• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyimpanan dan Pengamatan

Buah jambu biji yang telah tua secara fisiologis yang diperoleh dari petani di daerah Cimanggu, Bogor, Jawa Barat terlebih dahulu disortasi dan dibersihkan sebelum diberi perlakuan untuk kemudian disimpan. Setelah bersih, buah jambu biji ditimbang sebanyak 11 kg lalu ditempatkan ke dalam box plastik yang telah disterilkan oleh alkohol. Karbon aktif yang akan digunakan sebagai penyerap etilen ditimbang sebanyak 50 g lalu dikemas ke dalam kemasan sachet yang terbuat dari kain kasa berukuran 7x14 cm.

Perlakuan penyerap etilen yang diaplikasikan pada buah jambu biji yaitu pemberian karbon aktif sebanyak 450 g, 550 g, dan tanpa penyerap ke dalam masing-masing box penyimpanan buah jambu biji. Untuk kebutuhan karbon aktif sebanyak 450 g, dimasukkan kemasan sachet berisi 50 g karbon aktif/kemasan sebanyak 9 buah ke dalam box, sedangkan untuk kebutuhan karbon aktif sebanyak 550 g, dimasukkan kemasan sachet berisi 50 g karbon aktif/kemasan sebanyak 11 buah ke dalam box.

Penyimpanan buah jambu biji dilakukan pada suhu rendah (10˚C) dan suhu ruang (25-27˚C). Box yang telah terisi buah jambu biji dan bahan penyerap etilen ditutup rapat dan di sekeliling penutupnya diberi lilin malam agar kedap dan tidak terjadi aliran udara maupun pertukaran gas dari dalam box ke lingkungan dan sebaliknya. Hal tersebut bertujuan untuk memerangkap gas etilen yang dihasilkan oleh buah agar tetap berada di dalam box, sehingga karbon aktif sebagai penyerap etilen dapat secara efektif menyerap etilen yang ada di dalam box tersebut.

Setelah tertutup rapat, masing-masing sebanyak 3 box yaitu untuk perlakuan penyerap 450 g, 550 g, dan tanpa penyerap disimpan di suhu ruang dan di dalam

refrigerator bersuhu 10˚C (Gambar 11). Pengamatan dilakukan terhadap

karakteristik buah jambu biji baik secara fisik maupun kimia, yaitu meliputi pengamatan terhadap laju respirasi, susut bobot, kekerasan buah, total padatan terlarut, indeks skala warna kulit buah, konsentrasi gas etilen yang dihasilkan buah, serta uji organoleptik.

(a) (b)

19

Perubahan Karakteristik Buah Jambu Biji Selama Penyimpanan Laju Respirasi

Menurut Winarno dan Aman (1981), respirasi adalah suatu proses metabolisme dengan cara menggunakan oksigen dalam pembakaran senyawa makromolekul seperti karbohidrat, gula, protein, lemak dan asam organik, sehingga menghasilkan molekul sederhana seperti CO2, air serta energi, dan molekul lain yang dapat digunakan oleh sel untuk reaksi sintesa. Laju respirasi merupakan indeks untuk menentukan umur simpan buah-buahan setelah dipanen. Besarnya laju respirasi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal seperti jenis jaringan penyusun komoditas, tahap perkembangan, sifat alami lapisan kulit, kekompakan sel, dan kerusakan fisik buah, kemudian faktor eksternal seperti suhu, kelembaban udara, serta komposisi udara (Ahmad 2013).

Jambu biji termasuk ke dalam golongan buah klimakterik. Pada buah klimakterik, laju respirasinya akan terus naik sedemikian rupa yaitu secara mencolok dan sangat cepat seiring dengan semakin matangnya buah, yang selanjutnya menurun setelah lewat masak. Hasil pengukuran laju respirasi buah jambu biji yang dilihat dari laju konsumsi O2 dan laju produksi CO2 pada suhu ruang (25-27˚C) dan suhu 10˚C (Gambar 12 dan 13) cenderung fluktuatif. Laju respirasi keduanya meningkat pada awal hari penyimpanan, kemudian sempat naik turun pada pertengahan waktu penyimpanan, lalu menurun pada akhir penyimpanan.

Gambar 12 Laju konsumsi O2 buah jambu biji selama penyimpanan

Dilihat berdasarkan grafik laju produksi CO2 buah jambu biji selama penyimpanan, titik puncak klimakterik buah jambu biji yang disimpan pada suhu ruang diperkirakan dicapai pada hari ke-2 penyimpanan yaitu sebesar 78.36 ml/kg.jam, sedangkan untuk buah jambu biji yang disimpan pada suhu 10˚C diperkirakan mencapai titik puncak klimakterik pada hari ke-9 penyimpanan yaitu sebesar 39.92 ml/kg.jam. Terjadinya titik puncak klimakterik ditandai pula dengan

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0 110.0 120.0 130.0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 L a ju k o ns um si O 2 ( m l O 2 /k g .j a m ) Hari ke-

menurunnya kekerasan buah secara signifikan pada hari ke-2 penyimpanan suhu ruang dan hingga hari ke-10 penyimpanan suhu 10˚C. Setelah melewati puncak klimakterik, aktivitas respirasi jambu biji sempat menurun kemudian mengalami peningkatan kembali. Terjadinya peningkatan kembali laju respirasi tersebut dikarenakan terjadinya pencokelatan pada buah yaitu pada hari ke-4 penyimpanan suhu ruang yang menandakan terjadinya kerusakan pada jaringan buah. Kerusakan pada buah tersebut dapat mempercepat laju respirasi sehingga mempercepat proses pembusukan. Penyebab lainnya yaitu adanya pertumbuhan kapang yang terlihat pada hari ke-6 penyimpanan suhu ruang, sehingga yang terukur tidak hanya laju respirasi yang dilakukan oleh buah jambu biji namun juga kapang yang tumbuh pada jambu biji tersebut. Selain itu terjadinya gesekan antar permukaan buah juga dapat mengakibatkan melonjaknya respirasi (Pantastico 1986).

Gambar 13 Laju produksi CO2 buah jambu biji selama penyimpanan Menurut Pantastico (1986), adanya kenaikan mendadak produksi CO2 dan setelah itu menurun menunjukkan bahwa telah terjadi respirasi klimakterik. Laju respirasi jambu biji pada suhu ruang lebih tinggi dibandingkan dengan laju respirasi jambu biji pada suhu 10˚C. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 1 dan 2 menunjukkan bahwa faktor suhu penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap laju respirasi buah jambu biji. Hal tersebut dikarenakan suhu dingin atau suhu rendah dapat menekan laju respirasi buah. Beberapa penelitian terhadap buah-buahan tropis juga menunjukkan hasil yang sama, yaitu semakin tinggi tingkat kematangan dan suhu penyimpanan maka laju respirasi akan semakin meningkat. Wills et al. (1981) menerangkan bahwa penurunan produksi CO2 selama penyimpanan terjadi karena menurunnya konsentrasi

Adenosin Diphosphat (ADP) yang bertindak sebagai aseptor pospat dan rusaknya

mitokondria sehingga konsentrasi Adenosin Triphosphat (ATP) sebagai suplai energi dalam reaksi metabolik juga menurun.

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0 110.0 120.0 130.0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 L a ju pro du k si CO 2 ( m l CO 2 /k g .j a m ) Hari ke-

21

Konsentrasi Gas Etilen

Selama ini belum ada yang berhasil menghilangkan seluruh etilen yang ada dalam jaringan untuk menunjukkan bahwa proses pematangan akan tertunda bila etilen tidak ada. Zat tersebut dihasilkan terus menerus sebagai produk metabolisme dan terlarut dalam sitoplasma atau diadsorbsi oleh organel-organel. Pantastico (1986) menyatakan bahwa meskipun benar etilen mempergiat respirasi, pembentukannya didorong pula oleh respirasi yang giat, sehingga timbul gagasan bahwa kegiatan etilen itu bersifat autokatalitik.

Sebelum mencapai puncak kemasakan pada buah mangga, etilen yang disintesis buah memacu enzim-enzim oksidatif dan hidrolitik dan menginaktifkan penghambat-penghambat enzim ini. Setelah dan selama proses tersebut berlangsung, terjadi perubahan-perubahan komponen sel dari yang semula tidak larut menjadi dapat larut, yang mengakibatkan perubahan-perubahan permeabilitas sel. Dengan demikian memungkinkan interaksi yang lebih besar antara substrat buah dengan enzim-enzim yang terdapat di dalamnya. Proses-proses ini semua membangkitkan dengan kuat sebagian sistem metabolik yang akhirnya mematangkan buah (Pantastico 1986).

Gambar 14 Konsentrasi etilen buah jambu biji dalam box selama penyimpanan pada suhu 10˚C

Pada Gambar 14 terlihat perubahan konsentrasi etilen yang dihasilkan buah jambu biji menunjukkan hasil yang fluktuatif. Pengukuran konsentrasi gas etilen dilakukan setelah buah jambu biji melewati fase klimakterik. Sedangkan untuk buah jambu biji yang disimpan pada suhu ruang, tidak dilakukan pengukuran produksi etilen. Hal tersebut dikarenakan gas kromatografi yang digunakan untuk melakukan pengukuran konsentrasi etilen baru dapat digunakan pada hari ke-12 penyimpanan akibat adanya kendala teknis. Bila dihubungkan dengan laju respirasi, konsentrasi etilen jambu biji pada ketiga perlakuan mengalami penurunan pada hari ke-20 penyimpanan, hal tersebut dikarenakan terjadinya penyerapan etilen oleh karbon aktif sehingga konsentrasi etilen di dalam box yang terukur menjadi berkurang dari hari penyimpanan sebelumnya. Selain itu kedudukan CO2 sebagai kompetitor terhadap keberadaan etilen membuat

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 12 14 18 20 22 26 28 K o ns ent ra si et ilen (pp m ) Hari ke- C 450 g C 550 g Tanpa penyerap

pembentukan etilen menjadi terhambat apabila terdapat peningkatan produksi CO2

dan kandungan O2 yang rendah, sehingga proses pematangan buah menjadi terhambat. De Abreu et al. (2012) menyatakan konsentrasi etilen sebesar 1.7 ppm yang dihasilkan oleh buah jambu biji sudah dapat memulai proses pematangan buah. Pada beberapa buah yang termasuk ke dalam kelompok produksi etilen yang sama dengan jambu biji yaitu kelompok sedang, seperti buah pisang konsentrasi etilen terendah yang dapat memulai proses pematangan buah yaitu sekitar 1.0-1.5 ppm. Kemudian buah mangga cukup dengan konsentrasi etilen sebesar 0.04-0.08 ppm sudah dapat memulai proses pematangan (Winarno 2002). Konsentrasi etilen yang terukur sejak hari ke-12 penyimpanan sudah di atas 60 ppm, dengan begitu buah jambu biji dinyatakan telah matang.

Pembentukan etilen memang didorong oleh respirasi yang giat, namun jumlah konsentrasi etilen tidak langsung meningkat ketika produksi CO2

meningkat. Meningkatnya jumlah konsentrasi etilen yang dihasilkan jambu biji justru terjadi setelah adanya peningkatan produksi CO2 seperti yang terjadi pada hari ke-14 penyimpanan. Hal tersebut dikarenakan dibutuhkannya waktu untuk melakukan reaksi enzimatis dalam mensintesa etilen setelah didorong oleh peningkatan produksi CO2. Peningkatan kembali konsentrasi etilen yang terjadi pada hari ke-22 penyimpanan disebabkan oleh mulai terjadinya kerusakan pada buah yaitu mulai timbulnya jamur dan memar-memar pada buah. Kerusakan tersebut dapat memicu enzim-enzim untuk mensintesa etilen. Oleh karena itu konsentrasi etilen dapat meningkat ketika buah mulai rusak. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Winarno (2002) yang menyebutkan bahwa selama proses pematangan, organisasi sel akan rusak. Kerusakan tersebut merupakan pelopor dari kegiatan hidrolisa oleh campuran enzim-enzim dan substrat. Enzim-enzim tersebut akan mensintesa bahan-bahan seperti etilen, pigmen, flavor, energi dan mungkin polipeptida.

Pada dasarnya etilen diproduksi pada fase praklimakterik sebagai zat yang berfungsi untuk memicu proses pematangan buah. Setelah klimakterik produksi etilen akan terus menurun jumlahnya. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 3 menunjukkan bahwa faktor konsentrasi karbon aktif, suhu penyimpanan dan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan konsentrasi gas etilen yang dihasilkan buah jambu biji selama penyimpanan. Pada Gambar 14 terlihat konsentrasi etilen yang dihasilkan jambu biji dengan ketiga perlakuan tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan, namun perlakuan tanpa penyerap menunjukkan tren yang cenderung stagnan.

Hal tersebut diduga karena aktivitas enzimatis yang terjadi sudah sangat sedikit. Sedangkan untuk jambu biji dengan perlakuan karbon aktif 450 g dan karbon aktif 550 g menunjukkan tren yang masih meningkat hingga akhir penyimpanan. Hal ini disebabkan proses metabolisme buah yang terjadi secara lambat oleh adanya penyerapan etilen yang dilakukan karbon aktif membuat reaksi enzimatis yang mensintesa etilen tertunda. Oleh karena itu, ketika konsentrasi etilen yang terukur pada jambu biji tanpa penyerap sudah menurun, barulah terjadi peningkatan konsentrasi etilen pada jambu biji dengan perlakuan karbon aktif akibat proses pembentukan etilen yang terhambat dengan adanya karbon aktif yang menyerap etilen.

23

Susut Bobot

Susut bobot buah adalah kehilangan air dari dalam buah yang diakibatkan oleh proses respirasi dan transpirasi pada buah tersebut. Meningkatnya laju respirasi akan menyebabkan perombakan senyawa seperti karbohidrat dalam buah dan menghasilkan CO2, energi, dan air yang menguap melalui permukaan kulit buah yang menyebabkan kehilangan bobot pada buah (Siagian 2009). Buah yang bersifat klimakterik, respirasi akan terus meningkat seiring dengan semakin matangnya buah tersebut sehingga mengakibatkan susut bobot buah juga semakin meningkat terutama ketika buah tersebut telah mencapai puncak klimakteriknya. Susut buah terjadi segera setelah produk dipanen dan laju susut bobot tergantung pada luas permukaan produk dan faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, dan aliran udara.

Hasil pengukuran bobot jambu biji terus mengalami penurunan dari awal penyimpanan hingga hari terakhir penyimpanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa susut bobot buah terus meningkat selama penyimpanan. Dilihat dari grafik pengukuran susut bobot jambu biji selama penyimpanan pada suhu ruang (Gambar 15), susut bobot jambu biji dengan perlakuan karbon aktif 450 g terus mengalami peningkatan dari 2.35% pada hari ke-2 hingga 6.56% pada hari ke-10 penyimpanan. Begitu pula dengan perlakuan karbon aktif 550 g, susut bobot jambu biji meningkat dari 2.08% pada hari ke-2 hingga 5.96% pada hari ke-10 penyimpanan. Untuk perlakuan jambu biji tanpa penyerap juga mengalami hal yang sama yaitu peningkatan susut bobot dari 0.55% pada hari ke-2 hingga 3.81% pada hari ke-8 penyimpanan.

Gambar 15 Susut bobot buah jambu biji selama penyimpanan pada suhu ruang Pengamatan buah jambu biji pada penyimpanan di suhu ruang terhadap parameter susut bobot, kekerasan buah, total padatan terlarut, serta indeks skala warna kulit buah berhenti pada hari ke-10 untuk perlakuan karbon aktif 450 g dan 550 g, sedangkan untuk perlakuan tanpa penyerap berhenti pada hari ke-8 penyimpanan. Hal tersebut disebabkan oleh penampakan fisik jambu biji yang sudah tidak layak untuk dikonsumsi, yaitu terdapatnya jamur pada permukaan

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 0 2 4 6 8 10 Su sut bo bo t (%) Hari ke- C 450 g C 550 g Tanpa penyerap

kulit buah, timbulnya bercak kecokelatan, memar, buah melunak, dan aroma yang menyengat.

Peningkatan susut bobot tercepat dan tertinggi pada penyimpanan di suhu ruang dicapai oleh jambu biji dengan perlakuan karbon aktif 450 g, kemudian susut bobot tertinggi kedua dicapai oleh jambu biji dengan perlakuan karbon aktif 550 g, lalu terlambat dan terendah dicapai oleh jambu biji dengan perlakuan tanpa penyerap. Hal ini disebabkan oleh bobot sampel yang digunakan pada perlakuan tanpa penyerap lebih kecil daripada bobot sampel pada perlakuan karbon aktif 450 g dan 550 g. Semakin besarnya buah dan semakin besarnya luas permukaan buah menyebabkan jumlah CO2 serta air yang dikeluarkan melalui proses respirasi dan transpirasi akan semakin besar akibat aktivitas respirasi yang semakin cepat, sehingga laju pengurangan bobot buah akibat kehilangan air menjadi cepat pula. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pantastico (1986) yang menyatakan bahwa semakin besarnya buah, jumlah CO2 yang dikeluarkan bertambah juga melalui aktivitas respirasi. Winarno dan Aman (1981) menyatakan bahwa laju respirasi akan terjadi lebih cepat jika suhu penyimpanan tinggi, umur panen muda, ukuran buah lebih besar, adanya luka pada buah, dan kandungan gula awal yang tinggi pada produk.

Gambar 16 Susut bobot buah jambu biji selama penyimpanan pada suhu 10˚C Peningkatan susut bobot jambu biji tercepat dan tertinggi pada penyimpanan di suhu 10˚C berdasarkan grafik pengukuran susut bobot jambu biji selama penyimpanan (Gambar 16) terjadi pada perlakuan karbon aktif 450 g yaitu dari 0.06% menjadi 6.04%, lalu perlakuan tanpa penyerap dari 0.52% menjadi 5.09%, kemudian terlambat dan terendah yaitu perlakuan karbon aktif 550 g dari 1.37% menjadi 4.65%. Perlakuan karbon aktif 450 g tidak dapat menekan laju susut bobot jambu biji. Hal tersebut dikarenakan jumlah konsentrasi karbon aktif yang sedikit, sehingga karbon aktif tidak mampu menyerap etilen secara efektif dalam jumlah yang besar maka peningkatan susut bobotnya pun menjadi besar. Selain itu, bobot sampel yang besar juga mempengaruhi susut bobot menjadi besar. Dengan penggunaan konsentrasi karbon aktif yang lebih banyak yaitu 550 g, maka

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 Su sut bo bo t (%) Hari ke- C 450 g C 550 g Tanpa penyerap

25 peningkatan susut bobot yang terjadi akan lebih rendah oleh karena etilen yang dihasilkan oleh buah dapat diserap lebih banyak oleh penyerap etilen.

Dengan adanya penyerapan etilen mengakibatkan etilen yang aktif untuk merangsang aktivitas ATP-ase yaitu enzim yang diperlukan dalam pembentukan energi dari ATP yang ada di dalam buah menjadi berkurang, akibatnya proses respirasi yang menghasilkan karbondioksida dan air dapat diperlambat karena kurang tersedianya energi untuk menghasilkan karbondioksida dan uap air. Hal ini sesuai dengan pendapat Wills (1981), yang menyatakan bahwa selama penyimpanan, produk mengalami proses respirasi dan transpirasi, sehingga senyawa-senyawa kompleks yang terdapat di dalam sel seperti karbohidrat dipecah menjadi molekul-molekul sederhana seperti CO2 dan H2O yang mudah menguap. Penguapan komponen-komponen tersebut menyebabkan buah mengalami pengurangan bobot.

Selain karena transpirasi, susut bobot juga disebabkan oleh selulosa dan hemiselulosa dalam kulit yang pada pemasakan diubah menjadi zat pati, sehingga dengan semakin masaknya buah, berat daging buah bertambah disertai sedikit demi sedikit pengurangan berat kulitnya. Kehilangan air selama penyimpanan tidak hanya menurunkan bobot, tetapi dapat menurunkan mutu dan menimbulkan kerusakan (Hartuti 2006). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa faktor konsentrasi karbon aktif memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan susut bobot buah jambu biji selama penyimpanan. Sedangkan faktor suhu penyimpanan dan interaksi konsentrasi karbon aktif dengan suhu penyimpanan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan susut bobot selama penyimpanan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi karbon aktif 450 g berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi karbon aktif 550 g dan tanpa penyerap.

Kekerasan Buah

Terdapat beberapa perubahan yang terjadi selama proses pematangan buah-buahan, salah satunya adalah perubahan kekerasan buah. Proses respirasi yang menghasilkan uap air dan proses transpirasi yang menyebabkan kehilangan uap air dari permukaan buah jambu biji akan menyebabkan buah menjadi lunak. Perubahan kimia lain yang menyebabkan penurunan kekerasan pada buah menurut Ahmad (2013) adalah pemecahan asam organik dan polimerisasi tanin, penurunan jumlah pektin serta hidrolisis pati yang mengakibatkan buah menjadi lunak. Selain itu pelunakan pada daging buah juga disebabkan oleh mikroba (kapang, bakteri dan ragi) yang menghidrolisa makromolekul menjadi fraksi yang lebih kecil (Muchtadi 1992).

Perubahan kekerasan buah jambu biji selama penyimpanan pada suhu ruang dan suhu 10˚C terlihat pada Gambar 17 dan 18. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa kekerasan buah jambu biji umumnya mengalami penurunan seiring lamanya penyimpanan. Perubahan kekerasan jambu biji ini berkaitan dengan kandungan hemiselulosa, pektin, selulosa dan protopektin yang terjadi akibat proses penyimpanan atau penundaan penanganan. Buah yang masih mentah banyak mengandung pektin yang tidak dapat larut dalam air (protopektin), kemudian pada saat pematangan, protopektin ini akan diubah menjadi pektin yang larut dalam air. Hal ini mengakibatkan menurunnya daya kohesi dinding sel yang mengikat dinding sel yang satu dengan dinding sel yang lain. Selama proses

perkembangan dan pematangan, tekanan turgor sel selalu berubah dan perubahan ini disebabkan karena perubahan komposisi dinding sel dan akan berpengaruh terhadap kekerasan atau tekstur buah sehingga buah menjadi lunak. Menurut Kader (1992), pemecahan pektin dan polisakarida lainnya menyebabkan buah menjadi lunak dan sebagai akibatnya peka terhadap luka mekanik.

Gambar 17 Nilai gaya tekan rheometer sebagai parameter kekerasan buah jambu biji selama penyimpanan pada suhu ruang

Gambar 18 Nilai gaya tekan rheometer sebagai parameter kekerasan buah jambu biji selama penyimpanan pada suhu 10˚C

Kekerasan buah tertinggi selama penyimpanan baik pada penyimpanan di suhu ruang maupun suhu 10˚C yang ditunjukkan dengan nilai gaya tekan yang tinggi terhadap buah jambu biji dicapai oleh perlakuan karbon aktif 550 g, lalu perlakuan karbon aktif 450 g, dan kekerasan terendah yang ditunjukkan dengan gaya tekan yang rendah terhadap buah terdapat pada jambu biji dengan perlakuan

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 0 2 4 6 8 10 G a y a t ek a n ( k g f) Hari ke- C 450 g C 550 g Tanpa penyerap 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 G a y a t ek a n (k g f) Hari ke- C 450 g C 550 g Tanpa penyerap

27 tanpa penyerap. Semakin besar gaya tekan yang dibutuhkan probe pada rheometer untuk menembus permukaan kulit buah menunjukkan semakin keras buah tersebut. Sebaliknya, semakin kecil gaya tekan yang dibutuhkan probe untuk menembus permukaan kulit buah, menunjukkan semakin lunak buah tersebut.

Dilihat dari laju penurunan tingkat kekerasan buah jambu biji dengan ketiga perlakuan baik yang disimpan pada suhu ruang maupun suhu 10˚C tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, namun jika dilihat dari tren penurunan tertinggi dicapai oleh jambu biji dengan perlakuan tanpa penyerap, lalu perlakuan karbon aktif 450 g, dan terendah dicapai oleh jambu biji dengan perlakuan karbon aktif 550 g. Jumlah konsentrasi karbon aktif yang lebih banyak yaitu sebesar 550 g mampu menyerap etilen yang dihasilkan oleh buah lebih efektif, sehingga proses degradasi protopektin menjadi pektin dapat ditunda atau diperlambat seiring dengan laju pematangan buah yang lebih lambat pula akibat etilen yang terserap dengan baik oleh penyerap. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa faktor konsentrasi karbon aktif, suhu penyimpanan, dan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan kekerasan buah jambu biji selama penyimpanan.

Total Padatan Terlarut

Selama proses pematangan akan terjadi peningkatan jumlah gula-gula sederhana seperti sukrosa, fruktosa, dan glukosa yang memberi rasa manis. Goukh

et al. (2010) menyatakan bahwa peningkatan ˚Brix pada total padatan terlarut

seiring dengan meningkatnya kandungan gula pada buah tersebut sejalan dengan proses pematangan. Salah satu parameter proses pematangan buah berlangsung, ditandai dengan meningkatnya hidrolisis pati menjadi gula-gula sederhana.

Pada Gambar 19 dan 20 terlihat bahwa perubahan total padatan terlarut buah jambu biji pada penyimpanan di suhu ruang dan suhu 10˚C cenderung fluktuatif, terutama pada penyimpanan di suhu 10˚C. Pada penyimpanan suhu 10˚C tidak terjadi peningkatan total padatan terlarut yang signifikan akibat dari perlakuan suhu rendah yang mampu menekan terjadinya perombakan senyawa-senyawa organik di dalam buah. Sedangkan untuk total padatan terlarut pada penyimpanan jambu biji di suhu ruang, pada perlakuan karbon aktif 450 g dan 550 g nilainya meningkat hingga hari ke-4 dengan nilai total padatan terlarut tertinggi sebesar

Dokumen terkait