• Tidak ada hasil yang ditemukan

Parasitoid yang ditemukan di Lapang

Selama survei pendahuluan, telah ditemukan tiga jenis parasitoid yang tergolong dalam famili Eupelmidae, Pteromalidae dan Scelionidae. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa parasitoid famili Scelionidae selalu ditemukan pada kelompok telur C. javanus yang terparasit. Hasil ini menunjukkan bahwa parasitoid ini cukup dominan di lapang. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Qodir (2010) yaitu bahwa parasitoid ini selalu ditemukan di setiap pengamatan dan selalu berperan dalam memarasit telur C. javanus. Oleh karena itu pemahaman biologi, siklus hidup dan potensi parasitoid Trissolcus sp. dari famili Scelionidae ini penting untuk membangun strategi pengelolaan hama C. javanus yang efektif.

Tabel 1 Parasitoid yang ditemukan di lapang

Kelompok Telur Eupelmidae Pteromalidae Scelionidae

1 0 0 43

2 22 0 23

3 10 24 11

Jumlah 32 24 77

Biologi dan Siklus Hidup Trissolcus sp. pada Inang C. javanus

Trissolcus sp. merupakan parasitoid pada telur serangga ordo Hemiptera.

Parasitoid ini merupakan endoparasitoid soliter primer yang bersifat idiobiont (Masner 1993; Austin et al. 2005). Parasitoid yang bersifat idiobiont setelah memarasit akan membuat inang berhenti mengalami perkembangan lebih lanjut (Gordh dan Headrick 2001; Driesche et al. 2008). Perkembangan Trissolcus sp. termasuk dalam hipermetamorfosis. Larva berubah bentuk pada setiap instarnya dan berkembang hingga menjadi imago di dalam inang. Imago yang telah berkembang sempurna kemudian keluar dari dalam inang dengan cara menggigit kulit telur inang menggunakan mandibel sehingga terbentuk lubang bergerigi.

16

Telur

Telur Trissolcus sp. dalam ovari berbentuk lonjong, berwarna putih susu berukuran panjang 0,25 – 0,34 mm dan lebar 0,05 – 0,12 mm sedangkan telur

Trissolcus sp. yang ditemukan pada telur C. javanus yang dibedah berbentuk bulat

telur, warna telur putih susu dengan ukuran panjang 0,35 - 0,43 mm dan lebar 0,15 - 0,2 mm. Pada kedua telur, terdapat tangkai (stalk) berbentuk lonjong meruncing dengan panjang 0,14 ± 0,01 mm pada salah satu ujungnya (Gambar 5). Menurut Clausen (1940) telur tersebut bertipe stalked.

Gambar 5 Telur Trissolcus sp.; (a) dalam ovari, (b) 12 jam setelah peletakkan telur (SPT).

Larva

Larva Trissolcus sp. dijumpai pada hari pertama setelah telur diletakkan. Perkembangan larva dapat dibedakan berdasarkan bentuk dan ukuran. Larva instar pertama memiliki abdomen berbentuk bulat seperti bola hingga agak lonjong menyerupai buah pir, berwarna putih keruh agak transparan, aktif bergerak, dan memilki mandibel besar berbentuk seperti kait yang mengarah ke bagian ventral (Gambar 6a, 6b, dan 6c). Segmen tubuh tidak terlihat jelas namun pembagian tubuh larva menjadi dua bagian terlihat jelas. Mandibel terdapat pada bagian anterior yang disebut kepala (Henriksen, Bakkendorf dan Pagden 1934 dalam Clausen 1940) atau cephalothorax (Noble dan Kamal dalam Clausen 1940). Larva instar pertama berukuran panjang 0,37 - 0,85 mm dan lebar 0,14 - 0,57 mm. Umur larva instar pertama adalah 36 jam. Clausen (1940) menggolongkan larva ini ke dalam tipe teleaform.

Perkembangan larva instar kedua Trissolcus sp. ditandai oleh mulai menghilangnya mandibel dan bertambahnya ukuran tubuh larva (Gambar 6d dan

6e). Bentuk tubuh larva instar kedua bulat, berwarna putih keruh agak kekuningan. Perubahan bentuk, warna dan ukuran terjadi pada 72 jam setelah peletakkan telur (SPT). Larva berukuran panjang 0,85 - 1,23 mm dan lebar 0,57 - 1,08 mm. Umur larva instar kedua adalah 24 jam. Larva instar kedua parasitoid dari ordo Hymenoptera biasanya menyerupai bentuk larva instar akhirnya yaitu bagian kepala dan mandibel menghilang (Hagen 1973). Pada famili Scelionidae bentuk larva instar kedua yang sebenarnya masih dalam perdebatan (Clausen 1940).

Gambar 6 Larva Trissolcus sp.; (a) 24 jam SPT, mandibel terlihat jelas, (b) 36 jam SPT, (c) 48 jam SPT (d) 60 jam SPT mandibel mulai menghilang, (e) 72 jam SPT mandibel menghilang (f) 84 jam SPT, (g) 96 jam SPT, dan (h) 108 jam SPT.

Larva instar ketiga ditemukan pada pengamatan 84 jam setelah telur diletakkan, bentuk larva bulat dengan warna putih kekuningan, mandibel tidak terlihat lagi dan ukuran yang semakin besar (Gambar 6f). Perubahan warna dan struktur terlihat memasuki umur 96 jam setelah telur diletakkan (Gambar 6g). Permukaan tubuh larva terlihat mengerut dan warnanya lebih kuning dibandingkan 12 jam sebelumnya. Pada pengamatan 108 jam setelah peletakkan telur, warna larva semakin menguning dan strukturnya mulai mengeras (Gambar 6h). Pada saat pembedahan, larva sudah memenuhi seluruh inang dan masih ada pergerakan larva yang teramati ketika inang akan dibedah. Larva instar ketiga memilki panjang 1,25 - 1,46 mm dan lebar 1 - 1,31 mm. Umur larva instar ketiga adalah 36 jam. Larva instar akhir pada parasitoid dari ordo Hymenoptera adalah

hymenopteriform (Hagen 1973). Pada beberapa spesies, hanya terdapat dua instar

18

1940). Stadia larva berlangsung selama empat hari (Tabel 2). Memasuki hari ke 5 setelah peletakkan telur, larva parasitoid berkembang menjadi prapupa.

Prapupa

Prapupa dijumpai pada pembedahan 120 jam setelah peletakkan telur (Gambar 7). Stadium ini dimulai ketika larva instar akhir telah berhenti makan dan hampir tidak menunjukkan pergerakan tubuh. Tubuh prapupa Trissolcus sp. berwana putih susu agak kekuningan, segmen tubuh terlihat dan struktur tubuh tidak selunak stadium larva. Tubuh prapupa Trissolcus sp. memilki ukuran panjang 1,15 - 1,38 mm dan lebar 0,85 - 1,08 mm. Pada saat pengamatan, larva memasuki fase eonymph dengan ciri-ciri bentuknya masih menyerupai larva instar terakhir namun lebih mengembang atau menggelembung, dan seringkali ditandai perubahan warna larva dari putih kekuningan menjadi putih buram (Morris 1937

dalam Hagen 1973). Stadium prapupa berlangsung selama satu hari (Tabel 2).

Gambar 7 Prapupa Trissolcus sp.; (a) lateral, (b) ventral.

Pupa

Pupa Trissolcus sp. yang baru terbentuk berwarna putih keruh agak kecokelatan. Pupa ditemukan pada pengamatan 144 jam setelah peletakkan telur. (Gambar 8a, 8b dan 8c). Pada tahap ini sudah tidak ada pergerakan sama sekali (Morris 1937 dalam Hagen 1973). Bagian tubuh seperti mata, tungkai, antena, dan ruas abdomen sudah terbentuk dan terlihat jelas. Pupa Trissolcus sp. pada pengamatan 144 jam setelah peletakkan telur memiliki panjang 1,31 - 1,38 mm dan lebar 0,8 - 0,85 mm.

Gambar 8 Pupa Trissolcus sp. 144 jam SPT (a) lateral (b) ventral (c) dorsal; 168 jam SPT (d) lateral (e) ventral (f) dorsal; 192 jam SPT (g) lateral (h) ventral (i) dorsal; 216 jam SPT (j) lateral (k) ventral (l) dorsal; 240 jam SPT (m) lateral (n) ventral (o) dorsal.

Pada pengamatan 168 jam setelah peletakkan telur, hanya sedikit perubahan yang terjadi pada pupa Trissolcus sp. yaitu warna mata pupa berubah menjadi merah agak kecoklatan (Gambar 8d, 8e, dan 8f). Bagian tubuh lainnya seperti tungkai, antena, sayap dan ruas abdomen semakin jelas terlihat. Panjang pupa

20

Trissolcus sp. pada pengamatan 168 jam setelah peletakkan telur 1,31 - 1,38 mm

dan lebar 0,85 - 0,88 mm.

Pupa Trissolcus sp. mulai berubah warna menjadi hitam 192 jam setelah peletakkan telur. Perubahan warna dimulai dari bagian kepala dan torak yang semula putih keruh menjadi hitam namun bagian abdomen belum berwarna hitam (Gambar 8g, 8h, dan 8i). Organ tubuh sudah lengkap dan bakal sayap mulai terlihat jelas. Pupa berukuran panjang 1,37 - 1,38 mm dan lebar 0,91 - 0,92 mm.

Pada pengamatan 216 jam setelah peletakkan telur, tubuh pupa Trissolcus sp. mulai menghitam hingga bagian abdomen (Gambar 8j, 8k, dan 8l). Tungkai dan antena berwarna putih bening, sayap berwarna putih keruh dan warna mata menjadi merah kehitaman. Pupa berukuran panjang 1,37 - 1,40 mm dan lebar 0,91 - 0,92 mm.

Warna tubuh pupa Trissolcus sp. menghitam sempurna 240 jam setelah peletakkan telur (Gambar 8m, 8n, dan 8o). Mata berwarna hitam. Femur, tibia dan tarsus berwarna coklat terang. Sayap belum terbentuk sempurna dan masih berwarna putih keruh. Pupa masih belum bergerak namun sudah memasuki fase akhir perkembangan. Pupa berukuran panjang 1,45 - 1,46 mm dan lebar 0,69 - 0,71 mm. Stadium pupa berlangsung selama lima hari (Tabel 2).

Tabel 2 Lama perkembangan parasitoid Trissolcus sp.

Stadia Perkembangan Lama Stadium (hari)

Telur 1

Larva 4

Prapupa 1

Pupa 5

Imago

Imago Trissolcus sp. keluar dengan cara menggigit kulit telur C. javanus sebagai inangnya. Imago jantan keluar mulai hari ke-10 sampai ke-15 sedangkan imago betina keluar mulai hari ke 11 sampai ke-18 setelah telur diletakkan. Imago betina dan jantan berwarna hitam sedangkan femur, tibia dan tarsus berwarna coklat terang. Perbedaan kedua imago tersebut terletak pada bentuk antena dan ukuran tubuhnya. Pada antena jantan, ruas flagelomernya membulat sedangkan pada antena betina tidak (Gambar 9). Imago jantan memiliki ukuran

panjang 1,33 ± 0,06 mm dan lebar 0,69 ± 0,03 mm, lebih kecil dibandingkan dengan imago betina yang berukuran panjang 1,51 ± 0,06 mm dan lebar 0,73 ± 0,03 mm (Tabel lampiran 1).

Gambar 9 Imago Trissolcus sp. betina (a) lateral (b) ventral (c) dorsal; jantan (d) lateral (e) ventral (f) dorsal.

Setelah keluar dari telur inang, imago Trissolcus sp. jantan akan berputar-putar di sekitar telur inang yang berisi parasitoid betina yang belum keluar (Gambar Lampiran 2a). Imago jantan tersebut juga akan mengusir imago jantan lain yang mendekati telur inang yang berisi parasitoid betina yang belum keluar. Segera setelah imago betina keluar, imago jantan akan menghampiri dan melakukan kopulasi. Kopulasi berlangsung sangat singkat hanya sekitar 2 – 3 detik (Gambar Lampiran 2b).

Perilaku imago betina setelah kopulasi meliputi pemilihan telur, oviposisi dan menandai telur. Pemilihan telur inang oleh imago betina dilakukan dengan cara menggerakan dan menyentuhkan antena pada telur inang sambil mengelilingi telur inang. Menurut Doutt et al. (1989) dan Weber et al. (1996), perilaku seperti ini dimaksudkan untuk membedakan telur inang yang sudah terparasit dan belum terparasit. Hal tersebut untuk menghindari terjadinya kepunahan keturunan akibat superparasitisme atau multiparasitisme. Setelah menemukan inang yang sesuai, imago betina akan melakukan oviposisi (Gambar Lampiran 2c dan 2d). Oviposisi dilakukan pada bagian atas telur untuk telur yang berada di tengah kelompok dan

22

dibagian dinding samping telur untuk telur yang berada di pinggir kelompok.

Trissolcus sp. juga teramati melakukan penandaan telur yang telah diparasit.

Tanda dibuat dengan cara menyentuhkan ovipositor pada permukaan telur. Tanda yang dibuat berupa pola yang menyerupai angka delapan. Perilaku ini juga teramati pada spesies Trissolcus yang digunakan Weber et al. (1996) sebagai materi penelitian. Penempelan ovipositor pada telur inang yang terparasit bertujuan untuk menempelkan senyawa berupa feromon penanda inang (host

marking pheromone). Senyawa ini disekresikan oleh kelenjar aksesoris yaitu

kelenjar Dufour (Rosi et al. 2001).

Potensi Trissolcus sp. Sebagai Parasitoid Telur pada Inang C. javanus

Lama Perkembangan

Lama perkembangan Trissolcus sp. ditentukan berdasarkan waktu yang diperlukan untuk perkembangan sejak telur diletakkan sampai imago parasitoid muncul. Hasil pembedahan terhadap inang terparasit digunakan untuk menentukan lama stadium telur, larva, prapupa dan pupa. Hasil penelitian menunjukkan lama perkembangan jantan 11,91 ± 0,73 hari sedangkan betina 12,66 ± 1,22 hari (Tabel 3). Hasil penelitian Awan et al. (1990) menyatakan perkembangan T. basalis dari tiga daerah geografis yang berbeda pada inang N.

viridula berkisar 9 sampai 12 hari. Lama perkembangan dapat dipengaruhi oleh

suhu udara. Hasil penelitian Torres et al. (2002) menunjukkan pada suhu yang berfluktuasi antara 20 – 300 C dengan rerata suhu 25,830 C, waktu yang dibutuhkan T. brochymenae untuk berkembang menjadi imago dalam inang

Podisus nigrispinus adalah 13,3 ± 0,2 hari untuk betina dan 12,3 ± 0,2 hari untuk

jantan. Suhu tinggi dapat meningkatkan kecepatan perkembangan pradewasa

Trissolcus grandis (Iranipour et al. 2010) dan Telenomus isis (Chabi-Olaye et al.

Tabel 3 Jumlah imago Trissolcus sp. jantan dan betina yang muncul Hari ke- Jumlah imago jantan

(individu)

Jumlah imago betina (individu) 10 3,00 0 11 39,00 74,00 12 106,00 272,00 13 20,00 201,00 14 3,00 62,00 15 1,00 29,00 16 0 10,00 17 0 6,00 18 0 5,00 Total (individu) 172,00 659,00

Lama perkembangan (hari) 11,91 ± 0,73 12,66 ± 1,22 Lama perkembangan Trissolcus sp. berkaitan dengan banyaknya generasi yang dapat dihasilkan. Parasitoid yang efektif memiliki lama perkembangan pradewasa yang singkat dan keperidian yang tinggi (Doutt dan DeBach 1973). Semakin singkat waktu perkembangan Trissolcus sp., semakin banyak generasi yang dihasilkan dalam suatu kurun waktu tertentu. Informasi tersebut penting untuk mengetahui perkembangan populasi parasitoid, perbanyakan di laboratorium dan pelepasan di lapangan. Lama perkembangan jantan dan betina juga dapat mempengaruhi keturunan selanjutnya karena perbedaan waktu perkembangan antara jantan dan betina akan membuat peluang terjadinya kopulasi semakin besar. Jantan yang telah muncul terlebih dahulu dapat mengawini betina yang baru muncul. Informasi lama perkembangan parasiotid juga dapat dijadikan dasar dalam penentuan waktu pelepasan di lapangan. Pelepasan parasitoid

Trissolcus sp. ke lapang dapat dilakukan pada hari ke-9 setelah telur C. javanus

terparasit atau pada saat parasitoid memasuki stadium pupa.

Keberhasilan Hidup

Data pada tabel 4 menunjukkan rata-rata persentase keberhasilan hidup

Trissolcus sp. pada inang C. javanus adalah 86,71 ± 3,77 %. Tingginya persentase

24

merupakan inang yang sesuai bagi perkembangan Trissolcus sp. Oleh sebab itu,

Trissolcus sp. mempunyai potensi yang besar untuk perbanyakan massal maupun

pelepasan di lapangan.

Tabel 4 Keberhasilan hidup imago Trissolcus sp. Ulangan Telur terparasit

(butir)

Imago yang muncul (individu) Persentase keberhasilan hidup (%) 1 102,00 91,00 89,22 2 105,00 90,00 85,71 3 106,00 93,00 87,74 4 104,00 91,00 87,50 5 95,00 82,00 86,32 6 123,00 107,00 86,99 7 57,00 49,00 85,96 8 98,00 79,00 80,61 9 93,00 88,00 94,62 10 74,00 61,00 82,43 Rerata ± SD 95,70 ± 8,34 83,10 ± 16,78 86,71 ± 3,77 Kematian pradewasa Trissolcus sp. tidak diketahui penyebabnya secara pasti namun berdasarkan pengamatan terlihat bahwa sejumlah imago yang telah berkembang tidak bisa menggigit kulit telur sehingga imago tersebut tidak bisa keluar dari inang. Jenis inang (Kivan dan Kilic 2002) dan suhu (Chabi-Olaye et al. 2001) juga mempengaruhi keberhasilan hidup parasitoid.

Parameter Kehidupan Parasitoid

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama hidup parasitoid Trissolcus sp. betina 17,40 ± 7,38 hari. Sedangkan parasitoid jantan 23,70 ± 9,49 hari (Tabel 5). Menurut Arakawa et al. (2004) T. mitsukurii betina yang muncul dari inang N.

viridula dapat hidup selama 11,0 ± 0,5 hari. Hasil penelitian Awan et al. (1990)

menunjukkan T. basalis betina mampu hidup hingga 34,4 hari pada inang Nezara

viridula sedangkan imago jantan hidup lebih lama. Lama hidup dapat dipengaruhi

oleh ketersediaan makanan berupa madu. Rahat et al. (2005) menemukan bahwa lama hidup imago T. basalis dipengaruhi oleh jenis tanaman penghasil nektar. Lama hidup juga dipengaruhi oleh suhu, baik saat penyimpanan imago dalam

suhu rendah (Foerster dan Doetzer 2006) maupun saat kondisi normal (Chabi-Olaye et al. 2001; Iranipour et al. 2010).

Tabel 5 Parameter kehidupan imago betina Trissolcus sp. Ulangan Masa oviposisi (hari) Masa oviposisi (hari) Masa pascaoviposisi (hari)

Lama Hidup (hari) Betina Jantan 1 0 6,00 8,00 14,00 26,00 2 0 6,00 9,00 15,00 28,00 3 0 7,00 9,00 16,00 33,00 4 0 6,00 31,00 37,00 36,00 5 0 6,00 11,00 17,00 27,00 6 0 8,00 13,00 21,00 27,00 7 0 6,00 5,00 11,00 3,00 8 0 5,00 11,00 16,00 19,00 9 0 6,00 8,00 14,00 15,00 10 0 5,00 8,00 13,00 23,00 Rerata ±SD 0 6,10 ± 0,88 11,30 ± 7,26 17,40 ± 7,38 23,70 ± 9,49 Rendahnya lama hidup betina dibandingkan jantan disebabkan oleh aktifitas oviposisi yang dilakukan oleh betina. Alasan yang dikemukakan oleh Godfray (1994) adalah dibutuhkannya energi dan usaha yang lebih besar dari induk untuk persiapan nutrisi pada jumlah keturunan yang banyak hingga lama hidupnya jadi lebih pendek.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa imago betina Trissolcus sp. meletakkan telur pada hari pertama setelah kemunculannya dan rata-rata jumlah telur yang dihasilkan dapat mencapai 35,50 butir. Kondisi ini menguntungkan karena segera setelah parasitoid betina keluar dari telur inang dapat langsung memarasit inangnya, sehingga pengaruh faktor-faktor luar seperti suhu dan kelembaban terhadap potensi parasitisasi dapat diperkecil.

Masa oviposisi Trissolcus sp. berlangsung hanya selama 6,10 ± 0,88 hari (Tabel 5). Hasil ini menunjukkan umur Trissolcus sp. yang dapat digunakan untuk perbanyakan maksimal 6 hari. Hasil penelitian Iranipour et al. 2010 menunjukkan masa oviposisi Trissolcus grandis pada inang Eurygaster integriceps Puton

26

(Hemiptera: Scutelleridae) berkisar antara 4,7 – 22,4 hari tergantung suhu lingkungan dan asal populasi parasitoid.

Masa pascaoviposisi Trissolcus sp. mencapai 11,30 ± 7,26 hari (Tabel 5). Menurut Awan et al. (1990) masa pascaoviposisi T. basalis dapat mencapai 21,1 hari pada inang N. viridula. Hasil penelitian Iranipour et al. (2010) menunjukkan bahwa masa pascaoviposisi T. grandis pada inang E. integriceps dapat mencapai 30 hari. Sedangkan T. semistriatus pada inang E. integriceps hanya 5,7 hari (Kivan dan Kilic 2006). Hasil ini mengindikasikan bahwa Trissolcus sp. merupakan serangga pro-ovigenic. Serangga seperti ini memiliki cadangan telur untuk seumur hidupnya dan dapat meletakkannya pada berbagai inang (Driesche

et al. 2008). Informasi siklus hidup parastoid diperlukan untuk mengetahui

potensi parasiotoid dalam mengendalikan hama sebagai inangnya. Siklus hidup

Trissolcus sp. 11,91 - 12,66 hari lebih pendek dari C. javanus yaitu 60 – 80 hari.

Kemunculan Imago Trissolcus sp.

Imago Trissolcus sp. keluar dengan cara menggigit kulit telur C. javanus. Kemunculan imago jantan dimulai pada hari ke-10 dan mencapai puncaknya pada hari ke-12 setelah imago Trissolcus sp. betina meletakkan telur. Hari ke-15 adalah hari terakhir kemunculan imago jantan. Imago betina muncul pada hari ke-11 dan mencapai puncaknya pada hari ke 12 setelah imago Trissolcus sp. betina meletakkan telur. Kemunculan imago betina terakhir pada hari ke-18 setelah imago Trissolcus sp. betina meletakkan telur (Gambar 17). Puncak kemunculan imago jantan dan betina terjadi pada hari yang sama namun imago jantan muncul terlebih dahulu. Hal ini memberikan peluang yang lebih besar bagi parasitoid

Trissolcus sp. untuk berkopulasi. Selain itu imago jantan memiliki waktu

perkembangan pradewasa yang lebih cepat dibandingkan dengan betina sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya kopulasi. Kopulasi sangat penting bagi parasitoid karena telur yang tidak dibuahi akan berkembang secara partenogenesis menjadi serangga jantan sedangkan yang dibuahi menjadi serangga jantan dan betina. Reproduksi parasitoid seperti ini termasuk ke dalam tipe arenotoki atau haplodiploid (Doutt 1973; Driesche et al. 2008).

Gambar 10 Kemunculan imago Trissolcus sp. Nisbah Kelamin

Sebagian besar Hymenoptera parasitoid memilki tipe reproduksi arenotoki atau haplodiploid (Doutt et al. 1989; Driesche 2008). Telur yang tidak dibuahi akan berkembang secara partenogenesis menjadi serangga jantan sedangkan yang dibuahi menjadi serangga betina. Imago betina dan jantan berwarna hitam dan mudah dibedakan, terutama dari ukuran tubuh dan bentuk antenanya. Imago betina lebih besar dibandingkan dengan jantan. Pada antena jantan, ruas flagelomernya membulat sedangkan pada antena betina tidak.

Hasil penelitian pada tabel 6 menunjukkan adanya keragaman dan fluktuasi nisbah kelamin yaitu 1 : 3,83 dimana jumlah imago betina cenderung lebih banyak. Hasil penelitian Awan et al. (1990) menunjukkan nisbah kelamin beragam menurut asal daerah geografis T. basalis pada inang N. viridula berkisar dari 1: 0,94 sampai 1: 1,79. Kivan dan Kilic (2002) menemukan bahwa nisbah kelamin Trissolcus semistriatus bervariasi menurut jenis inang. Doutt (1973) menyatakan bahwa keragaman dan fluktuasi nisbah kelamin adalah karakteristik utama reproduksi halplodiploid. Persentase imago Trissolcus sp. betina yang lebih banyak akan menguntungkan karena imago betina menentukan perkembangan suatu populasi dibandingkan jantan, semakin banyak imago Trissolcus sp. betina akan semakin banyak keturunan yang dihasilkan.

0,00 40,00 80,00 120,00 160,00 200,00 240,00 280,00 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Ju m lah im ago yan g m u n cu l (in d ivi d u ) Hari kemunculan Jantan Betina

28

Tabel 6 Nisbah kelamin keturunan F1 dari imago betina Trissolcus sp. Ulangan Jumlah keturunan F1 (individu) Jantan (individu) Betina (individu) Nisbah Kelamin 1 91,00 17,00 74,00 1 : 4,35 2 90,00 11,00 79,00 1 : 7,18 3 93,00 27,00 66,00 1 : 2,44 4 91,00 4,00 87,00 1 : 21,75 5 82,00 8,00 74,00 1 : 9,25 6 107,00 17,00 90,00 1 : 5,29 7 49,00 6,00 43,00 1 : 7,17 8 79,00 15,00 64,00 1 : 4,27 9 88,00 28,00 60,00 1 : 2,14 10 61,00 39,00 22,00 1 : 0,56 Rerata ± SD 83,10 ± 16,78 17,20 ± 11,13 65,90 ± 20,60 1 : 3,83 Kemampuan Reproduksi

Hasil penelitian pada tabel 7 menunjukkan bahwa parasitoid Trissolcus sp. betina mampu menghasilkan telur sebanyak 95,7 ± 18,34 butir, produksi telur harian sebanyak 15,76 ± 2,63 butir. Hasil pembedahan ovari betina yang telah mati ditemukan 33,60 ± 10,97 butir telur sehingga potensi produksi telur

Trissolcus sp. mencapai 129,30 ± 25,96 butir per betina. Kemampuan reproduksi

dapat mempengaruhi jumlah keturunan dan menentukan seberapa cepat perkembangan populasi parasitoid tersebut (Doutt 1973).

Keperidian yang tinggi merupakan salah satu indikator penting dalam kesuksesan pembiakan massal di laboratorium. Namun, keperidian parasitoid di laboratorium tidak selalu menjadi indikator penting terhadap keefektifan parasitoid di lapang. Karakteristik lain yang diperlukan parasitoid untuk bisa menekan populasi hama di lapang adalah kemampuan mencari inang, menempati habitat inang, kekhususan inang (Doutt dan DeBach 1973), dan kemampuan memilih inang (Doutt 1973).

Tabel 7 Kemampuan reproduksi imago betina Trissolcus sp. Ulangan Keperidian (butir) Produksi telur per hari (butir) Sisa telur dalam ovari (butir) Potensi produksi telur (butir) 1 102,00 17,00 32,00 134,00 2 105,00 17,50 42,00 147,00 3 106,00 15,14 36,00 142,00 4 104,00 17,33 55,00 159,00 5 95,00 15,83 27,00 122,00 6 123,00 15,38 36,00 159,00 7 57,00 9,50 26,00 83,00 8 98,00 19,60 25,00 123,00 9 93,00 15,50 41,00 134,00 10 74,00 14,80 16,00 90,00 Rerata ± SD 95,70 ± 18,34 15,76 ± 2,63 33,60 ± 10,97 129,30 ± 25,96 Pada hari pertama kemunculannya, Trissolcus sp. betina mampu meletakkan 35,30 ± 7,13 butir telur. Jumlah ini merupakan jumlah tertinggi yang dapat dihasilkan oleh imago Trissolcus sp. betina selama masa hidupnya. Hasil ini menunjukkan bahwa Trissolcus sp. efektif mengendalikan C. javanus karena

Trissolcus sp. dapat segera meletakkan telur artinya parasitisasi lebih cepat terjadi.

Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan jumlah telur yang mampu dihasilkan

T. basalis pada inang N. viridula yang mencapai 65 butir pada hari pertama

kemunculannya (Awan et al. 1990). Namun demikian kedua spesies ini menunjukkan pola reproduksi yang sama. Jumlah telur yang dihasilkan semakin menurun seiring dengan bertambahnya umur parasitoid hingga tidak meletakkan telur pada hari ke-9 (Gambar 11).

30

Gambar 11 Reproduksi harian imago betina Trissolcus sp. Persentase Parasitisasi

Hasil penelitian pada tabel 8 menunjukkan rata-rata persentase parasitisasi

Trissolcus sp. adalah 19,14 ± 3,67 % lebih rendah jika dibandingkan dengan

rata-rata tingkat parasitisasi T. basalis inang N. viridula mencapai 41,8 - 72 % (Awan

et al. 1990). Hasil penelitian Kivan dan Kilic (2002) menunjukkan persentase

parasitisasi Trissolcus semistriatus mencapai 24,0 % pada inang Eurydema

ornatum (Hemiptera : Pentatomidae) dan 94,8 % pada inang Graphosoma lineatum (Hemiptera : Pentatomidae).

Tabel 8 Persentase parasitisasi Trissolcus sp. Ulangan Telur terparasit

(butir)

Telur tidak terparasit (butir) Persentase parasitisasi (%) 1 102,00 398 20,40 2 105,00 395 21,00 3 106,00 394 21,20 4 104,00 396 20,80 5 95,00 405 19,00 6 123,00 377 24,60 7 57,00 443 11,40 8 98,00 402 19,60 9 93,00 407 18,60 10 74,00 426 14,80 Rerata ± SD 95,70 ± 8,34 404,30 ± 18,34 19,14 ± 3,67 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 P rodu k si te lur har ian (bu tir )

Persentase parasitisasi harian Trissolcus sp. tertinggi terjadi pada hari pertama kemunculan imago betina yang mencapai 70,60 % (Gambar 12). Hasil ini dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan imago betina yang harus dilepaskan di lapang.

Gambar 12 Persentase parasitisasi berdasarkan umur imago Trissolcus sp. 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 P re se n tas e P ar as it is as i (% )

Dokumen terkait