lahan pertanian, untuk nilai MPS lebih dipengaruhi keberadaan DKI Jakarta dibandingkan dengan Kota Depok.

Berdasarkan kondisi ini terlihat bahwa ketiga parameter fragmentasi dapat digunakan untuk mengetahui laju pembangunan lahan terbangun dan pola pembangunan yang terjadi di kecamatan tersebut. Kecamatan yang kurang dipengaruhi oleh kota besar mengalami kecenderungan peningkatan jumlah lahan terbangun yang tinggi dengan laju penambahan luas lahan terbangun dari tahun 2001 sampai 2013 relatif tetap. Sebaliknya kecamatan yang lebih dipengaruhi oleh kota besar mengalami peningkatan jumlah lahan terbangun yang relatif kecil tetapi ukuran rata-rata lahan terbangun mengalami penurunan. Hal tersebut dikarenakan poligon lahan terbangun yang muncul memiliki ukuran yang relatif kecil sehingga berakibat pada penurunan nilai MPS. Berdasarkan kondisi ini terlihat bahwa kecamatan yang kurang dipengaruhi oleh kota besar mengalami laju pembangunan yang tinggi dengan pola pembangunan yang menyebar dan kompleks sedangkan kecamatan yang lebih dipengaruhi oleh kota besar cenderung mengalami pembangunan yang relatif lebih stabil.

a)

b)

c)

Gambar 12. Boxplot nilai NumP lahan terbangun (TBN) antar kecamatan tahun 2001-2013 (a), nilai MPS (b), nilai TE (c)

Kecamatan Rumpin dan Beji mengalami kekonsistenan dalam perubahan tiga parameter tersebut. Dengan kondisi wilayah yang berbeda, Kecamatan Rumpin mengalami perubahan paling tinggi sedangkan Kecamatan Beji mengalami perubahan paling rendah diantara kecamatan lainnya. Ketersediaan lahan pertanian yang masih luas di Kecamatan Rumpin mendorong peningkatan pembangunan dan perubahan lahan pertanian menjadi lahan terbangun. Pembangunan di Kecamatan Rumpin lebih didominasi oleh rumah warga dengan bentuk yang lebih kompleks (Gambar 13a, 13b). Tingginya ketidakteraturan bentuk poligon akan meningkatkan proses terjadinya fragmentasi lahan dan mempersulit dilakukannya penataan ruang di lokasi tersebut. Beragamnya penyebaran lahan terbangun menyebabkan kondisi lanskap yang semakin kompleks dan keberagaman aktivitas manusia (Dewan et al. 2012).

Ketidakteraturan tersebut dapat menjadi acuan untuk mengetahui pola pertumbuhan lahan terbangun khususnya pola penyebaran permukiman yang terbentuk. Pola pertumbuhan permukiman di pedesaan yang berada di pinggiran kota tidak selalu seragam. Beberapa wilayah didominasi oleh penduduk berpenghasilan menengah, sementara di wilayah lain didominasi kawasan industri yang padat, perumahan murah atau kawasan yang dikembangkan sebagai penghasil produk pertanian. Kondisi ini akan mempengaruhi pola perkembangan permukiman di suatu wilayah (Tacoli 2003).

a)

c)

b)

d)

Gambar 13. Poligon lahan terbangun Kecamatan Rumpin tahun 2001 (a), Kecamatan Rumpin tahun 2013 (b), Kecamatan Beji tahun 2001 (c), Kecamatan Beji tahun 2013 (d)

Selanjutnya, di Kecamatan Beji tahun 2001 mengalami pembangunan dalam luasan besar, terlihat dari nilai MPS tahun 2001 yang artinya pembangunan didominasi oleh emplasemen, ruko, dan perumahan. Namun pada tahun 2013, pembangunan mengalami penurunan yang signifikan dimana pembangunan lebih banyak pada luasan kecil dengan tingkat kompleksitas yang lebih rendah (Gambar 12c, 12d). Berdasarkan perubahan tersebut, terlihat bahwa tingginya konversi yang terjadi pada kecamatan tersebut menyebabkan Kecamatan Beji berada dalam tahap tidak berubah secara signifikan (lavelling off). Hal ini sejalan dengan kondisi fragmentasi lahan pertanian (Gambar 9). Selain itu, kepadatan lahan terbangun di pusat kecamatan menyebabkan perembetan lahan terbangun ke arah pinggiran kecamatan, hal ini menyebabkan penurunan luas lahan terbangun yang kecil di tahun 2013 (Gambar 13c, 13d).

a)

b)

Gambar 14. Poligon lahan terbangun Kecamatan Cimanggis dan Sawangan tahun 2001 (a), Kecamatan Cimanggis dan Sawangan tahun 2013 (b)

Kondisi khusus terlihat pada Kecamatan Cimanggis dan Sawangan dimana

Dokumen terkait