• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Organoleptik Dendeng Batokok

Uji organoleptik dendeng batokok yang dilakukan bertujuan untuk menentukan lama pengasapan terpilih berdasarkan pada penerimaan panelis terhadap karakteristik sensori produk tersebut yang meliputi warna, tekstur, aroma dan rasa. Hasil uji karakteristik organoleptik dapat dilihat pada Tabel 7, 8 dan 9.

Tabel 7 Hasil uji organoleptik dendeng batokok pada pengasapan tempurung kelapa.

Atribut DDS DDK DDS DDK DDS DDK 30 mnt 30 mnt 60 mnt 60 mnt 90 mnt 90 mnt Warna 3.6±0.5a 3.6±0.5a 3.9±0.6p 3.9±0.5p 3.5±0.6z 3.6±0.5z Tekstur 3.4±0.5a 3.4±0.5a 3.6±0.6p 3.4±0.5p 3.5±0.5z 3.4±0.5 Aroma z 3.5±0.6a 3.5±0.6a 3.7±0.6p 3.8±0.5p 3.7±0.6z 3.6±0.6 Rasa z 3.5±0.7a 3.6±0.6a 3.8±0.7p 3.7±0.6p 3.8±0.6z 3.7±0.6 Rataan z 3.5 3.5 3.8 3.7 3.6 3.5

Tabel 8 Hasil uji organoleptik dendeng batokok pengasapan serbuk gergaji medang.

Atribut DDS DDK DDS DDK DDS DDK 30 mnt 30 mnt 60 mnt 60 mnt 90 mnt 90 mnt Warna 3.6±0.5a 3.5±0.5a 3.7±0.6p 3.6±0.5p 3.8±0.5z 3.7±0.5z Tekstur 3.5±0.5a 3.4±0.5a 3.4±0.5p 3.5±0.5p 3.8±0.5z 3.7±0.5 Aroma z 3.5±0.5a 3.6±0.6a 3.7±0.6p 3.7±0.6p 4.1±0.6z 3.8±0.5 Rasa z 3.8±0.7a 3.6±0.6a 3.8±0.6p 3.6±0.5p 4.0±0.5z 3.8±0.5 Rataan z 3.6 3.5 3.7 3.6 4.0 3.8

Tabel 9 Hasil uji organoleptik dendeng batokok pada pengasapan sekam padi.

Atribut DDS DDK DDS DDK DDS DDK 30 mnt 30 mnt 60 mnt 60 mnt 90 mnt 90 mnt Warna 3.7±0.6a 3.6±0.5a 3.7±0.5p 3.6±0.5p 3.8±0.6z 3.7±0.5z Tekstur 3.4±0.5a 3.6±0.5a 3.4±0.5p 3.5±0.5p 3.5±0.5z 3.5±0.5 Aroma z 3.6±0.6a 3.4±0.5a 3.7±0.6p 3.5±0.5p 3.6±0.5z 3.7±0.5 Rasa z 3.6±0.6a 3.5±0.6a 3.7±0.7p 3.6±0.5p 3.9±0.6z 3.8±0.6 Rataan z 3.6 3.5 3.6 3.6 3.8 3.7

Keterangan: 1. Superskrip yang sama dalam baris yang sama pada setiap lama pengasapan menunjuk kan tidak berbeda nyata (P>0.05).

2. DDS: dendeng daging sapi, DDK: dendeng daging kerbau.

Warna

Berdasarkan data pada Tabel 7, 8 dan 9 secara umum terlihat bahwa hasil uji organoleptik warna dendeng batokok yang diolah dari daging sapi dan kerbau dengan menggunakan bahan pengasap tempurung kelapa, serbuk gergaji medang dan sekam padi serta lama pengasapan masing-masing selama 30, 60 dan 90 menit berkisar

antara agak suka (3.5) sampai suka (3.9). Hal ini menunjukkan bahwa atribut warna dari dendeng batokok yang diuji berada pada taraf yang dapat diterima oleh panelis.

Hasil uji Kruskal Wallis dendeng batokok menunjukkan bahwa dendeng batokok dari jenis daging, bahan pengasap dan lama pengasapan yang berbeda pada penelitian ini tidak memberikan perbedaan terhadap penilaian warna. Hal ini berkaitan dengan lama pengasapan selama 30-90 menit yang dilakukan tidak memberikan warna berlebihan terhadap warna produk sehingga tingkat penilaian panelis terhadap warna dendeng batokok tidak jauh berbeda.

Susilawati (2007) menyatakan, bahwa pengasapan dengan menggunakan tempurung kelapa berpengaruh terhadap warna dendeng batokok. Perbedaan hasil ini karena metode yang digunakan berbeda dan waktu pengasapan yang lebih lama yaitu antara 3-9 jam sehingga jumlah asap yang melekat pada produk lebih banyak sehingga memberikan pengaruh terhadap penilaian warna yang diberikan oleh panelis.

Tekstur

Pada Tabel 7, 8 dan 9 terlihat bahwa hasil uji organoleptik tekstur dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa, serbuk gergaji medang dan sekam padi serta lama pengasapan 30, 60 dan 90 menit berkisar antara agak suka (3.4) sampai suka (3.8). Hasil ini memperlihatkan bahwa atribut tekstur dari dendeng batokok yang diuji juga secara umum dapat diterima oleh panelis.

Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis pada dendeng batokok menunjukkan, bahwa faktor jenis daging, tipe bahan pengasap dan lama pengasapan yang dilakukan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penilaian organoleptik tekstur. Hal ini karena pada proses pengasapan tempurung kelapa, meskipun asap yang dihasilkan lebih banyak namun dengan lama pengasapan yang lebih singkat sehingga menghasilkan tekstur yang tidak jauh berbeda dengan asap dari bahan pengasap serbuk gergaji medang dan sekam padi yang menghasilkan asap lebih sedikit namun dengan waktu pengasapan lebih lama sehingga pelunakan protein jaringan ikat menjadi tidak banyak berbeda. Selain itu, adanya pengaruh dari pemukulan yang merata dapat membuat permukaan dendeng batokok baik dari daging sapi maupun

daging kerbau memiliki tekstur yang tidak jauh berbeda sehingga tidak mempengaruhi penilaian panelis terhadap tekstur produk.

Menurut Lawrie (2003) menyatakan bahwa penilaian tekstur daging sangat terkait dengan keempukan daging. Soeparno (2005) menyatakan, bahwa keempukan daging ditentukan oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silang dan daya ikat air oleh protein daging.

Aroma

Pada Tabel 7, 8 dan 9 dapat dilihat bahwa hasil uji organoleptik aroma dendeng batokok berdasarkan jenis daging, tipe bahan pengasap dan lama pengasapan berkisar antara agak suka (3.4) sampai suka (4.1). Hal ini memperlihatkan bahwa atribut dari dendeng batokok yang diuji secara umum dapat diterima oleh panelis. Hal ini karena dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau pada pengasapan tempurung kelapa, serbuk gergaji medang dan sekam padi dengan lama pengasapan 30, 60 dan 90 menit, asap yang dihasilkan cukup merata melekat pada dendeng batokok sehingga aroma direspon panelis tidak jauh berbeda.

Hasil uji Kruskal Wallis pada dendeng batokok menunjukkan bahwa produk dari jenis daging, tipe bahan pengasap dan lama pengasapan berbeda tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penilaian organoleptik aroma. Selain itu, panelis kemungkinan sudah pernah atau sering menkonsumsi dendeng batokok sehingga menyebabkannya tidak segera dapat membedakan perbedaan aroma asap dari bahan yang berbeda. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Badewi (2002) yang memperlihatkan tidak terdapat perbedaan aroma pada pengasapan daging sei dengan lama pengasapan 1–2 jam dengan menggunakan tempurung kelapa dan kayu kusambi sebagai bahan pengasap. Suryaningsih (2010) bahwa senyawa yang paling menentukan aroma asap adalah fenol seperti siringol, isoguenol dan metil guenol. Guakol memberikan rasa asap, sementara siringol memberikan aroma asap. Guillen (2002) menyatakan, bahwa penerimaan masyarakat terhadap sifat-sifat sensori daging asap turut dipengaruhi oleh kebiasaan kuliner dan adat kebiasaan yang berbeda pada setiap daerah.

Rasa

Pada Tabel 7, 8 dan 9 menunjukkan bahwa hasil uji organoleptik rasa dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau dengan menggunakan bahan pengasap tempurung kelapa, serbuk gergaji medang dan sekam padi serta lama pengasapan selama masing-masing 30, 60 dan 90 menit berkisar antara agak suka (3.5) dan suka (4.0). Hal ini memperlihatkan bahwa atribut rasa dari dendeng batokok yang diuji secara umum dapat diterima oleh panelis.

Hasil uji Kruskal Wallis pada dendeng batokok, menunjukkan bahwa dendeng batokok dari jenis daging, tipe bahan pengasap dan lama pengasapan yang dilakukan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penilaian warna produk. Hal ini bahwa asap dari bahan tempurung kelapa, serbuk gergaji medang dan sekam padi tersebar cukup merata pada daging sehingga respon panelis terhadap rasa relatif sama. Selain itu, bumbu juga memberikan pengaruh terhadap respon panelis terhadap rasa produk pada penelitian dendeng batokok ini karena menggunakan bumbu-bumbu dengan jumlah yang sama, sehingga respon panelis tidak jauh berbeda terhadap rasa produk. Hasil ini sejalan dengan penelitian Badewi (2002) yang menyatakan bahwa lama pengasapan 1-2 jam dengan menggunakan bahan pengasap yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap rasa daging asap pada penyimpanan 0 minggu.

Penilaian Hasil Uji Organoleptik Dendeng Batokok

Berdasarkan hasil uji hedonik yang dilakukan oleh 73 orang panelis tidak terlatih yang meliputi warna, aroma, tekstur dan rasa, maka diperoleh lama pengasapan terpilih dendeng batokok dengan nilai rataan tertinggi pada masing-masing bahan pengasap dan jenis daging yaitu: pada pengasapan tempurung kelapa, produk dari daging sapi (3.8) dan daging kerbau (3.7) dengan lama pengasapan masing-masing selama 60 menit. Pada pengasapan serbuk gergaji medang, produk dari daging sapi (4.0) dan daging kerbau (3.8) dengan lama pengasapan masing-masing selama 90 menit. Pada pengasapan sekam padi, produk dari daging sapi (3.8) dan daging kerbau (3.7) dengan lama pengasapan masing-masing 90 menit.

Karakteristik Kimia, Fisik dan Mikrobiologi Dendeng Batokok Pengasapan Tempurung Kelapa

Data hasil pengamatan karakteristik kimia, fisika dan mikrobiologi dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Hasil pengamatan peubah dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau pada pengasapan tempurung kelapa.

Peubah Hari ke-0 Hari ke-7

DDS DDK DDS DDK Protein (%bk) 65.29±4.16a 58.15±4.0a - - Lemak (%bk) 7.44±2.54a 8.99±1.59a - - Kadar Air (%) 28.78±5.53a 31.18±3.27a 25.37±5.13p 28.96±2.60 pH p 5.50±0.22a 5.64±0.07a 5.66±0.19p 5.74±0.07 A p 0.70±0.04 w a 0.75±0.006a 0.66±0.05p 0.70±0.02 Kekerasan (kgf/cm p 2 23.06±8.31 ) a 22.63±8.19a 22.43±1.02p 19.74±8.11 ALT (log p 10cfu/g) 1.43±0.37a 0.53±0.92a 2.48±0.12p 1.16±1.00 S.aureus (log q 10cfu/g) 0.33±0.58a 0.00a 0.57±0.98p 0.49±0.85 Kapang p

negatif negatif negatif negatif

Keterangan: 1. Superskrip yang berbeda dalam baris yang sama pada setiap lama (hari) penyimpanan menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).

2. DDS: dendeng daging sapi, DDK: dendeng daging kerbau.

Kadar protein dendeng batokok (Tabel 10) memperlihatkan bahwa produk yang diolah dari daging sapi cenderung lebih tinggi daripada produk dari daging kerbau yang dapat diakibatkan oleh nilai pH daging kerbau (5.43) sebelum pengolahan yang lebih rendah daripada pH daging sapi (5.66) menyebabkan daya ikat airnya juga menjadi rendah dan berakibat terhadap penurunan kadar air produk yang lebih cepat, akibatnya terjadi penurunan protein daging yang keluar bersama air pada saat dilakukan pemukulan dan pengasapan juga menjadi lebih besar. Namun berdasarkan hasil analisis uji t menunjukkan bahwa kadar protein dendeng batokok yang diolah dari daging sapi dan kerbau tidak berbeda nyata. Hal ini karena proses pengasapan pada dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau berlangsung secara merata dan panas yang dihasilkan secara umum tidak menyebabkan terjadinya perbedaan kandungan protein pada produk dari kedua jenis daging. Kadar protein yang diperoleh pada pengasapan tempurung kelapa ini cukup baik, kondisi ini dapat dilihat dari persentase kadar protein dendeng batokok yang dihasilkan setelah

dilakukan proses pengolahan dan pengasapan masih cukup tinggi (diatas 30%) yang menunjukkan bahwa nilai gizi dari dendeng batokok pengasapan tempurung kelapa masih dapat dipertahankan. Kadar protein pada penelitian ini mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang persyaratan mutu dendeng daging sapi karena standar dendeng dari daging kerbau belum ada. BSN (1992) menetapkan, bahwa kadar minimal protein untuk dendeng sapi minimal adalah 30%.

Kadar lemak dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau pada pengasapan tempurung kelapa ini memperlihatkan tidak ada perbedaan antara kedua jenis daging. Hal ini karena adanya pengaruh pengeringan dari asap dan panas yang relatif stabil, selain itu asap yang dihasilkan cukup banyak menyebabkan lemak yang terdapat pada daging terbakar serta terurai dengan lebih banyak. Kadar lemak produk pada pengasapan tempurung kelapa ini (7.44% dan 8.99%) jauh lebih rendah dibandingkan dengan dendeng batokok yang diolah dari daging sapi dan kerbau dengan pengasapan serbuk gergaji medang yaitu masing-masing 20.22% dan 23.32%, sedangkan pada pengasapan sekam padi, masing-masing 26.31% dan 22.86%. Kondisi ini disebabkan suhu pengasapan dengan menggunakan tempurung kelapa (60-75oC) lebih tinggi daripada suhu pengasapan serbuk gergaji medang (50-65 oC) dan pengasapan sekam padi (40-50o

Rataan persentase kadar air dendeng batokok selama penyimpanan pada daging sapi dan daging kerbau masing-masing adalah 27.07% dan 30.07%. Hasil ini menunjukkan bahwa kadar air daging sapi dan kerbau tidak berbeda. Hal ini karena kedua jenis daging mempunyai kadar air awal yang tidak jauh berbeda yaitu pada daging sapi (75.71%) dan daging kerbau (77.80%) sehingga dengan proses pengolahan dan pengasapan yang sama menyebabkan kadar air produk yang diperoleh juga tidak jauh berbeda. Nilai kadar air ini berpengaruh terhadap nilai dari aktivitas air yang juga tidak berbeda pada pengamatan hari ke-0 maupun hari ke-7. Selama penyimpanan terjadi penurunan kadar air pada kedua produk yang terjadi melalui proses penguapan yang berlangsung secara alami dari permukaan produk. C) sehingga menyebabkan penurunan kadar lemak dendeng batokok pada pengasapan tempurung kelapa menjadi lebih tinggi. Suharyanto (2007) menyatakan bahwa pada saat terjadi pemanasan, lemak meleleh dan mengalir dari permukaan bahan, hilangnya lemak ini proporsional dengan intensitas pemanasan dan lamanya proses pemanasan.

Kadar air ini cukup tinggi bila merujuk pada Standar Nasional Indonesia tentang kualitas dendeng daging sapi yang menetapkan kadar air maksimal sebesar 12% (BSN 1992). Menurut Buckle et al. (2009) bahwa kebanyakan bahan pangan setengah lembab yang berasal dari daging mempunyai kadar air berkisar 20-40%.

Nilai pH secara umum pada daging sapi dan kerbau masing-masing adalah 5.58% dan 5.69%. Hasil ini memperlihatkan nilai pH dendeng batokok daging kerbau cenderung lebih tinggi daripada produk yang diolah dari daging sapi. Hal ini dapat diakibatkan oleh komponen-komponen asap yang melekat pada produk dari daging kerbau lebih banyak sehingga meningkatkan nilai pH setelah pengasapan. Namun demikian berdasarkan hasil uji t yang dilakukan, nilai pH produk dari kedua jenis daging tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Pada pengamatan pada hari ke-0 dan hari ke-7 menunjukkan terjadinya peningkatan pH dendeng batokok daging sapi dari 5.50 menjadi 5.66 dan nilai pH pada produk dari daging kerbau dari 5.64 menjadi menjadi 5.74. Kenaikan pH ini erat hubungannya dengan terjadinya peningkatan kerusakan produk oleh adanya aktivitas mikroorganisme selama penyimpanan. Badewi (2002) menyatakan, bahwa nilai pH yang tinggi merupakan salah satu penyebab pertumbuhan mikroorganisme yang lebih baik daripada produk dengan nilai pH yang lebih rendah.

Nilai aktivitas air (aw) yang diperoleh memperlihatkan bahwa daging sapi dan kerbau memiliki rataan nilai aw yang tidak berbeda. baik pada pengamatan hari ke-0 maupun hari ke-7. Kondisi ini berkaitan dengan kadar air daging segar kedua jenis daging yang tidak jauh berbeda yaitu pada daging sapi 75.81% dan daging kerbau 77.80% sehingga dengan pengasapan dan perlakuan yang sama mengakibatkan nilai aw yang diperoleh juga menjadi tidak jauh berbeda. Selama penyimpanan nilai aw

Tingkat kekerasan dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau yang diperoleh juga tidak menunjukkan perbedaan antara kedua jenis daging. Hasil ini disebabkan adanya pengaruh dari proses pengasapan dan pemukulan yang dilakukan secara merata sehingga tingkat kekerasannya tidak banyak berbeda. Tingkat mengalami penurunan yang dapat dipengaruhi oleh adanya penurunan kadar air produk dari dendeng batokok kedua jenis daging melalui penguapan. Maltini et al. (2003) menyatakan bahwa nilai aktivitas air berkaitan dengan kadar air dan berperan sangat penting terhadap stabilitas dan kualitas pangan.

kekerasan pada pengasapan tempurung kelapa ini lebih tinggi dibanding pengasapan serbuk gergaji dan sekam padi. Kondisi ini karena asap yang dihasilkan pada pengasapan tempurung kelapa lebih banyak dan menghasilkan suhu yang lebih tinggi dan berdampak terhadap kecepatan pengeringan permukaan produk yang diasap sehingga pada saat dilakukan pengukuran tingkat kekerasan dendeng batokok dengan memotong sampel dendeng batokok dengan menggunakan alat texture

analyzer memperlihatkan nilai kekerasan yang lebih tinggi daripada dua pengasapan

lainnya. Selama penyimpanan, tingkat kekerasan produk dari kedua jenis daging mengalami sedikit penurunan, kondisi ini dapat dipengaruhi oleh kadar air dari kedua jenis daging tidak mengalami banyak penurunan karena permukaan produk yang lebih keras dapat menghambat penurunan kadar air melalui penguapan sehingga tingkat kekerasan pada pada pengukuran tingkat kekerasan pada hari ke-7 tidak banyak mengalami penurunan dibandingkan dengan pengukuran pada hari ke-0. Soeparno (2005) menyatakan bahwa keempukan daging banyak ditentukan oleh setidak-tidaknya oleh tiga komponen daging yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya, daya ikat air (mengindikasikan jumlah kadar air) serta jus daging. Bahar (2003) menyatakan, bahwa proses pemasakan dapat mempengaruhi pelunakan kolagen dan penggunaan alat pemukul daging bertujuan untuk memutuskan beberapa jaringan pengikat daging sehingga serabut daging akan mudah terputus (empuk) saat dikunyah.

Jumlah total koloni bakteri produk dari daging sapi dan kerbau pada pengamatan hari ke-0 tidak menunjukkan perbedaan antara kedua jenis daging., namun pada pengamatan hari ke-7 memperlihatkan jumlah total bakteri yang berbeda antara kedua jenis daging (P<0.05). Hasil ini karena jumlah total bakteri awal yang terdapat pada daging sapi segar (4.49 log cfu/g) lebih tinggi daripada daging kerbau segar (4.41 log cfu/g) sehingga setelah pengasapan jumlah populasinya cenderung menjadi lebih tinggi. Kondisi ini menyebabkan peluang pertumbuhan dan perkembangannya juga menjadi lebih besar selama penyimpanan. Namun dengan kadar air dan pH yang tidak jauh berbeda antara produk dari kedua jenis daging serta nilai aktivitas air yang cukup rendah dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan bakteri. Hasil ini juga secara umum mengindikasikan bahwa proses pengasapan yang dilakukan dapat menekan jumlah total koloni mikroba

dibandingkan dengan sebelum dilakukannya pengolahan (pengasapan) karena komponen-komponen dari asap seperti fenol dan karbonil memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan mikroba. Kristinsson et al. (2008) menyatakan, bahwa reaksi dari komponen asap dapat menekan pertumbuhan mikroba dimana komponen asap tersebut merupakan substansi yang preservatif dan bakteriostatik.

Populasi bakteri Staphylococcus aureus dendeng batokok kedua jenis daging menunjukkan tidak berbeda baik pada daging sapi maupun kerbau pada pengamatan hari ke-0 dan hari ke-7. Hasil ini menunjukkan bahwa pengasapan dengan menggunakan bahan pengasap tempurung kelapa mampu menurunkan jumlah bakteri

Staphylococcus aureus pada daging sapi dan kerbau segar dari 3.62 dan 3.57 (log

cfu/g) menjadi rata-rata 1.95 (log cfu/g) pada daging sapi dan 0.84 (log cfu/g) pada daging kerbau setelah dilakukan pengasapan. Selama penyimpanan, jumlah bakteri

Staphylococcus aureus mengalami peningkatan namun masih dalam jumlah yang

cukup rendah dari SNI yang menetapkan batasan maksimal 1 x 102 koloni/g. Hal ini karena kadar air yang tidak jauh berbeda dan nilai aktivitas air pada kedua jenis daging yang lebih rendah dari 0.91 yang merupakan nilai aw

Berdasarkan pengamatan hari ke-0 dan hari ke-7 dapat diketahui bahwa selama penyimpanan tidak ditemukan adanya kapang dalam dendeng batokok dari kedua jenis daging. Hal ini karena nilai pH yang rendah dan juga nilai aktivitas air produk berada dibawah nilai 0.80 yang menjadi suhu optimum bagi pertumbuhan kapang sehingga pertumbuhan kapang menjadi terhambat. Buckle et al. (2009) menyatakan, bahwa pada aktivitas air yang tinggi (0.91) bakteri umumnya berkembang dan tumbuh dengan baik. Khamir dapat tumbuh dan berkembang biak pada a

optimum bagi pertumbuhan dan perkembangan bakteri sehingga pertumbuhan dan perkembangan

Staphylococcus aureus mampu dihambat. Portocarrero et al. (2002) menyatakan

bahwa nilai aktivitas air yang rendah sangat penting diperhatikan untuk mengendalikan pertumbuhan dan produksi toksin dari bakteri Staphylococcus aureus yang dapat memicu keracunan makanan, dan kondisi ini berkaitan dengan jumlah populasi mikroorganisme yang terdapat dalam makanan.

w 0.87 – 91, sedangkan kapang lebih rendah lagi yaitu pada aw 0.80 – 0.87.

Pengasapan Serbuk Gergaji Medang

Hasil pengamatan peubah karakteristik kimia, fisika dan mikrobiologi dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau dengan pengasapan serbuk gergaji medang disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Hasil pengamatan peubah pada dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau dengan pengasapan serbuk gergaji medang.

Peubah Hari ke-0 Hari ke-7

DDS DDK DDS DDK Protein (%bk) 62.94±6.33a 62.41±6.81a - - Lemak (%bk) 20.22±2.17a 23.22±5.66a - - Kadar Air (%) 27.58±6.97a 30.93±0.86a 22.62±2.58q 28.63±1.58 pH p 5.75±0.15a 5.69±0.04a 5.89±0.07p 5.83±0.07 A p 0.79±0.04 w a 0.80±0.01a 0.78±0.03p 0.80±0.06 Kekerasan (kgf/cm p 2 19.32±2.44 ) a 16.71±3.78a 17.24±2.64p 14.17±2.43 ALT (log p 10cfu/g) 2.59±0.14a 2.50±0.12a 2.83±0.02p 2.81±0.13 S.aureus (log p 10cfu/g) 0.49±0.85a 0.43±0.75a 1.81±0.13p 1.72±1.10 Kapang p

negatif negatif negatif negatif

Keterangan: 1. Superskrip yang berbeda dalam baris yang sama pada setiap lama (hari) penyimpanan menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).

2. DDS: dendeng daging sapi, DDK: dendeng daging kerbau.

Berdasarkan analisis uji t yang dilakukan memperlihatkan bahwa kadar protein dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda. Hal ini karena kadar protein kedua jenis daging sebelum pengolahan relatif sama dan hasil ini mengindikasikan bahwa kadar protein produk dari daging sapi dan kerbau selama proses pengolahan dan pengasapan dengan menggunakan serbuk gergaji medang tidak menyebabkan perbedaan penurunan kadar protein yang berarti antara kedua jenis daging. Kadar protein dendeng batokok yang diperoleh pada pengasapan dengan menggunakan serbuk gergaji medang ini masih cukup tinggi dan menunjukkan bahwa tingkat kadar protein yang diperoleh telah memenuhi batas minimal 30% seperti yang ditetapkan dalam SNI nomor 01-2908-1992 tentang kualitas dendeng sapi. Huang dan Nip (2001) menyatakan bahwa kadar protein untuk dendeng sapi yang harus dipenuhi minimal adalah 35%.

Kadar lemak dendeng batokok pada penelitian ini menunjukkan bahwa kadar lemak produk dari kedua jenis daging juga tidak berbeda (Tabel 11). Hal ini karena

pada saat dilakukannya pengasapan, jarak antara produk dari kedua jenis daging dengan sumber asap berada pada jarak yang sama (60 cm) sehingga kadar lemak yang diperoleh setelah proses pengasapan tidak terpaut jauh. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan kadar lemak pada pengasapan tempurung kelapa. Kondisi ini karena suhu pengasapan yang lebih rendah daripada suhu pengasapan tempurung kelapa dan asap yang dihasilkan juga tidak terlalu banyak sehingga lemak yang terbakar juga menjadi lebih sedikit. Menurut Susilawati (2007) bahwa kadar lemak selain dipengaruhi faktor suhu juga dapat dipengaruhi oleh kondisi pengasapan yang dilakukan seperti jauh atau dekatnya sumber asap terhadap produk.

Kadar air produk dari daging sapi dan kerbau pada pengamatan hari ke-0 tidak menunjukkan hasil yang berbeda, sedangkan pada pengamatan hari ke-7 terdapat perbedaan kadar air antara kedua jenis daging (P<0.05), kadar air produk dari daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan produk dari daging kerbau. Hal ini karena jaringan ikat pada daging sapi banyak yang terputus akibat pemukulan sehingga permukaannya menjadi lebih luas dan meningkatkan proses penguapan air dari

produk selama penyimpanan. Menurut Singh et al. (2006) bahwa proses

penghilangan air dari produk daging ini melalui udara melalui permukaan produk mengikuti hukum fisika dimana idealnya air keluar dari permukaan daging melalui penguapan.

Rataan nilai pH dendeng batokok yang diolah dari daging sapi adalah 5.82%, hasil ini cenderung lebih tinggi daripada produk dari daging kerbau 5.76% berdasarkan hasil pengamatan pada hari ke-0 dan hari ke-7. Namun berdasarkan hasil analisis yang dilakukan menunjukkan tidak terjadi perbedaan yang nyata antara kedua jenis daging. Hal ini dipengaruhi oleh nilai pH daging setelah pengasapan

Dokumen terkait