• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Ketahanan Cabai Terhadap Antraknosa

Pada pengujian ketahanan terhadap antraknosa yang dilakukan pada buah hijau yang sudah matang, dari pengamatan kejadian penyakit (Tabel 5) tidak ada tetua maupun hibrida yang tahan terhadap antraknosa. Dari 21 genotipe yang diuji hibrida IPB C15 x IPB C9 (41.54 %) dan tetua IPB C15 (47.5 %) menunjukkan persentase kejadian penyakit yang paling rendah.

Tabel 5. Respon 21 genotipe cabai terhadap antraknosa (kejadian penyakit)

Genotipe Antraknosa

KP (%) Respon

IPB C15 x IPB C2 68.33 Rentan

IPB C15 x IPB C4 88.25 Sangat rentan

IPB C15 x IPB C8 91.50 Sangat rentan

IPB C15 x IPB C9 41.54 Rentan

IPB C15 x IPB C10 59.17 Rentan

IPB C10 x IPB C2 49.25 Rentan

IPB C10 x IPB C4 76.00 Sangat rentan

IPB C10 x IPB C8 97.67 Sangat rentan

IPB C10 x IPB C9 66.85 Rentan

IPB C9 x IPB C2 86.17 Sangat rentan

IPB C9 x IPB C4 78.83 Sangat rentan

IPB C9 x IPB C8 65.89 Rentan

IPB C8 x IPB C2 66.53 Rentan

IPB C8 x IPB C4 73.14 Sangat rentan

IPB C4 x IPB C2 75.67 Sangat rentan

IPB C15 47.50 Rentan

IPB C10 95.00 Sangat rentan

IPB C9 100.00 Sangat rentan

IPB C8 82.67 Sangat rentan

IPB C4 65.67 Rentan

IPB C2 67.67 Rentan

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Syukur (2007) dengan menggunakan genotipe IPB C1, IPB C2, IPB C3, IPB C4, IPB C5, IPB C7, IPB C8, IPB C9, IPB C15, IPB C18, IPB C19, IPB C28, IPB C47 dan IPB C49, serta menggunakan isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07, berhasil didapatkan genotipe tahan terhadap isolat PYK 04 yaitu IPB C15 dengan KP ≤ 20 %. Hasil

yang sama juga didapatkan oleh Putri (2010) yang melakukan penelitian terhadap 25 genotipe cabai dengan menggunakan isolat PYK 04, dimana genotipe IPB C15 termasuk dalam kategori tahan dengan nilai KP 5 %.

Pada penelitian ini genotipe IPB C15 termasuk dalam kategori rentan dengan KP 47.5 %, berdasarkan kelas ketahanan yang digunakan oleh Yoon (2003) (Tabel 1), walaupun bila dibandingkan dengan tetua lainnya yang mempunyai nilai KP lebih dari 60 %, tetua ini mempunyai nilai KP yang paling rendah, selain itu terdapat satu genotipe F1 yaitu IPB C15 x IPB C9 yang memiliki nilai KP yang paling rendah diantara 21 genotipe yang diuji (41.54 %) (Tabel 5). Perbedaan hasil tersebut disebabkan oleh perbedaan isolat yang digunakan, dimana dalam penelitian ini digunakan isolat BKT 04. Isolat BKT 04 berasal dari daerah Bukittinggi yang berada pada ketinggian 909-941 m dpl dengan suhu antara 16.1-24.9 ºC, sementara itu isolat PYK 04 berasal dari daerah Payakumbuh yang berada pada ketinggian 514 m dpl dengan suhu rata-rata 26 ºC. Isolat PYK dan BKT diduga merupakan strain yang berbeda sehingga menimbulkan respon ketahanan yang berbeda ketika diujikan pada genotipe yang sama.

Penelitian Syukur et al. (2009) yang dilakukan terhadap 14 genotipe cabai dan empat isolat C. acutatum menunjukkan bahwa genotipe yang sama memberikan respon yang berbeda terhadap isolat yang berbeda. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa tingkat ketahanan cabai terhadap antraknosa sangat dipengaruhi oleh faktor genotipe dan isolat yang digunakan, dimana pengaruh isolat merupakan penyumbang keragaman terbesar. Kombinasi antara sifat struktural dan reaksi biokimia yang digunakan dalam mekanisme pertahanan tanaman terhadap serangan penyakit, berbeda antara setiap sistem kombinasi inang-patogen. Bahkan pada inang dan patogen yang sama, kombinasi tersebut dapat menghasilkan respon tanaman yang berbeda dalam kondisi tertentu, seperti perbedaan umur, jenis organ dan jaringan tanaman yang terserang, keadaan hara tanaman serta kondisi cuaca (Syukur 2007).

Pada pengamatan terhadap diameter bercak terdapat tiga genotipe yang termasuk dalam kategori tahan berdasarkan AVRDC (1990) yaitu IPB C15 x IPB C10 (0.96 cm), IPB C15 (0.74 cm) dan IPB C8 (0.78 cm) (Tabel 6). Hal ini

diduga disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan tertentu dari masing-masing genotipe yang dapat mencegah perluasan infeksi antraknosa sehingga diameter bercak yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan genotipe lainnya. Syukur et al. (2009) menyatakan bahwa terdapat indikasi bahwa mekanisme ketahanan yang dimiliki oleh genotipe IPB C8 adalah mekanisme ketahanan fisik sementara pada genotipe IPB C15 lebih mengarah ke mekanisme ketahanan biokimia.

Tabel 6. Respon 21 genotipe cabai terhadap antraknosa (diameter bercak)

Genotipe Antraknosa

Diameter bercak (cm) Respon

IPB C15 x IPB C2 1.21 Rentan

IPB C15 x IPB C4 1.04 Rentan

IPB C15 x IPB C8 1.12 Rentan

IPB C15 x IPB C9 1.09 Rentan

IPB C15 x IPB C10 0.96 Tahan

IPB C10 x IPB C2 1.19 Rentan

IPB C10 x IPB C4 1.13 Rentan

IPB C10 x IPB C8 1.29 Rentan

IPB C10 x IPB C9 1.14 Rentan

IPB C9 x IPB C2 1.21 Rentan

IPB C9 x IPB C4 1.21 Rentan

IPB C9 x IPB C8 1.34 Rentan

IPB C8 x IPB C2 1.26 Rentan

IPB C8 x IPB C4 1.30 Rentan

IPB C4 x IPB C2 1.09 Rentan

IPB C15 0.74 Tahan IPB C10 1.22 Rentan IPB C9 1.17 Rentan IPB C8 0.78 Tahan IPB C4 1.09 Rentan IPB C2 1.10 Rentan

Pada umumnya mekanisme pertahanan tanaman meliputi ketahanan morfologis dan ketahanan biokimia. Ketahanan morfologis suatu tanaman dapat diperoleh karena adanya lapisan kutikula pada permukaan epidermis, rambut-rambut epidermis (trichome), dinding sel yang menggabus serta menutupnya stomata sebagai jalan masuk organisme penyebab penyakit. Sementara ketahanan biokimia dapat diperoleh karena adanya zat kimia yang mencegah masuknya

patogen, adanya substansi racun sitoplasmik dan adanya ion hara yang berperan sebagai antagonis (Crowder 2006).

Mekanisme pertahanan tanaman juga dapat berupa mekanisme pasif dan aktif. Mekanisme pasif melibatkan pertahanan struktural dan kandungan komponen antimikroba pada tanaman yang berfungsi untuk mencegah kolonisasi patogen. Pada mekanisme aktif, tanaman mencegah perluasan serangan patogen dengan bereaksi secara langsung pada saat tanaman tersebut terserang oleh patogen. Reaksi tersebut melibatkan reaksi biokimia, seperti respon hipersensitif nekrotik, dan modifikasi sel serta jaringan. Kim et al. (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan genetik, biokimia dan struktural antara reaksi hipersensitif atau

programmed cell death (PCD) dengan penebalan kutikula yang merefleksikan mekanisme pertahanan tertentu. Pada buah cabai yang diinokulasi oleh C. gloeosporioides, terbentuk formasi jaringan pemisah di sekitar luka akibat inokulasi setelah reaksi awal PCD yang memisahkan jaringan sehat dengan jaringan yang terinfeksi.

Salah satu cara untuk membedakan spesies C. acutatum dengan spesies lainnya adalah dengan melihat perbedaan warna koloni. Koloni C. acutatum

berwarna pink atau oranye, sementara koloni C. gloeosporioides berwarna abu-abu (Wharton dan Uribeondo 2004), walaupun Forster dan Adaskaveg (1999) menemukan isolat C. acutatum yang diambil dari almond mempunyai dua fenotipe, yaitu abu-abu dan pink.

Pada penelitian ini, warna koloni hasil inokulasi berwarna oranye, hal ini dapat dilihat pada Gambar 1. Pada Gambar 2 dapat dilihat perbedaan antara buah yang menampakkan gejala dengan buah yang tidak menampakkan gejala setelah diinokulasi isolat C. acutatum BKT 04.

Gambar 1. Koloni C. acutatum berwarna oranye hasil inokulasi

Gambar 2. Buah cabai hasil inokulasi

Keterangan: buah yang menampakkan gejala (kiri) dan buah yang tidak menampakkan gejala (kanan).

Pendugaan Parameter Genetik Ketahanan Cabai Terhadap Antraknosa dengan Menggunakan Analisis Dialel

Pendugaan Parameter Genetik Menggunakan Pendekatan Hayman

Menurut Singh dan Chaudhary (1979), pendugaan parameter genetik menggunakan analisis silang dialel dapat dilakukan jika terdapat perbedaan yang nyata antar genotipe berdasarkan uji F. Berdasarkan Tabel 7, terdapat perbedaan nyata antar genotipe terhadap ketahanan penyakit antraknosa pada peubah ketahanan dan diameter bercak. Hal ini menunjukkan bahwa pendugaan parameter genetik dapat dilakukan pada kedua peubah tersebut.

Tabel 7. Kuadrat tengah ketahanan cabai terhadap antraknosa

Sumber keragaman dB KT ketahanan KT diameter bercak

Ulangan 2 0.0498* 0.0079tn

Genotipe 20 0.0745* 0.0546*

Galat 40 0.0025 0.0176

* = berbeda nyata, tn = tidak nyata

Hasil pendugaan parameter genetik untuk ketahanan tanaman cabai terhadap antraknosa disajikan pada Tabel 8. Hasil uji koefisien regresi b (Wr,Vr) tidak berbeda nyata dengan satu untuk peubah ketahanan dan diameter bercak (Tabel 8). Menurut Roy (2000) jika nilai b (Wr,Vr) tidak berbeda nyata maka tidak terdapat interaksi gen non alelik, dengan demikian tidak ada interaksi antar gen pada kedua peubah tersebut dan hal ini menunjukkan bahwa salah satu asumsi analisis silang dialel dapat terpenuhi.

Tabel 8. Pendugaan parameter genetik ketahanan tanaman cabai terhadap antraknosa

Parameter genetik Ketahanan Diameter bercak

b(Wr, Vr) 0.476tn 1.013tn D 0.038* 0.036* F 0.056tn 0.047* H1 0.121* 0.069* H2 0.096* 0.044* h2 0.005tn 0.062* E 0.001tn 0.006* (H1/D)1/2 1.785 1.388 H2/4H1 0.197 0.159 Kd/Kr 2.380 2.850 h2/H2 0.047 1.415 r - 0.587 - 0.797 h2bs h2ns 0.956 0.751 0.14 0.277

*= berbeda nyata, tn = tidak berbeda nyata

Nilai D dan nilai H1 menunjukkan pengaruh aditif dan pengaruh dominan. Nilai D dan H1 yang berbeda nyata pada ketahanan dan diameter bercak menunjukkan bahwa kedua peubah tersebut dipengaruhi oleh pengaruh aditif dan dominan. Pada pengujian ketahanan terhadap antraknosa ini pengaruh dominan lebih besar dibandingkan dengan pengaruh aditif karena nilai H1 yang lebih besar daripada nilai D pada ketahanan (D=0.038;H1=0.121) dan diameter bercak (D=0.036;H1=0.069) (Tabel 8).

Distribusi gen dalam tetua dapat dilihat dari nilai H2. Apabila gen menyebar secara merata dalam tetua nilai H2 tidak berbeda nyata dan demikian pula sebaliknya. Pada ketahanan dan diameter bercak nilai H2 berbeda nyata, hal tersebut menunjukkan bahwa gen dalam tetua menyebar secara tidak merata. Hal ini juga ditunjukkan oleh nilai H2/4H1 yang kurang dari 0.25 (Singh & Chaudary 1979), dimana nilai H2/4H1 pada ketahanan adalah 0.197 dan pada diameter bercak adalah 0.159 (Tabel 8).

Proporsi gen-gen positif terhadap gen-gen negatif dapat terlihat dari nilai H1

dan H2. Apabila H1 > H2 maka gen-gen yang banyak adalah gen-gen positif demikian pula sebaliknya. Nilai H1 dan H2 pada Tabel 8 menunjukkan bahwa pada pengujian ketahanan tanaman cabai terhadap antraknosa ini gen-gen positif lebih banyak daripada gen-gen negatif, dimana nilai H1 lebih besar daripada H2 pada ketahanan (0.121;0.096) dan pada diameter bercak (0.069;0.044).

Tingkat dominansi pada ketahanan dan diameter bercak adalah over dominan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai (H1/D)1/2 lebih dari satu untuk ketahanan (1.785) dan diameter bercak (1.388) (Tabel 8). Menurut Hayman (1954) nilai (H1/D)1/2 lebih dari satu menunjukkan over dominansi.

Nilai Kd/Kr menunjukkan proporsi gen dominan terhadap gen resesif, jika Kd/Kr > 1 maka gen-gen dominan lebih banyak di dalam tetua, sebaliknya apabila nilai Kd/Kr < 1 maka gen-gen resesif lebih banyak di dalam tetua. Dari hasil analisis diketahui bahwa nilai Kd/Kr karakter ketahanan cabai terhadap antraknosa lebih besar dari satu (Tabel 8) dimana nilai Kd/Kr pada ketahanan adalah (2.380) sedangkan nilai Kd/Kr pada diameter bercak adalah (2.850). Hal ini menunjukkan gen-gen dominan lebih banyak di dalam tetua.

Simpangan rata-rata F1 dari rata-rata tetua yang ditunjukkan oleh nilai h2. Nilai h2 tidak berbeda nyata untuk ketahanan tetapi berbeda nyata untuk diameter bercak. Nilai h2/H2 menunjukkan jumlah kelompok gen pengendali. Jumlah kelompok gen pengendali ketahanan terhadap antraknosa adalah satu kelompok gen (Tabel 8).

Nilai duga heritabilitas arti luas pada percobaan ini tergolong tinggi, yaitu 0.95 untuk ketahanan dan 0.75 untuk diameter bercak (Tabel 8). Hal tersebut menunjukkan ragam gejala yang muncul terutama dikendalikan oleh faktor

genetik. Hal tersebut juga ditandai oleh nilai E yang tidak berbeda nyata pada ketahanan. Nilai duga heritabilitas arti sempit dalam percobaan ini tergolong rendah, yaitu 0.14 untuk ketahanan dan 0.27 untuk diameter bercak (Tabel 8). Hal ini menunjukkan aksi gen aditif berperan kecil dalam ketahanan terhadap antraknosa.

Hasil penghitungan r (Wr+Vr<Yr) pada percobaan ini adalah negatif (Tabel 8). Jika nilai r (Wr+Vr<Yr) negatif maka nilai kuantifikasi yang tinggi dominan terhadap yang rendah (Jagau 1993). Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan cabai terhadap antraknosa dikendalikan oleh gen resesif. Dari Gambar 3 dan Gambar 4 dapat dilihat bahwa garis lurus Wri memotong sumbu tegak (Wr) di bawah pangkal sumbu ordinat, hal ini menandakan terdapat pengaruh overdominansi pada ketahanan dan diameter bercak. Unay et al. (2004) menyatakan bila garis lurus Wri memotong sumbu tegak (Wr) di bawah pangkal sumbu ordinat maka terdapat pengaruh overdominansi pada karakter tersebut. Hal ini sesuai dengan nilai (H1/D)1/2 yang lebih dari satu untuk ketahanan dan diameter bercak (Tabel 8).

Nilai Urutan dominansi tetua berdasarkan (Wr+Vr) pada ketahanan adalah IPB C4 (0.0018), IPB C2 (0.0144), IPB C8 (0.0169), IPB C15 (0.0374), IPB C10 (0.0577), IPB C9 (0.0645) (Tabel 9). Urutan dominansi ketahanan juga dapat terlihat pada Gambar 3. Dimana semakin dekat letak titik nilai tetua pada titik nol maka tetua tersebut semakin banyak mengandung gen dominan serta sebaliknya (Sousa dan Malouf 2003).

Tabel 9. Sebaran Vr + Wr

Genotipe Ketahanan Diameter Bercak

IPB C15 0.0374 0.0394 IPB C10 0.0577 0.0190 IPB C9 0.0645 0.0036 IPB C8 0.0169 0.0793 IPB C4 0.0018 0.0072 IPB C2 0.0144 - 0.0021

Gambar 3. Hubungan antara peragam (Wr) dan ragam (Vr) untuk ketahanan

Urutan dominansi tetua berdasarkan (Wr+Vr) pada diameter bercak adalah IPB C2 (-0.0021), IPB C9 (0.0036), IPB C4 (0.0072), IPB C10 (0.0190), IPB C15 (0.0394) dan IPB C8 (0.0793) (Tabel 9). Pada peubah ketahanan, tetua IPB C4 adalah tetua yang paling banyak mengandung gen dominan karena nilainya paling dekat dengan titik nol, sedangkan tetua IPB C9 adalah tetua yang paling banyak mengandung gen resesif karena paling jauh dari titik nol (Gambar 3). Pada diameter bercak, tetua yang paling banyak mengandung gen dominan adalah IPB C2 karena paling dekat dengan titik nol, sedangkan tetua yang paling banyak mengandung gen resesif adalah IPB C8 karena paling jauh dari titik nol (Gambar 4). Wri Yr dugaan IPB C4 IPB C2 IPB C8 IPB C15 IPB C10 IPB C9

Gambar 4. Hubungan antara peragam (Wr) dan ragam (Vr)

untuk diameter bercak.

Dari hasil analisis diketahui bahwa ketahanan terhadap antraknosa isolat BKT 04 lebih dipengaruhi oleh aksi gen dominan. Ragam genetik dominan merupakan penyebab utama ketidaksamaan diantara kerabat. Ragam ini merupakan basis utama bagi heterosis dan kemampuan daya gabung (Syukur 2007). Ketahanan terhadap antraknosa dikendalikan oleh gen resesif. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Syukur (2007) yang melakukan penelitian dengan menggunakan isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07. Hal ini dapat ditunjukkan dengan nilai r dari peubah ketahanan dan diameter bercak yang bernilai negatif. Hal tersebut juga terlihat pada Gambar 3 dan Gambar 4 dimana tetua IPB C15 yang termasuk tahan pada peubah diameter bercak dan mempunyai persentase kejadian penyakit yang terendah diantara tetua lainnya, berada pada titik yang jauh dari titik sumbu. Hal tersebut menunjukkan bahwa tetua IPB C15 banyak mengandung gen resesif, sementara tetua lainnya membawa gen dominan.

Dari sudut pandang pemuliaan tanaman, ketahanan yang dikendalikan oleh gen dominan lebih menguntungkan daripada ketahanan yang dikendalikan oleh gen resesif, karena akan diturunkan pada hibrida F1, walaupun jika hanya salah satu tetua yang memiliki alel ketahanan. Perakitan varietas tahan dengan gen resesif akan sulit dan memakan banyak waktu, walaupun demikian ketahanan

IPB C2 IPB C4 IPB C10 IPB C15 IPB C8 IPB C9 Wri Yr dugaan

yang dikendalikan oleh gen resesif lebih dapat bertahan lama dibandingkan dengan ketahanan yang dikendalikan oleh gen dominan (Kim et al. 2007).

Pendugaan Daya Gabung

Pada percobaan pendugan daya gabung digunakan peubah ketahanan dan diameter bercak. Kuadrat tengah daya dabung umum dan daya gabung khusus pada ketahanan dan diameter bercak berbeda nyata (Tabel 10). Hal ini menunjukkan satu atau lebih genotipe cabai penggabung yang baik pada karakter ketahanan terhadap antraknosa. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa karakter ketahanan terhadap antraknosa dipengaruhi aksi gen aditif dan dominan. Pengertian dari daya gabung yang baik adalah kapasitas suatu tetua untuk menghasilkan keturunan yang superior bila digabungkan dengan tetua lain (Borojevic 1990).

Tabel 10. Kuadrat tengah daya gabung ketahanan cabai terhadap antraknosa Sumber keragaman KT diameter bercak KT ketahanan

Daya gabung umum 0.032* 0.024*

Daya gabung khusus 0.020* 0.028*

Galat 0.007 0.001

Pada peubah diameter bercak karena perhitungan DGU dan DGK berdasarkan diameter bercak luka pada buah maka yang diharapkan adalah nilai DGU dan DGK yang negatif karena semakin kecil diameter bercak maka semakin tahan genotipe tersebut terhadap antraknosa. Pada peubah diameter bercak genotipe yang memiliki nilai DGU negatif adalah IPB C15 (-0.123) dan IPB C8 (-0.003) (Tabel 11), walaupun termasuk dalam kategori rentan tetapi tetua IPB C15 dan IPB C8 memiliki daya gabung yang lebih baik bila dibandingkan dengan tetua-tetua lainnya. Tetua dengan nilai daya gabung umum yang baik mempunyai kemungkinan untuk mengembangkan galur yang baik pada generasi selanjutnya. Pada karakter diameter bercak terdapat enam persilangan yang memiliki nilai DGK negatif dimana genotipe IPB C15 x IPB C10 dan IPB C4 x IPB C2, masing-masing memiliki nilai DGK yang terendah, yaitu (-0.08) (Tabel 12).

Tabel 11. Nilai daya gabung umum (DGU) ketahanan cabai terhadap antraknosa Genotipe DGU diameter bercak DGU ketahanan

IPB C15 - 0.123 0.088 IPB C10 0.031 - 0.031 IPB C9 0.055 - 0.031 IPB C8 - 0.003 - 0.057 IPB C4 0.007 - 0.011 IPB C2 0.034 0.041

Pada peubah ketahanan karena perhitungan DGU dan DGK menggunakan nilai 1-kp maka yang diharapkan adalah nilai positif. Genotipe IPB C15 dan IPB C2 memiliki nilai DGU positif untuk peubah ketahanan yaitu 0.088 dan 0.041 (Tabel 11), hal tersebut menunjukkan bahwa kedua tetua tersebut walaupun termasuk dalam kategori rentan namun memiliki daya gabung yang lebih baik dibandingkan dengan tetua-tetua lainnya untuk karakter kejadian penyakit antraknosa. Dari analisis daya gabung khusus diperoleh delapan persilangan yang menghasilkan DGK positif walaupun genotipe-genotipe tersebut termasuk dalam kategori rentan. Sujiprihati (1996) menyatakan bahwa daya gabung khusus (DGK) yang positif untuk karakter produksi menunjukkan bahwa tetua tersebut mempunyai kombinasi hibrida yang tinggi dengan salah satu tetua yang digunakan. Persilangan IPB C15 x IPB C9 memiliki nilai DGK tertinggi, yaitu (0.26) (Tabel 12).

Tabel 12. Nilai daya gabung khusus (DGK) ketahanan cabai terhadap antraknosa Genotipe DGK diameter bercak DGK ketahanan

IPB C15 x IPB C10 - 0.08 0.08 IPB C15 x IPB C9 0.03 0.26 IPB C15 x IPB C8 0.12 - 0.21 IPB C15 x IPB C4 0.03 - 0.23 IPB C15 x IPB C2 0.17 - 0.08 IPB C10 x IPB C9 - 0.07 0.13 IPB C10 x IPB C8 0.13 - 0.15 IPB C10 x IPB C4 - 0.04 0.02 IPB C10 x IPB C2 - 0.01 0.23 IPB C9 x IPB C8 0.20 0.16 IPB C9 x IPB C4 0.02 - 0.01 IPB C9 x IPB C2 - 0.01 - 0.14 IPB C8 x IPB C4 0.17 0.07 IPB C8 x IPB C2 0.11 0.08 IPB C4 x IPB C2 - 0.08 - 0.05

Tetua dengan nilai DGU yang baik memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menghasilkan keturunan dengan nilai DGK yang baik, bila dibandingkan dengan tetua yang memiliki nilai DGU yang rendah (Borojevic 1990). Hal ini terlihat pada peubah ketahanan dimana genotipe IPB C15 yang memiliki nilai DGU yang paling tinggi bila dibandingkan dengan tetua lainnya, yaitu 0.0883 (Tabel 11), menghasilkan F1 dengan DGK tertinggi dibandingkan dengan F1 lainnya, yaitu IPB C15 x IPB C9 dengan nilai DGK (0.26) (Tabel 12).

Hal yang berbeda terlihat pada peubah diameter bercak, dimana genotipe dengan nilai DGK negatif rendah, yaitu IPB C4 x IPB C2 dengan nilai DGK -0.08 (Tabel 11) diperoleh dari tetua dengan nilai DGU yang positif yaitu IPB C4 (0.007) dan IPB C2 (0.034) (Tabel 11). Sementara genotipe IPB C15 x IPB C10 yang memiliki nilai DGK yang sama dengan genotipe IPB C4 x IPB C2 yaitu -0.08 diperoleh dari tetua dengan nilai DGU negatif yaitu IPB C15 (-0.123) dan tetua dengan DGU positif yaitu IPB C10 (0.031). Hasil yang berbeda antara daya gabung kedua peubah mengindikasikan bahwa nilai DGU belum tentu dapat digunakan untuk menduga nilai DGK suatu varietas. Kemampuan nilai DGU untuk menduga nilai DGK akan meningkat apabila tetua yang digunakan dalam analisis dialel tersebut dalam jumlah yang besar sehingga kombinasi persilangan dalam populasi tersebut juga dalam jumlah yang besar (Borojevic 1990).

Ragam genetik dari suatu populasi dapat dijabarkan menjadi ragam DGU dan DGK yang selanjutnya dibagi menjadi ragam aditif dan ragam non aditif. Ragam DGU mengandung ragam genetik aditif dan ragam DGK mengandung ragam genetik dominan dan epistasis. Nilai DGU menjabarkan nilai proses pemuliaan dari suatu tetua pada kombinasi persilangan dengan tetua lain. Nilai proses pemuliaan akan meningkat bila suatu tetua homosigot memperlihatkan aksi gen dominan dan epistasis ke arah yang diinginkan, pengertian tersebut dalam analisis dialel digunakan untuk menunjukkan perbedaan diantara aray dan diasumsikan setara dengan ragam genetik aditif (homosigot). Hal yang sama berlaku untuk nilai DGK yang diasumsikan setara dengan ragam dominan dan epistasis (Roy 2000).

Pendugaan Heterosis

Peubah yang digunakan dalam pendugaan nilai heterosis adalah kejadian penyakit dan diameter bercak. Nilai yang diharapkan adalah nilai heterosis negatif karena semakin rendah persentase kejadian penyakit dan semakin kecil diameter bercak maka semakin tahan genotipe tersebut terhadap antraknosa.

Nilai tengah tetua dan F1 adalah spesifik pada tiap parameter genetik oleh karena itu nilai yang dihasilkan dari fenomena heterosis bersifat spesifik pada tiap percobaan. Seperti contoh heterosis pada karakter hasil pada umumnya nilai tengah F1 lebih besar daripada tetuanya. Pada kasus yang berbeda seperti pada karakter waktu yang diperlukan untuk mencapai tahapan perkembangan tertentu, pada umumnya nilai tengah F1 lebih rendah dari nilai tengah tetua dengan nilai terendah (Mather dan Jinks 1982).

Fenomena heterosis ditemukan pada cabai sehingga memungkinkan dibuat hibrida cabai (Berke 2000). Hasil penelitian Riyanto (2007) menunjukkan terdapat fenomena heterosis dan heterobeltiosis ketahanan cabai terhadap CMV dan ChiVMV. Hibrida IPB C2 x IPB C4 menunjukkan nilai heterosis -18.42 % dan heterobeltiosis -6.06 % berdasarkan kelas CMV, sementara pada kelas ChiVMV hibrida IPB C2 x IPB C1 dan IPB C4 x IPB C1 menunjukkan nilai heterosis, secara berturut-turut, (-59.76, -50.85), serta heterobeltiosis, secara berturut-turut, (-51.43, -39.58).

Nilai heterosis pada diameter bercak berkisar antara -2.593 sampai 38.741 dan heterobeltiosis diameter bercak berkisar antara -21.311 sampai 72.179 (Tabel 13). Pada peubah diameter bercak terdapat empat genotipe dengan nilai heterosis negatif dan tujuh genotipe dengan nilai heterobeltiosis negatif, dimana genotipe IPB C10 x IPB C9 merupakan genotipe dengan nilai heterosis terendah, yaitu -4.603 dan genotipe IPB C15 x IPB C10 merupakan genotipe dengan nilai heterobeltiosis terendah yaitu -21.311 (Tabel 13), nilai tersebut menunjukkan bahwa kedua genotipe tersebut memiliki karakter ketahanan yang lebih baik daripada tetua-tetuanya untuk diameter bercak. Hal ini sesuai dengan ukuran diameter bercak genotipe IPB C10 x IPB C9 (1.14 cm) yang lebih kecil daripada ukuran diameter bercak kedua tetuanya, IPB C10 (1.22 cm) dan IPB C9 (1.17 cm) (Tabel 6). Hasil ini seiring dengan nilai DGK kedua hibrida yang bernilai negatif,

yaitu IPB C10 x IPB C9 mempunyai nilai DGK -0.07, sementara IPB C15 x IPB C10 mempunyai nilai DGK -0.08.

Tabel 13. Nilai duga heterosis dan heterobeltiosis ketahanan cabai terhadap antraknosa

Genotipe Kejadian penyakit Diameter bercak Heterosis Heterobeltiosis Heterosis Heterobeltiosis ---%--- IPB C15 x IPB C2 18.65 43.85 31.277 10.273 IPB C15 x IPB C4 55.95 85.79 13.043 - 4.849 IPB C15 x IPB C8 40.57 92.63 46.597 43.590 IPB C15 x IPB C9 - 43.67 - 12.55 13.660 - 6.838 IPB C15 x IPB C10 - 16.95 24.57 - 2.439 - 21.311 IPB C10 x IPB C2 - 39.45 - 27.22 2.586 - 2.459 IPB C10 x IPB C4 -5.40 15.73 - 2.593 - 7.623 IPB C10 x IPB C8 9.94 18.14 28.700 5.492 IPB C10 x IPB C9 - 31.44 - 29.63 - 4.603 - 6.557 IPB C9 x IPB C2 2.78 27.34 6.608 3.419 IPB C9 x IPB C4 - 4.84 0.20 7.155 10.979 IPB C9 x IPB C8 - 27.86 - 20.30 37.743 72.179 IPB C8 x IPB C2 - 11.49 - 1.68 34.362 14.818 IPB C8 x IPB C4 - 1.39 0.11 38.741 18.939 IPB C4 x IPB C2 13.50 15.23 - 0.638 - 0.909

Nilai heterosis pada kejadian penyakit berkisar antara -43.67 sampai 55.95 dan heterobeltiosis kejadian penyakit berkisar antara -29.63 sampai 92.63. Pada peubah kejadian penyakit terdapat sembilan genotipe yang memiliki nilai heterosis negatif dan lima genotipe memiliki nilai heterobeltiosis negatif, dimana genotipe IPB C15 x IPB C9 merupakan genotipe dengan nilai heterosis terendah, yaitu -43.67 dan genotipe IPB C10 x IPB C9 merupakan genotipe dengan nilai heterobeltiosis terendah, yaitu -29.63 (Tabel 13), nilai tersebut menunjukkan bahwa kedua genotipe tersebut memiliki karakter ketahanan yang lebih baik daripada tetua-tetuanya pada peubah kejadian penyakit. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5 dimana genotipe IPB C15 x IPB C9 mempunyai persentase kejadian penyakit yang lebih rendah, yaitu 41.54 % bila dibandingkan dengan kedua tetuanya IPB C15 (47.5 %) dan IPB C9 (100 %). Demikian pula dengan genotipe

Dokumen terkait