• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Daerah Penelitian

Daerah penelitian terletak mulai dari Muara Mempawah di bagian Utara hingga Sepuk Laut (perairan Muara Kapuas Besar) di bagian Selatan. Membentang sepanjang ± 70.5 km dengan posisi geografis pada koordinat 108.83o BT – 109.42o BT dan 0.35o LU – 0.24o LS. Secara administratif wilayah tersebut terletak di pesisir dari tiga kabupaten/kota yaitu : Kabupaten Pontianak (1276.9 km2), Kota Pontianak (107.8 km2), dan Kabupaten Kubu Raya (6985.2 km2) (BPS KalBar 2012). Wilayah pesisir menghadap Laut Natuna dan Selat Karimata di sebelah barat dengan kedalaman perairan di daerah pantai bervariasi antara 1-13 m dengan rata-rata sebesar 3.56(±2.97) m. Muara Kapuas merupakan sebuah muara alluvial, di mana bentuk muara ditentukan oleh proses deposit dan erosi sedimen baik yang berasal dari sungai maupun dari laut (Deynoot 2011). Siklus pasang surut di sekitar Muara Kapuas adalah diurnal (satu kali pasang- surut dalam 24 jam) (Wyrtki 1961; Arifin et al. 2011).

Iklim di Kalimantan Barat dicirikan dengan suhu dan kelembaban udara yang tinggi. Data dari Stasiun Meteorologi Maritim Kota Pontianak menunjukkan bahwa suhu udara pada bulan April 2011 berkisar antara 23.8-36.8 oC dengan rata-rata sebesar 28.6 oC, sedikit lebih tinggi dibandingkan suhu udara pada bulan September 2011 yang berkisar antara 22.0-35.2 oC dengan rata-rata sebesar 27.1

o

C. Kelembaban udara pada bulan April memiliki rata-rata sebesar 80 %, lebih rendah dibandingkan pada bulan September yang sebesar 84 %. Sementara itu, jumlah hari hujan pada bulan April 2011 adalah sebanyak 16 hari dengan curah hujan sebesar 167.6 mm, lebih tinggi dibandingkan jumlah hari hujan pada bulan September 2011 yang berjumlah 12 hari dengan curah hujan sebesar 153.4 mm (BPS KalBar 2012).

Gambar 5. Debit air bulanan Sungai Kapuas pada tahun 2003 (Sumber : Adijaya & Yamashita 2004).

24

Aliran Sungai Kapuas dengan banyak anak sungai yang bermuara di pesisir Kalimantan Barat, merupakan salah satu dari lima Wilayah Sungai (WS) yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 11A Tahun 2006. Wilayah Sungai Kapuas terdiri dari 12 DAS yaitu ; DAS Kapuas, DAS Ambawang, DAS Kubu, DAS Landak, DAS Nipah, DAS Paduan, DAS Peniti, DAS Kapar, DAS Mancar, DAS Kerawang, DAS Melendang, dan DAS Satai (Departemen PU 2010). Menurut Adijaya dan Yamashita (2004), debit air Sungai Kapuas pada tahun 2003 secara umum berkisar antara 1964 dan 9432 m3 s-1, dimana debit sungai terendah terjadi pada bulan Juni, sedangkan debit tertinggi terjadi pada bulan Desember (Gambar 5). Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh Deynoot (2011) pada tahun 2009-2010, debit air sungai di tiga anak sungai Kapuas (Kapuas Besar, Kapuas Kecil, dan Landak) berkisar antara 100-2000 m3 s-1 (Tabel 3).

Tabel 3. Debit air tahunan di Sungai Kapuas pada tahun 2009-2010

Sungai Minimum (m3 s-1) Maksimum (m3 s-1) Kapuas Besar Kapuas Kecil Landak 950 300 100 2000 1200 1200 Sumber: Deynoot 2011.

Karakteristik Fisika-Kimia Perairan Salinitas Perairan

Menurut McLusky dan Elliott (2004), pada umumnya perairan muara memiliki nilai salinitas yang sangat bervariasi dengan kisaran antara 0.5-35.0 psu, di mana pasang surut sangat berpengaruh terhadap fluktuasi harian. Salinitas perairan permukaan Muara Kapuas pada bulan April bervariasi antara 0-31.0 psu. Lokasi dengan salinitas 0 (tawar) terutama terletak di mulut Sungai Kapuas Kecil (stasiun 7) serta Sungai Kapuas Besar (stasiun 13) pada kondisi surut (Gambar 6). Curah hujan yang lebih tinggi pada bulan April (167.6 mm) dibandingkan pada bulan September (153.4 mm) menyebabkan debit air sungai bertambah. Masukan air tawar ke perairan pesisir Kalimantan Barat menjadi lebih besar sehingga menurunkan nilai salinitas perairan permukaan. Secara spasial, salinitas di wilayah pesisir utara memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan kedua wilayah pesisir lainnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masukan air tawar dari muara-muara sungai di pesisir utara (Muara Mempawah, Sei Pinyuh dan Peniti Luar) tidak sebesar di kedua wilayah pesisir lainnya, sehingga massa air dari Laut Natuna dan sekitarnya lebih berperan dominan dalam meningkatkan nilai salinitas.

Menurut Geyer (2010), karakteristik umum suatu muara sungai antara lain ditandai dengan adanya gradien salinitas secara horisontal. Salinitas meningkat mulai dari mulut sungai menuju laut lepas seiring pergerakan air tawar dari sungai. Peningkatan salinitas perairan Muara Kapuas secara horisontal terutama

25

terjadi di Pesisir Utara, Muara Kapuas Kecil (stasiun 7, 8, dan 9), dan Muara Kapuas Besar (stasiun 13 dan 14) (Gambar 6). Fluktuasi salinitas di beberapa stasiun lainnya disebabkan oleh dinamika perairan permukaan dengan kedalaman perairan yang relatif dangkal (±3.5 m). Pada perairan dangkal, angin dan pasang surut berperan dalam proses pengadukan dan percampuran massa air (Luoma & Rainbow 2008). Pada kondisi tersebut, massa air laut di lapisan bawah dengan mudah naik ke permukaan dan bercampur dengan massa air tawar di lapisan atas sehingga terjadi fluktuasi salinitas di permukaan.

Gambar 6. Variasi dan sebaran nilai salinitas (psu) di perairan Muara Kapuas, Kalimantan Barat.

26

Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH perairan di wilayah Sungai Kapuas tidak menunjukkan perbedaan temporal yang signifikan (p>0.05) antara bulan April dan September. pH perairan berkisar antara 3.24-5.11 dengan nilai rata-rata sebesar 4.57(±0.72). Lokasi dengan pH terendah terletak di Sungai Ambawang sedangkan pH tertinggi terletak di Sungai Kapuas Kecil (Gambar 7). Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan dengan baku mutu air tawar sesuai PP No. 82 Tahun 2001 yang berkisar antara 6- 9. Meskipun demikian nilai pH tersebut masih dianggap normal karena kondisi alami perairan tawar wilayah Kalimantan yang bersifat asam. Kondisi alami perairan tawar wilayah Kalimantan dipengaruhi oleh terdapatnya lahan-lahan basah (rawa-rawa dan lahan gambut) yang sangat luas dengan pH air rendah (≤pH 4) (MacKinnon et al. 2000). Lahan-lahan basah yang secara periodik maupun permanen terendam oleh air umumnya memiliki biomassa tumbuhan yang tinggi. Hasil dari degradasi tumbuhan yang telah mati menghasilkan kandungan bahan organik berupa senyawa humat (Connell 2005). Senyawa humat terdiri dari fraksi mudah larut (asam humat dan asam fulfat) dan fraksi tidak larut (humin). Asam humat dan asam fulfat merupakan asam organik yang terionisasi dalam air, melepaskan ion H+ dan meningkatkan keasaman air (Weiner 2000).

Gambar 7. Variasi dan sebaran nilai pH perairan muara Sungai Kapuas, Kalimantan Barat.

27

Di wilayah pesisir, nilai pH pada bulan April lebih rendah dibandingkan pada bulan September. Curah hujan yang lebih besar pada bulan April berpengaruh terhadap peningkatan debit air sungai yang berakibat pada penurunan salinitas dan pH perairan di wilayah pesisir. Meskipun demikian perbedaan tersebut tidak bernilai signifikan (p>0.05). pH perairan permukaan di lokasi tersebut berkisar antara 5.82-8.21 dengan nilai rata-rata sebesar 7.38(±0.68). Nilai tersebut masih dalam kisaran baku mutu air laut sesuai Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 yang berkisar antara 7.0-8.5.

Peningkatan nilai pH terjadi seiring dengan kenaikan nilai salinitas mulai dari mulut muara sungai mengarah ke lepas pantai (Gambar 7). Hasil analisis korelasi Pearson dan regresi linear menunjukkan hubungan positif yang signifikan (p<0.05; r Pearson= 0.81; R2=0.65) antara pH dan salinitas (Gambar 8 dan Lampiran 5). Seperti halnya salinitas, gradien horisontal peningkatan nilai pH terutama terjadi di pesisir utara, Muara Kapuas Kecil (stasiun 7, 8, dan 9), dan Muara Kapuas Besar (stasiun 13 dan 14). Fluktuasi pH di beberapa stasiun lainnya (stasiun 10, 11,12 serta stasiun 15, 16, 17) disebabkan oleh dinamika perairan permukaan dengan kedalaman perairan yang relatif dangkal. Pengadukan massa air serta masukan air tawar yang memiliki pH rendah pada saat pasang- surut mempengaruhi fluktuasi nilai pH perairan.

Gambar 8. Regresi linear antara salinitas dan pH di wilayah pesisir, perairan Muara Kapuas, Kalimantan Barat.

Suhu dan Oksigen Terlarut

Suhu di wilayah Sungai Kapuas dan wilayah pesisir tidak menunjukkan perbedaan temporal dan spasial yang signifikan (p>0.05). Suhu di aliran Sungai Kapuas berkisar antara 28.4-30 oC dengan nilai rata-rata sebesar 29.20(±0.67) oC, sedangkan di wilayah pesisir bervariasi antara 21.1-32.2 oC dengan nilai rata-rata sebesar 30.30(±1.81) oC. Suhu rendah yang terdeteksi di pesisir utara pada bulan September (stasiun 5) (Gambar 9), diduga terjadi akibat proses sirkulasi massa air

y = 0.061x + 6.609 R² = 0.655 5 6 7 8 9 0 5 10 15 20 25 30 35 pH Salinitas (psu)

28

yang bersuhu lebih rendah pada saat pengambilan sampel di pagi hari dari dasar perairan yang sangat dangkal (±1 m) menuju permukaan.

Gambar 9. Variasidan sebaran suhu (oC) di perairan permukaan muara Sungai Kapuas, Kalimantan Barat.

Data konsentrasi oksigen terlarut hanya berasal dari pengukuran pada bulan September, dikarenakan kerusakan alat pada saat pengukuran di bulan April. Oksigen terlarut di wilayah Sungai Kapuas pada bulan September berkisar antara 4.74-5.60 mg l-1 dengan nilai rata-rata sebesar 5.08(±0.46) mg l-1 (Gambar 10). Berdasarkan PP Nomor 82 tahun 2001 (pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air), nilai tersebut tidak memenuhi klasifikasi mutu air kelas I (peruntukan untuk air minum) karena <6 mg l-1. Sementara itu untuk klasifikasi mutu air kelas II dan III (peruntukan untuk budidaya ikan air tawar) nilai tersebut masih memenuhi baku mutu karena berada di atas kisaran 3-4 mg l-1. Oksigen terlarut digunakan oleh mikroorganisme untuk mendegradasi bahan organik yang terdapat dalam air. Semakin banyak bahan organik dalam air maka semakin banyak oksigen terlarut yang digunakan oleh mikroorganisme dalam mendegradasinya, dikenal sebagai istilah Biological Oxygen Demand atau BOD

29

(Weiner 2000). Hal tersebut pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen terlarut dalam air. Nilai oksigen terlarut yang rendah atau nilai BOD yang tinggi di aliran Sungai Kapuas mengindikasikan adanya pencemaran bahan organik ke dalam badan air Sungai Kapuas. Pencemaran bahan organik di Sungai Kapuas sebelumnya telah dilaporkan oleh Yulistiana (2007), di mana nilai BOD yang tinggi berkisar 3.06-3.99 mg l-1. Nilai tersebut telah melewati baku mutu klasifikasi mutu air kelas I dan II karena >2 mg l-1.

Gambar 10. Variasi dan sebaran konsentrasi oksigen terlarut (mg l-1) di perairan permukaan muara Sungai Kapuas, Kalimantan Barat pada bulan September 2011.

Nilai oksigen terlarut di perairan pesisir pada bulan September berkisar antara 4.5-6.8 mg l-1 dengan nilai rata-rata sebesar 6.2(±0.6) mg l-1. Nilai terendah terdapat di stasiun 5 (muara Peniti Luar), sedangkan nilai tertinggi terdapat di stasiun 2 (muara Kuala Mempawah) (Gambar 10). Nilai oksigen terlarut yang rendah terjadi di lokasi yang sama di mana suhu rendah tercatat (Gambar 9). Massa air yang diduga memiliki konsentrasi oksigen terlarut yang rendah akibat aktivitas mikrobial di dasar perairan mengalami sirkulasi ke permukaan.

30

Total Padatan Tersuspensi (Total Suspended Solids/TSS)

Secara temporal, konsentrasi TSS di wilayah Sungai Kapuas pada bulan April secara signifikan (p<0.05) lebih tinggi (kondisi perairan lebih keruh) dibandingkan pada bulan September (Gambar 11). Nilai konsentrasi rata-rata TSS di aliran Sungai Kapuas pada bulan April mengalami penurunan dari 95.03(±13.22) mg l-1 menjadi 67.27(±10.40) mg l-1 pada bulan September. Konsentrasi TSS yang lebih tinggi pada bulan April, disebabkan oleh perbedaan curah hujan di daerah penelitian. Berdasarkan data klimatologi dari Stasiun Meteorologi Maritim Kota Pontianak, curah hujan pada bulan April lebih tinggi (167.6 mm) dibandingkan pada bulan September (153.4 mm). Hal tersebut berpengaruh terhadap peningkatan volume air sungai yang membawa material hasil erosi tanah. Masuknya material tanah ke dalam aliran sungai berakibat pada tingginya konsentrasi TSS di badan air tersebut.

Di wilayah pesisir, konsentrasi TSS tidak menunjukkan perbedaan temporal yang signifikan (p>0.05) antara bulan April dan September. Nilai konsentrasi TSS sangat bervariasi yaitu antara 16.50-230 mg l-1 dengan nilai rata-rata sebesar 47.41(±50.29) mg l-1. Nilai terendah terdapat di stasiun 9 yang berada lepas pantai, sedangkan nilai tertinggi terdapat di stasiun 5 yang berada di mulut Muara Peniti Luar dengan kedalaman yang sangat dangkal (±1 m).

Gambar 11. Variasi dan sebaran nilai total padatan tersuspensi (TSS) (mg l-1) di perairan muara Sungai Kapuas, Kalimantan Barat.

31

Perairan muara dengan kedalaman air yang dangkal cenderung memiliki konsentrasi TSS yang tinggi yang disebabkan oleh mekanisme fisik seperti resuspensi sedimen dasar dan turbulensi yang terjadi di sekitar mulut sungai (Suzumura et al. 2004). Stasiun 3 (muara Sei Pinyuh) dan stasiun 5 (muara Peniti Luar) (Gambar 11) memiliki kedalaman perairan yang dangkal (antara 1-2 m), sehingga memberi kontribusi pada nilai konsentrasi TSS yang tinggi di wilayah tersebut. Nilai konsentrasi TSS yang tinggi juga dapat disebabkan oleh input debu dari udara, bahan organik, produktivitas fitoplankton, dan limbah buangan (Saad et al. 2003). Di sisi lain, aliran massa air laut yang berasal dari lepas pantai (Laut Natuna) memberikan pengaruh berupa pengenceran, sehingga konsentrasi TSS semakin berkurang seiring dengan bertambahnya jarak dan peningkatan salinitas dari mulut muara menuju lepas pantai. Hasil analisis regresi linear menunjukkan korelasi yang signifikan (p<0.05;R2=0.31) antara kenaikan salinitas dan penurunan konsentrasi TSS (Gambar 12).

Gambar 12. Regresi linear antara salinitas dan konsentrasi TSS di perairan Muara Kapuas, Kalimantan Barat.

Konsentrasi Logam Berat Dalam Air

Nilai konsentrasi Hg terlarut di aliran Sungai Kapuas tidak menunjukkan perbedaan temporal yang signifikan (p>0.05) antara bulan April dan September. Nilai konsentrasi Hg terlarut bervariasi antara 0.05-0.49 µg l-1 dengan rata-rata sebesar 0.23(±0.15) µg l-1. Nilai terendah tercatat di stasiun 20 (Sungai Ambawang) dan nilai tertinggi tercatat di stasiun 18 (Sungai Kapuas Kecil) (Gambar 13). Nilai konsentrasi Hg dalam TSS juga tidak menunjukkan perbedaan temporal yang signifikan antara bulan April dan September. Nilai konsentrasi Hg dalam TSS berkisar antara 1.00-2.59 mg kg-1 berat kering dengan rata-rata sebesar 1.52(±0.61) mg kg-1 berat kering. Nilai terendah dan tertinggi terdapat di stasiun 19 (Sungai Landak) Konsentrasi Hg terlarut di aliran Sungai Kapuas yang diperoleh dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian

y = -0.612x + 35.57 R² = 0.314 0 10 20 30 40 50 60 70 0 5 10 15 20 25 30 35 T S S ( mg l -1 ) Salinitas (psu)

32

sebelumnya yang dilakukan oleh Yulistiana (2007). Penelitian yang dilakukan pada bulan Oktober 2006 hingga Maret 2007 tersebut mendapatkan nilai konsentrasi Hg terlarut di aliran Sungai Kapuas (Sungai Landak dan Kapuas Kecil) berkisar antara 16.41-27.01 µg l-1. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dalam waktu lima tahun (2006-2011) terjadinya penurunan konsentrasi Hg terlarut di wilayah Sungai Kapuas. Penertiban yang dilakukan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat terhadap kegiatan penambangan emas tanpa izin dalam beberapa tahun terakhir (Harian Rakyat KalBar 2013), diduga berpengaruh dalam menurunkan tingkat penggunaan Hg dalam proses pengolahan emas. Dalam kriteria mutu air kelas I (peruntukan untuk air minum) yang ditetapkan pemerintah (PP No. 82 Tahun 2001), konsentrasi maksimal Hg yang diperbolehkan berada dalam air (perairan tawar) adalah sebesar 0.001 mg l-1 atau 1 µg l-1. Berdasarkan baku mutu tersebut, konsentrasi Hg terlarut di wilayah Sungai Kapuas belum melampaui batas maksimal yang diperbolehkan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada saat pengambilan sampel, kondisi perairan Sungai Kapuas tidak dalam kondisi tercemar Hg.

Gambar 13. Variasi nilai dan sebaran konsentrasi Hg terlarut (µg l-1) di Muara Kapuas, Kalimantan Barat.

33

Gambar 14. Variasi nilai dan sebaran konsentrasi Hg dalam TSS (mg kg-1 berat kering) di Muara Kapuas, Kalimantan Barat.

Konsentrasi Hg terlarut di wilayah pesisir cenderung lebih rendah dibandingkan dengan di wilayah sungai, serta tidak menunjukkan perbedaan temporal yang signifikan antara bulan April dan September. Nilai konsentrasi Hg terlarut bervariasi antara <0.001-0.80 µg l-1 dengan rata-rata sebesar 0.12(±0.17) µg l-1. Nilai terendah terdapat di beberapa lokasi di lepas pantai Muara Kapuas Kecil, sedangkan nilai tertinggi terdapat di stasiun 15 (perairan Muara Kapuas Besar) (Gambar 13). Sementara itu, konsentrasi Hg dalam TSS di wilayah pesisir tidak berbeda jauh dengan di wilayah sungai. Nilai konsentrasi Hg dalam TSS juga tidak menunjukkan perbedaan temporal yang signifikan antara bulan April dan September. Nilai konsentrasi Hg dalam TSS bervariasi antara 0.20-4.01 mg kg-1 berat kering dengan rata-rata sebesar 1.55(±0.93) mg kg-1 berat kering. Nilai terendah terdapat di stasiun 6 (Muara Peniti Luar) sedangkan nilai tertinggi terdapat di stasiun 12 (perairan Muara Kapuas Kecil) (Gambar 14). Dalam baku mutu yang ditetapkan pemerintah RI untuk perairan laut (KepMen LH No. 51 Tahun 2004), konsentrasi maksimal Hg terlarut yang diperbolehkan berada dalam air laut adalah sebesar 0.001 mg l-1 atau 1 µg l-1. Berdasarkan baku mutu tersebut,

34

konsentrasi Hg terlarut di perairan Muara Kapuas belum melampaui batas maksimal yang diperbolehkan. Hal tersebut mengindikasikan kondisi di wilayah pesisir Muara Kapuas pada saat pengambilan sampel terindikasi tidak dalam kondisi tercemar Hg.

Gambar 15. Variasi nilai dan sebaran konsentrasi Cd terlarut (µg l-1) di Muara Kapuas, Kalimantan Barat.

Nilai konsentrasi Cd terlarut di aliran Sungai Kapuas berkisar antara 0.05- 0.63 µg l-1. Nilai terendah dan tertinggi terdapat di Sungai Kapuas Kecil (Gambar 15). Sementara itu, nilai konsentrasi Cd dalam TSS bervariasi antara 21.66-69.33 mg kg-1 berat kering, di mana nilai terendah dan tertinggi terdapat di Sungai Landak (Gambar 16). Secara temporal, konsentrasi Cd di aliran Sungai Kapuas menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05) baik dalam fase terlarut maupun tersuspensi. Nilai rata-rata konsentrasi Cd terlarut pada bulan April (0.59±0.06 µg l-1) lebih tinggi dibandingkan pada bulan September (0.11±0.06 µg l-1). Sebaliknya, konsentrasi Cd dalam TSS pada bulan April (33.15±11.39 mg kg-

1

berat kering) lebih rendah dibandingkan pada bulan September (59.48±10.94 mg kg-1 berat kering). Kriteria mutu air kelas I (peruntukan untuk air minum) yang

35

ditetapkan pemerintah (PP No. 82 Tahun 2001) menyatakan konsentrasi maksimal Cd yang diperbolehkan berada dalam air (perairan tawar) adalah sebesar 0.01 mg l-1 atau 10 µg l-1. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada saat pengambilan sampel, konsentrasi Cd terlarut belum melampaui baku mutu dan kondisi perairan Sungai Kapuas tidak dalam kondisi tercemar logam berat tersebut.

Gambar 16. Variasi nilai dan sebaran konsentrasi Cd dalam TSS (mg kg-1 berat kering) di Muara Kapuas, Kalimantan Barat.

Konsentrasi Cd terlarut dan tersuspensi di wilayah pesisir relatif tidak berbeda jauh dengan di wilayah sungai. Di wilayah pesisir, nilai konsentrasi Cd terlarut bervariasi antara <0.001-0.73 µg l-1. Nilai terendah terdapat di stasiun 16 (perairan Muara Kapuas Besar), sedangkan nilai tertinggi terdapat di stasiun 11 (perairan Muara Kapuas Kecil). Nilai rata-rata konsentrasi Cd terlarut pada bulan April secara signifikan (p<0.05) lebih tinggi (0.62±0.06 µgl-1) dibandingkan pada bulan September (0.09±0.08 µgl-1). Sementara itu, nilai konsentrasi Cd dalam TSS tidak menunjukkan perbedaan temporal yang signifikan. Nilai konsentrasi Cd dalam TSS bervariasi antara 3.18-85.37 mg kg-1 berat kering dengan rata-rata sebesar 38.38(±23.88) mg kg-1 berat kering. Nilai terendah terdapat di stasiun 14 sedangkan nilai tertinggi terdapat di stasiun 13, di mana keduanya terletak di

36

perairan Muara Kapuas Besar (Gambar 16). Dalam baku mutu yang ditetapkan pemerintah RI untuk perairan laut (KepMen LH No. 51 Tahun 2004), konsentrasi maksimal Cd terlarut yang diperbolehkan berada dalam air laut adalah sebesar 0.001 mg l-1 atau 1 µg l-1. Berdasarkan baku mutu tersebut, konsentrasi Cd terlarut di perairan Muara Kapuas belum melampaui batas maksimal yang diperbolehkan. Hal tersebut mengindikasikan kondisi di wilayah pesisir Muara Kapuas pada saat pengambilan sampel tidak dalam kondisi tercemar Cd.

Gambar 17. Variasi nilai dan sebaran konsentrasi Pb terlarut (µg l-1) di Muara Kapuas, Kalimantan Barat.

Nilai konsentrasi Pb terlarut di aliran Sungai Kapuas tidak menunjukkan perbedaan temporal yang signifikan antara bulan April dan September. Nilai konsentrasi Pb terlarut di aliran Sungai Kapuas berkisar antara 2.15-3.44 µg l-1 dengan rata-rata sebesar 2.73(±0.45) µg l-1. Nilai terendah dan tertinggi terdapat di Sungai Landak (Gambar 17). Apabila dibandingkan dengan nilai konsentrasi Pb terlarut yang diperoleh sebelumnya oleh Yulistiana (2007) di aliran Sungai Kapuas (Sungai Landak dan Kapuas Kecil) yaitu sebesar 1.09(±0.30) µg l-1, terdapat indikasi peningkatan logam tersebut dalam kurun waktu 4-5 tahun. Aktivitas transportasi, pelabuhan, dan industri yang semakin berkembang di

37

sekitar Kota Pontianak dan aliran Sungai Kapuas diduga kuat berdampak pada peningkatan konsentrasi Pb di lingkungan perairan.

Gambar 18. Variasi nilai dan sebaran konsentrasi Pb dalam TSS (mg kg-1 berat kering) di Muara Kapuas, Kalimantan Barat.

Nilai konsentrasi Pb dalam TSS juga tidak menunjukkan perbedaan temporal yang signifikan antara bulan April dan September. Nilai konsentrasi Pb dalam TSS bervariasi antara 13.33-182.80 mg kg-1 berat kering dengan rata-rata sebesar 58.16(±64.74) mg kg-1 berat kering. Nilai terendah terdapat di Sungai Kapuas Kecil sedangkan nilai tertinggi terdapat di Sungai Landak (Gambar 18). Kriteria mutu air kelas I (peruntukan untuk air minum) yang ditetapkan pemerintah (PP No. 82 Tahun 2001) menyatakan konsentrasi maksimal Pb yang diperbolehkan berada dalam air (perairan tawar) adalah sebesar 0.03 mg l-1 atau 30 µg l-1. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada saat pengambilan sampel, konsentrasi Pb terlarut belum melampaui baku mutu dan kondisi perairan Sungai Kapuas tidak dalam kondisi tercemar logam berat tersebut.

Konsentrasi Pb terlarut dan tersuspensi di wilayah pesisir relatif tidak berbeda jauh dengan di wilayah sungai. Di wilayah pesisir, nilai konsentrasi Pb terlarut bervariasi antara 0.08-3.76 µg l-1. Nilai terendah terdapat di stasiun 14

38

(perairan Muara Kapuas Besar), sedangkan nilai tertinggi terdapat di stasiun 16 (perairan Muara Kapuas Besar). Nilai konsentrasi Pb terlarut menunjukkan perbedaan temporal yang signifikan antara bulan April dan September. Nilai rata- rata konsentrasi Pb terlarut mengalami penurunan signifikan dari 2.81 (±0.36) µg l-1 pada bulan April menjadi 1.41(±0.98) µg l-1 pada bulan September. Sementara itu, nilai konsentrasi Pb dalam TSS tidak menunjukkan perbedaan temporal yang signifikan antara bulan April dan September. Nilai konsentrasi Pb dalam TSS sangat bervariasi antara 0.49-201.99 mg kg-1 berat kering dengan rata-rata sebesar 28.66(±43.77) mg kg-1 berat kering. Nilai terendah terdapat di stasiun 3 (muara Sei Pinyuh) sedangkan nilai tertinggi terdapat di stasiun 12 (perairan Muara Kapuas Kecil). Dalam KepMen LH No. 51 Tahun 2004, konsentrasi maksimal Pb terlarut yang diperbolehkan berada dalam air laut adalah sebesar 0.008 mg l-1 atau 8 µg l-1. Berdasarkan baku mutu tersebut, konsentrasi Pb terlarut di perairan Muara Kapuas belum melampaui batas maksimal yang diperbolehkan.

Fluktuasi logam berat dalam air baik di wilayah Sungai Kapuas maupun pesisir Muara Kapuas berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi proses perpindahan logam antara fase terlarut dan tersuspensi. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah konsentrasi ligan dalam air (terlarut maupun tersuspensi) serta salinitas (Hatje et al. 2003; Saad et al. 2003; Ramalhosa et al. 2005; Apeti et al. 2009). Salinitas berkaitan dengan aktivitas ion Cl- yang membentuk senyawa kompleks dengan ion logam (Luoma & Rainbow 2008), sedangkan ligan memiliki muatan negatif yang akan berikatan dengan logam yang bermuatan positif (Foster & Charlesworth 1997). Semakin kuat suatu logam terikat dengan ligan pada fase tertentu (terlarut atau tersuspensi), logam tersebut akan sulit berpindah ke fase lainnya (Luoma & Rainbow 2008). Selain disebabkan proses pengenceran oleh air laut, penyerapan unsur logam oleh fitoplankton juga berpengaruh terhadap penurunan konsentrasi logam terlarut di wilayah pesisir. Kemiripan logam Cd dengan logam Zn yang bersifat esensial, menyebabkan Cd juga terlibat dalam proses penyerapan oleh fitoplankton (Hatje et al. 2003; Luoma & Rainbow 2008).

Perpindahan logam antara fase terlarut dan tersuspensi didorong oleh kondisi hidrodinamika perairan (Luoma & Rainbow 2008). Perairan muara sungai dengan kedalaman air yang dangkal cenderung lebih dinamis disebabkan angin dan pasang surut memberi pengaruh hingga dasar perairan. Sebagai contoh, Teluk

Dokumen terkait