• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Spasial Kawasan Pesisir Kota Ternate Interpretasi Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront

Perubahan spasial kawasan waterfront di Kota Ternate ditandai dengan adanya perubahan garis pantai. Pengembangan kawasan waterfront untuk mendapatkan lahan baru/dataran baru yang berada di kawasan pesisir, sehingga secara langsung mempengaruhi perubahan garis pantai yang ada. Perubahan garis pantai baik maju atau mundur dapat menimbulkan berbagai permasalahan, diantaranya pemanfaatan lahan, bertambah atau berkurangnya luas daratan, terancamnya aktivitas manusia dan lain sebagainya. Terlepas dari faktor manusia yang menyebabkan perubahan, faktor lain yang berpengaruh adalah faktor alam (Efendi et al., 1981 diacu dalam Hermanto, 1986). Perubahan morfologi pantai (garis pantai) merupakan rangkaian proses pantai yang diakibatkan oleh faktor eksternal yang meliputi arus, gelombang, angin dan pasang surut, serta faktor internal yang meliputi karakteristik dan tipe sedimen serta lapisan dasar dimana sedimen tersebut berada (Diposaptono, 2004 diacudalam Kalay, 2008).

Dalam kasus perubahan garis pantai di kawasan waterfront kota Ternate dipengaruhi oleh faktor manusia yakni adanya aktivitas reklamasi pantai. Pengembangan kawasan waterfront direncanakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2006-2015, sebagai pusat pelayanan perkotaan khususnya bidang transportasi, jasa dan perdagangan, sarana ibadah dan taman kota. Reklamasi pantai dijadikan alternatif untuk penambahan daratan, dimana daratan kawasan reklamasi ini berupa kawasan daratan lama yang berhubungan langsung dengan daratan baru.

Identifikasi perubahan garis pantai di kawasan waterfront bertujuan untuk mengetahui seberapa luas kawasan yang direklamasi. Hal ini tentunya berkaitan dengan penambahan luas daratan kota Ternate secara keseluruhan. Dengan adanya penambahan luas daratan di kawasan waterfront, maka spasial kawasan pesisir mengalami perubahan.

Analisis citra bersumber daricitra GeoEye dari Google Earth akuisisi citra tanggal 18 Mei 2001 dan citra Quickbird tahun 2010 yang digunakan untuk membandingkan garis pantai antara kedua tahun tersebut. Data yang tersedia

sangat menunjang untuk mengukur seberapa luas perubahan garis pantai yang terjadi akibat adanya reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi pantai dimulai pengembangannya pada tahun 2001, sehingga data yang dibutuhkan adalah data tahun sebelum diadakan reklamasi. Namun data yang tersedia, khususnya untuk citra resolusi tinggi seperti citra Ikonos, GeoEye, dan sebagainya di tahun tersebut sulit untuk diperoleh, sehingga data citra yang digunakan adalah citra GeoEye

tahun 2001.

Kenampakan visual dari citra resolusi tinggi sangat membantu untuk mendelineasi garis pantai yaitu batas antara daratan dan lautan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum NO.40/PRT/M/2007 tentang Reklamasi Pantai, definisi garis pantai adalah batas pertemuan antara bagian laut dan daratan pada saat terjadi air laut pasang tertinggi. Pada kasus kawasan waterfront Kota Ternate, kenampakan visual yang membatasi antara daratan dan lautan terletak pada objek permukiman atau perumahan yang berbatasan langsung dengan tepi laut. Oleh karena itu, acuan objek tersebut dijadikan dasar sebagai batas antara darat dan laut.

Gambar 18 menyajikan perubahan garis pantai yang dianalisis secara visual. Analisis dilakukan dengan cara overlay citra yang telah didelineasi garis pantai pada masing-masing tahun (tahun 2001 dan 2010). Hasil analisis citra berdasarkan kenampakan visual menunjukkan luas kawasan waterfront yang direklamasi adalah 23,93 ha (0,23 km2), dengan titik awal delineasi pada koordinat 0°46”941 LU, 127°23”305 BT dan titik akhir pada koordinat 0°48”033 LU, 127°23”160 BT. Panjang garis pantai sebelum reklamasi (tahun 2001) adalah 3,28 km, sedangkan panjang garis pantai setelah reklamasi (tahun 2010) menjadi 3,66 km, atau majunya garis pantai berkisar 30-250 m. Perubahan garis pantai atau majunya garis pantai ke arah laut yang terbesar terletak pada koordinat 0°47”456 LU, 127°23”415 BT yaitu mencapai hingga 250 m dari garis pantai awal (tahun 2001).

Adanya perubahan garis pantai tersebut menyebabkan luas daratan kota Ternate semakin bertambah. Sebelum pengembangan waterfront, luas daratan hanya 110,07 km2, namun setelah adanya kawasan tersebut maka daratan Pulau Ternate bertambah menjadi 110,30 km2. Secara administratif, terjadi penambahan luas daratan kota Ternate dari awalnya 250,85 km² (tahun 2001) menjadi 251,08 km² (tahun 2010) (Gambar 19).

Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront

Secara administratif, reklamasi pantai berada pada 4 (empat) kelurahan/desa, yaitu Kelurahan Soasio, Makassar Timur, Gamalama dan Muhajirin. Adanya reklamasi di lokasi tersebut menyebabkan penggunaan lahan semakin bertambah. Sebelum pengembangan waterfront, kawasan ini merupakan wilayah pesisir pantai yang berbatasan langsung dengan permukiman penduduk (perumahan dan pertokoan). Sebagian kawasan ini umumnya permukiman yang tidak tertata sehingga terkesan kumuh akibat pencemaran terhadap badan air di sekitar kawasan pesisir. Hal ini disebabkan karena aktivitas masyarakat yang membuang limbah/sampah ataupun MCK langsung ke badan air tersebut.

Setelah munculnya kebijakan dalam penataan kawasan pertumbuhan ekonomi baru, maka kawasan tersebut dipilih karena dianggap strategis dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta berperan untuk memperbaiki kualitas lingkungan di sekitarnya. Reklamasi pantai dijadikan alternatif untuk penambahan luas daratan yang dimanfaatkan sebagai kawasan waterfront. Kegiatan reklamasi ini memberikan dampak pada terjadinya perubahan spasial di kawasan pesisir tersebut.

Analisis penggunaan lahan di kawasan waterfront dilakukan dengan cara digitasi visual dari data citra Quickbird tahun 2010. Interpretasi citra secara visual untuk klasifikasi penggunaan lahan yang didasarkan pada warna/rona, tekstur, bentuk, pola, bayangan, asosiasi spasial (Lillesand dan Kiefer, 1997) dan survey langsung ke objek kawasan waterfront. Hal ini dilakukan karena kenampakan objek pada citra resolusi tinggi (citra Quickbird) dapat dengan mudah untuk mengenali atau membedakan antara objek satu dengan lainnya.

Penggunaan lahan di kawasan waterfront umumnya adalah kawasan jasa dan perdagangan yaitu pasar tradisional, pertokoan, dan pusat perbelanjaan/Mall. Hal ini berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di lokasi tersebut yang masuk dalam fungsi Bagian Wilayah Kota II (BWK II) yaitu sebagai pusat pelayanan jasa dan perdagangan. Kawasan waterfront

dimanfaatkan pula untuk kebutuhan rekreasi taman kota sekaligus sebagai ruang terbuka hijau (RTH) yang langsung berhubungan dengan tempat wisata sejarah kota Ternate yaitu Kadaton Kesultanan. Penyediaan RTH juga diwujudkan dalam

bentuk RTH jalur hijau yang berada hampir di sepanjang median jalan maupun di sepanjang sisi trotoar. Unsur yang paling kuat dalam penyediaan kawasan

waterfront ini adalah fasilitas peribadatan (mesjid) yang dijadikan sebagai

landmark kota. Gambar 20 menunjukkan penggunaan lahan di kawasan

waterfront.

Penggunaan lahan di kawasan waterfront ditampilkan secara detil pada Tabel 23. Secara detil penggunaan lahan yang terluas yaitu areal badan jalan sebesar 3,90 ha (16%) atau panjang jalan 2,61 km. Penyediaan jaringan jalan dimaksudkan sebagai jalur alternatif bagi kemudahan untuk akses ke pusat-pusat sarana penting misalnya bandara, pelabuhan, pasar/pertokoan dan sebagainya. Penggunaan lahan jasa dan perdagangan diantaranya Mall, pasar, pertokoan dan ruko, masing-masing sebesar 2,56 ha (11%), 2,01 ha (8%), 1,42 ha (6%), dan 1,12 ha (5%), yang mendominasi penggunaan lahan kawasan waterfront. Hal ini berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan, dimana Kota Ternate sebagai pusat pelayanan niaga dan perdagangan skala regional maupun lintas provinsi di Kawasan Indonesia Timur. Penggunaan lahan untuk RTH disediakan sebagai kawasan hijau yang meliputi RTH taman kota seluas 2,86 ha (12%) dan RTH jalur hijau seluas 1,40 ha (6%). Sementara untuk penggunaan lahan sarana ibadah (mesjid) dengan luas 0,87 ha (4%), sebagai

landmark kota sekaligus islamic centre. Namun penggunaan lahan untuk permukiman (perumahan) yang tidak terencana sebesar 2,02 ha (8%) mulai menjamur khususnya di areal pinggiran kawasan waterfront.

Tabel 23. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront

Penggunaan Lahan Luas

(ha) Persentase (%) Badan air 4,25 17 Jalan 3,90 16 RTH/Taman Kota 2,86 12 Mall/Dept.Store 2,56 11 Pasar Tradisional 2,01 8 Permukiman 2,02 8 Pertokoan 1,42 6 RTH/Jalur Hijau 1,40 6 Ruko 1,12 5 Sarana Ibadah 0,87 4

Terminal Angkutan Umum 0,90 4

Perkantoran 0,59 2

TPS 0,03 1

Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010

Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan cara overlay peta penggunaan lahan tahun 2004 dan tahun 2010, dengan membedakan 2 kelas penggunaan lahan yaitu lahan tidak terbangun (non built up) yang terdiri dari hutan, perkebunan, pertanian lahan kering dan semak belukar, dan lahan terbangun (built up) yang terdiri dari permukiman, kawasan jasa dan perdagangan dan kawasan industri. Hasil analisis tersebut menunjukkan perubahan lahan terbangun (built up) semakin bertambah di wilayah pesisir maupun dataran tinggi. Penggunaan lahan terbangun dominan berkembang ke arah dataran tinggi. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan lahan di kawasan pesisir yang dapat dijadikan areal untuk bermukim bagi masyarakat (lebih bersifat privat). Sementara untuk penggunaan lahan terbangun yang berada di kawasan pesisir sebagian besar dilakukan dengan reklamasi pantai untuk menambah luas daratan secara horizontal, misalnya yang terletak di pusat kota (Central of Business District

-CBD). Kawasan pesisir tersebut lebih bersifat ruang publik (public space) untuk melayani kebutuhan masyarakat kota. Perubahan penggunaan lahan pada tahun 2004-2010 disajikan pada Gambar 21.

Terhadap data atribut pada peta penggunaan lahan tahun 2004-2010 (Gambar 21) tersebut dilakukan analisis lanjutan untuk mengidentifikasi perubahan luas lahan. Tabel 24 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 6 tahun terjadi pengurangan luas penggunaan lahan tidak terbangun sebesar 411 ha (4%). Sementara itu penggunaan lahan terbangun mengalami peningkatan seluas 521 ha (55%). Jumlah luas lahan antara kedua tahun tersebut berbeda, yaitu tahun 2004 seluas 10.110 ha dan tahun 2010 seluas10.220 ha. Ini menunjukkan bahwa pada tahun 2010 luas daratan kota Ternate mengalami penambahan seluas 110 ha, yang sebagian besar adalah lahan-lahan yang direklamasi untuk pengembangan kawasan waterfront.

Tabel 24. Perubahan Penggunaan lahan Tahun 2004-2010

Penggunaan Lahan Tahun Perubahan 2004 (ha) 2010 (ha) Luas (ha) Persentase Perubahan luas/luas lahan awal

(%) Lahan Tidak Terbangun

Lahan Terbangun 9.166 944 8.755 1.465 -411 521 -4 55 Jumlah Luas 10.110 10.220 110

Matriks transisi perubahan penggunaan lahan yang disajikan pada Tabel 25, menunjukkan bahwa terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun seluas 445 ha. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan lahan sebagai tempat bermukim maupun kegiatan usaha (jasa dan perdagangan) terus bertambah. Namun menarik juga disimak untuk lahan terbangun yang terkonversi menjadi lahan tidak terbangun yaitu seluas 34 ha. Lahan terbangun yang terkonversi menjadi lahan tidak terbangun tersebut dipengaruhi oleh adanya pengembangan kawasan bandara di kecamatan Ternate Utara, sehingga permukiman yang berada di sekitar kawasan bandara direlokasi. Tabel 25. Matriks Transisi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010

Penggunaan Lahan Tahun 2004 (ha)

Penggunaan Lahan Tahun 2010 (ha)

Jumlah Luas (ha) Lahan Tidak Terbangun

(non built up)

Lahan Terbangun (built up) Lahan Tidak Terbangun

(non built up) 8.721 445 9.166

Lahan Terbangun

(built up) 34 910 944

Analisis Hierarki Wilayah Kota Ternate

Perkembangan kawasan waterfront kota Ternate diikuti pula oleh berkembangnya kelurahan/desa yang berada di kawasan waterfront atau sekitarnya. Hal ini dapat dilihat pada indikator berkembangnya infrastruktur yang ada di kawasan waterfront dan sekitarnya. Analisis skalogram digunakan untuk menentukan wilayah-wilayah mana (dalam unit kelurahan/desa) yang ikut berkembang seiring dengan perkembangan kawasan waterfront. Hasil analisis berupa klasifikasi hierarki wilayah berdasarkan ketersediaan infrastruktur yang ada di unit wilayah tersebut.

Urutan hierarki yang diperoleh berdasarkan akumulatif masing-masing kelurahan, yang kemudian dikelompokan atas kelas selang hierarki. Untuk studi kasus ini, selang hierarki dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu hierarki 1 (pusat pelayanan), hierarki 2, dan hierarki 3 (wilayah belakang atau hinterland). Penentuan pengelompokan didasarkan pada nilai standar deviasi Indeks Perkembangan (IP) dan nilai rata-rata dari IP.

Data Potensi Desa (PODES) yang digunakan meliputi data dalam beberapa kurun waktu yakni tahun 2005, tahun 2006, tahun 2008 dan tahun 2011. Keempat titik tahun tersebut dimaksudkan untuk melihat tingkat perkembangan selama masa periode setelah pengembangan kawasan waterfront. Seperti yang diketahui bahwa pengembangan kawasan waterfront dimulai pada tahun 2001, sehingga untuk menganalisis kawasan atau kelurahan/desa mana yang ikut berkembang seiring dengan perkembangan waterfront, maka dibutuhkan minimal 2 (dua) titik tahun (setelah tahun 2001) sebagai pembanding. Variabel yang digunakan untuk menganalisis hierarki wilayah sebanyak 35 variabel yang terdiri dari kategori variabel aksesibilitas serta variabel jumlah sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, peribadatan dan niaga perdagangan.

Hasil analisis data PODES tahun 2011, menunjukkan nilai standar deviasi (Stdev) IP 9,80 dan nilai rataan 24,86. Angka tersebut menggambarkan adanya peningkatan dibanding dengan tahun sebelumnya misalnya tahun 2008 dengan nilai Stdev IP 8,29 dan nilai rataan 26,05 dan tahun 2006 nilai Stdev IP 9,86 dan nilai rataan 24,55 serta untuk tahun 2005 nilai Stdev IP 9,25 dan nilai rataan 25,04 (lihat Gambar 22).

Gambar 22. Nilai Rataan dan Nilai Standar Deviasi Indeks Perkembangan

Nilai Indeks Perkembangan (IP) yang tinggi menunjukkan hierarki tertinggi (pusat pelayanan) di setiap unit wilayah. Ini ditandai dengan ketersediaan infrastruktur yang banyak dalam ketogori jumlah jenis dan akses pencapaian ke prasarana tersebut lebih mudah. Sementara untuk nilai IP yang rendah menunjukkan wilayah tersebut merupakan wilayah belakang (hinterland), faktor ketersediaan infrastruktur dalam jumlah sedikit jenisnya serta aksesibilitas sulit. Secara keseluruhan tingkat perkembangan dari keempat titik tahun (2005, 2006, 2008 dan 2011) memperlihatkan adanya peningkatan hingga tahun 2011. Hal ini berarti hingga pada tahun 2011, jumlah infrastruktur yang ada semakin meningkat dan akses ke prasarana lebih mudah jika ditinjau dari jarak maupun waktu tempuh.

Analisis skalogram untuk data PODES tahun 2011, memperlihatkan terdapat 7 kelurahan yang masuk dalam hierarki 1 (pusat pelayanan), 15 kelurahan tergolong dalam hierarki 2 dan 26 kelurahan yang tergolong dalam hierarki 3 (hinterland). Hasil analisis lengkap disajikan pada Tabel 26 dan Lampiran 2, dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Hierarki 1 dicirikan dengan indeks perkembangan (IP) >34,66 (IP rataan ditambah standar deviasi IP). Kelurahan/desa yang termasuk dalam hierarki 1 ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai,

9,25 9,86 8,29 9,80 25,04 24,55 26,05 24,86 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 2005 2006 2008 2011 Stdev IP Average IP 58,49 10,17 59,73 10,15 48,34 12,75 11,95 60,17

terutama sarana pendidikan, kesehatan, sarana transportasi, serta jarak tempuh yang relatif lebih singkat terhadap pusat-pusat pelayanan. Ada 7 kelurahan yang termasuk dalam kelas ini yakni 6 kelurahan pesisir (Kelurahan Gamalama, Makassar Timur, Soa-sio, Muhajirin, Kotabaru, dan Dufa-Dufa), dan 1 kelurahan bukan pesisir (Kelurahan Takoma).

2. Hierarki 2 dicirikan dengan indeks perkembangan kelurahan/desa sedang (IP 24,86 - 34,66) yang ditunjukkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang lebih sedikit dibanding herarki 1. Ada 15 kelurahan yang berada di hierarki ini dengan 8 kelurahan pesisir dan 7 kelurahan bukan pesisir.

3. Hierarki 3 dicirikan dengan nilai IP <24,86 yang ditunjukkan oleh tingkat sarana dan prasarana yang relatif sangat kurang dibanding hierarki 1 dan hierarki 2. Terdapat 26 kelurahan yang berada pada hierarki 3, dimana ada 18 kelurahan pesisir dan 8 kelurahan bukan pesisir.

Tabel 26. Hierarki Wilayah Tahun 2011

Hierarki Wilayah Jenis Kelurahan Banyaknya Kelurahan/Desa Indeks

Perkembangan (IP) Jumlah Jenis Hierarki 1 Pesisir Bukan pesisir 6 1 > 34,66 140 Hierarki 2 Pesisir Bukan pesisir 8 7 24,86 - 34,66 275 Hierarki 3 Pesisir Bukan pesisir 18 8 < 24,86 398

Hasil analisis skalogram untuk data PODES tahun 2005, menunjukkan banyaknya kelurahan yang berada pada hierarki 1 sebanyak 6 kelurahan, 12 kelurahan berada di hierarki 2, dan 30 kelurahan berada dalam hierarki 3 dari jumlah 49 kelurahan yang ada di Kota Ternate. Hasil analisis lengkap disajikan pada Tabel 27 dan Lampiran 2, dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Hierarki 1 dicirikan dengan indeks perkembangan (IP) >34,29 (IP rataan ditambah standar deviasi IP). Kelurahan/desa yang tergolong dalam hierarki 1 ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, terutama sarana pendidikan, kesehatan, sarana niaga dan perdagangan, serta jarak tempuh yang relatif lebih singkat terhadap pusat-pusat pelayanan. Pada hierarki 1 terdapat 6 kelurahan yang terdiri dari 3 kelurahan pesisir

(Kelurahan Gamalama, Muhajirin dan Dufa-Dufa), dan 3 kelurahan bukan pesisir (Kelurahan Takoma, Stadion, dan Maliaro).

2. Hierarki 2 dicirikan dengan indeks perkembangan kelurahan/desa sedang (IP 25,04-34,29) yang ditunjukkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang lebih sedikit dibanding herarki 1. Ada 12 kelurahan yang berada di herarki ini dengan 7 kelurahan pesisir dan 5 kelurahan bukan pesisir.

3. Hierarki 3 dicirikan dengan nilai IP <25,04 yang ditujukan oleh tingkat sarana dan prasarana yang relatif sangat kurang dibanding hierarki 1 dan hierarki 2. Ada 30 kelurahan yang berada pada hierarki 3, dimana terdapat 22 kelurahan pesisir dan 8 kelurahan bukan pesisir.

Tabel 27. Hierarki Wilayah Tahun 2005

Hierarki Wilayah Jenis Kelurahan Banyaknya Kelurahan/Desa Indeks

Perkembangan (IP) Jumlah Jenis Hierarki 1 Pesisir Bukan pesisir 3 3 > 34,29 123 Hierarki 2 Pesisir Bukan pesisir 7 5 25,04 - 34,29 213 Hierarki 3 Pesisir Bukan pesisir 22 8 < 25,04 428

Analisis hierarki wilayah dari tahun 2005 hingga tahun 2011 menunjukkan bahwa terjadi perkembangan dari aspek ketersediaan infrastruktur dan aksesibilitas. Kelurahan/desa pesisir yang tergolong dalam hierarki 1 (pusat pelayanan) meningkat dari 3 kelurahan (2005) menjadi 6 kelurahan (2011), sedangkan kategori kelurahan bukan pesisir terdapat 3 kelurahan berkurang menjadi 1 kelurahan. Kelurahan pesisir yang tergolong dalam hierarki 2 meningkat dari 7 kelurahan menjadi 8 kelurahan, dan kelurahan bukan pesisir juga ikut meningkat dari 5 kelurahan meningkat menjadi 7 kelurahan. Kelurahan pesisir yang tergolong hierarki 3 (hinterland) menurun dari 22 kelurahan menjadi 18 kelurahan, sedangkan kelurahan bukan pesisir tetap 8 kelurahan. Hierarki wilayah tahun 2005-2011 disajikan pada Tabel 28 dan Gambar 23.

Tabel 28. Hierarki Wilayah Tahun 2005 dan 2011 Hierarki Wilayah Tahun 2005 Tahun 2011 Banyaknya Kelurahan/Desa Bukan pesisir Banyaknya Kelurahan/Desa Pesisir Banyaknya Kelurahan/Desa Bukan pesisir Banyaknya Kelurahan/Desa Pesisir Hierarki 1 3 3 1 6 Hierarki 2 5 7 7 8 Hierarki 3 8 22 8 18

Unit wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas relatif paling lengkap serta aksesibilitas yang tinggi akan menjadi pusat pelayanan atau mempunyai hierarki lebih tinggi dibandingkan dengan unit wilayah lainnya. Sebaliknya, jika suatu wilayah mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas paling rendah serta aksesibilitas yang rendah merupakan wilayah

hinterland dari wilayah yang lainnya.

Cakupan Pelayanan Infrastruktur

Konsep pengembangan wilayah tidak terlepas dari ketersediaan infrastruktur dalam mewadahi aktivitas masyarakat kota yang semakin heterogen. Infrastruktur dapat bertindak sebagai sarana vital dalam menggerakkan perekonomian wilayah, penunjang aspek sosial budaya serta dapat mempertahankan daya dukung lingkungan. Pemerintah Daerah/Kota berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana (infrastruktur) untuk kepentingan umum dalam rangka meningkatkan kesejahteraan penduduk sebagai tujuan pembangunan wilayah berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004.

Infrastruktur yang harus disediakan oleh Pemerintah Daerah/Kota diantaranya adalah infrastruktur dasar (basic infrastructure) dan infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) yang mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Infrastruktur tersebut meliputi infrastruktur fisik (greey infrastructure), infrastruktur sosial ekonomi (social economic infrastructure) dan infrastruktur hijau (green infrastructure).

Dengan adanya pengembangan kawasan waterfront yang berorientasi sebagai pemenuhan ruang publik kota, menyebabkan ketersediaan infrastruktur di Kota Ternate secara langsung semakin meningkat. Hierarki wilayah yang telah dianalisis sebelumnya menunjukkan adanya perkembangan ketersediaan infrastruktur dan aksesibilitas di tiap-tiap kelurahan/desa yang berujung pada peningkatan jumlah kelurahan/desa yang masuk kategori sebagai pusat pelayanan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka dianalisis cakupan pelayanan infrastruktur kondisi eksisting guna mengidentifikasi ketersediaannya dengan membandingkan standar pelayanan (kebutuhan) yang harus disediakan.

Cakupan Pelayanan Infrastruktur Fisik Infrastruktur Jaringan Jalan Kondisi Eksisting Jaringan Jalan

Jaringan jalan eksisting disajikan pada Gambar 24, menunjukkan bahwa jalan terkonsentrasi pada Kecamatan Ternate Tengah, sebagian Kecamatan Ternate Utara dan sebagian Kecamatan Ternate Selatan. Hal ini berarti bahwa

pusat kota dengan permukiman terpadat berada di lokasi tersebut. Jalan kolektor primer ditunjukkan oleh warna hitam yang terlihat mengelilingi pulau membentuk jalan trans Ternate. Warna merah, biru dan hijau masing-masing menunjukkan jalan kolektor sekunder, jalan lokal primer dan jalan lokal sekunder. Jaringan jalan kota Ternate berfungsi sebagai pendukung akses pencapaian yang berpengaruh pada jarak dan waktu tempuh di dalam wilayah.

Gambar 24. Peta Jaringan Jalan Kota Ternate Tahun 2010

Ketersediaan sarana dan prasarana jaringan jalan mengacu dari kondisi fisik jalan yang berkaitan dengan pergerakan, perpindahan dalam wilayah dan antar wilayah, distribusi komoditi antar wilayah dan akses pencapaian antar permukiman dan dari permukiman ke sarana dan prasarana wilayah. Data jaringan jalan yang bersumber dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Ternate pada tahun 1997 hingga tahun 2010 secara makro terus mengalami peningkatan, meskipun pada tahun 2005 kondisi jalan kategori baik mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2001. Kondisi jalan dengan kategori baik meningkat dari panjang jalan 116,20 km (1997) menjadi 159,31 km (2010). Sementara untuk jalan dengan kategori rusak di tahun 2010 meningkat dari 6,05 km (1997) menjadi 123,75 km

(2010). Selain itu kondisi jalan dalam kategori rusak berat semakin berkurang dari panjang jalan 10,03 km (1997) menjadi 6,67 km (2010), meskipun pada tahun 2008 kondisi jalan yang rusak berat cukup tinggi yaitu berkisar 84,99 km. Penyebab utama dari kerusakan jalan ialah adanya genangan akibat buruknya saluran drainase yang terdapat di beberapa titik jalan kolektor primer, seperti jalan kolektor Mangga Dua, jalan Nukila, jalan Pahlawan Revolusi dan jalan raya Bastiong. Gambar 25 menyajikan perkembangan jaringan jalan di kota Ternate.

Gambar 25. Tren Perkembangan Jaringan Jalan Berdasarkan Kondisi Jalan

Komparasi Ketersediaan Jalan dengan Pedoman No.010/T/BNKT/1990

Hierarki jalan yang berada di wilayah Kota Ternate terdiri dari jaringan jalan kolektor primer (jalan nasional), dan jalan kota yang meliputi jalan kolektor sekunder, jalan lokal primer serta jalan lokal sekunder (jalan lingkungan). Jaringan jalan yang memiliki akses utama (kolektor primer) merupakan jaringan jalan yang mempunyai intensitas yang relatif tinggi, terutama arus lalu lintas pada kawasan kota. Jalan kolektor primer menghubungkan batas kota dengan luar kota yang membentuk jalan trans Ternate yang mengelilingi pulau, dengan panjang jalan 44,25 km. Kapasitas dan daya tampung kendaraan dengan berbagai jenis moda angkutan terhadap jalan ini menunjukkan intensitas relatif tinggi, terutama arus lalu lintas pada kawasan pusat kota. Kondisi dan tingkat pelayanan jalan ini berupa jalan aspal dengan lebar jalur 6-8 meter.

0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00 160,00 1997 1998 2001 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Baik 116,20 143,11 131,78 57,19 88,30 83,36 85,03 141,05 159,32 Sedang 17,46 11,90 62,56 145,98 112,68 101,78 108,14 75,79 0,00 Rusak 6,05 6,55 9,61 1,17 52,35 80,50 9,81 23,62 123,75 Rusak Berat 10,03 6,94 14,90 54,69 18,26 9,97 84,99 47,82 6,67

Jaringan jalan kolektor sekunder dan jalan lokal/lingkungan umumnya berfungsi untuk melayani pergerakan penduduk, baik antar lingkungan pemukiman maupun dengan pusat-pusat kegiatan penduduk. Umumnya kondisi jalan ini berupa jalan aspal, perkerasan dan sebagian kecil merupakan jalan tanah. Jalan kolektor sekunder menghubungkan pusat bagian wilayah kota dengan pusat

Dokumen terkait