• Tidak ada hasil yang ditemukan

A.Hasil

Klasifikasi Plankton

Dari penelitian yang telah dilakukan di perairan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Belawan didapat hasil sebanyak 21 genus plankton, yang terdiri dari 20 genus fitoplankton dan 1 genus zooplankton. Klasifikasi plankton yang didapatkan pada 2 stasiun penelitian pada Tabel 2.

Tabel 2 terlihat bahwa fitoplankton yang paling banyak diperoleh termasuk kedalam divisi Chlorophyta yang terdiri dari 4 kelas, 6 ordo, 9 famili, 9 genus. Divisi Chlorophyta yang termasuk kedalam golongan alga hijau yang memang tersebar luas di seluruh permukaan perairan yang masih mendapatkan cahaya matahari yang maksimal. Sedangkan zooplankton yang diperoleh adalah berasal dari filum Rotifera, kelas Eurotatoria, ordo Ploima, famili Tricocercidae dan genus Trichocerca sp.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Barus (2004) bahwa kepadatan zooplankton di suatu perairan lotik jauh lebih sedikit dibandingkan dengan fitoplankton. Pengaruh kecepatan arus terhadap zooplankton jauh lebih kuat dibandingkan dengan fitoplankton. Oleh karena itu, umumnya zooplankton banyak ditemukan pada perairan yang mempunyai kecepatan arus yang rendah serta kekeruhan air yang sedikit. Kelompok Eurotatoria merupakan zooplankton yang umumnya banyak ditemukan dalam sistem perairan.

Tabel 2. Klasifikasi Plankton yang didapatkan pada Stasiun Penelitian di beberapa Lokasi di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Belawan Kabupaten Deli Serdang.

No Divisi Kelas Ordo Famili Genus

1. Bacillariophyta Bacillariophyceae Bacillariales Bacillariaceae Bacillaria sp

Eunotiales Eunotiaceae Eunotia sp

Fragilariales Fragillariaceae Synedra sp

Coscinodiscophyceae Thallassiosirales Stephanodiscaceae Cyclotella sp

2. Charophyta Conjugatophyceae Zygnematales Mesotaeniaceae Netrium sp

Zygnematophyceae Desmidiales Closteriaceae Closterium sp

Zygnematales Zygnemataceae Spirogyra sp

3. Chlorophyta Chlorophyceae Chaetoporales Chaetophoraceae Stigeoclonium sp

Chlorococcales Characiaceae Characium sp

Scenedesmaceae Scenedesmus sp

Hydrodictyaceae Pediastrum sp

Volvocales Volvocaceae Pandorina sp

Ulvophyceae Ulothrichales Ulotrichaceae Ulothrix sp

Trebouxiophyceae Chlorellales Chlorellaceae Closteriopsis sp

Zygnematophyceae Desmidiales Desmidiaceae Cosmarium sp

Gonatozygaceae Gonatozygon sp

4. Chrysophyta Bacillariophyceae Surirellales Surirellaceae Surirella sp

5. Heterokontophyta Bacillariophyceae Bacillariales Bacillariaceae Nitzchia sp

Cymbellales Cymbellaceae Cymbella sp

Naviculales Naviculaceae Navicula sp

6. Rotifera Eurotatoria Ploima Trichocercidae Trichocerca sp

Bacillariophyta adalah organisme uniseluler yang merupakan komponen penting dari fitoplankton sebagai sumber utama makanan bagi zooplankton di habitat air tawar. Bacillariophyta memiliki plastida berwarna kecoklatan yang mengandung klorofil a dan c dan fucoxanthin (botany.si.edu., 2013). Gambar Divisi Bacillariophyta terlihat pada Gambar 3 dan deskripsi spesies dari divisi ini terlampir pada Lampiran 10.

Gambar 3. Divisi Bacillariophyta (a) Bacillaria sp; (b) Eunotia sp; (c) Synedra sp; (d) Cyclotella sp

Charophyta adalah salah satu ia seperti ganggang hijau yang berkonjugasi, namun tidak memiliki sel be (Wikkipedia, 2013). Charophyta hidup di semua jenis perairan pedalaman dan sensitif terhadap perubahan ekologi (link.springer.com., 2013). Gambar Divisi Charophyta terlihat pada Gambar 4 dan deksripsi spesies dari divisi ini terlampir pada Lampiran 10.

Gambar 4. Divisi Charophyta (a) Netrium sp; (b) Closterium sp; (c) Spirogyra sp

a b c

Chlorophyta memiliki ciri-ciri antara lain memiliki beberapa pigmen seperti klorofil a dan b, santofil, dan karoten, klorofil terdapat dalam jumlah yang banyak sehingga ganggang ini berwarna hijau. Hasil fotosintesis chlorophyta berupa amilum yang tersimpan di dalam kloroplas. Jenis yang hidup di air tawar bersifat kosmopolit, seperti : kolam, danau, genangan air hujan, pada air mengalir. Gambar Divisi Chlorophyta terlihat pada Gambar 5 dan deksripsi spesies dari divisi ini terlampir pada Lampiran 10.

Gambar 5. Divisi Chlorophyta (a) Stigeoclonium sp; (b) Characium sp; (c) Scenedesmus

sp; (d) Pediastrum sp; (e) Pandorina sp; (f) Ulothrix sp; (g) Closteriopsis sp; (h) Cosmariunm sp; (i) Gonatozygon sp.

Chrysophyta merupakan uniseluler protista air tawar. Chrysophtya bersifat fotosintetik, yang menyebabkan kategorisasi awal mereka sebagai tanaman.. Chrysophyta ditemukan di lingkungan laut dan air tawar. Diatom dan ganggang cokelat keemasan yang paling ekologis signifikan, mereka membentuk bagian dari plankton dan nanoplankton yang merupakan dasar dari rantai makanan akuatik. Gambar Chrysophyta terlihat pada Gambar 6a dan deskripsi spesies dari divisi ini

a b c d

Divisi Heterokontopyta merupakan jenis kloroplas yang tertutup tidak hanya oleh membran ganda sendiri, tetapi juga oleh lipatan retikulum endoplasma. Kebanyakan ganggang dan diatom uniseluler, yang merupakan komponen utama dari plankton (bio.classes.ucsc.edu., 2013). Gambar Heterokontophyta terlihat pada Gambar 6 b dan deskripsi spesies dari divisi dapat dilihat pada Lampiran 10.

Filum Rotifera terdiri atas sebagian besar hewan yang hidup bebas berukuran panjang < 1 mm dalam ekosistem akuatik di seluruh dunia. Rotifera dicirikan oleh korona, yang digunakan untuk penggerak dan makanan yang mengumpulkan, dan faring otot yang digunakan untuk memproses makanan (id.termwiki.com., 2013). Gambar Rotifera terlihat pada Gambar 6 d dan deskripsi spesies dari divisi dapat dilihat pada Lampiran 10.

Gambar 6. (a) Divisi Chrysophyta (Surirella sp); (b) Divisi Heterokontophyta (Nitzchia

sp); (c) Navicula sp; (d) Filum Rotifera (Trichocerca sp)

Nilai Kelimpahan Plankton (K) di Setiap Stasiun Penelitian

Berdasarkan hasil analisis data plankton yang diperoleh, maka didapat nilai kelimpahan plankton pada tiap stasiun pengamatan seperti pada Gambar 7.

Gambar 7. Kelimpahan Plankton Tiap Stasiun

Kelimpahan fitoplankton yang diperoleh selama penelitian bervariasi antar stasiun dan waktu pengamatan, dengan kisaran nilai 4,11 – 5,19 ind/L.

Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E), Dominansi (λ) Plankton

Berdasarkan analisis data didapatkan nilai Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E), dan Indeks Dominansi (

λ

) plankton pada masing-masing stasiun (Tabel 4).

Tabel 3. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E), dan Dominansi (

λ

) pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

INDEKS STASIUN

I II

Keanekaragaman (H’) 1,03 2,9

Keseragaman (E) 0,22 0,6

Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 2,94. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) terendah terdapat pada stasiun I sebesar 1,02.

Nilai Indeks Keseragaman (E) yang diperoleh dari kedua stasiun penelitian berkisar antara 0,215 – 0,595. Indeks Keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 0,595. Dan Indeks Keseragaman terendah terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 0,215. Tabel Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E) dan Indeks Dominansi

λ

dapat dilihat pada Lampiran 11. Contoh perhitungan kelimpahan plankton, Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman, Indeks Dominansi dapat dilihat pada Lampiran 12.

Parameter Fisika – Kimia Penunjang Kesuburan Perairan

Faktor abiotik merupakan faktor yang penting untuk diukur karena sangat mempengaruhi faktor biotik lainnya di perairan. Faktor abitoik yang diukur meliputi faktor fisik – kimia pada stasiun pengamatan (Tabel 4). Data kualitas air setiap minggu terlampir pada Lampiran 13-16.

Tabel 4. Nilai Faktor Fisik – Kimia Perairan yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian di Hulu Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu.

Keterangan: I = Desa Pertampilen; II = Desa Salam Tani

Analisis Regresi SPSS versi 17.00 Antara Faktor Fisik Kimia Dengan Indeks Kelimpahan Plankton

Berdasarkan pengukuran faktor fisik kimia perairan yang telah dilakukan kemudian diregresikan dengan indeks kelimpahan plankton di setiap stasiun pengamatan, maka diperoleh nilai indeks regresi yang dapat dilihat pada Tabel 5. Gambar hubungan regresi kelimpahan plankton dengan faktor fisika kimia dapat dilihat pada Lampiran 17-18.

Tabel 5. Hasil analisis korelasi dan regresi antara kelimpahan plankton (x) dengan faktor fisika (y) dan kimia perairan.

Stasiun Pengamatan

Faktor x Faktor y Regresi R2 Korelasi

Stasiun 1 Kelimpahan Plankton Suhu y = 4,380x + 20,74 0,752 0,867 Arus y = 0,413x – 0,088 0,903 0,950 Penetrasi Cahaya y = 39,31x – 21,67 0,941 0,970 pH y = 0,643x + 6,547 0,289 0,537 Oksigen Terlarut y = -0,588x + 6,954 0,747 0,864 BOD5 y = 0,176x + 1,119 0,012 0,109 Posfat y = 0,016x + 0,032 0,790 0,888 Nitrat y = 0,206x + 1,010 0,282 0,531 Nitrit y = 0,011x + 0,001 0,747 0,864 Amoniak y = 0,130x + 0,330 0,942 0,970 Kekeruhan y = 9,665x + 4,973 0,773 0,879

No Parameter Satuan Satuan

I II 1. Suhu oC 24-25oC 25-26oC 2. Penetrasi Cahaya cm 9 – 20 31 - 33 3. Kecepatan arus m/s 0,225 – 1,34 0,071 – 0,625 4. pH 6,8 – 7,5 7,3 – 7,5 5. DO Mg/L 6,2 – 6,5 7 – 7,4 6. BOD5 Mg/L 0,9 – 1,6 0,9 – 1,7 7. Posfat Mg/L 0,045 – 0,052 0,055 – 0,064 8. Niitrat Mg/L 1,136 – 1,314 0,924 – 1,108 9. Nitrit Mg/L 0,011 – 0,017 0,014 – 0,021 10. Amoniak Mg/L 0,438 – 0,491 0,318 – 0,431 11. Kekeruhan NTU 12,22 – 17,22 5,34 – 8,62

Stasiun 2 Kelimpahan Plankton Suhu y = 1,062x + 23,99 0,794 0,891 Arus y = 0,089x + 0,123 0,868 0,931 Penetrasi Cahaya y = 0,816x + 30,94 0,621 0,788 pH y = -0,058x + 7,592 0,014 0,118 Oksigen Terlarut y = -0,614x + 7,687 0,569 0,754 BOD5 y = -0,793x + 2,254 0,786 0,886 Posfat y = 0,005x + 0,053 0,304 0,551 Nitrat y = 0,075x + 0,935 0,131 0,361 Nitrit y = 0,004x + 0,011 0,476 0,689 Amoniak y = 0,094x + 0,251 0,649 0,805 Kekeruhan y = 2,933x + 3,338 0,712 0,843 B.Pembahasan

Nilai Kelimpahan Plankton (K) di Setiap Stasiun Penelitian

Dari Gambar 7 terlihat bahwa kelimpahan fitoplankton yang diperoleh selama penelitian bervariasi antar stasiun dan waktu pengamatan, dengan kisaran nilai 4,11 – 5,19 ind/L. Tingginya nilai kelimpahan yang diperoleh pada stasiun 2 dissebabkan parameter-parameter lingkungan yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan fitoplankton pada stasiun tersebut berada pada kisaran yang sesuai, suhu dan pH perairan berada pada nilai yang optimal untuk mendukung kehidupan plankton, sedangkan kandungan nutrien bukan merupakan nilai yang optimum tetapi belum menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan plankton. Sementara itu, konsentrasi ortofosfat berada pada kisaran yang optimal sehingga plankton dapat tumbuh secara maksimal.

Nilai terendah yang diperoleh pada Stasiun 1 disebabkan oleh terdapatnya kegiatan pengerukan pasir pada daerah tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Muktassor (2007) bahwa efek pengerukan memberikan tekanan yang berpengaruh langsung terhadap organisme di lokasi pengerukan dan berpotensi memusnahkan daerah pemijahannya. Kondisi ini dapat berdampak luas terhadap habitat

organisme lain yang juga bersifat sensitif. Kekeruhan lingkungan perairan juga merupakan hal yang serius akibat pengerukan, karena kegiatan pengerukan di suatu lokasi menyebabkan terjadinya pengadukan sedimen yang berbahaya bagi kehidupan organisme perairan.

Kekeruhan perairan ini sangat berpengaruh terhadap proses fotosintesis fitoplankton, sehingga dapat menghambat pertumbuhannya dan juga berpengaruh terhadap biota lainnya karena fitoplankton merupakan produktivitas primer suatu siklus kehidupan. Menurut Ewusie (1990) bahwa plankton tidak dapat berkembang subur dalam air mengalir. Ini disebabkan karena kebanyakan plankton itu hilang karena banjir dan kekeruhan. Hanya pada bagian aliran air yang bergerak perlahan dan di sungai besar plankton dapat berkembang biak dan menyatu dengan komunitasnya (Odum, 1993).

Kelimpahan fitoplankton yang didapatkan di hulu Sungai Belawan lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Surbakti (2009) di perairan aliran sungai Lau Sitelu Desa Namorambe Kabupaten Deli Serdang yang memperoleh kelimpahan plankton sebesar 8,16 ind/L.

Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E), Dominansi (λ) Plankton

Berdasarkan Tabel 3, nilai keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 2,94. Hal ini dikarenakan pada stasiun II terdapat jumlah jenis dengan penyebaran individu yang merata dibandingkan dengan stasiun lainnya. Brower dkk (1990) menyatakan bahwa suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat benyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies relatif merata.

Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) terendah terdapat pada Stasiun I sebesar 1,02. Menurut Darmono (2010) bahwa suatu spesies organisme tidak dapat hidup tersebar dimana-mana, karena spesies tersebut mempunyai batas toleransi tertentu terhadap suatu variasi kondisi fisik dan kimia tertentu. Perubahan faktor abiotik baik secara alamiah maupun karena ulah manusia yang telah melebihi batas toleransi ekosistem biotik disebut sebagai pencemaran atau polusi. Perubahan faktor abiotik yang melampaui ambang batas toleransi dari komponen biotik dapat mengakibatkan musnahnya suatu spesies biotik yang hidup dalam lingkungan yang bersangkutan.

Odum (1993) , berdasarkan Indeks Keanekaragaman (H’) plankton pada masing-masing lokasi penelitian yang diamati, dapat digolongkan sebagai berikut: H’ < 2,306 = Keanekaragaman rendah (Komunitas biota tidak stabil) 2,3026< H’<6,9076 = Keanekaragaman sedang (Komunitas biota sedang) H’ > 6,9078 = Keanekaragaman tinggi (Komunitas biota dalam bagus).

Berdasarkan pengelompokkan tersebut, maka berdasarkan data yang diperoleh stasiun I termasuk dalam keanekaragaman rendah, dan stasiun II termasuk dalam keanekaragaman sedang. Menurut Odum (1993), nilai Indeks Keseragaman (E) berkisar antara 0 – 1. Jika nilai indeks keseragaman (E) mendekati 0 berarti keseragamannya rendah karena ada jenis yang mendominasi. Bila nilai mendekati 1, maka keseragaman tinggi dan menggambarkan tidak ada jenis yang mendominasi sehingga pembagian jumlah individu pada masing-masing sangat merata.

Nilai Indeks Keseragaman (E) yang diperoleh dari kedua stasiun penelitian berkisar antara 0,2 – 0,6. Indeks Keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 0,6. Tingginya nilai Indeks Keseragaman pada stasiun II karena ketersediaan nutrisi yang cukup untuk penyebaran plankton dan sebaliknya. Dan Indeks Keseragaman terendah terdapat pada Stasiun I yaitu sebesar 0,2. Ketersediaan nutrisi dan pemanfaatan nutrisi yang berbeda akan menyebabkan nilai indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman yang bervariasi.

Parameter Fisika – Kimia Penunjang Kesuburan Perairan

Dari Tabel 4 dapat kita lihat bahwa suhu air pada kedua stasiun penelitian berkisar 24 – 26oC, dengan termperatur terendah terdapat pada stasiun II (Lokasi Tanpa Kegiatan Pengerukan) sebesar 24oC dan temperatur tertinggi pada stasiun I (Lokasi Kegiatan Pengerukan) sebesar 26oC. Perbedaan temperatur pada kedua stasiun penelitian karena perbedaan waktu pengukuran serta kondisi cuaca saat pengukuran dilakukan, juga sebagai akibat dari perbedaan aktivitas pada masing-masing stasiun. Menurut Brehm dan Meijering (1990) dalam Barus (2004), pola temperatur ekosistem perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti intensitas matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya dan juga faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi perairan.

Nilai penetrasi cahaya pada kedua stasiun berbeda Penetrasi cahaya yang paling tinggi terdapat pada stasiun II (tanpa kegiatan pengerukan) yakni 33 – 36 cm. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai faktor seperti adanya bahan-bahan terlarut dan suspensi padatan yang tinggi, serta bahan organik yang tinggi, sehingga matahari sulit untuk menembus badan perairan, sedangkan penetrasi

yang terendah pada Stasiun I (Aktivitas Pengerukan Pasir) yakni 9 – 20 cm. Rendahnya penetrasi cahaya pada stasiun ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti adanya bahan-bahan terlarut kondisi vegetasi pada daerah tepi sungai yang terbatas juga adanya aktivitas manusia yang cukup tinggi pada stasiun ini. Rendahnya nilai penetrasi pada stasiun tersebut disebabkan banyaknya partikel terlarut sehingga menyebabkan kekeruhan yang tinggi (Abdunnur, 2002).

Nilai arus sungai pada kedua stasiun penelitian berkisar 0,071 – 1,34 m/det. Kecepatan arus yang lebih tinggi adalah stasiun II (tanpa kegiatan pengerukan) sedangkan paling rendah adalah stasiun I (kegiatan pengerukan). Perbedaan arus sungai ini disebabkan karena sungai tersebut memiliki kemiringan ataupun ketinggian yang berbeda. Selain itu, pada stasiun II (kegiatan pengerukan pasir) memiliki kedalaman yang lebih dalam sehingga air mengalir juga tidak terlalu kencang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Barus (2004) bahwa hal ini sesuai dengan hukum fisika mengenai gesekan yang menyatakan bahwa daerah yang terbebas dari gesekan akan mempunyai arus yang lebih cepat.

Nilai pH pada kedua stasiun penelitian berkisar antara 6,8 – 7,5. Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun II (tanpa kegiatan pengerukan) sebesar 7,5 dan terendah pada stasiun I (kegiatan pengerukan pasir) sekitar 6,8. Hal ini disebabkan adanya penambahan atau kehilangan CO2 melalui proses fotosintesis yang akan menyebabkan perubahan pH didalam air. Secara keseluruhan, nilai pH yang didapatkan dari kedua stasiun penelitian masih mendukung kehidupan dan perkembangan plankton. Menrut Barus (2004), kehidupan dalam air masih dapat bertahan apabila perairan mempunyai kisran pH 6,8 – 7,5.

Nilai oksigen terlarut (DO) yang diperoleh dari kedua stasiun penelitian berkisar 6,2 – 7,4 mg/L, dengan nilai tertinggi terdapat pada stasiun II (tanpa kegiatan pengerukan) sebesar 7,4 mg/L dan yang terendah pada stasiun I (kegiatan pengerukan pasir). Tingginya nilai oksigen terlarut pada stasiun II (tanpa kegiatan pengerukan) karena rendahnya kandungan organik akibat tidak adanya aktivitas di kawasan ini sehingga cahaya matahari dapat menembus hingga ke badan perairan yang lebih dalam, sedangkan rendahnya nilai oksigen terlarut pada stasiun I (kegiatan pengerukan pasir) menunjukkan bahwa terdapat banyak senyawa organik yang masuk ke badan perairan tersebut yang berasal dari limbah dan berbagai aktivitas masyarakat di sekitar aliran sungai tersebut, dimana kehadiran senyawa organik akan menyebabkan terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme yang akan berlangsung secara aerob (memerlukan oksigen). Schwoerbel (1987) dalam Barus (2004) menyatakan nilai oksigen terlarut pada suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun musiman, yang sangat dipengaruhi oleh perubahan temperatur dan aktivitas fotosintesis tumbuhan yang menghasilkan oksigen.

Nilai BOD5 pada kedua stasiun penelitian berkisar antara 0,9 – 1,7 mg/L, dengan nilai tertinggi terdapat pada stasiun II (tanpa kegiatan pengerukan) dan terendah pada stasiun I sebesar 0,9 mg/l. Adanya perbedaan nilai BOD5 di setiap stasiun penelitian disebabkan jumlah bahan organik yang berbeda pada masing-masing stasiun, yang berhubungan dengan defisit oksigen karena oksigen tersebut digunakan oleh mikroorganisme dalam proses penguraian bahan organik sehingga mengakibatkan nilai BOD5 meningkat. Menurut Manahan (1984) dalam Barus

(2004), nilai BOD5 menunjukkan bahwa terjadi pencemaran organik didalam suatu perairan.

Nilai kandungan fosfat, nitrat, nitrit, amoniak juga berbeda dalam setiap stasiunnya. Tingginya proses dekomposisi bahan organik di kolom perairan seperti yang dikemukakan oleh Paasche (1984) dalam Abida (2010) pada perairan dangkal, akan menyebabkan tingginya konsentrasi ammonium, nitrogen yang diubah menjadi ammonium oleh mikrobial dan komunitas hewan yang penting bagi fitoplankton yang dapat menyediakan lebih besar atau semua N yang dikonsumsi di kolom air.

Analisis Hubungan Parameter Kualitas Air Dengan Kelimpahan Plankton

Pada Tabel 5 menunjukkan hubungan yang berbanding lurus antara kelimpahan fitoplankton dengan suhu pada stasiun 1 dan stasiun 2. Semakin tinggi kelimpahan fitoplankton, maka faktor suhu semakin tinggi. Berdasarkan grafik hubungan tersebut diperoleh persamaan Y = 4,380x + 20,74; R2 = 0,752 pada stasiun 1 dan Y = 1,062x + 23,99; R2 = 0,794 pada stasiun 2. Artinya bahwa sebanyak 75,2 % dan 79,4 % kelimpahan fitoplankton dipengaruhi oleh suhu, dan sebesar 24,8% dan 20,6% dipengaruhi oleh faktor lain. Nilai korelasi yang diperoleh di setiap stasiun adalah sebesar 0,86 dan 0,89 menunjukkan hubungan yang erat antara kelimpahan fitoplankton dengan suhu.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan produktivitas primer, suhu lebih berperan sebagai kovarian dengan faktor lain daripada sebagai faktor bebas. Sebagai contoh, plankton pada suhu rendah dapat mempertahankan konsentrasi pigmen-pigmen fotosintesis,

enzim-enzim dan karbon yang besar. Ini disebabkan karena lebih efisiennya fitoplankton menggunakan cahaya pada suhu rendah dan laju fotosintesis akan lebih tinggi bila sel-sel fitoplankton dapat menyeesuaikan dengan kondisi yang ada.

Pada Tabel 5, hubungan yang positif antara kelimpahan plankton dengan arus pada setiap stasiun. Hal ini tampak pada grafik hubungan tersebut diperoleh persamaan Y = 0,413x – 0,088; R2 = 0,903 pada stasiun 1 dan persamaan Y = 0,089x + 0,123; R2 = 0,868 pada stasiun 2. Nilai korelasi yang diperoleh sebesar 0,950 pada stasiun 1 dan 0,931 pada stasiun 2. Nilai korelasi yang diperoleh tersebut menunjukkan hubungan yanng erat antara kelimpahan plankton dengan arus.

Hasil regresi pada kedua stasiun menunjukkan bahwa 90,3 % dan 86,8 % kelimpahan plankton berpengaruh dengan arus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Barus (2004) menyatakan bahwa keberadaan plankton sangat berpengaruh dan tergantung dengan tinggi rendahnya arus pada daerah tersebut.

Tabel 5 menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik antara kelimpahan plankton dengan penetrasi cahaya pada stasiun 1. Semakin kecil kecerahan maka kelimpahan plankton akan semakin kecil. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa menunjukkan hubungan yang erat antara kelimpahan fitoplankton dengan penetrasi cahaya.

Pada stasiun 2 (Tabel 5), hubungan korelasi linier antara kelimpahan fitoplankton dengan penetrasi cahaya sebesar 0,788. Hubungan linier yang ditunjukkan pada Gambar 11 yaitu tingginya kelimpahan plankton diikuti dengan semakin tingginya penetrasi cahaya.

Korelasi yang rendah antara kelimpahan fitoplankton dengan nitrat, nitrit, fosfat menggambarkan bahwa ketiga variabel tersebut memberikan pengaruh tidak berpengaruh nyata terhadap kelimpahan plankton. Semakin tinggi kelimpahan plankton akan diikuti dengan rendahnya nilai variabel yang terkait dan begitu pula sebaliknya.

Manajemen Penataan Bantaran Sungai Ditinjau dari Aspek Lingkungan

Ekosistem adalah satuan kehidupan yang terdiri atas suatu komunitas makhluk hidup dengan benda mati yang berinteraksi membentuk suatu sistem (Soeryani, 1987 dalam Salmah, 2010).

Dasar-dasar ekologik berwawasan lingkungan menginformasikan bahwa lingkungan hidup tidak berdiri sendiri, tetapi secara komprehensif memuat 3 komponen utama lingkungan yaitu lingkungan sumber daya alam, lingkungan sosial dan lingkungan binaan sebagai berikut:

1. Lingkungan hidup memuat 3 (tiga) komponen lingkungan utama, yaitu komponen lingkungan utama, yaitu komponen lingkungan sumber daya alam (SDA), komponen lingkungan sosial dan komponen lingkungan binaan;

2. Tanah dan pepohonan merupakan komponen lingkungan sumber daya alam yang dibutuhkan manusia dan makhluk hidup lainya untuk proses kehidupan;

3. Perumahan termasuk komponen lingkungan binaan yang merupakan satu diantara beberapa kebutuhan dasar utama yang dibutuhkan manusia dalam proses kehidupan.

Pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumberdaya alam non-hayati, perlindungan sumberdaya buatan, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, cagar alam, keanekaragaman hayati serta perubahan iklim.

Kodoatie dan Roestam (2008), ada 3 aspek utama dan 2 aspek pendukung dalam pengelolaan sumber daya air, yaitu:

1. Konservasi Sumber Daya Air 2. Pendayagunaan Sumber Daya Air 3. Pengendalian Daya Rusak Air 4. Sistem Informasi Sumber Daya Air 5. Pemberdayaan masyarakat

Penyediaan sumber daya air dalam setiap wilayah sungai dilaksanakan sesuai dengan penatagunaan sumber daya air yang ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri, pertambangan,perhubungan, kehutanan dan keanekaragaman hayati, olahraga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika, serta kebutuhan lain yang ditetapkan sesuai dengan perundang-undangan. Penyebutan jenis-jenis penyediaan sumber daya air pada ayat ini di luar kebutuhan pokok bukan merupakan urutan prioritas.

Dokumen terkait