• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Susu Bubuk Impor

Sebanyak 60 sampel susu bubuk impor diambil untuk penelitian ini. Sampel diambil dari berbagai negara yang jumlahnya disesuaikan dengan proporsi volume importasi susu bubuk melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok selama tahun 2010.

Susu bubuk dikemas dalam kantong ukuran 25 kg yang terdiri dari 1 lapis kantong plastik di bagian dalam dan 4 lapis kertas semen di bagian luarnya. Plastik digunakan sebagai pembungkus makanan karena kuat dan kencang, mencegah dari kelembaban dan gas, tahan terhadap benturan, transparan sehingga terlihat isi dibagian dalamnya, dan fleksibel. Pengemasan diartikan sebagai usaha dalam menjamin keamanan produk selama pengangkutan, penyimpanan sehingga aman sampai konsumen (Brown 1992).

Pengemasan susu bubuk dilakukan dengan menggunakan kantong (bag) dengan 4 lapis. Lapisan paling dalam adalah lapisan plastik dengan tujuan mengontrol masuknya uap air, sedangkan 3 lapisan kertas yang berlapis-lapis untuk memberikan kekuatan dan melindungi terhadap cahaya (NZMP 2006).

Susu bubuk diangkut menggunakan kontainer dengan suhu dan kelembabannya diatur selama dalam perjalanan dari negara asal ke Indonesia sesuai standar penyimpanan yaitu pada suhu berkisar antara 24-25°C dan kelembaban 65-68%. Kelembaban adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas dalam pengawetan beberapa produk makanan dan mempengaruhi stabilitas keseimbangan kandungan bahan, terutama untuk bahan-bahan yang dikeringkan seperti susu bubuk, egg powder, buah-buahan yang dikeringkan (Nielsen 2003).

Kemasan susu bubuk impor dalam kontainer disusun dengan rapi dan diberi jarak antar baris dengan kantong plastik berisi udara (air bag) agar tidak terjadi benturan antar kemasan yang dapat merusak susunan kemasan, dan di lantai kontainer diberi pallet terbuat dari kayu/aluminium sehingga kemasan tidak bersentuhan langsung dengan lantai kontainer. Hal ini bertujuan memberi sirkulasi udara yang baik dalam kontainer untuk menjaga kualitas susu bubuk impor tersebut tetap baik dan tidak cepat terjadi kerusakan.

17

Susu bubuk impor dipergunakan sebagai bahan baku untuk industri pengolahan susu, industri pengolahan roti dan kue, industri pengolahan es krim, dan sebagai bahan campuran pembuatan coklat, kopi creamer, sop, serta produk olahan susu lainnya. Beberapa importir langsung menjual susu bubuk kepada distributor untuk diedarkan kepada konsumen (Herdiana 2007).

Pemeriksaan Organoleptik

Pemeriksaan organoleptik pada susu bubuk impor menunjukkan bahwa 60 sampel susu bubuk impor mempunyai warna yang beragam antara lain putih, putih kekuning-kuningan atau krem, kecoklatan, aromanya khas bau susu, rasanya agak manis, tekstur butirannya halus/lembut, dan tidak menggumpal. Hal ini menunjukkan bahwa secara organoleptik susu bubuk impor berkualitas baik.

Susu bubuk dapat menggumpal dan mengeras karena mengandung kasein. Kasein yang mengeras selama penyimpanan menyebabkan daya larutnya sangat menurun sebagai tanda susu mengalami kerusakan, sehingga susu bubuk tersebut tidak dapat memenuhi fungsinya seperti yang diharapkan (Muchtadi 1997). Sifat kasein mudah menggumpal bila ditambah asam pekat, enzim proteolitik, alkohol pekat atau karena pemanasan (Syarief dan Halid 1997). Susu juga mengandung laktosa. Susu bubuk yang disimpan pada tempat yang lembab atau kadar air yang tinggi menyebabkan laktosa akan mudah menyerap air sehingga susu mudah menggumpal (Juergens et al. 2002).

Sifat organoleptik susu bubuk berhubungan erat dengan komposisi dan kualitas dari bahan baku dan proses pengolahannya. Kadar lemak yang ada dalam susu bubuk akan mempengaruhi aroma. Adanya asam lemak bebas dalam lemak akan mempengaruhi aroma dan perlakuan panas akan menyebabkan perubahan warna. Masa simpan susu bubuk dipengaruhi dari kualitas bahan baku, proses

spray drying dan kondisi di mana susu bubuk disimpan. Kerusakan selama

penyimpanan akan mengakibatkan perubahan organoleptik yang nyata (Early 1998).

Pengujian Residu Antibiotika dengan ELISA

Keterbatasan pada beberapa metode pengujian tidak jarang menjadi hambatan untuk mengetahui keberadaan residu antibiotika pada produk pangan

18 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0.150 0.450 1.35 4.05 12.15 A b s o r b a n s i % Konsentrasi (ppb)

termasuk susu. Susu bubuk sebagai produk hasil olahan susu yang telah mengalami proses pemanasan tinggi kemungkinan tetap mengandung antibiotika walaupun hanya dalam jumlah yang kecil.

Pengujian dengan ELISA merupakan metode yang sensitif, spesifik, cepat, mudah, dan secara ekonomi relatif lebih murah jika sampel yang diuji dilakukan dalam jumlah besar. Di samping itu, sejumlah sampel dapat dideteksi dalam waktu yang bersamaan dengan menggunakan sedikit reagen. Beberapa kelemahan dari metode ELISA yaitu spesifisitas yang terbatas karena adanya reaksi silang dengan senyawa-senyawa yang memiliki struktur yang hampir sama. Faktor penting yang harus diperhatikan dalam metode ELISA ini antara lain penanganan terhadap kit ELISA, masa kadaluarsa, peralatan yang digunakan untuk pengujian sudah dikalibrasi dengan baik serta keterampilan dan pengalaman analis dalam melakukan pengujian (Burgess 1995). Metode ELISA merupakan uji yang digunakan sebagai screening test (uji tapis). Uji ini bermanfaat untuk mendapatkan informasi awal mengenai keberadaan antibiotika dalam susu bubuk.

19

Limit deteksi ELISA yang digunakan untuk mendeteksi residu antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk pada penelitian ini adalah 1.5 part per billion (ppb) dengan 50% inhibition sebesar 0.763 ppb (Gambar 2). Limit deteksi merupakan tingkat konsentrasi terendah dideteksi dari suatu substansi.

Jumlah sampel yang menunjukkan hasil positif menggunakan kit ELISA untuk antibiotika tetrasiklin (Ridascreen® Tetracyclin Art. No.: R3503) sebanyak

8 dari 60 sampel (13.33%) yang diperiksa dengan kisaran konsentrasi 25.44-73.11 ppb. Hasil pengujian sampel yang mengandung antibiotika tetrasiklin

dalam susu bubuk impor dengan menggunakan ELISA disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil pengujian sampel yang mengandung antibiotika tetrasiklin dalam

susu bubuk impor dengan menggunakan ELISA

No Kode Sampel ELISA (ppb)

1 B4 27.97 2 B5 37.94 3 B7 27.02 4 B9 40.74 5 B12 73.11 6 B18 36.99 7 B19 25.44 8 B40 32.29

Ditemukannya hasil positif antibiotika tetrasiklin pada pengujian ini kemungkinan disebabkan karena susu yang diuji berasal dari hewan yang diobati dengan antibiotika tetrasiklin sehingga meninggalkan residu antibiotika di dalam susu.

Meningkatnya permintaan produk hewan akan diikuti dengan peningkatan pemakaian obat hewan baik dalam jenis maupun jumlahnya. Penggunaan antibiotika secara intensif untuk pengobatan maupun sebagai bahan tambahan dalam pakan tanpa memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time) atau tanpa memperhatikan farmakokinetik dari obat maka kemungkinan besar residu dari obat-obatan tersebut akan ditemukan dalam pangan asal hewan dan juga produk olahannya (Latif 2004).

Keberadaan antibiotika dalam pangan asal hewan yang melebihi batas maksimum dapat mengakibatkan efek yang buruk bagi manusia, diantaranya

20

reaksi alergi pada individu yang hipersensitif, keracunan, karsinogen, dan menyebabkan resistensi terhadap bakteri sehingga individu tidak dapat merespon pengobatan yang umum digunakan untuk penyakit manusia (Rico 1986; Tan et al. 2009).

Hasil penelitian juga menunjukan bahwa ELISA dapat dipergunakan sebagai screening test, karena memiliki sensitifitas yang baik. Namun hasil uji yang positif harus diuji lanjut dengan menggunakan metode uji konfirmatif. Menurut Salman (2008) dalam screening test, diperlukan sensitifitas uji yang tinggi sebab semakin tinggi nilai sensitifitas, maka semakin kecil kemungkinan diperoleh negatif palsu.

Pengujian Residu Antibiotika dengan HPLC

Metode HPLC mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan metode lainnya yaitu dapat mendeteksi secara kualitatif dan kuantitatif dengan tingkat akurasi, sensitifitas, dan spesifisitas yang tinggi. Namun demikian HPLC mempunyai kelemahan yaitu membutuhkan waktu yang lama, reagen dan instrumentasi yang mahal serta operator yang terlatih.

Hasil positif pada pengujian dengan metoda ELISA (8 sampel), dikonfirmasi dengan metoda HPLC. Terdapat 5 dari 8 sampel (62.50%) yang menunjukan hasil positif mengandung antibiotika tetrasiklin dengan metode HPLC. Sebanyak 5 sampel juga menunjukan adanya kandungan tetrasiklin dengan nilai di atas BMR, yaitu pada sampel dengan kode B5, B9, B12, B18, dan B40 dengan kisaran 120–840 ppb, sedangkan 3 sampel dengan kode B5, B7, dan B19 tidak mengandung antibiotika tetrasiklin atau konsentrasinya di bawah limit deteksi uji (< 5 ppb). Nilai BMR tetrasiklin dalam susu yang ditetapkan oleh BSN sebagaimana tercantum dalam SNI 01-6366-2000 adalah sebesar 50 ppb (BSN 2000). Hasil uji konfirmasi dengan HPLC terhadap sampel positif mengandung antibiotika tetrasiklin pada pengujian dengan ELISA selengkapnya disajikan pada Tabel 5.

21

Tabel 5 Hasil uji konfirmasi dengan HPLC terhadap sampel positif mengandung antibiotika tetrasiklin pada susu bubuk impor dengan ELISA

No Kode sampel

Sampel positif uji ELISA Konfirmasi dengan HPLC Konsentrasi (ppb) Konsentrasi (ppb) 1 B4 27.97 < 5 2 B5 37.94 310 3 B7 27.02 < 5 4 B9 40.74 610 5 B12 73.11 840 6 B18 36.99 120 7 B19 25.44 < 5 8 B40 32.29 280

Gambaran Antibiotika Tetrasiklin dalam Susu Bubuk Impor

Berdasarkan hasil pemeriksaan kandungan antibiotika dalam susu bubuk yang diimpor dari sejumlah negara, diperoleh gambaran bahwa beberapa negara pengekspor susu bubuk masih menggunakan antibiotika tetrasiklin. Terdapatnya antibiotika dalam susu bubuk, dapat disebabkan oleh penggunaan antibiotika sebagai terapi.

Hasil penelitian ini menunjukan adanya kandungan antibiotika tetrasiklin pada susu bubuk impor. Berdasarkan pengujian ELISA, konsentrasi rata-rata yang terdeteksi masih berada di bawah BMR, namun setelah dilakukan konfirmasi dengan metode HPLC terdapat 5 sampel yang mengandung antibiotika tetrasiklin di atas BMR.

Ditemukannya hasil positif kandungan antibiotika tetrasiklin pada susu bubuk impor menunjukan bahwa susu sebagai bahan dasar pembuatan susu bubuk berasal dari peternakan sapi perah yang menggunakan antibiotika tetrasiklin. Penggunaan antibiotika di peternakan disamping dapat memberikan manfaat bagi hewan dan peternak, namun dapat pula menimbulkan risiko bagi kesehatan masyarakat jika pemakaiannya tidak sesuai aturan. Risiko tersebut berupa adanya residu antibiotika pada daging, lemak, susu, dan telur (Noor et al. 1992). Selain digunakan sebagai pengobatan, antibiotika tetrasiklin juga digunakan sebagai pemacu pertumbuhan dan meningkatkan produksi. Penggunaan antibiotika harus sesuai dengan aturan, apabila melanggar aturan dan tidak mematuhi waktu henti

22

obat (withdrawal time) dapat menyebabkan susu mengandung residu antibiotika (Murdiati 1997).

Ditemukannya hasil positif dengan kandungan antibiotika tetrasiklin di atas BMR menunjukan bahwa susu bubuk yang diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok tidak sepenuhnya aman untuk dikonsumsi. Ditinjau dari segi kesehatan masyarakat veteriner, kandungan antibiotika dalam bahan pangan asal hewan perlu mendapat perhatian, mengingat bahaya yang dapat ditimbulkan terhadap kesehatan konsumen. Hal ini menuntut perlunya pengawasan dan pengujian terhadap kandungan antibiotik dalam susu bubuk yang diimpor untuk menjamin keamanan susu bubuk sebagai jenis olahan susu yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia.

Salah satu antibiotika yang paling umum digunakan di peternakan adalah tetrasiklin. Tetrasiklin mempunyai spektrum yang luas sehingga efektif terhadap terhadap bakteri Gram positif dan negatif. Sifat tetrasiklin dengan spektrum yang luas menyebabkan antibiotika ini banyak digunakan oleh peternak karena secara ekonomi lebih menguntungkan. Peternakan sapi perah menggunakan tetrasiklin untuk pengobatan terhadap penyakit pernapasan (97% ternak), lumpuh (83%), mastitis (80%), dan penyakit reproduksi (80%). Tetrasiklin juga digunakan sebagai bahan imbuhan pakan (feed additive) untuk meningkatkan pertumbuhan hewan dan sebagai profilaksis. Akibat penggunaan tetrasiklin dimungkinkan adanya residu tetrasiklin dalam susu. Diperlukan suatu metode untuk memantau tingkat kandungan tetrasiklin dalam susu, supaya dapat dipastikan bahwa susu tersebut sudah memenuhi persyaratan batas toleransi yang ditetapkan oleh pemerintah. Residu antibiotika dalam pangan asal hewan dianggap penting karena dapat menyebabkan meningkatnya resistensi mikrooganisme terhadap antibiotika. Penggunaan tetrasiklin yang berlebihan harus dikontrol untuk mengurangi risiko resistensi dan timbulnya strain baru mikroorganisme (Dimitros et al. 1990; Onal 2011; Boyer 2012).

Penggunaan antibiotika hanya diperbolehkan sebagai terapi dengan pengawasan dokter hewan. Untuk meminimalisir penggunaan antibiotika WHO menghimbau peternak agar meningkatkan kesehatan hewan melalui penerapan biosekuriti pada peternakan, pencegahan penyakit dengan mengefektifkan

23

program vaksinasi serta menerapkan manajemen yang baik pada peternakan (WHO 2011).

Jaminan keamanan pangan di Indonesia menjadi tanggung jawab semua pihak yang terkait, antara lain pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat termasuk konsumen. Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyediaan peraturan perundang-undangan dan penegakannya, pemberian sosialisasi dan edukasi, melakukan monitoring dan pengumpulan data serta penyediaan anggaran. Pelaku industri, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, bertanggung jawab terhadap penerapan Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), Good

Manufacturing Practises (GMP) sepanjang rantai pangan (from farm to table),

penyediaan sarana dan teknologi sehingga terwujud keamanan pangan.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, menyebutkan bahwa keamanan pangan merupakan kondisi daya upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu dan membahayakan kesehatan manusia (RI 1996). Indonesia menetapkan standar maksimum residu dalam produk asal hewan yang dituangkan dalam SNI No. 01-6366-2000. Standar tersebut berlaku untuk produk asal hewan baik impor maupun produk dalam negeri (BSN 2000).

Badan Karantina Pertanian sebagai institusi terdepan dalam pengawasan pemasukan komoditi impor dan ekspor produk hewan perlu menetapkan pengujian secara rutin terhadap produk hewan yang diimpor ke Indonesia untuk mencegah masuknya bahan pangan yang dapat membahayakan kesehatan konsumen, termasuk keberadaan antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk impor.

24

Dokumen terkait