• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Kitosan Mikrokristalin

Kitosan mikrokristalin yang dihasilkan pada penelitian ini diperoleh melalui proses sizing larutan kitosan polimer panjang menggunakan magnetic stirrer

menjadi polimer kecil dan melalui perlakuan presipitasi speris dengan NaOH 3N (Lampiran 1). Kitosan mikrokristalin yang diperoleh setelah vacuum drying

berbentuk serbuk dengan warna putih kekuningan. Rendemen yang dihasilkan sebesar 51,41%. Rendemen yang diperoleh sedikit lebih besar dari penelitian Zahid (2012), yang memperoleh nilai sebesar 50%.

Analisis proksimat dilakukan untuk menentukan kualitas kitosan mikrokristalin. Analisis proksimat yang dilakukan terdiri dari analisis kadar air, kadar abu, dan kadar nitrogen. Hasil analisis proksimat kitosan mikrokristalin disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil analisis proksimat kitosan mikrokristalin

Spesifikasi Hasil uji Standar mutu kitosan*

Kadar air 8,56% ≤ 10%

Kadar abu 2,05% ≤ 2%

Kadar nitrogen 5,99% ≤ 5%

Sumber: * Suptijah (2004)

Tabel di atas menunjukkan bahwa kadar air kitosan mikrokristalin yang dihasilkan sebesar 8,56%. Hal ini menunjukkan bahwa kitosan yang dihasilkan telah memenuhi standar mutu yaitu memiliki kadar air ≤ 10%. Kadar air yang terkandung di dalam kitosan dipengaruhi oleh proses pengeringan. Pengeringan menggunakan vacuum drying mampu mengeringkan partikel kitosan bahkan pada suhu rendah. Proses pengeringan dapat dioptimalkan dengan pengendalian panas dan tekanan. Kadar kitosan mikrokristalin yang dihasilkan sedikit lebih besar dibandingkan standar mutu kitosan komersial, demikian juga dengan kadar nitrogen. Menurut Modaso et al. (2013), tingginya kadar nitrogen disebabkan oleh adanya gugus amino (NH2) pada polimer yang mensubstitusi gugus asetil. Unsur nitrogen pada monomer kitosan merupakan gugus aktif.

Kitosan mikrokristalin sebagai mikropolimer kitosan dengan pH netral berbentuk mikrokristalin dari hasil pengeringan. Kitosan mikrokristalin merupakan turunan dari kitosan yang memiliki aplikasi luas di bidang medis, tidak bersifat toksik, dan memiliki sifat adesif yang tinggi. Pengecilan ukuran partikel kitosan menyebabkan dispersi molekul kitosan lebih baik yang dapat mengefisienkan interaksi elektrostatik antara muatan positif kitosan dengan muatan negatif. Menurut Wiśniewska-Wrona et al. (2002), berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Institute of Chemical Fibres kitosan mikrokristalin diperoleh dari agregasi makromolekul dalam larutan garam.

11

Fourier Transform Infrared (FTIR) Kitosan Mikrokristalin

Kitosan mikrokristalin yang diperoleh dianalisis gugus fungsionalnya menggunakan spektrum inframerah. Hasil yang diperoleh menunjukkan terdeteksinya gugus fungsi OH stretch pada bilangan gelombang 3456 cm-1 dan gugus fungsi spesifik NH stretch pada bilangan gelombang 1659 cm-1. Gugus fungsi CH stretch dan amida terdeteksi pada bilangan 2878-2916 cm-1 dan 1589 cm-1. Hal ini menunjukkan munculnya gugus fungsi CH akibat terjadinya depolimerisasi rantai panjang menjadi polimer yang lebih pendek, yaitu polimer mikrokristalin. Hasil spektrum FTIR kitosan mikrokristalin disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Spektrum inframerah kitosan mikrokristalin

Bilangan gelombang serapan gugus spesifik kitosan murni, misal OH dan NH mengalami pergeseran pada kitosan mikrokristalin yang dihasilkan. Pelebaran spektrum pada gugus OH terjadi akibat terdapatnya interaksi yang kuat antara polimer dengan pelarut (Kumirska et al. 2010) dan terdapat gugus OH dengan konsentrasi tinggi pada sampel kitosan yang ditandai dengan tingginya kadar air kitosan mikrokristalin hasil penelitian. Menurut Kumirska et al. (2010), interaksi yang kuat antara rantai kitosan dengan pelarutnya ditandai dengan pelebaran spektrum OH, NH, dan NHCO. Karakteristik gugus fungsi kitosan mikrokristalin yang dihasilkan beserta daerah serapannya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik gugus fungsi kitosan mikrokristalin

Gugus Fungsional Bilangan gelombang (cm-1) Bilangan gelombang hasil penelitian (cm-1)

OH 3600-3300* 3456

CH 2900-2800* 2878

NH 1550-1650** 1659

Amida 1530-1550** 1589

Keterangan: * Nur (1989), ** Winarno et al. (1973).

Kitosan mikrokristalin hasil penelitian menunjukkan terdapat serapan gugus 3456.18 O-H 1589.23 C-C 2877.58 C-H 1658.66 N-H

12

OH pada bilangan gelombang 3456 cm-1, dan kitosan murni hasil penelitian Miya et al. (1984) pada bilangan gelombang 3455 cm-1. Kitosan murni pada bilangan gelombang 2869 cm-1 memiliki serapan yang kuat yang menunjukkan adanya gugus alkana, sedangkan pada kitosan mikrokristalin terdapat pada bilangan gelombang 2878 cm-1. Perbedaan serapan bilangan gelombang kitosan murni dengan kitosan mikrokristalin diduga dipengaruhi oleh kadar air kitosan yang bebeda saat pengujian.

Menurut Darmanto et al. (2011), adanya serapan pada bilangan gelombang 3700-3000 cm-1 menandakan adanya gugus OH dan NH. Adanya gugus OH didukung oleh munculnya serapan pada 1381,08 cm-1 dan 1323,21 cm-1, pada kitosan mikrokristalin hasil penelitian serapan muncul pada bilangan 1381 cm-1 dan 1327 cm-1 yang menandakan vibrasi bending OH. Serapan amida (CN) hasil penelitian Darmanto et al. (2011) terdapat pada bilangan gelombang 1624,12 cm-1 dan vibrasi stretching CH pada 2924,18 cm-1, sedangkan pada kitosan mikrokristalin serapan amida pada 1659 cm-1 dan vibrasi stretching CH pada 2916 cm-1. Gugus CH diperkuat keberadaannya dengan vibrasi bending CH pada area serapan 1500-1300 cm-1.

Spektrum FTIR selain digunakan untuk penentuan gugus fungsi juga dapat digunakan untuk penghitungan derajat deasetilasi (DD) kitosan mikrokristalin dengan metode base line. DD kitosan mikrokristalin yang dihasilkan adalah 80,24%, sedangkan DD kitosan mikrokristalin yang dihasilkan oleh Zahid (2012) adalah sebesar 88,66%. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh metode pemurnian yang berbeda dimana proses evaporasi yang dilakukan pada penelitian Zahid (2012) menggunakan spray dryer, sedangkan pada penelitian ini menggunakan

vacuum dryer, selain itu cara penyiapan sampel juga mempengaruhi analisis DD. Menurut Khan (2002), peningkatan suhu dan konsentrasi NaOH selama proses pembuatan dan pemurnian akan memperbanyak jumlah gugus asetil yang dapat dibuang. Hal ini akan mempengaruhi DD dan sifat kitosan.

Persentase nilai DD yang lebih rendah menurut Sofia et al. (2010), dapat disebabkan oleh adanya pengotor. Menurut Jang et al. (2002), intensitas pengotor yang menandai kemurnian kitosan terdapat pada bilangan belombang 2100 cm-1. Penurunan intensitas puncak pada bilangan gelombang tersebut menandakan tingkat kemurnian kitosan yang semakin baik. Intensitas puncak pada bilangan gelombang 2100 cm-1 kitosan mikrokristalin hasil penelitian lebih besar dibanding kitosan mikrokristalin hasil penelitian Zahid (2012), hal ini menandakan kemurnian kitosan mikrokristalin hasil penelitian lebih rendah sehingga DD kitosan mikrokristalin hasil penelitian lebih rendah dari DD hasil penelitian Zahid (2012). Kitosan mikrokristalin yang dihasilkan pada penelitian ini masih tergolong baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Islam et al. (2011) yang menyatakan bahwa sulit mendapatkan kitosan dengan derajat deasetilasi 100%. Hal ini menyebabkan kitosan komersial umumnya memiliki variasi derajat deasetilasi antara 75-85%.

Morfologi dan Ukuran Kitosan Mikrokristalin

Morfologi dan ukuran partikel kitosan mikrokristalin dapat diamati menggunakan light microscope dan Scanning Electron Microscopy (SEM).

13

Pengamatan dilakukan pada perbesaran 40 kali dan 400 kali pada light microscope dan 50 kali dan 1000 kali pada SEM. Hasil pengamatan kitosan mikrokristalin disajikan pada Gambar 4.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 5 Hasil light microscopy (a) kitosan mikrokristalin perbesaran 40 kali (b) 400 kali (c) Scanning Electron Microscopy kitosan mikrokristalin perbesaran 50 kali (d) 1000 kali

Kitosan mikrokristalin yang dihasilkan memiliki bentuk speris yang tidak sempurna. Hal ini terlihat dari bentuk bulatan mikropartikel yang tidak halus. Permukaan kitosan mikrokristalin tidak rata dan terdapat lekukan. Hal ini diduga karena proses pengeringan partikel kitosan mikrokristalin menggunakan vacuum drying. Menurut Barakat dan Almurshedi (2011), hal ini juga dapat disebabkan oleh viskositas kitosan yang tinggi pada awal proses pembuatan. Konsentrasi kitosan yang tinggi tidak menghasilkan bulatan mikropartikel yang halus karena sulit membentuk droplet dan menghasilkan ukuran yang lebih besar. Pembuatan mikropartikel pada pH cross-linking yang tinggi menghasilkan partikel yang berpori, rapuh, dan keriput.

Bentuk partikel kitosan mikrokristalin serbuk hampir sama dengan kitosan serbuk hasil penelitian Picker-Freyer dan Brink (2006). Partikel kitosan yang diamati adalah kitosan food grade dengan derajat deasetilasi 85%. Mikrostruktur partikel terlihat pada perbesaran yang lebih tinggi yang tersebar pada permukaan serbuk kitosan.

Ukuran partikel kitosan mikrokristalin bervariasi dengan ukuran terkecil mencapai 0,06 µm. Ukuran partikel kitosan mikrokristalin hasil penelitian Zahid (2012) berkisar antara 0,6-6 µm. Ukuran kitosan mikropartikel hasil penelitian Barakat dan Almurshedi (2011) bervariasi antara 675-887 µm. Dini et al. (2003) dalam penelitiannya memperoleh kitosan mikrosfer dengan ukuran bervariasi antara 10-100 µm, tergantung dari kondisi persiapan mikropartikel. Menurut

14

Rathod et al. (2012), proses stirring akan menurunkan ukuran partikel secara signifikan, namun dengan ukuran yang bervariasi.

Ukuran partikel kitosan mikrokristalin sangat bervariasi. Hal ini diduga karena proses sizing yang belum sempurna, sehingga tidak semua partikel kitosan terpotong kecil dan seragam. Hal ini didukung oleh pernyataan Ruo (2012), yang menyatakan bahwa penggunaan proses stirring dan presipitasi akan menghasilkan morfologi partikel yang tidak seragam. Variasi ukuran partikel diduga disebabkan oleh proses evaporasi menggunakan vacuum dryer yang dapat menyebabkan semua partikel kitosan dengan berbagai ukuran dapat dikeringkan. Berbeda dengan vacuum dryer, pengeringan menggunakan spray dryer mampu mengeringkan partikel kitosan dengan ukuran yang hampir seragam.

Aktivitas Antibakteri Kitosan Mikrokristalin

Pengujian aktivitas antibakteri kitosan mikrokristalin dilakukan pada empat konsentrasi yang berbeda, yaitu 100 ppm, 250 ppm, 500 ppm, dan 750 ppm. Pemilihan konsentrasi ini berdasarkan pada Minimum Inhibitory Concentration

(MIC) kitosan yaitu sebesar 288 ppm untuk Staphylococcus aureus dan 1300 ppm untuk Escherichia coli (Islam et al. 2011), selain itu penggunaan konsentrasi kitosan mikrokristalin serendah mungkin untuk menekan biaya produksi namun efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Penggunaan kitosan dengan konsentrasi tinggi namun dengan kemurnian yang rendah diduga toksik dan dapat menimbulakan reaksi iritasi.

Aktivitas antibakteri diuji pada bakteri E. coli dan S. aureus. Bakteri yang digunakan merupakan bakteri yang mewakili Gram negatif dan Gram positif.

E. coli merupakan salah satu bakteri penyebab infeksi, termasuk cholecystis, bacteremia, cholangitis, infeksi saluran urin, dan agen penyebab transfer diare, serta berbagai infeksi klinis lainnya misal neonatal meningitis dan pneumonia (Islam et al. 2011). S. aureus merupakan bakteri Gram positif penyebab infeksi kulit antara lain jerawat, impetigo, cellulitis folliculatis, dan scalded skin syndrome. Bakteri ini menurut Cogen et al. (2008) adalah mikro flora normal pada kulit manusia. Menurut Novick (2003), bakteri ini mempengaruhi tahapan terjadinya infeksi.

Diagram batang pada Gambar 5 menunjukkan bahwa kitosan mikrokristalin mampu menghambat pertumbuhan E. coli pada semua konsentrasi uji yang ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekeliling cakram (Lampiran 2). Hasil pengujian menunjukkan bahwa konsentrasi kitosan mikrokristalin terbaik adalah sebesar 750 ppm. Hal ini terlihat dari diameter zona bening yang paling besar, yaitu 7,80 mm. Menurut Chung et al. (2004), kitosan terserap lebih banyak pada dinding sel bakteri Gram negatif.

Aktivitas antibakteri kitosan mikrokristalin terhadap bakteri S. aureus tidak terlihat pada konsentrasi 100 ppm, namun mulai terlihat pada konsentrasi 250 ppm dan terus mengalami peningkatan dengan naiknya konsentrasi yang digunakan. Konsentrasi mikrokristalin terbaik yang diperoleh pada penelitian adalah 750 ppm yang ditandai dengan diameter zona bening terbesar, yaitu sebesar 10,34 mm. Hal ini menyebabkan konsentrasi terbaik kitosan mikrokristalin yang dipilih adalah 750 ppm. Islam et al. (2011) dalam

15

penelitiannya menunjukkan bahwa Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dari kitosan terhadap bakteri S. aureus adalah 288 ppm. Salmabi dan Seema (2013) menyatakan bahwa aktivitas antibakteri kitosan pada bakteri patogen Gram positif akan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi kitosan. Gambar 5 berikut menunjukkan aktivitas antibakteri kitosan mikrokristalin terhadap bakteri

E. coli dan S. aureus.

Gambar 6 Aktivitas antibakteri kitosan mikrokristalin terhadap bakteri ( ) Staphylococcus aureus dan ( ) Escherichia coli.

Perbandingan aktivitas antibakteri kitosan mikrokristalin terhadap kedua bakteri uji menunjukkan bahwa kitosan mikrokristalin lebih efektif menghambat bakteri S. aureus dibanding E. coli. Hal ini terlihat dari diameter zona bening yang terukur lebih besar pada bakteri S. aureus pada konsentrasi yang sama. Hal ini sesuai dengan penelitian Islam et al. (2011), yakni pada konsentrasi kitosan yang sama, diameter zona bening yang dihasilkan pada bakteri uji S. aureus lebih besar dari bakteri E. coli.

Perbedaan daya hambat kitosan dipengaruhi oleh strain bakteri, hal ini didukung oleh pernyataan Chung et al. (2004), yang menyatakan bahwa aktivitas antibakteri berbeda antara bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif yang diakibatkan oleh perbedaan karakteristik permukaan sel bakteri. Staphylococcus aureus merupakan jenis bakteri Gram positif. Struktur dinding sel bakteri Gram positif lebih sederhana dibanding dinding sel bakteri Gram negatif. Bakteri Gram positif tidak memiliki membran luar sehingga memudahkan senyawa antibakteri menemukan sasaran untuk bekerja (Coyle 2005). Menurut Xia et al. (2010), secara umum kitosan menunjukkan aktivitas bakteriosidal lebih tinggi pada bakteri Gram positif pada konsentrasi 0,1%. Pernyataan ini juga didukung oleh No et al. (2002), yaitu dalam penelitiannya kitosan secara umum menunjukkan aktivitas bakteriosidal yang lebih juga tinggi pada bakteri Gram positif.

Aktivitas antibakteri dari kitosan secara umum dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal sendiri berkaitan dengan faktor-faktor yang terdapat pada bakteri itu sendiri yang terdiri dari strain bakteri dan umur bakteri. Faktor eksternal berkaitan dengan sifat intrinsik kitosan yang terdiri dari densitas muatan positif kitosan, bobot molekul, karakteristik hidrofilik atau hidrofobik, dan

0,00 6,70 7,72 10,34 28.0000 6,45 6,35 6,80 7,80 22.00 0 5 10 15 20 25 30 100 ppm 250 ppm 500 ppm 750 ppm tetrasiklin D iam e te r z o n a b e n in g (m m )

16

kapasitas mengkelat logam. Faktor lingkungan juga mempengaruhi aktivitas

antibakteri kitosan, yaitu pH, kekuatan ion, serta suhu dan waktu reaktif (Kong et al. 2010).

Daya Antiseptik

Antiseptik merupakan suatu substansi ketika diberikan pada mikroorganisme akan membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme (Reddish 1961). Pengujian daya antiseptik tisu basah polypropylene non-woven

dengan zat antibakteri kitosan mikrokristalin dilakukan dengan metode replica plating yang dimodifikasi dari metode Lederberg dan Lederberg (1952). Pengujian daya antiseptik dilakukan pada tisu basah dengan konsentrasi 750 ppm, tisu basah komersial, dan kontrol negatif yang hanya dicuci dengan air kran (Lampiran 3). Perbandingan jumlah koloni bakteri hasil pengujian daya antiseptik disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Perbandingan jumlah koloni hasil uji efektivitas antiseptik dengan metode

replica plating

Perlakuan Jumlah koloni bakteri (koloni)

Jam ke-0 Jam ke-0,5 Jam ke-1 Tisu basah kitosan mikrokristalin 21±12 1±0 0±0

Tisu basah komersial 26±17 3±2 1±1

Pencucian tangan menggunakan air kran 41±8 5±2 1±1 Hasil pengujian statistik (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan mempengaruhi jumlah koloni bakteri pada tangan. Efektivitas tisu basah hasil penelitian dalam mereduksi jumlah mikroba tidak berbeda nyata dengan tisu basah komersial, namun terdapat perbedaan signifikan dengan kontrol negatif. Hasil pengujian juga menunjukkan kemampuan tisu basah komersial dalam mereduksi mikroba tidak memberikan perbedaan yang signifikan dengan kontrol negatif.

Perbedaan waktu pengujian untuk perhitungan jumlah koloni bakteri dilakukan pada selang waktu yang berbeda, yaitu sesaat setelah diberi perlakuan (jam ke-0), 30 menit setelah diberi perlakuan (jam ke-0,5), dan 60 menit setelah diberi perlakuan (jam ke-1). Hal ini dilakukan untuk mengetahui perlakukan yang diberikan yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan yang mampu menurunkan jumlah bakteri lebih cepat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa satu jam setelah pemberian perlakukan tisu basah dengan konsentrasi kitosan mikrokristalin sebesar 750 ppm, tisu basah mampu menurunkan jumlah mikroba pada tangan hingga 0 koloni, sedangkan tisu basah komersial dan pencucian tangan dengan air kran hingga 1 koloni. Menurut Jeihanpour et al. (2007), kitosan dengan konsentrasi kurang dari 100 ppm mampu mereduksi jumlah mikroba lebih dari 99% dari jumlah mikroba awal. Fungal kitosan yang merupakan kitosan yang diekstraksi dari dinding sel Rhizopus oryzae mampu mereduksi 60% koloni mikroba yang terlihat pada konsentrasi 200 ppm.

Kitosan lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri dalam bentuk larutan kitosan. Mekanisme kitosan sebagai antibakteri hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti. Salah satu dugaan bahwa ion kitosan seakan lekat

17

dengan muatan ion dari polisakarida dinding sel bakteri sehingga menyebabkan dinding sel bakteri bocor dan lisis. Hal ini menyebabkan bakteri menjadi inaktif dan mati. Menurut Kong et al. (2010), kitosan memiliki struktur polikationik yang merupakan syarat awal adanya aktivitas antibakteri. Ketika pH lingkungan di bawah pKa kitosan akan terjadi interaksi elektrostatik antara struktur polikationik kitosan dan struktur anionik dominan dari permukaan mikroorganisme. Semakin meningkat densitas muatan positif kitosan maka sifat antibakteri dari kitosan akan meningkat pula. Jumlah gugus amino pada kitosan juga berperan penting pada interaksi elektrostatik. Menurut Balicka-Ramisz et al. (2005), kitosan memiliki kelompok amino kation yang akan berikatan dengan komponen negatif bakteri seperti asam N-asetilmuramik, asam sialik, dan asam neuraminik yang ada pada permukaan sel. Hal ini akan menekan pertubuhan bakteri dengan cara mengkelat perpindahan ion dan menghambat kerja enzim.

Iritasi Kulit

Pengujian toksisitas dermal iritasi kulit sebagai pengujian untuk menentukan tingkat iritasi dari suatu substansi, dalam penelitian ini yaitu tisu basah berbasis kitosan mikrokristalin. Evaluasi iritasi dermal secara luas diperiksa menggunakan uji Draize (Balls et al. 1983). Pengujian iritasi dilakukan pada hewan coba tikus putih dengan galur Sprague Dawley. Pengamatan pada kulit tikus dilakukan selama 72 jam dengan selang waktu pengamatan 24 jam. Evaluasi iritasi dilakukan berdasarkan skor eritema dan edema yang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Taraf penilaian kondisi kulit hewan coba

Derajat iritasi

Reaksi

Eritema Edema

0 Tidak terdapat eritema Tidak terdapat edema 1 Terdapat sedikit eritema Terdapat sangat kecil edema 2 Eritema dapat terlihat dengan

baik

Edema kecil (area pembengkakan terlihat dengan baik)

3 Eritema sangat terlihat Pembengkakan mencapai 1 mm 4 Eritema parah, kemerahan,

terbentuk sedikit eschar

pembengkakan lebih dari 1 mm, meluas di luar derah uji

Sumber: Balls et al. (1983).

Pengujian iritasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah Irritant Contact Dermatitis (ICD), yaitu reaksi inflamasi lokal setelah terpapar sekali atau beberapa kali iritan, yang merupakan agen yang memproduksi toksik langsung ke sel-sel kulit. Reaksi ICD tidak dipengaruhi oleh sistem imun (non-imunologik) (Maibach dan Ale 2004). Hasil pengujian menunjukkan derajat iritasi adalah 0 pada semua selang waktu pengamatan. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 5.

18

Tabel 5 Hasil uji derajat iritasi tisu basah

Perlakuan Derajat iritasi

24 jam 48 jam 72 jam

Tisu basah kitosan mikrokristalin

Derajat iritasi 0 Derajat iritasi 0 Derajat iritasi 0

Tisu basah komersial

Derajat iritasi 0 Derajat iritasi 0 Derajat iritasi 0

Tanpa perlakuan (kontrol negatif)

Derajat iritasi 0 Derajat iritasi 0 Derajat iritasi 0 Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat reaksi eritema dan edema pada kulit tikus yang terpapar kitosan mikrokristalin pada kain polypropylene non-woven. Hasil pengujian iritasi berbeda-beda tergantung pada substansi yang

diujikan, konsentrasi substansi, dan lama waktu kontak dengan kulit (Balls et al. 1983). Hasil yang diperoleh sama dengan penelitian Wrześ

niewska-Tosik et al. (2008), yakni benang keratin yang mengandung kitosan tidak menimbulkan iritasi pada kulit hewan coba.

Tisu basah pada penelitian ini berbahan dasar kitosan mikrokristalin dan kain polypropylene non-woven. Tisu basah merupakan salah satu jenis modern dressing yang memiliki daya antiseptik dan tidak menimbulkan reaksi iritasi dalam penggunaannya. Menurut Wrześniewska-Tosik et al. (2008), modern

dressing harus terbuat dari material biokomposit dan memiliki karakteristik biologi yaitu tidak bersifat sitotoksik, dan tidak menimbulkan reaksi iritasi dan alergi.

Bagian dorsal dan lateral tangan dan jari merupakan bagian tubuh yang paling sering kontak dengan iritan. Lapisan stratum corneum yang tebal memberikan perlindungan yang lebih baik. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi iritasi kulit, diantaranya ukuran molekul iritan, ionisasi, polarisasi, kelarutan lemak, dan faktor lain yang berkaitan dengan penetrasi kulit. Dosis iritan yang terserap kulit juga bervariasi. Semakin lama waktu paparan dan semakin banyak volume iritan akan meningkatkan penetrasi iritan ke dalam kulit sehingga memberikan respon iritasi yang lebih besar. Jika terjadi paparan yang berulang, pemulihan dari paparan sebelumnya mempengaruhi respon selanjutnya.

19

Lingkungan juga mempengaruhi reaksi iritasi. Kelembaban lingkungan yang rendah akan meningkatkan respon terhadap iritan, terutama pada musim dingin. Hal ini disebabkan oleh rendahnya laju evaporasi yang menyebabkan lapisan

stratum corneum menjadi lebih permeabel (Weltfriend et al. 2004).

Mekanisme toksikan masuk ke dalam tubuh berbeda-beda berdasarkan jenis toksikan dan bagian tubuh yang terpapar toksikan. Salah satu bagian tubuh yang dapat terpapar toksikan adalah kulit. Kulit memiliki pelindung utama dari toksikan berupa lapisan stratum corneum atau lapisan tanduk. Permeabilitas kulit tergantung pada ketebalan dari lapisan ini yang bervariasi pada bagian tubuh. Toksikan dapat masuk melalui sel epidermis atau folikel rambut, namun kebanyakan toksikan akan masuk melalui sel epidermis kulit (Manahan 2003). Menurut Sulistyani et al. (2010), iritan yang bersifat toksik akan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit.

Dokumen terkait