• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Populasi Kerang Lokan (Geloina erosa)

Sebaran Ukuran dan Kepadatan Kerang Lokan Berdasarkan Kelas Ukuran

Pada keseluruhan stasiun penelitian didapatkan kerang lokan (Geloina erosa) sebanyak 80 individu yang terbagi menjadi 8 kelas (interval: 9,29 mm) (Gambar 8). Sebaran ukuran kerang lokan terbagi menjadi tiga kelas ukuran yaitu kelas ukuran kecil (39,00-66,89 mm), sedang (66,90-85,49 mm) dan besar (≥85,50 mm). Sebaran ukuran kerang lokan tertinggi terdapat pada kelas ukuran sedang (66,90-85,49 mm) yaitu sebanyak 40 individu dan terendah terdapat pada kelas ukuran kecil (39,00-66,89 mm) yaitu sebanyak 17 individu (Gambar 8). Sebaran kerang lokan ukuran sedang merupakan kelas ukuran kerang yang paling dominan ditemukan di kawasan penelitian. Hasil yang sama juga didapatkan oleh Silviana et al. (2014) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa persentase sebaran kerang lokan berukuran sedang adalah paling tinggi, diikuti oleh kerang lokan berukuran besar, sedangkan kerang lokan berukuran kecil merupakan kerang dengan persentase sebaran paling rendah. Faktor yang paling berpengaruh terhadap penentuan sebaran ukuran kerang lokan adalah tipe substrat serta kondisi lingkungan habitat yang ada di kawasan penelitian. Kerang lokan ukuran besar menyukai substrat lumpur berpasir untuk berkembangbiak, sedangkan kerang lokan ukuran kecil lebih memilih substrat dengan persentase pasir lebih banyak karena mampu menyediakan oksigen yang banyak. (Nursal et al. 2005).

Gambar 8 Frekuensi individu tiap kelas ukuran kerang lokan (Geloina erosa)

Kepadatan kerang lokan di stasiun 1 tertinggi terdapat pada kelas ukuran sedang yaitu 0,47 ind/m2 dan terendah terdapat pada kelas ukuran kecil yaitu 0,2 ind/m2. Stasiun 2, kepadatan kerang lokan tertinggi terdapat pada kelas ukuran sedang yaitu 0,33 ind/m2 dan terendah terdapat pada kelas ukuran besar yaitu 0,02 ind/m2. Stasiun 3 dan stasiun 4, kepadatan kerang lokan tertinggi terdapat pada kelas ukuran besar yaitu 0,09 ind/m2 dan terendah terdapat pada kelas ukuran sedang yaitu 0,04 ind/m2, nilai kepadatan yang di dapatkan di stasiun 3 dan 4 tergolong paling rendah jika dibandingkan dengan stasiun lainnya (Gambar 9).

0 5 10 15 20 25 Fr e ku e n si ( In d iv id u ) Kelas Ukuran (mm)

Gambar 9 Kepadatan kerang lokan (Geloina erosa) (ind/m2) berdasarkan kelas ukuran di setiap stasiun penelitian

Keterangan :

K: Kecil S: Sedang B: Besar

Kepadatan kerang lokan yang didapatkan berbeda di setiap stasiun penelitian, kepadatan kerang lokan tertinggi terdapat pada kelas ukuran sedang di stasiun 1 yaitu sebesar 0,47 ind/m2, sedangkan kepadatan terendah terdapat pada kelas ukuran besar di stasiun 2 yaitu sebesar 0,02 ind/m2. Kerang lokan ukuran sedang merupakan kerang dengan kepadatan rata-rata tertinggi, sedangkan kerang lokan ukuran kecil merupakan kerang dengan kepadatan rata-rata terendah yang ditemukan di kawasan penelitian (Gambar 10). Kepadatan kerang lokan di keseluruhan stasiun penelitian tergolong rendah yaitu berkisar antara 0,02 ind/m2-0,47 ind/m2 (Gambar 9). Hal ini berbeda jauh jika dibandingkan dengan kepadatan kerang lokan di ekosistem mangrove Belawan yaitu berkisar antara 1,36-3,21 ind/m2 dimana vegetasi mangrove yang mendominasi adalah Nypa fruticans (Hasan et al. 2014). Perbedaan jenis vegetasi mangrove yang ditemukan di kawasan penelitian juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kelimpahan kerang lokan didalamnya. Jenis mangrove yang mendominasi di kawasan penelitian adalah Rhizophora apiculata, secara morfologi dan habitatnya kedua jenis ini memiliki kondisi yang berbeda, Nypa fruticans hidup pada kondisi habitat yang stabil akan oksigen karena berada di permukaan, sedangkan jenis Rhizophora apiculata

hidup pada kondisi habitat yang terkadang tidak stabil akan oksigen, dimana perombakan dekomposisi serasah oleh bakteri pada substrat terjadi lebih tinggi, sehingga mengurangi kadar oksigen di dalamnya.

Kepadatan kerang lokan di stasiun 3 dan 4 paling rendah jika dibandingkan dengan kedua stasiun lainnya. Beberapa hal yang mungkin tidak mendukung perkembangbiakan kerang lokan di stasiun 3 dan 4 dengan baik yaitu adanya indikasi ketiadaan reqruitment dan adanya gangguan terhadap siklus perkembangbiakan. Proses reqruitment ini seharusnya dapat terjadi jika kerang lokan tidak keluar dari sistem. Salah satu faktor terjadinya hal tersebut diduga adanya aktivitas pengambilan kerang lokan yang tidak selektif oleh masyarakat. Aktivitas tersebut berpengaruh pada pola reproduksi kerang, dimana kerang lokan berukuran besar diduga tidak sempat melakukan pemijahan dan bereproduksi dikarenakan sebelum waktunya memijah kerang tersebut sudah diambil dalam jumlah banyak, akibatnya berpengaruh pada

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 K S B K S B S B S B K e p ad atan k e ran g l o kan (i n d /m 2)

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

pertumbuhan populasi kerang lokan sehingga populasi kerang menjadi terganggu terkhusus populasi kerang muda.

Secara keseluruhan, hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat variasi di lokasi pengamatan baik menurut kepadatan dan ukuran kerang lokan. Kepadatan kerang lokan tertinggi terdapat di stasiun 1 dan yang terendah terdapat di stasiun 3 dan stasiun 4, sedangkan kepadatan rata-rata kerang lokan tertinggi terdapat pada kerang lokan ukuran sedang dan yang terendah terdapat pada kerang lokan ukuran kecil (Gambar 9 dan Gambar 10).

Gambar 10 Kepadatan rata-rata kerang lokan (Geloina erosa) (ind/m2) berdasarkan kelas ukuran di pesisir Kahyapu Pulau Enggano

Hubungan Panjang Berat dan Faktor Kondisi Kerang lokan (Geloina erosa)

Nilai hubungan panjang berat dan faktor kondisi (Kn) kerang lokan (Geloina erosa) di setiap stasiun penelitian ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai konstanta b, koefisien determinasi (R2) dan faktor kondisi (Kn) di setiap stasiun penelitian

Stasiun

Kerang Lokan (Geloina erosa)

Kecil Sedang Besar

b R2 Kn B R2 Kn b R2 Kn

1 3,21 0,97 1,08 2,94 0,84 1,02 3,03 0,68 1,01

2 4,01 0,84 1,01 2,99 0,93 1,01 0 0 0

3 - - - 16,79 1 1,03 1,67 0,83 1

4 - - - 1,32 1 0,99 1,62 0,80 2,52

Sumber : Data primer (2015).

Keterangan : b: Konstanta

R2: Koefisien determinasi

Kn : Faktor kondisi

- : tidak ditemukan kerang lokan

Pola pertumbuhan kerang lokan pada tiap kelas ukuran menunjukkan hasil yang berbeda dengan nilai koefisien determinasi (R2) mendekati 1 (Tabel 2), hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara panjang total dan berat kerang lokan (Geloina erosa) sangat erat. Pola pertumbuhan kerang lokan ukuran kecil, kerang lokan ukuran sedang di stasiun 3 serta kerang lokan ukuran besar di stasiun 1 menunjukkan nilai b > 3 (Tabel 2), dimana pertambahan berat/bobot lebih cepat daripada pertambahan panjang

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5

Kecil Sedang Besar

Ke p ad atan ( in d /m 2)

cangkang (allometrik positif), hal ini dapat diartikan bahwa energi yang tersimpan lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan berat, sedangkan pola pertumbuhan kerang lokan ukuran sedang di stasiun 1, 2 dan 4 serta kerang lokan ukuran besar di stasiun 3 dan 4 menunjukkan nilai b < 3 (Tabel 2), dimana pertambahan panjang cangkang lebih besar daripada pertambahan berat/bobot (allometrik negatif), hal ini dapat diartikan bahwa energi yang tersimpan lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan panjang. Perbedaan nilai konstanta b menunjukkan bahwa adanya pola pertumbuhan berbeda pada tiap kelas ukuran di setiap stasiun penelitian. Taunay (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa hubungan panjang berat tidak selalu bernilai tetap, nilainya dapat berubah dan berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Perbedaan pola pertumbuhan kerang lokan dari setiap kelas ukuran di kawasan penelitian dipengaruhi oleh kondisi lingkungan terutama substrat, kesesuian perairan dan ketersediaan makanan yang dapat mendukung pertumbuhan kerang (Aldrich, 1986; Jamabo et al. 2009; Tamsar et al.

2013). Mzighani (2005) menyatakan bahwa semakin banyak jenis makanan yang di konsumsi oleh suatu organisme maka akan meningkatkan ukuran gonad, sehingga akan mempengaruhi ukuran tubuh organisme tersebut.

Faktor kondisi (Kn) kerang lokan di stasiun 1 tertinggi terdapat pada kelas ukuran kecil yaitu 1,084 dan terendah terdapat pada kelas ukuran besar yaitu 1,01 (Tabel 2). Stasiun 2, faktor kondisi tertinggi terdapat pada kelas ukuran sedang yaitu sebesar 1,014 dan terendah terdapat pada kelas ukuran besar yaitu 0. Stasiun 3, faktor kondisi tertinggi terdapat pada kelas ukuran sedang yaitu sebesar 1,03 dan terendah terdapat pada kelas ukuran besar yaitu 1,004. Stasiun 4, faktor kondisi tertinggi terdapat pada kelas ukuran besar yaitu sebesar 2,524 dan terendah terdapat pada kelas ukuran sedang yaitu 0,998. Nilai faktor kondisi yang didapatkan tidak berbeda secara signifikan di setiap stasiun penelitian dan merupakan nilai normal untuk faktor kondisi (Kn) pada kerang lokan (Tabel 2). Faktor kondisi tertinggi terdapat pada kerang lokan ukuran besar di stasiun 4 yaitu sebesar 2,52, sedangkan faktor kondisi terendah terdapat pada kerang lokan ukuran besar di stasiun 2 yaitu 0.

Kerang lokan ukuran besar merupakan kerang dengan nilai rataan faktor kondisi tertinggi yang ditemukan di kawasan penelitian, hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kemontokan (kegemukan) kerang lokan ukuran besar lebih tinggi jika dibandingkan dengan kedua kelas ukuran lainnya. Keseluruhan nilai rataan faktor kondisi yang didapatkan lebih dari 1 (Kn > 1), hal ini mengindikasikan bahwa kondisi kerang lokan di kawasan penelitian tergolong baik terutama untuk tingkat kemontokannya. Hasil yang sama juga didapatkan oleh Natan (2008) dalam penelitiannya bahwa nilai rataan faktor kondisi didapatkan lebih dari 1, hal ini mengindikasikan bahwa aspek biologi dan ekologi kerang lumpur di kawasan penelitian sangat baik terutama untuk derajat kemontokan, pertumbuhan dan reproduksi. Selanjutnya Effendie (1997) menjelaskan bahwa faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan/kerang dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi serta secara komersil memiliki arti bahwa kondisi ini menunjukkan kualitas dan kuantitas daging ikan/kerang yang tersedia untuk dapat dimakan. Perbedaan faktor kondisi pada setiap kelas ukuran kerang dapat disebabkan oleh faktor umur serta strategi reproduksi dari setiap individu, hal ini dapat menentukan apakah suatu individu mengumpulkan energi untuk pertumbuhannya ataukah untuk persiapan reproduksi (Beesley et al. 1998).

Pola pertumbuhan kerang lokan yang bersifat allometrik negatif dimana pertambahan panjang cangkang lebih besar daripada pertambahan berat/bobot terdapat pada kerang lokan ukuran sedang di stasiun 1, 2 dan 4 serta kerang lokan ukuran besar

di stasiun 3 dan 4. Sebaliknya, yang bersifat allometrik positif dimana pertambahan berat/bobot lebih besar daripada pertambahan panjang cangkang terdapat pada semua kerang lokan ukuran kecil, ukuran sedang di stasiun 3 dan ukuran besar di stasiun 1. Nilai faktor kondisi (Kn) tertinggi terdapat di stasiun 4, sedangkan yang terendah terdapat di stasiun 2. Pola pertumbuhan juga menunjukkan perbedaan antar fase pertumbuhan, walaupun sedikit perbedaan terutama di stasiun 1 dan 2.

Struktur Vegetasi Mangrove Komposisi Spesies Mangrove

Komposisi spesies mangrove yang ditemukan di pesisir Kahyapu Pulau Enggano Provinsi Bengkulu terdiri atas 6 (enam) spesies mangrove sejati yaitu Avicennia lanata, Bruguiera gymnorrhiza, Lumnitzera littorea, Rhizophora apiculata, Sonneratia alba

dan Xylocarpus granatum, serta 5 (lima) spesies mangrove ikutan (Tabel 3). Tabel 3 Komposisi spesies mangrove di pesisir Kahyapu Pulau Enggano

No. Jenis Mangrove Stasiun

I II III IV 1 Avicennia lanata - + - - 2 Bruguiera gymnorrhiza + + + + 3 Lumnitzera littorea - + - - 4 Rhizophora apiculata + + + + 5 Sonneratia alba + + - + 6 Xylocarpus granatum + + + - 7 Barringtonia asiatica * + - + + 8 Hibiscus tiliaceus L * + + + + 9 Nypa fruticans * - - + - 10 Pandanus tectorius * + + - - 11 Thespesia populnea * - + - - Sumber : Data primer (2015).

Keterangan : + Ada jenis mangrove. - Tidak ada jenis mangrove.

* Jenis tumbuhan non-mangrove (mangrove ikutan).

Komposisi spesies mangrove yang paling banyak ditemukan yaitu di stasiun 2 (Tabel 3). Stasiun 2 terletak dekat pemukiman penduduk dengan pengaruh aliran air tawar cukup tinggi sehingga kondisi salinitas relatif rendah, stasiun ini memiliki kondisi perairan lebih tenang dan terlindung dari hempasan ombak. Banyaknya jumlah komposisi spesies mangrove di stasiun 2 diduga kondisi lingkungan baik substrat maupun salinitas masih bisa ditoleransi oleh berbagai spesies mangrove. Komposisi dan pertumbuhan mangrove yang beranekaragam dipengaruhi oleh suplai air tawar dari sungai yang bermuara ke laut serta kesesuaian habitat setiap jenis terhadap iklim dan kondisi geografis pesisir (Duke et al. 1998).

Spesies mangrove sejati yang paling sering ditemukan di kawasan penelitian yaitu spesies Bruguiera gymnorrhiza dan Rhizophora apiculata, sedangkan yang paling jarang ditemukan yaitu spesies Avicennia lanata, Lumnitzera littorea dan Nypa

fruticans (Tabel 3). Darmadi dan Ardhana (2010) menyatakan bahwa hutan mangrove sering disebut sebagai hutan bakau karena tumbuhan bakau atau suku Rhizophoraceae

sering mendominasi tumbuh pada hutan tersebut dimana suku Rhizophoraceae meliputi

Rhizophora apiculata dan spesies lainnya seperti Bruguiera gymnorrhiza. Sofian et al.

(2012) mengemukakan bahwa kedua jenis ini memiliki keunggulan dalam menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan. Hampir semua spesies Rhizophora

bersifat vivipar, dimana bijinya berkecambah saat masih menempel di tumbuhan induknya (Duke, 2006). Selanjutnya Nybakken (1988) menyatakan bahwa pada perkembangan dan penebaran benih/semai jenis mangrove tertentu (Rhizophora, Bruguiera) memiliki perkembangan untuk tumbuh lebih baik, berkembang sendiri di perairan lautan dan memiliki perkembangan bentuk yang khusus, kemudian benih tersebut ketika masih pada tumbuhan induk, berkecambah dan mulai tumbuh didalam semaian tanpa mengalami istirahat. Morfologi propagul Rhizophora juga mampu mengapung secara efektif di perairan sehingga dapat membuatnya tersebar dan terdistribusi pada wilayah yang luas dengan bantuan arus laut, jenis ini juga ditemukan di berbagai lingkungan dengan kondisi berbeda dan tersebar secara luas (Duke et al.

1998; Ewel et al. 1998; Hogarth, 1998).

Beberapa spesies mangrove yang jarang ditemukan di kawasan penelitian seperti

Avicennia lanata dan Lumnitzera littorea (Tabel 3), diduga penyebaran benih/semai mangrove tidak berkembang dengan baik. Darmadi dan Ardhana (2010) dalam penelitiannya menampilkan hasil bahwa jumlah Avicennia lanata di kawasan penelitian tergolong paling sedikit ditemukan pada plot pengambilan sampel. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Sinfuego and Buot (2014) menampilkan hasil bahwa kelompok

Avicennia banyak ditemukan pada wilayah yang selalu tergenang oleh air laut. Selanjutnya, untuk spesies Lumnitzera littorea mampu tumbuh pada wilayah dengan kondisi substrat halus dan berlumpur pada bagian pinggir daratan di daerah mangrove (Darmadi et al. 2012; Noor et al. 2006).

Secara keseluruhan, komposisi spesies mangrove tertinggi terdapat di stasiun 2, sedangkan yang terendah terdapat di stasiun 4, untuk komposisi spesies mangrove yang paling sering ditemukan terdapat pada spesies Bruguiera gymnorrhiza dan Rhizophora apiculata, sedangkan yang jarang ditemukan yaitu Avicennia lanata dan Lumnitzera littorea.

Kerapatan Jenis Mangrove

Kerapatan jenis mangrove tertinggi tingkat pohon di stasiun 1 dijumpai pada

Rhizophora apiculata (711 ind/ha) dan terendah dijumpai pada Barringtonia asiatica

(11 ind/ha). Stasiun 2, kerapatan jenis mangrove tertinggi dijumpai pada Rhizophora apiculata (378 ind/ha)dan terendah dijumpai pada Thespesia populnea dan Pandanus tectorius (11 ind/ha). Stasiun 3, kerapatan jenis mangrove tertinggi dijumpai pada

Rhizophora apiculata (589 ind/ha) dan terendah dijumpai pada Nypa fruticans (11 ind/ha). Stasiun 4, kerapatan jenis mangrove tertinggi dijumpai pada Rhizophora apiculata (1033 ind/ha) dan terendah dijumpai pada Sonneratia alba (11 ind/ha) (Gambar 11). Kerapatan jenis mangrove tingkat pohon yang didapatkan berbeda di setiap stasiun penelitian. Kerapatan jenis mangrove tingkat pohon tertinggi terdapat di stasiun 4 yaitu pada spesies Rhizophora apiculata sebesar 1033 ind/ha. Rhizophora apiculata merupakan spesies mangrove tingkat pohon dengan nilai kerapatan rata-rata tertinggi, sedangkan Nypa fruticans dan Thespesia populnea merupakan spesies

mangrove tingkat pohon dengan nilai kerapatan rata-rata terendah yang ditemukan di kawasan penelitian (Gambar 12). Nilai kerapatan jenis mangrove tingkat pohon di keseluruhan stasiun penelitian tergolong baik (sedang), dengan nilai kerapatan >1000 ind/ha. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 (2004) bahwa kriteria nilai kerapatan jenis mangrove pada nilai < 1000 termasuk kategori jarang (rusak), ≥1000 termasuk kategori baik (sedang) dan ≥1500 termasuk kategori baik (rapat).

Gambar 11 Tingkat kerapatan pohon mangrove di setiap stasiun penelitian

Keterangan :

AL : Avicennia lanata LL : Lumnitzera littorea SA : Sonneratia alba

BG : Bruguiera gymnorrhiza RA : Rhizophora apiculata XG : Xylocarpus granatum

BA : Barringtonia asiatica HL : Hibiscus tiliaceus L NF : Nypa fruticans

PT : Pandanus tectorius TP : Thespesia populnea

Gambar 12 Tingkat kerapatan rata-rata pohon mangrove di pesisir Kahyapu

Keterangan :

AL : Avicennia lanata LL : Lumnitzera littorea SA : Sonneratia alba

BG : Bruguiera gymnorrhiza RA : Rhizophora apiculata XG : Xylocarpus granatum

BA : Barringtonia asiatica HL : Hibiscus tiliaceus L NF : Nypa fruticans

PT : Pandanus tectorius TP : Thespesia populnea

Kerapatan jenis mangrove tertinggi tingkat anakan di stasiun 1 dijumpai pada

Rhizophora apiculata (1022 ind/ha)dan terendah dijumpai pada Xylocarpus granatum

0 200 400 600 800 1000 1200 BGRA SA XG BA HL PT AL BG LL RA SA XG HL TP PT BGRA XG BA HL NF BG RA SA BA HL Ke rap atan jeni s mang ro v e (In d /h a) 0 200 400 600 800 1000 AL BG LL RA SA XG BA HL NF PT TP K e rap atan je n is m an g ro v e (i n d /h a) Jenis mangrove

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

(44 ind/ha)(Gambar 13). Stasiun 2, kerapatan jenis tertinggi dijumpai pada Rhizophora apiculata (1511 ind/ha) dan terendah dijumpai pada Lumnitzera littorea (44 ind/ha) (Gambar 13). Stasiun 3, kerapatan jenis tertinggi dijumpai pada Rhizophora apiculata

(2044 ind/ha)dan terendah dijumpai pada Xylocarpus granatum (89 ind/ha), sedangkan di stasiun 4, hanya ditemukan satu spesies mangrove tingkat anakan yaitu Rhizophora apiculata dengan nilai kerapatan jenis sebesar 1111 ind/ha (Gambar 13). Kerapatan jenis mangrove tertinggi tingkat anakan terdapat di stasiun 3, yakni pada Rhizophora apiculata sebesar 2044 ind/ha. Rhizophora apiculata merupakan spesies mangrove tingkat anakan dengan nilai kerapatan rata-rata tertinggi, sedangkan Lumnitzera littorea

merupakan spesies mangrove tingkat anakan dengan nilai kerapatan rata-rata terendah yang ditemukan di kawasan penelitian (Gambar 14). Nilai kerapatan jenis mangrove tingkat anakan di keseluruhan stasiun penelitian tergolong baik (rapat), dengan nilai kerapatan > 1500 ind/ha.

Gambar 13 Tingkat kerapatan anakan mangrove di setiap stasiun penelitian

Keterangan :

BG : Bruguiera gymnorrhiza LL : Lumnitzera littorea

RA : Rhizophora apiculata XG: Xylocarpus granatum

Gambar 14 Tingkat kerapatan rata-rata anakan mangrove di pesisir Kahyapu

Keterangan :

BG : Bruguiera gymnorrhiza LL : Lumnitzera littorea

RA : Rhizophora apiculata XG: Xylocarpus granatum

Kerapatan jenis mangrove tertinggi tingkat semai di stasiun 1 dijumpai pada

Bruguiera gymnorrhiza (30000 ind/ha) dan terendah dijumpai pada Xylocarpus granatum (2222 ind/ha). Stasiun 2, kerapatan jenis mangrove tertinggi tingkat semai dijumpai pada Rhizophora apiculata (26667 ind/ha)dan terendah dijumpai pada spesies

0 500 1000 1500 2000 2500 BG RA XG BG LL RA XG BG RA XG RA 0 500 1000 1500 2000 BG LL RA XG Ke rap atan J e n is man g ro v e ( In d /h a) Jenis Mangrove

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

Stasiun Penelitian Ke rap atan jeni s mang ro v e (i n d /h a)

Xylocarpus granatum (4444 ind/ha). Stasiun 3, kerapatan jenis mangrove tertinggi tingkat semai dijumpai pada Rhizophora apiculata (15556 ind/ha)dan terendah terdapat pada Bruguiera gymnorrhiza (5556 ind/ha). Stasiun 4, kerapatan jenis mangrove tertinggi tingkat semai dijumpai pada Rhizophora apiculata (12222 ind/ha)dan terendah terdapat pada Bruguiera gymnorrhiza (8889 ind/ha) (Gambar 15). Kerapatan jenis mangrove tertinggi tingkat semai dijumpai di stasiun 1 yaitu pada Bruguiera gymnorrhiza sebesar 30000 ind/ha. Rhizophora apiculata merupakan spesies mangrove tingkat semai dengan nilai kerapatan rata-rata tertinggi, sedangkan Xylocarpus granatum merupakan spesies mangrove tingkat anakan dengan nilai kerapatan rata-rata terendah yang ditemukan di kawasan penelitian (Gambar 16). Nilai kerapatan jenis mangrove tingkat semai di keseluruhan stasiun penelitian tergolong baik (rapat), dengan nilai kerapatan >1500 ind/ha.

Gambar 15 Tingkat kerapatan semai mangrove di setiap stasiun penelitian

Keterangan :

BG : Bruguiera gymnorrhiza RA : Rhizophora apiculata XG: Xylocarpus granatum

Gambar 16 Tingkat kerapatan rata-rata semai mangrove di pesisir Kahyapu

Keterangan :

BG : Bruguiera gymnorrhiza RA : Rhizophora apiculata XG: Xylocarpus granatum

Kerapatan rata-rata jenis mangrove tertinggi tingkat pohon, anakan dan semai dijumpai pada Rhizophora apiculata, sedangkan kerapatan rata-rata jenis mangrove terendah terdapat pada Nypa fruticans dan Thespesia populnea (tingkat pohon),

Lumnitzera littorea (tingkat anakan) dan Xylocarpus granatum (tingkat semai) (Gambar 12, 14 dan 16). Tingginya nilai kerapatan rata-rata Rhizophora apiculata untuk semua tingkatan mangrove di pesisir Kahyapu dikarenakan spesies ini memiliki toleransi tinggi terhadap lingkungan sehingga keberadaannya lebih sering ditemukan di kawasan penelitian. Ontorael et al. (2012) menjelaskan bahwa nilai kerapatan suatu jenis

0 10.000 20.000 30.000 40.000 BG RA XG RA XG BG RA BG RA 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 BG RA XG Ke rap atan J e n is man g ro v e ( In d /h a) Jenis Mangrove

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

Stasiun Penelitian Ke rap atan jeni s mang ro v e (i n d /h a)

mangrove menggambarkan bahwa jenis dengan nilai kerapatan tertinggi memiliki pola penyesuaian yang besar terhadap kondisi habitatnya. Rhizophora sp. memiliki sistem perakaran yang khas yaitu dapat menahan sedimen dan mengurangi hempasan gelombang laut yang besar (Nybakken, 1993). Zona Rhizophora terletak di tepi pantai yang menghadap ke arah laut dan di daerah genangan pada saat pasang normal (Nybakken, 1988; Watson, 1928 dalam Ghufran dan Kordi, 2012). Kondisi vegetasi mangrove yang berhadapan langsung dengan laut selalu mendapatkan pasang surut air laut, sehingga mendukung pertumbuhan jenis tersebut (Sofian et al. 2012). Rendahnya nilai kerapatan Nypa fruticans dan Thespesia populnea (tingkat pohon), Lumnitzera littorea (tingkat anakan) dan Xylocarpus granatum (tingkat semai) (Gambar 12, 14 dan 16) dikarenakan kondisi habitat di kawasan penelitian kurang mendukung untuk pertumbuhannya. Noor et al. (2006) mengemukakan bahwa Nypa fruticans jarang ditemukan di luar zona pantai dan dapat tumbuh pada substrat yang halus, Thespesia populnea merupakan tumbuhan pantai yang dapat tumbuh lebih ke arah daratan mangrove, Xylocarpus granatum dapat tumbuh di sepanjang pinggiran sungai dan lingkungan payau lainnya yang tidak terlalu asin sedangkan Lumnitzera littorea tumbuh di areal yang digenangi hanya pada saat pasang tertinggi (hanya beberapa hari dalam sebulan). Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Mukhlisi et al. (2013) menampilkan hasil bahwa Lumnitzera littorea merupakan spesies dengan kerapatan terendah, dimana spesies ini termasuk unik jika ditemukan di kawasan penelitian dikarenakan keberadaan populasinya di dunia terus menurun akibat pemanfaatan kawasan mangrove yang cukup tinggi.

Secara keseluruhan, kerapatan vegetasi mangrove tingkat pohon tertinggi terdapat di stasiun 4 dan terendah terdapat di stasiun 3. Sebaliknya, kerapatan vegetasi mangrove tingkat anakan tertinggi terdapat di stasiun 3 dan terendah terdapat di stasiun 4, sedangkan kerapatan vegetasi mangrove tingkat semai tertinggi terdapat di stasiun 1 dan terendah terdapat di stasiun 3 dan 4.

Karakteristik Lingkungan Mangrove

Ekosistem mangrove di Pulau Enggano umumnya memiliki kondisi substrat yang di dominasi oleh tekstur pasir dan lempung. Persentase komposisi substrat dan parameter lingkungan di ekosistem mangrove Pesisir Kahyapu Pulau Enggano dapat di lihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi substrat dan parameter lingkungan Stasiun Suhu (˚C) Salinitas (ppt) DO (mg/l) BO (%) pH Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Kelas tekstur 1.1 30,00 32,00 5,02 2,64 7,87 94,27 2,28 3,45 P 1.2 28,00 30,00 5,74 18,02 7,47 78,76 15,18 6,06 Plp 1.3 29,00 27,00 5,74 2,69 7,49 89,35 4,19 6,46 P 2.1 26,00 14,00 5,74 10,29 7,22 77,21 17,76 5,03 Plp 2.2 28,00 14,00 5,74 14,70 7,81 93,55 3,34 3,11 P 2.3 28,00 18,00 4,31 13,52 7,60 90,82 4,78 4,40 P 3.1 28,00 27,00 4,31 7,14 7,68 90,51 4,44 5,05 P 3.2 27,00 28,00 2,87 28,38 7,32 39,79 31,14 29,07 Llt 3.3 28,00 28,00 1,44 10,04 7,56 90,56 3,91 5,53 P 4.1 28,00 33,00 6,46 9,45 8,11 87,04 9,25 3,71 Plp 4.2 28,00 32,00 1,44 21,58 7,29 56,72 31,90 11,38 Lpr 4.3 28,00 27,00 1,44 5,98 7,96 91,64 6,42 1,94 P Sumber : Data primer (2015).

Keterangan:

DO: Dissolved Oxygen; BO: Bahan Organik; pH: derajat keasaman; P: Pasir; Plp; Pasir Berlempung; Llt: Lempung berliat; Lpr: Lempung Berpasir

Kisaran suhu di tiap-tiap stasiun penelitian tidak berbeda secara signifikan yaitu berkisar antara 26,00-30,00˚C (Tabel 4). Kondisi salinitas di keseluruhan stasiun penelitian berkisar antara 14,00-32,00 ppt (Tabel 4). Kondisi salinitas memiliki sedikit

Dokumen terkait