• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Keadaan Pertanaman Kakao

Pertanaman kakao di Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara tersebar pada 20 kecamatan dengan luas areal 78.054 ha yang melibatkan 30.408 KK petani dengan produksi 49.449.37 ton. Keseluruhan areal tanaman tersebut, 18.079 ha (23.16%) merupakan tanaman belum menghasilkan (TBM), 56.082 ha (71.85%) tanaman menghasilkan (TM) dan 3.893 ha (4.98%) tanaman tua dan rusak (TTR). Di Kecamatan Lambandia luas pertanaman kakao 26.658 ha dengan 5.993 KK petani. Areal tanaman tersebut 5.481 ha (20.56%) areal tanam belum menghasilkan, 20.447 ha (76.70%) tanaman menghasilkan dan 730 ha (2.74%) tanaman tua dan rusak (Dishutbun Sultra 2010). Keseluruhan responden (100%) yang diwawancarai berusahatani kakao pada lahan milik sendiri.

Kendala dalam pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Kolaka sampai saat ini adalah : (1) masih terbatasnya sumber daya petugas, petani dan pelaku usaha agribisnis dibidang budidaya dan pengelolaan hasil ; (2) jenis/klon yang ditanam beragam; (3) sebagian tanaman sudah tua dan kurang produktif; (4) masih adanya serangan hama PBK dan penyakit busuk buah; (5) sarana dan prasarana penunjang belum memadai (ketersediaan saprodi dengan harga yang terjangkau, air bersih, listrik, prasarana jalan dan jembatan dari dan ke sentra-sentra produksi serta pelabuhan yang standar dan (6) belum terjalinnya hubungan kemitraan antara hulu dan hilir yang saling menguntungkan serta masih banyaknya spekulan pada usaha perdagangan kakao (Dishutbun Sultra 2009).

Praktek Budidaya Kakao Karakteristik Petani

Secara umum keadaan petani kakao di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka mempunyai persamaan terutama dalam hal pengembangan areal pertanaman kakao. Petani yang mempunyai kesempatan untuk menambah areal, kurang memikirkan potensi tenaga kerja pengelolaan

lahan. Hal tersebut berdampak pada kurangnya waktu untuk mengelola kebun dengan baik, sehingga berpengaruh pada nilai ekonomi yang diperoleh oleh petani.

Responden pada umumnya berumur antara 40 hingga 60 tahun (92.50%) dan selebihnya di atas umur 60 tahun (Tabel 1). Kondisi ini dianggap masih dalam potensi untuk dapat dikembangkan dan pengelolaan tanaman kakao dapat ditingkatkan secara lebih intensif. Bertahannya masyarakat untuk tetap mengusahakan budidaya kakao disebabkan harga yang menjanjikan dan pemasarannya mudah (selalu ada pembeli) walaupun produksinya cenderung menurun setiap tahun. Soeharjo dan Patong (1998) mengelompokkan umur petani kakao berdasarkan kelompok produktif dan kurang produktif, yaitu umur di bawah 15 tahun dan diatas 60 tahun dikategorikan umur kurang produktif. Kondisi saat ini menunjukkan sebagian besar petani tergolong dalam usia yang masih produktif dalam melakukan usahatani kakao.

Faktor umur sangat mempengaruhi kemampuan fisik seorang petani dalam mengelola usahataninya. Pada umumnya petani yang berumur muda memiliki kemampuan fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan petani yang berumur tua, termasuk dalam penerimaan inovasi baru. Soekartawi (1988) menyatakan bahwa makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk mengetahui apa yang mereka belum ketahui, sehingga dalam berusahatani mereka lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sifatnya masih belum berpengalaman.

Tabel 1 Persebaran umur responden petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Kelompok Umur Jumlah responden Persentase (%)

< 30 2 5.00

30 - < 40 7 17.50

40 - < 50 16 40.00

50 - < 60 14 35.00

≥ 60 1 2.50

Latar belakang pendidikan formal menunjukkan bahwa sebagian besar petani pernah mengikuti pendidikan. Keseluruhan responden pernah mengalami jenjang pendidikan formal. Gambaran tingkat pendidikan ini merupakan indikator penting dalam usaha pengembangan teknologi, termasuk PHT hama PBK.

29 Interaksi antara pendidikan dan pengalaman usaha dapat dijadikan prediksi dalam menilai kemampuan petani mengelola usahataninya atau dalam proses menerima atau menolak penerapan teknologi. Dengan pendidikan yang dimiliki maka teknologi yang disampaikan diharapkan dapat dengan mudah diadopsi. Rata – rata petani memiliki tingkat pendidikan SMA (62.50%) dan selebihnya SD, SMP dan malahan ada Perguruan Tinggi (Tabel 2).

Tabel 2 Latar belakang pendidikan petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Tingkat Pendidikan Jumlah responden Persentase (%)

SD 1 2.50

SMP 13 32.50

SMA 25 62.50

Perguruan Tinggi 1 2.50

Pendidikan pada umumnya dapat mempengaruhi pola berpikir, khususnya pendidikan formal. Petani yang berpendidikan cenderung bersifat lebih dinamis terhadap perubahan teknologi yang ditawarkan. Dengan tingkat pendidikan yang dimiliki petani diharapkan akan lebih mudah memahami, menerapkan dan mengembangkan suatu inovasi baru terkait perubahan harga, teknologi baru dan cara pemasaran yang lebih efisien (Prayitno & Arsyad 2003).

Namun menurut Hernanto (1992) petani umumnya tumbuh dan dewasa dalam proses menjalankan usahataninya melalui proses pembelajaran dari orang tua yang diwariskan secara turun temurun. Kondisi demikian berpengaruh pada penerimaan inovasi baru, karena cara-cara lama masih tetap dipertahankan. Dengan kondisi tersebut maka dalam mengadopsi inovasi baru tidak cukup dengan penyuluhan atau pelatihan tetapi diperlukan demplot agar petani bisa lebih menyakini kebenaran inovasi yang disampaikan.

Pengalaman berusaha seorang petani merupakan bentuk pendidikan yang diperoleh di luar bangku sekolah yang dapat membawa perubahan bagi petani dalam mengelola usahataninya. Seorang petani dengan pengalaman banyak diharapkan dapat memilih dan menentukan alternatif yang lebih baik bagi peningkatan produksi usahataninya. Namun kendala pada petani kakao dengan pengalaman berusaha tani yang sudah lama cenderung lamban dalam menerima adopsi teknologi karena telah terbiasa mengelola kebun pada kondisi tanah yang

masih subur, serangan hama penyakit masih kurang, dan umur tanaman yang masih produktif.

Untuk mengetahui pengalaman seorang petani dalam berusahatani dapat dilihat dari lamanya petani tersebut melakukan kegiatan usahatani. Semakin lama pengalaman seorang petani mengelola usahatani, maka dapat diasumsikan bahwa petani tersebut semakin matang dalam menghadapi persoalan-persoalan dalam usahatani, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan hasil produksi usahatani yang dikelolanya. Pengalaman responden dalam lama berusahatani kakao sebagian besar berkisar antara >15 hingga 20 tahun (55.50%) (Tabel 3).

Tabel 3 Latar belakang pengalaman berusahatani petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Pengalaman berusahatani (tahun) Jumlah responden Persentase (%)

>5 - 10 1 2.50

>10 – 15 13 32.50

> 15 – 20 22 55.00

> 20 – 25 3 7.50

> 25 1 2.50

Walaupun sebagian besar petani telah mengikuti pendidikan dan pengalaman yang cukup lama, namun belum semua praktek budidaya kakao dan pengendalian hama mereka terapkan dengan baik karena berbagai alasan. Beberapa praktek budidaya kakao yang telah dilakukan meliputi pemangkasan, pemupukan dan pengendalian gulma. Sementara teknik budidaya yang belum diterapkan sepenuhnya adalah pengolahan buah setelah panen, pengolahan biji kakao dan perlakuan terhadap kulit buah dan plasenta. Sebagian petani mendapatkan pengetahuan praktek budidaya kakao melalui pelatihan yang merupakan sarana belajar yang baik untuk menambah pengetahuan serta dapat memadukan teori dan pengalaman petani di lapangan.

Luas lahan garapan merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting, karena akan menentukan besar kecilnya skala usahatani, mempengaruhi jumlah penggunaan faktor produksi yang lain, dan pada akhirnya akan menentukan tingkat pendapatan petani. Mubyarto (2001) mengemukakan bahwa luas tanah merupakan salah satu faktor yang menentukan kuantitas produksi yang akan dihasilkan.

31 Penguasaan lahan usahatani kakao di Desa Lambandia berkisar antara 2 – 5 ha (55.00%) bahkan sampai lebih dari 20 ha (Tabel 4). Hal ini berarti bahwa sebagian besar petani memiliki lahan yang cukup luas dan dengan status sebagai pemilik. Petani yang memiliki lahan < 0.5 ha hanya mengusahakan tanaman kakao di sekitar rumah karena pekerjaan utamanya sebagai Pegawai Negeri Sipil, selain itu juga sebagai pembeli hasil panen kakao (pengumpul).

Tabel 4 Luas lahan garapan petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Luas lahan (ha) Jumlah responden Persentase( % )

< 0.5 – 2.0 5 12.50 > 2.0 – 5.0 22 55.00 > 5.0 – 10.0 8 20.00 > 10.0 – 15.0 2 5.00 > 15.0 – 20.0 1 2.50 > 20.0 2 5.00 Budidaya Kakao

Hasil wawancara yang dilakukan terhapap petani menunjukkan bahwa minat masyarakat untuk mengembangkan tanaman kakao cukup besar. Menurut petani, alasan utama sejak awal sampai sekarang untuk mengembangkan tanaman kakao adalah: (1) masih tersedia lahan yang cukup luas; (2) dapat dipanen sepanjang waktu; (3) harga cukup menarik serta mudah memasarkannya dan (4) perawatan yang tidak terlalu sulit. Menurut data Dishutbun (2010) masih cukup tersedia lahan untuk pengembangan kakao seluas 22.642 ha.

Kualitas bibit merupakan salah satu faktor yang menentukan tinggi rendahnya produksi kakao. Jika benih yang digunakan adalah benih unggul, maka kemungkinan produksi yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan benih lokal. Jenis klon yang ditanam oleh petani responden menunjukkan bahwa petani menanam kakao jenis Na 32, Na 33, Sulawesi 1,

Sulawesi 2, 246 A, 461 A dan semiotic embryogenesis yang merupakan kakao

varietas hibrida (77.50%), sementara sebagian petani menanam varietas lokal (22.50%) (Tabel 5). Benih tersebut diperoleh dari pemerintah dan perusahaan perkebunan yang ada di Kabupaten Kolaka. Benih yang berasal dari pemerintah

diberikan secara cuma-cuma sementara yang berasal dari perusahaan dibeli oleh petani.

Tabel 5 Varietas kakao yang ditanam oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Jenis varietas Jumlah responden Persentase (%)

Hybrida 31 77.50

Lokal 9 22.50

Saat ini umur tanaman kakao di lokasi penelitian bervariasi, tetapi sebagian besar berumur >15-20 (30.00%) dan > 20 tahun (45.00%) (Tabel 6). Hal tersebut menunjukkan rata-rata umur tanaman kakao telah tua yang berakibat pada menurunnya produktivitas kakao. Kondisi ini menjadi salah satu dasar bagi pemerintah untuk melakukan Program Revitalisasi Kakao yang dilakukan oleh Departemen Pertanian dengan metode teknik sambung samping menggunakan

bibit Somatic Embryogenesis (SE), Sulawesi I dan Sulawesi II. Penyambungan

dilakukan oleh tenaga terlatih dari masyarakat setempat yang diberi honorarium setiap bulan oleh Dinas Perkebunan. Program tersebut merupakan upaya akselerasi pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi perkebunan untuk kembali meningkatkan produksi kakao Indonesia dimasa yang akan datang.

Tabel 6 Umur tanaman kakao di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Umur Tanaman (tahun) Jumlah responden Persentase (%)

2 – 5 3 7.50

> 5 – 10 5 12.50

> 10 – 15 2 5.00

> 15 - 20 12 30.00

> 20 18 45.00

Populasi tanaman pada kebun kakao berkisar <1000 pohon per ha (65%) dan selebihnya 1000-1200 pohon (Tabel 7). Jarak tanam bervariasi antara 4 m x 4 m, 4 m x 3 m dan 4 x 2 m, dengan pola tanam tumpang sari yang dikombinasikan dengan tanaman rambutan, kelapa, jeruk, mangga, lada, pisang, gamal dan durian. Rendahnya populasi tanaman disebabkan petani melakukan penananaman secara tumpang sari. Hal tersebut akan berpengaruh pada

33 rendahnya produksi kakao per satuan luas. Puslitkoka (2006) merekomendasikan jarak tanam 3 x 3 m atau 4 x 2 m dengan populasi sekitar 1000 pohon/ha adalah pola tanam yang paling sesuai untuk budidaya kakao jangka panjang di Indonesia.

Tanaman yang paling banyak digunakan sebagai tanaman tumpang sari adalah tanaman kelapa yang juga berfungsi sebagai penaung dan hasilnya dapat dipanen sepanjang tahun. Tumpang sari dilakukan karena tanaman kakao memerlukan tanaman penaung yang berfungsi mengurangi intensitas penyinaran, menekan suhu maksimun dan laju evapotranspirasi, serta melindungi tanaman

kakao dari angin kencang. Menurut Bakri et al. (2004) alasan kebanyakan petani

untuk memilih tanaman kelapa dikarenakan kelapa relatif tahan kering dan tidak mengalami gugur daun selama musim kemarau, bentuk tajuk dan sistem perakaran kelapa yang kuat menyebabkan kelapa tahan terhadap embusan angin dan apabila kelapa sudah dewasa terdapat jarak yang cukup lebar antara tajuk kelapa dan tajuk kakao.

Tabel 7 Populasi tanaman per ha di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Populasi tanaman per ha Jumlah responden Persentase (%)

<1000 26 65.00

1000 – 1200 14 35.00

Pemangkasan tanaman adalah satu cara budidaya kakao agar tidak terjadi kelembaban yang tinggi, karena beberapa jenis hama menyenangi kondisi yang lembab. Pemangkasan juga dilakukan sebagai salah satu upaya agar laju fotosintesis berlangsung secara optimal. Menurut Suntoro (1995) pemangkasan

tanaman bertujuan untuk memperoleh kerangka arsitektur dasar (frame)

percabangan tanaman kakao yang baik, mengatur penyebaran cabang dan daun-daun produktif pada tajuk merata, meningkatkan kemampuan tanaman menghasilkan buah dan menekan risiko terjadinya serangan hama dan penyakit.

Petani di Desa Lambandia dalam melakukan pemangkasan intervalnya bervariasi antar 12, 24 dan 36 kali dalam setahun. Pemangkasan yang paling banyak dilakukan adalah pemangkasan pemeliharaan (62.50%) dan selebihnya pemangkasan pemeliharaan dan produksi (Tabel 8). Pemangkasan dilakukan untuk membuang bagian tanaman yang tidak dikehendaki seperti tunas air, cabang

yang sakit, patah dan menggantung, dimaksudkan untuk pemangkasan pemeliharaan dan produksi. Dalam kaitan ini belum semua pekebun melakukan pemangkasan dengan baik, hal tersebut terlihat dari banyaknya pohon kakao yang tajuknya masih terlalu tinggi sehingga menyulitkan dalam pemanenan buah. Hal ini mengakibatkan serangan hama PBK selalu ada setiap tahun karena kondisi kebun yang gelap dan lembab.

Tabel 8 Pemangkasan tanaman kakao di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Jenis Pemangkasan Jumlah responden Persentase (%)

Pemeliharaan 25 62.50

Pemeliharaan + Produksi 7 17.50

Produksi 8 20.00

Budidaya tanaman kakao yang dilakukan pekebun cenderung

menyebabkan kemunduran lahan jika tidak diimbangi dengan pemupukan. Kemunduran lahan tersebut diakibatkan berkurangnya kesuburan, kerusakan sifat-sifat fisik dan biologis, serta menipisnya ketebalan tanah. Berkurangnya kesuburan disebabkan kehilangan unsur hara dari daerah perakaran melalui pencucian dan erosi. Kerusakan sifat-sifat fisik dan biologis tanah antara lain berupa rusaknya agregat tanah, berkurangnya kemantapan struktur, berkurangnya kadar bahan organik serta berkurangnya jumlah dan aktivitas organisme yang hidup dalam tanah, sementara itu berkurangnya ketebalan tanah terjadi karena erosi yang merupakan penyebab utama kerusakan tanah di lahan yang berlereng curam (Arsyad 2001).

Petani di Desa Lambandia dalam melakukan pemupukan menggunakan pupuk Urea, KCL dan TSP yang dilakukan pada awal terjadinya musim buah puncak yaitu bulan Januari dan Agustus dengan frekuensi 1 sampai 3 kali dalam setahun dan sebagian petani menggunakan pupuk kandang dari kotoran ayam atau sapi. Pemupukan dengan Urea dengan frekuensi 1 kali lebih banyak dilakukan petani (50.00%) dan selebihnya pemupukan dengan TSP, KCl dan pupuk kandang dengan frekuensi yang bervariasi (Tabel 9).

35 Tabel 9 Frekuensi pemupukan dan jenis pupuk yang digunakan petani di Desa

Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka Jenis Pupuk

Frekuensi

Pemupukan responden Jumlah Persentase (%)

Urea 1 20 50.00 Urea 2 14 35.00 TSP 1 13 32.50 TSP 2 11 27.50 KCl 1 8 20.00 KCl 2 7 17.50 Pupuk kandang 1 4 10.00 Pupuk kandang 2 2 5.00 Pupuk kandang 3 1 2.50

Gulma merupakan tumbuhan pengganggu di perkebunan kakao yang menjadi masalah mulai persiapan lahan sampai pemeliharaan tanaman. Gangguan gulma tidak terjadi secara eksplosif seperti hama dan penyakit, tetapi gangguannya terjadi secara terus menerus dalam jangka panjang. Pada perkebunan kakao keberadaan gulma dapat merugikan di antaranya menghambat pertumbuhan dan produksi tanaman sebagai dampak dari persaingan hara, air dan cahaya, meningkatkan kelembaban kebun dan menyulitkan pekerjaan di kebun.

Untuk mengendalikan gulma, petani di Desa Lambandia melakukannya dengan cara kimiawi (47.50%) dan selebihnya dengan cara kimia + mekanik dan mekanik (Tabel 10). Secara kimiawi petani menggunakan herbisida dan secara mekanik menggunakan alat pemaras dan mesin rumput. Sebagian besar petani menggunakan bahan kimia berupa herbisida, hal tersebut mengindikasikan bahwa belum ada kesadaran petani dalam keberlanjutan perkebunan kakao. Gulma yang ada sebaiknya dibuatkan lubang kemudian ditimbun karena dapat dimanfaatkan sebagai pupuk sehingga dapat berpengaruh terhadap produktivitas lahan dimasa yang akan datang.

Tabel 10 Pengendalian gulma oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Pengendalian gulma Jumlah responden Persentase (%)

Kimiawi 19 47.50

Kimiawi + Mekanik 12 30.00

Panen buah kakao yang telah matang secara fisiologis dilakukan sepanjang tahun dan puncaknya pada musim buah yaitu bulan Juli. Jumlah petani dengan frekuensi panen < 5 hari (52.50%) dan selebihnya 5 sampai >15 hari (Tabel 11). Tanaman dengan luasan 15-20 ha memerlukan waktu selama > 15 hari ; luasan 10-14 ha memerlukan waku selama 11–15 hari ; luasan 5-10 ha memerlukan waktu selama 8-10 hari dan luasan 0.5 sampai 4 ha memerlukan waktu selama 5-7 hari. Hal tersebut dikarenakan kurangnya tenaga kerja dalam melakukan panen. Panen dilakukan hanya dengan bantuan anggota keluarga. Untuk luasan di atas 10 ha, petani menggunakan tenaga harian untuk melakukan panen terutama pada saat puncak musim buah.

Tabel 11 Frekuensi panen kakao oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Frekuensi panen Jumlah responden Persentase (%)

< 5 hari 21 52.50

5 – 7 hari 6 15.00

8 – 10 hari 8 20.00

11 – 15 hari 3 7.50

> 15 hari 2 5.00

Buah yang dipanen tidak langsung dibelah tetapi disimpan terlebih dahulu selama 2 sampai 3 hari (67.50%), beberapa petani menyimpan buah di atas 3 hari (Tabel 12). Penyimpanan buah dilakukan agar buah dapat dibelah secara bersamaan pada saat buah sudah terkumpul.

Tabel 12 Pengolahan buah setelah panen oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Pengolahan buah Jumlah responden Persentase (%)

Dibiarkan 2 hari 21 52.50

Dibiarkan 3 hari 6 15.00

Dibiarkan > 3 hari 13 32.50

Pada saat buah telah selesai dibelah dan diambil bijinya, beberapa petani menyimpan terlebih dahulu biji hasil panen selama 1 – 3 hari dan sebagian langsung menjemurnya tanpa fermentasi, hal tersebut mengakibatkan larva dapat berkembang menjadi pupa. Alasan petani yang menyimpan biji karena keseluruhan buah belum dibelah dan nantinya biji akan dijemur secara bersamaan. Petani langsung menjemur biji hasil panen (42.50%) dan selebihnya melakukan

37 fermentasi selama 1 – >3 hari (Tabel 13). Rata-rata petani tidak melakukan fermentasi karena berat biji yang difermentasi lebih ringan dibandingkan dengan

kakao yang difermentasi sementara pedagang pengumpul hanya

memperhitungkan bobot massa bukan pada kualitas biji. Hal tersebut akan menyebabkan berat biji kakao yang menjadi lebih ringan dan selanjutnya berdampak pada penghasilan petani.

Belum berhasilnya upaya fermentasi kakao disebabkan petani belum mempunyai budaya fermentasi dan kelembagaan petani yang lemah sehingga tidak bisa menjamin komitmen bersama menghasilkan biji kakao fermentasi dalam jumlah yang besar untuk menarik pembeli yang membutuhkan kakao fermentasi. Idealnya petani melakukan fermentasi terlebih dahulu lebih dari tiga hari.

Tabel 13 Pengolahan biji kakao oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Pengolahan biji kakao Jumlah responden Persentase (%)

Langsung dijemur 17 42.50

Biji difermentasi 1 hari 7 17.50

Biji difermentasi 2 hari 4 10.00

Biji difermentasi 3 hari 4 10.00

Biji difermentasi > 3 hari 8 20.00

Setelah panen, sebagian petani hanya membiarkan kulit buah kakao dikebun, dan sebagian kecil petani mengambil untuk makanan ternak atau mengubur buah dan plasenta. Buah yang dibiarkan di kebun oleh sebagian besar responden tidak dikubur karena dibutuhkan waktu dan tenaga untuk melakukannya, di samping itu mereka juga beranggapan bahwa buah dan plasenta akan mengering dengan sendirinya.

Tabel 14 Perlakuan terhadap buah dan plasenta oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Perlakuan terhadap buah dan

plasenta Jumlah responden Persentase (%)

Dibiarkan di kebun 33 82.50

Dikubur di kebun 5 12.50

Makanan ternak 2 5.00

Perlakuan terhadap buah dan plasenta menunjukkan bahwa sebagian besar petani (82.50%) membiarkan kulit buah dan plasenta tetap berada di kebun

(Tabel 14). Pada saat pengamatan, pupa banyak ditemukan pada kulit buah setelah panen dan dapat menjadi sumber infeksi. Dalam teknik pengendalian hama PBK disarankan untuk mengubur kulit buah dalam tanah agar siklus hidup hama dapat diputus.

Hama PBK dan Pengendaliannya

Berdasarkan hasil wawancara, hama yang paling dominan menyerang

tanaman kakao adalah hama PBK (95.00%), Helopeltis (37.50%), hama

penggerek batang (22.50%) dan tikus (10.00%) (Tabel 15).

Tabel 15 Persepsi masyarakat terhadap jenis hama yang paling merugikan akibat serangan hama di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Hama Jumlah responden Persentase (%)

Penggerek buah kakao (PBK) 38 95.00

Helopeltis 15 37.50

Penggerek batang 9 22.50

Tikus 4 10.00

Cara pengendalian hama yang dilakukan oleh petani di lapangan umumnya berdasarkan pengalaman, penyuluhan dan pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (Tabel 16).

Tabel 16 Cara pengendalian hama oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Jenis Hama Cara Pengendalian

Penggerek buah kakao Penyemprotan dengan insektisida kimia, sanitasi,

pemangkasan, panen sering, pemupukan, penyemprotan dengan pestisida nabati.

Helopeltis Penyemprotan dengan insektisida kimia, sanitasi,

pemangkasan.

Penggerek batang Lubang ditutup dengan kapas yang telah di olesi

insektisida kimia, mengorek batang untuk mengeluarkan ulat.

Tikus Tidak ada perlakuan/pengendalian

Sebagian besar petani mengenali kehadiran hama PBK dengan melihat gejala serangan yang didasarkan pada gejala serangan setelah buah dipanen, yaitu biji saling melengket dan daging buah berwarna kehitam-hitaman.

39 Sementara sebagian petani mengenali dengan melihat larva hama PBK yang masih ada di dalam buah saat panen dilakukan. Pengetahuan petani tentang keberadaan telur hama PBK bervariasi, sebagian besar (77.50%) mengetahui dan adapula yang tidak mengetahui (27.50%) (Tabel 17). Untuk larva PBK keseluruhan petani (100%) pernah melihat pada saat panen.

Tabel 17 Pengetahuan petani tentang letak telur hama PBK di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Pengetahuan petani tentang tempat

hama PBK meletakkan telur Jumlah responden Persentase (%)

Tahu 31 77.50

Tidak tahu 9 22.50

Kehilangan produksi biji kakao akibat adanya hama PBK bervariasi antara satu responden dengan responden lainnya. Kehilangan produksi mencapai >20-40% (47.50%) bahkan sampai >40 – 60 % (Tabel 18). Persentase tersebut dihitung berdasarkan kehilangan pendapatan petani pada saat tanaman kakao terserang hama PBK dengan kategori ringan dibandingkan dengan saat kakao terserang hama PBK dengan kategori berat.

Tabel 18 Kehilangan produksi biji akibat hama PBK di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Kehilangan produksi Jumlah responden Persentase (%)

< 10 % 0 0

10 – 20 % 6 15.00

> 20 – 40% 19 47.50

> 40 – 60 % 15 37.50

[

Untuk pengendalian hama PBK, sebagian besar petani responden (62.50%) masih bergantung pada penggunaan insektisida dan yang lainnya melakukan sanitasi, panen sering, penyemprotan dengan pestisida nabati, mengubur kulit buah dan plasenta (Tabel 19).

Tabel 19 Cara pengendalian hama PBK di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Cara pengendalian hama PBK Jumlah responden Persentase (%)

Insektisida kimia 25 62.50

Sanitasi 23 57.50

Panen sering 19 47.50

Jenis insektisida yang banyak digunakan oleh petani sebagian besar

mengandung bahan aktif deltamethrin dan cypermethrin. Pestisida tersebut

banyak digunakan petani karena dapat membunuh serangga dengan cepat

terutama Helopeltis tetapi untuk hama PBK petani tidak pernah melihat secara

langsung imago yang dapat terbunuh karena perlakukan pestisida tersebut dan terbukti tidak efektif menekan hama PBK.

Petani yang melakukan pengendalian dengan pemangkasan, pemupukan dan panen sering juga melakukan penyemprotan dengan insektisida kimia untuk

mengendalikan Helopeltis yang dapat mempengaruhi tampilan fisik buah.

Komponen pemangkasan tanaman dilakukan seluruhnya oleh petani dengan frekuensi yang bervariasi. Sebagian petani melakukan pengendalian dengan penggunaan pestisida nabati yang banyak berada disekitar lokasi perkebunannya.

Pengetahuan tersebut diperoleh dari kegiatan SL-PHT (Sekolah Lapang

Dokumen terkait