• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dendeng Batakok Characteristics of Beef and Buffalo meat with Types of Smoke Materials

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dendeng Batakok Characteristics of Beef and Buffalo meat with Types of Smoke Materials"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

DAGING SAPI DAN KERBAU DENGAN

BEBERAPA BAHAN PENGASAP

JAYA PUTRA JAHIDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakteristik Dendeng Batokok dari

Daging Sapi dan Kerbau dengan Beberapa Bahan Pengasap adalah karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun

kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari

karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan

dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2012

Jaya Putra Jahidin

(4)
(5)

meat with Types of Smoke Materials. Under directon of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI and IRMA ISNAFIA ARIEF.

Dendeng batokok is one of traditional jerked meat in

Indonesia treated traditionally with smoked and pounded and using raw material produced at the local level and potential to be developed because it has a distinctive flavor. It needs to be introduced further into one of the alternative meat products. The production process is traditionally and often produce products that vary in quality, it is necessary for standardization related to the process of making dendeng batokok, so that would be generated products with a more homogeneous quality and safety. The objective of this study was to study the characteristics of dendeng batokok that made from beef and buffalo meat as raw materials and the use of coconut shell, medang sawdust and rice husk as smoke material. Smoking was conducted during each 30, 60 and 90 minutes. The research was conducted in three stages; 1) determining of selected smoking time, 2) determining of selected smoke materials, 3) flavor analysis of dendeng batokok. Parameters observed during research were organoleptic attributes (colour, texture, aroma and taste), quality changes of dendeng batokok with physical, chemical and microbiology variables (pH, water activity, hardness, moisture content, protein, lipid, total plate count, S. aureus, molds) and flavor volatile components. The experimental design used complete randomized design (CRD) with three replications. Nonparametric data of organoleptic tests processed statistically by Kruskal-Wallis method. Parametric data physical, chemical and microbiological variable analyzed by t test (Steel and Torrie 1993). Data processing using the program Statistical Analysis System (SAS) 9.1 and Minitab 15 version. The results of this study indicate that; 1) the selected of dendeng batokok with the highest average value of beef and buffalo meat are 60 minutes for coconut shell smoking during, 90 minutes for medang sawdust smoking medang and 90 minutes for rice husk smoking, (2) the use of beef and buffalo meat with smoking coconut shell, medang sawdust and rice husk showed no real difference on organoleptic characteristics, (3) physical, chemical and microbiological characteristics of dendeng batokok in this research in general is still quite good until 7 days of storage except for mold variable with rice husk smoking, (4) beef and buffalo meat have the same characteristic value to be used as raw material for dendeng batokok processing, (5) medang sawdust can be used as alternative smoke materials for dendeng batokok processing from beef and buffalo meat.

(6)
(7)

Pengasap. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI dan IRMA ISNAFIA ARIEF.

Pengembangan ternak ruminansia di Provinsi Jambi sangat berpotensi yang ditunjukkan dengan peningkatan jumlah dari tahun ke tahun terutama populasi sapi dan kerbau. Pada tahun 2005 populasi sapi potong dan kerbau tercatat masing-masing 113.678 ekor dan 72.852 ekor, sedangkan pada tahun 2009 meningkat menjadi 164.526 ekor sapi potong dan 73.872 ekor kerbau (BPS 2010). Peningkatan populasi ternak tersebut juga disertai dengan peningkatan pemotongan ternak seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi protein hewani. Permintaan daging yang meningkat harus diimbangi melalui usaha penanganan pasca panen yang memadai, sehingga dapat menekan kerusakan yang disebabkan oleh proses fisik, kimia dan mikrobiologi. Pengawetan dan pengolahan daging menjadi berbagai produk bertujuan untuk mengurangi penurunan kualitas sekaligus memberi nilai tambah pada produk olahan. Masyarakat di sebagian wilayah di Jambi secara tradisional telah melakukan usaha yang merupakan kombinasi antara pengolahan dan pengawetan daging untuk menghasilkan dendeng.

Dendeng batokok adalah salah satu jenis dendeng yang diolah secara tradisional dengan bahan baku utama yang dihasilkan di tingkat lokal, serta sudah dikenal cukup lama. Dendeng batokok berpotensi untuk dikembangkan karena memiliki citarasa yang khas, sehingga perlu diperkenalkan lebih lanjut menjadi salah satu alternatif olahan daging. Salah satu tahap penting dalam pengolahan dendeng batokok adalah proses pengasapan. Ketersediaan tempurung kelapa tidak selalu dapat diperoleh dengan mudah terutama di wilayah-wilayah yang bukan produsen kelapa dan jauh dari sentra-sentra ekonomi. Bahan lain yang dapat dimanfaatkan dengan ketersediaan tinggi diantaranya adalah serbuk gergaji medang dan sekam padi yang selama ini dianggap sebagai limbah dan belum dimanfaatkan secara optimal.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari penggunaan daging sapi dan kerbau sebagai bahan baku dendeng batokok dengan bahan pengasap tempurung kelapa, serbuk gergaji medang dan sekam padi. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yaitu; 1) penentuan lama pengasapan terpilih berdasarkan pada atribut organoleptik. yang diuji yaitu warna, aroma, tekstur dan rasa., 2) penentuan bahan pengasap terpilih melalui pengamatan peubah kualitas fisik, kimia dan mikrobiologi pada hari ke-0 dan hari ke-7 penyimpanan (nilai pH, aktivitas air, kekerasan, kadar air, kadar protein, kadar lemak, total koloni mikroba, bakteri Staphylococcus aureus dan kapang), 3) analisis komponen flavor untuk mengetahui komponen-komponen volatil yang berpengaruh terhadap flavor dendeng batokok dengan menggunakan bahan pengasap terpilih.

(8)

pengasapan serbuk gergaji medang selama masing-masing 90 menit, produk dari daging sapi dan kerbau dengan pengasapan sekam padi selama masing-masing 90 menit, 2) penggunaan daging sapi dan kerbau pada pengasapan tempurung kelapa, serbuk gergaji medang dan sekam padi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap karakteristik organoleptik yang meliputi warna, tekstur, aroma dan rasa, 3) karakteristik fisik, kimia dan mikrobiologi dendeng batokok dengan pengasapapan yang dilakukan secara umum masih cukup baik sampai lama penyimpanan hari ke-7 kecuali peubah kapang pada pengasapan sekam padi, 4) daging kerbau dan daging sapi memiliki nilai karakteristik yang sama untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan dendeng batokok, 5) serbuk gergaji medang dapat dijadikan alternatif bahan pengasap pembuatan dendeng batokok baik pada daging sapi maupun daging kerbau.

Kesimpulan umum dari penelitian ini adalah daging kerbau dengan bahan pengasap serbuk gergaji medang mampu menggantikan daging sapi dengan bahan pengasap tempurung kelapa pada pembuatan dendeng batokok.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan wajar IPB.

(10)
(11)

BEBERAPA BAHAN PENGASAP

JAYA PUTRA JAHIDIN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Kerbau dengan Beberapa Bahan Pengasap Nama Mahasiswa : Jaya Putra Jahidin

NIM : D151090071

Program Studi/Mayor : Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA

Ketua Anggota

Dr. Irma Isnafia Arief, S.Pt. M.Si

Diketahui

Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 1 Februari 2012 Tanggal Lulus:

(14)
(15)

dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang

berjudul Karakteristik Dendeng Batokok dari daging Sapi dan Kerbau dengan

Beberapa Bahan Pengasap.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan

yang setulusnya kepada Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA dan Dr. Irma

Isnafia Arief, S.Pt, M.Si sebagai pembimbing yang telah memberikan motivasi,

bimbingan, arahan dan masukan kepada penulis, sejak proses penyusunan dari awal

hingga akhir penulisan tesis. Ucapan terima kasih penulis sampaikan khususnya

untuk Ayahanda dan Ibunda tercinta, isteri (Meirina Lestari) dan anakku tersayang

(Muhammad Aqil Faizan), nenek dan nyantan Aqil, Bang San, Bang Rais, adinda

Henky, serta segenap keluarga atas doa, motivasi dan pengertiannya kepada penulis

selama ini. Terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Mayor Ilmu

Produksi dan Teknologi Peternakan Angkatan 2009, Pak Tomo atas kebaikan dan

kebersamaannya yang luar biasa dan semua pihak yang telah memberikan dorongan

dan bantuannya baik materil maupun imateril.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan semoga

karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Februari 2012

(16)
(17)

April 1977 dari ayah Jahidin Said dan ibu Rosmadar. Penulis merupakan putra ketiga

dari empat bersaudara.

Program sarjana ditempuh di Program Studi Produksi Ternak, Fakultas

Peternakan Universitas Jambi, lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2009, penulis

melanjutkkan pendidikan ke Program Pascasarjana pada Program Studi Ilmu

Produksi dan Teknologi Peternakan Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa

pendidikan dari Indonesian Managing Higher Education for Relevance (IM-HERE).

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Produksi Ternak Fakultas

(18)
(19)
(20)

Penilaian Uji Organoleptik ... 28

Karakteristik Kimia, Fisik dan Mikrobiologi Dendeng Batokok ... 29

Pengasapan Tempurung Kelapa ... 29

Pengasapan Serbuk Gergaji Medang ... 34

Pengasapan Sekam Padi ... 38

Karakteristik Dendeng Batokok Selama Penyimpanan ... 42

Analisis Komponen Volatil Flavor Serbuk Gergaji Medang ... 43

KESIMPULAN ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 51

(21)

1 Syarat mutu karkas sapi berdasarkan SNI 01-3932-1995 ... 6

2 Syarat mutu karkas kerbau berdasarkan SNI 01-3933-1995 ... 6

3 Persyaratan mutu dendeng sapi berdasarkan SNI 01-2908-1992 ... 7

4 Standar cemaran mikroba dan kimia dendeng sapi dan daging asap ... 7

5 Komposisi kimia kayu keras dan tempurung kelapa ... 10

6 Komposisi kimia sekam padi ... 11

7 Hasil uji organoleptik pada pengasapan tempurung kelapa ... 25

8 Hasil uji organoleptik pada pengasapan serbuk gergaji medang ... 25

9 Hasil uji organoleptik pada pengasapan sekam padi ... 25

10 Hasil pengamatan peubah dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau pada pengasapan tempurung kelapa ... 29

11 Hasil pengamatan peubah dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau pada pengasapan serbuk gergaji medang ... 34

(22)
(23)

1 Bagan alir pembuatan dendeng batokok ... 19

(24)
(25)

1 Hasil uji Kruskal-Wallis pada dendeng batokok daging sapi

dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa selama 30 menit ... 57

2 Hasil uji Kruskal-Wallis pada dendeng batokok daging sapi

dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa selama 60 menit ... 58

3 Hasil uji Kruskal-Wallis pada dendeng batokok daging sapi

dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa selama 90 menit ... 59

4 Hasil uji Kruskal-Wallis pada dendeng batokok daging sapi

dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa selama 30 menit ... 60

5 Hasil uji Kruskal-Wallis pada dendeng batokok daging sapi

dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa selama 60 menit ... 61

6 Hasil uji Kruskal-Wallis pada dendeng batokok daging sapi

dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa selama 90 menit ... 62

7 Hasil uji Kruskal-Wallis pada dendeng batokok daging sapi

dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa selama 30 menit ... 63

8 Hasil uji Kruskal-Wallis pada dendeng batokok daging sapi

dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa selama 60 menit ... 64

9 Hasil uji Kruskal-Wallis pada dendeng batokok daging sapi

dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa selama 90 menit ... 65

10 Hasil uji t pengasapan tempurung kelapa ... 66

11 Hasil uji t pengasapan serbuk gergaji medang ... 68

12 Hasil uji t pengasapan sekam padi ... 70

13 Hasil analisa kualitas daging segar ... 72

(26)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Potensi pengembangan ternak ruminansia di Provinsi Jambi adalah besar

ditunjukkan oleh peningkatan populasi dari tahun ke tahun terutama untuk ternak

sapi dan kerbau. Pada tahun 2005, populasi sapi potong dan kerbau tercatat

masing-masing 113.678 ekor dan 72.852 ekor, sedangkan pada tahun 2009 meningkat

menjadi 164.526 ekor sapi potong dan 73.872 ekor kerbau (BPS 2010). Peningkatan

populasi ternak tersebut juga disertai dengan peningkatan pemotongan ternak, seiring

dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya

konsumsi protein hewani. Permintaan daging dari masyarakat Jambi yang meningkat

harus diimbangi oleh usaha penanganan pasca panen yang memadai, sehingga

kerusakan yang disebabkan oleh proses fisik, kimia dan mikrobiologi dapat dikurangi

dan ditekan. Pengawetan dan pengolahan daging menjadi berbagai produk olahan

bertujuan untuk mengurangi penurunan kualitas, sekaligus memberi nilai tambah

pada produk daging yang dihasilkan.

Dendeng batokok adalah salah satu jenis dendeng yang diolah secara

tradisional oleh sebagian masyarakat di Jambi dengan bahan baku utama yang

dihasilkan di tingkat lokal dan merupakan salah satu usaha yang sudah cukup lama

dikenal untuk pengolahan dan pengawetan daging. Dendeng batokok berpotensi

untuk dikembangkan karena memiliki citarasa yang khas, sehingga perlu

diperkenalkan lebih luas menjadi salah satu alternatif olahan daging. Proses produksi

secara tradisional sering menghasilkan produk yang bervariasi kualitasnya, untuk itu

standardisasi terhadap proses pembuatan dendeng batokok diperlukan agar

dihasilkan produk dengan kualitas yang lebih homogen dan terjamin keamanannya.

Dendeng batokok yang dikenal masyarakat, selama ini umumnya berasal dari

daging sapi. Hal ini bukan berarti bahwa dendeng batokok tidak dapat dibuat dari

daging selain sapi, seperti daging kerbau. Daging kerbau selama ini cenderung

dihindari digunakan karena mempunyai serat daging yang lebih kasar sehingga

kurang begitu disukai serta mempunyai kualitas fisik yang rendah (alot) karena

biasanya kerbau dipotong pada umur yang tua. Pengolahan daging kerbau menjadi

(27)

fisik yang dijumpai, disamping merupakan upaya diversifikasi produk olahan pangan

asal daging kerbau.

Salah satu tahap penting dalam pengolahan dendeng batokok adalah proses

pengasapan yang menentukan karakteristik flavor dari produk. Metode pengasapan

dendeng batokok di masyarakat masih dilakukan secara beragam, disesuaikan

dengan selera pembuatnya. Kondisi ini tentu dapat berdampak pada kualitas produk

yang ada, sehingga dikhawatirkan adanya penurunan kualitas baik secara fisik, kimia

maupun mikrobiologi. Pengasapan terhadap daging yang telah diberi bumbu

dilakukan di atas bara api dengan menggunakan tempurung kelapa sebagai bahan

pengasap. Ketersediaan tempurung kelapa tidak selalu dapat diperoleh dengan

mudah terutama di wilayah-wilayah yang bukan produsen kelapa dan jauh dari

sentra-sentra ekonomi. Tempurung kelapa juga telah banyak dimanfaatkan untuk

pembuatan arang tempurung kelapa untuk berbagai keperluan serta sebagai bahan

baku kerajinan. Bahan lain yang dapat dimanfaatkan dengan ketersediaan tinggi

diantaranya adalah serbuk gergaji seperti kayu medang serta sekam padi yang

selama ini dianggap sebagai limbah dan belum dimanfaatkan secara optimal.

Mempertimbangkan berbagai potensi yang dimiliki, maka bahan-bahan tersebut

dimungkinkan untuk dijadikan sebagai bahan pengasap alternatif selain tempurung

kelapa.

Informasi mengenai pengaruh penggunaan tempurung kelapa, serbuk gergaji

kayu medang dan sekam padi sebagai bahan pengasap terhadap karakteristik

dendeng batokok yang dihasilkan dari daging sapi maupun daging kerbau sebagai

pengganti daging sapi belum pernah dipelajari dan diteliti. Penelitian tentang

pengaruh penggunaan berbagai bahan pengasap terhadap karakteristik dendeng

batokok dengan bahan baku daging sapi dan kerbau menarik untuk dilakukan

sebagai upaya peningkatan nilai tambah produk-produk peternakan. Berdasarkan

uraian di atas, maka diperlukan penelitian terhadap proses pembuatan dendeng

batokok dengan bahan daging, bahan pengasap yang berbeda dengan memanfaatkan

(28)

Perumusan Masalah

Pemanfaatan ternak kerbau sebagai sumber ternak potong (sumber daging)

umumnya dilakukan untuk konsumsi langsung dan belum banyak dilakukan untuk

diversifikasi produk. Ternak kerbau umumnya dipotong pada umur yang tua

sehingga dagingnya relatif keras atau alot. Kendala tersebut diharapkan dapat

dikurangi dengan dilakukan pengolahan menjadi produk seperti dendeng batokok.

Proses pengasapan dendeng batokok selama ini umumnya hanya menggunakan

asap dari tempurung kelapa yang pada saat ini tidak selalu mudah diperoleh.

Penggunaan bahan pengasap lain yang banyak tersedia dan belum banyak

dimanfaatkan secara optimal seperti serbuk gergaji medang yang dapat diperoleh dari

banyak tempat penggergajian kayu dan sekam padi dari penggilingan padi perlu

dilakukan dan dicoba sebagai bahan pengasap pada proses pembuatan dendeng

batokok.

Upaya untuk perbaikan proses produksi perlu dipelajari sehingga dihasilkan

dendeng batokok dengan kualitas fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik yang

baik, sehingga dapat diberikan jaminan keamanan pangan bagi konsumen.

Berdasarkan permasalahan tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang proses

pengolahan dendeng batokok pada kondisi yang berbeda dan melakukan penilaian

kualitas produk yang meliputi fisik, kimia, mikrobiologi, organoleptik dan umur

simpan untuk menentukan batas kelayakan produk.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melakukan diversifikasi produk

dendeng batokok di tingkat industri rumah tangga dengan memanfaatkan sumber

daya lokal yang tersedia meliputi bahan baku (daging sapi dan kerbau) dan bahan

pengasap (tempurung kelapa, serbuk gergaji medang dan sekam padi).

Tujuan khusus adalah mempelajari kualitas organoleptik, fisik, kimia dan

mikrobiologi dendeng batokok dengan penggunaan daging sapi dan kerbau sebagai

bahan baku dan tempurung kelapa, serbuk gergaji medang atau sekam padi sebagai

(29)

Hipotesis

1. Daging kerbau dapat digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan dendeng

batokok.

2. Serbuk gergaji medang dan sekam padi dapat dijadikan sebagai bahan pengasap

pada pembuatan dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang; a) karakteristik

dendeng batokok dengan bahan baku selain daging sapi dan bahan pengasap selain

tempurung kelapa yang telah sebelumnya dikembangkan secara tradisional, b)

kemungkinan perbaikan dan pengembangan proses pengolahan dendeng batokok

sehingga produk yang dihasilkan tetap memiliki nilai gizi tinggi, memenuhi aspek

keamanan pangan serta dapat diperluas pemasarannya berdasarkan pada umur

simpan produk.

(30)

TINJAUAN PUSTAKA

Daging

Menurut BSN (1995), daging sapi atau kerbau adalah urat daging yang melekat

pada kerangka, kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal

dari sapi atau kerbau yang sehat waktu dipotong. Aberle et al. (2001) mendefinisikan daging sebagai semua jaringan tubuh hewan yang dapat digunakan sebagai bahan

makanan, demikian juga dengan semua produk yang diproses atau dihasilkan dari

jaringan hewan yang telah dipotong. Lawrie (2003) menyatakan bahwa daging

adalah sesuatu yang berasal dari hewan termasuk limpa, ginjal, otak,

jaringan-jaringan lain yang dapat dimakan.

Buckle et al. (2009) menyatakan bahwa daging pada karkas ternak tersusun oleh kira-kira 600 jenis otot yang berbeda ukuran dan bentuknya, berbeda pula

susunan syaraf dan persediaan darahnya serta melekatnya pada tulang, persendian

dan tujuan serta jenis gerakannya. Menurut Lawrie (2003) bahwa struktur daging

terdiri atas jaringan ikat, pembuluh darah dan jaringan syaraf. Kandungan nutrisi

utama daging adalah protein, lemak, abu dan air. Protein merupakan komponen

terbesar dari daging. Komposisi kimia daging adalah air (75%), protein (19%),

substansi-substansi non protein yang larut (2.3%), karbohidrat (1.2%) dan lemak

(2.5%).

Karkas Sapi

Karkas sapi menurut SNI 01-3932-1995 adalah tubuh sapi sehat yang telah

disembelih, utuh atau dibelah membujur sepanjang tulang belakangnya, setelah

dikuliti, isi perut dikeluarkan tanpa kepala, kaki bagian bawah dan alat kelamin sapi

jantan atau ambing sapi betina yang telah melahirkan dipisahkan dengan atau tanpa

ekor. Kepala dipotong diantara tulang ocipital (Os occipitale) dengan tulang tengkuk pertama (atlas). Kaki depan dipotong diantara carpus dan metacarpus, kaki belakang dipotong diantara tarsus dan metatarsus. Jika diperlukan untuk memisahkan ekor, maka paling banyak dua ruas tulang belakang coccigeal (caudalis) terikut karkas (BSN 1995).

Persyaratan mutu karkas sapi menurut Standar Nasional Indonesia (SNI)

(31)

Tabel 1 Syarat mutu karkas sapi (SNI 01-3932-1995).

Karkas kerbau menurut SNI 01-3933-1995 adalah tubuh kerbau sehat yang

telah disembelih, utuh, atau dibelah membujur sepanjang tulang belakangnya, setelah

dikuliti, isi perut dikeluarkan tanpa kepala, kaki bagian bawah dan alat kelamin sapi

jantan atau ambing sapi betina yang telah melahirkan dipisahkan dengan atau tanpa

ekor. Kepala dipotong diantara tulang ocipital (Os occipitale) dengan tulang tengkuk pertama (Os atlas). Kaki depan dipotong diantara carpus dan metacarpus, kaki belakang dipotong diantara tarsus dan metatarsus. Jika diperlukan untuk memisahkan ekor, maka paling banyak dua ruas tulang belakang coccigeal (Os

caudalis) terikut karkas (BSN 1995).

Persyaratan mutu karkas kerbau menurut Standar Nasional Indonesia (SNI)

01-3933-1995 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Syarat mutu karkas kerbau (SNI 01-3933-1995).

(32)

Dendeng dan Pembuatan Dendeng Batokok

Definisi dendeng pada penelitian ini mengacu pada Standar Nasional Indonesia

01-2908-1992 yang menyatakan bahwa dendeng sapi merupakan produk makanan

berbentuk lempengan yang terbuat dari irisan atau gilingan daging sapi segar

berasal dari sapi sehat yang telah diberi bumbu dan dikeringkan (BSN 1992).

Persyaratan mutu dendeng sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI)

01-2908-1992 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Persyaratan mutu dendeng (SNI 01-2908-1992).

Jenis Persyaratan

Ketetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan

berdasarkan Standar Nasional Indonesia 7388:2009 tentang pangan olahan dari

dendeng sapi dan daging asap yang diolah dengan panas disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Standar cemaran mikroba dan kimia dendeng sapi dan daging asap (SNI 7388:2009).

Sumber : Badan Standardisasi Nasional (2009)

Pengawetan dan pengolahan daging dapat dilakukan dengan cara pengeringan,

pemanasan atau pengasapan. Daging asap merupakan irisan daging yang diawetkan

dengan panas dan asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu keras yang banyak

menghasilkan asap dan lambat terbakar (Maruddin 2004).

Dendeng batokok adalah salah satu produk olahan daging yang diproses secara

tradisional dari Sumatera Barat yang diiris tipis, direndam dengan bumbu, diasap dan

(33)

dendeng biasa, hal ini disebabkan terjadinya penambahan flavor dari asap bahan

yang dibakar (Marzaleni 2005).

Menurut Bahar (2003), penggunaan alat pemukul daging bertujuan untuk

memutuskan beberapa jaringan pengikat daging sehingga serabut daging akan mudah

terputus saat dikunyah. Soeparno (2005) menyatakan, bahwa keempukan daging

ditentukan oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status

kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silang dan daya ikat air oleh

protein daging serta jus daging.

Perbedaan dendeng kering dengan dendeng batokok antara lain terletak pada

cara pembuatannya. Dendeng batokok untuk pengeringannya menggunakan bahan

bakar asap dan selama pengasapan daging dendeng ini dipukul-pukul dengan batu

atau alat pemukul lainnya, sehingga dendeng yang dihasilkan mempunyai cita rasa

yang khas. Pada pembuatan dendeng kering proses pengeringannya menggunakan

panas yang berasal dari sinar matahari atau oven dan produknya masih berasa daging

(Yusfrida 2000).

Pengasapan

Pengasapan, penggaraman dan pengeringan merupakan beberapa metode

pengawetan bahan pangan yang telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu (Viksna

2008). Pengasapan merupakan salah satu cara pengolahan yang dapat menghasilkan

cita rasa, aroma dan warna yang khas, sehingga produk yang dihasilkannya banyak

digemari oleh masyarakat (Darmadji 2002). Kombinasi proses yang meliput i

pengeringan, penggaraman, pemanasan dan pengasapan dapat menghasilkan produk

dengan rasa dan aroma yang disukai (Hastuti 2000). Pengasapan daging bertujuan

untuk meningkatkan flavor, mencegah ketengikan dan menghasilkan penampakan

produk yang menarik (Soeparno 2005).

Menurut Moeljanto (1992), beberapa model pengasapan yang sudah

berkembang yaitu direct smoke (pengasapan langsung), pengasapan indirect smoke (tidak langsung) dan artificial smoke (pengasapan sintetis). Penggunaan model pengasapan ini mempunyai teknik dan cara pemakaian yang berbeda. Pada

pengasapan langsung, suhu yang digunakan berkisar antara 65-80oC. Pengasapan ini

(34)

diasap langsung berhubungan dengan bahan bakar yang berada tepat di bawah

produk yang diasapkan.

Menurut Kadir (2004) dan Swastawati (1997) bahwa pengasapan

dikelompokkan menjadi hot smoking (pengasapan panas) dan cold smoking (pengasapan dingin). Pada pengasapan panas, produk pangan yang diasapi diletakkan cukup dekat dengan sumber asap dan dilakukan dalam waktu yang singkat

sedangkan pengasapan dingin, produk yang diasapi diletakkan agak jauh dari sumber asap dan dilakukan dalam waktu yang lama. Pada pengasapan dingin suhu yang

digunakan tidak melebihi 40oC, sedangkan pengasapan panas menggunakan suhu

60o

Menurut Wibowo (2002), tujuan utama dalam pengasapan panas adalah untuk

mengawetkan, memberi warna serta rasa yang khas pada produk yang diasap. Pada

pengasapan panas jarak antara produk dengan sumber bahan bakar asap dilakukan

sedekat mungkin dan panas yang berasal dari api cukup besar. Pengasapan ini

dilakukan di dalam ruang asap atau smoke house, dengan menggantungkan daging pada rak atau kayu di ruangan asap dan daging tidak boleh bersentuhan satu dengan

yang lain. C atau lebih.

Bahan Pengasap

Darmadji (2002) menyatakan bahwa pada proses pengasapan, biasanya

digunakan kayu yang keras karena pada kayu yang keras akan menghasilkan bara api

yang banyak sehingga asap yang dihasilkan juga banyak. Pada kayu yang keras

banyak mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin yang kemudian akan pecah

menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dalam proses pembakaran. Viksna

et al. (2008) menyatakan bahwa pemilihan jenis kayu untuk pengasapan merupakan

salah satu parameter penting dalam upaya mengurangi kontaminasi pangan.

Produksi bahan pangan dengan pengasapan sebaiknya menggunakan jenis kayu

keras yang mampu menghasilkan asap dengan kandungan unsur fenol yang cukup

tinggi. Unsur fenol ini lebih banyak melekat pada produk dan dapat menghasilkan

rasa maupun warna produk yang khas. Jenis kayu lunak tidak baik digunakan sebagai

bahan pengasap. Hal ini disebabkan kayu lunak banyak mengandung resin atau

(35)

Jenis kayu keras dan tempurung kelapa menghasilkan asap yang banyak.

Asap dari kayu keras pada bagian selulosanya akan terurai menjadi

senyawa-senyawa sederhana yaitu alkohol alifatik, aldehida, keton dan asam organik,

formaldehida, asam-asam dan fenol yang merupakan bahan pengawet. Bagian

ligninnya pecah menjadi senyawa-senyawa fenol, quinol dan pirogalol yang

merupakan bagian 20 senyawa antioksidan dan antiseptik (Girard 1992).

Tempurung kelapa merupakan bagian buah kelapa (15-19%) yang fungsinya

secara biologis adalah sebagai pelindung bagian inti buah dan terletak di bagian

dalam setelah sabut. Tempurung kelapa merupakan lapisan yang keras dengan

ketebalan 3-5 mm. Sifat kekerasan ini disebabkan kandungan silikat (SiO2

Tempurung kelapa mempunyai komposisi kimia yang hampir sama dengan

jenis kayu keras. Komposisi kimia kayu keras dan tempurung kelapa dapat dilihat

pada Tabel 5.

) di

tempurung kelapa tersebut (Anshari 2009).

Tabel 5 Komposisi kimia kayu keras dan tempurung kelapa

Komposisi Kimia Kayu Keras (%) Tempurung Kelapa (%)

Selulosa

Kayu lunak merupakan jenis kayu yang memiliki banyak pori-pori dan mudah

terbakar, sedangkan kayu keras adalah kayu yang tidak atau sedikit berpori dan tidak

mudah terbakar (Suryaningsih 2010). Pada umumnya terdapat hubungan langsung

antara kekerasan kayu dan berat kayu. Kayu yang keras juga merupakan kayu yang

berat, sebaliknya kayu ringan adalah kayu yang lunak. Cara menetapkan kekerasan

kayu ialah dengan memotong kayu tersebut dengan arah melintang. Kayu yang

sangat keras akan sulit dipotong melintang dengan pisau. Pisau tersebut akan meleset

dan hasil potongannya akan memberi tanda kilau pada kayu. Kayu yang lunak akan

mudah rusak dan hasil potongan melintangnya akan memberikan hasil yang kasar

dan suram (Iswanto 2008).

Sekam padi merupakan produk samping yang melimpah dari hasil

penggilingan padi yang selama ini banyak digunakan sebagai bahan bakar untuk

(36)

padi yang kurang tepat akan menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan (Putro

2007).

Sekam padi merupakan lapisan keras pembungkus butir gabah yang meliputi

kariopsis yang terdiri dari dua belahan yang disebut lemma dan palea yang saling

bertautan. Pada proses penggilingan gabah, sekam akan terpisah dari butir beras dan

menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan (16-28%). Sekam dikategorikan

sebagai biomassa yang mengandung komponen-komponen kimia seperti selulosa,

hemiselulosa dan lignin yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti

bahan baku industri pakan ternak, energi atau bahan bakar (BPPP 2001). Komposisi

kimia Komposisi kimia sekam padi dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi kimia sekam padi

Penyimpanan dendeng pada suhu ruang berpengaruh terhadap kualitas produk.

Susilawati (2008) menyatakan bahwa pH dendeng batokok yang disimpan pada suhu

ruang mengalami kenaikan disebabkan perubahan kimia yang diakibatkan oleh

proses proteolisis pada produk sehingga membuat mutu simpan produk yang

dihasilkan semakin berkurang. Soeparno (2005) menyatakan bahwa sistem metabolik

mikroorganisme yang menyerang protein, pada prinsipnya terdiri dari proteolisis,

deaminasi asam-asam amino, dekarboksilasi asam-asam amino dan metabolisme

asam-asam amino spesifik. Sejumlah bakteri seperti Clostridium dan Bacillus dapat mensekresikan enzim proteolitik ekstraseluler yang dapat menghidrolisis

molekul-molekul protein menjadi peptida dan asam-asam amino. Bakteri proteolitik secara

enzimatik dapat menghidrolisis asam-asam amino bebas tersebut yang menyebabkan

(37)

Nilai kekerasan merupakan indikator yang menunjukkan besarnya gaya tekan

yang dibutuhkan untuk pemecahan suatu bahan. Gaya tekan ini akan memecah bahan

padat dan pecahnya langsung dari bentuk aslinya tanpa mengalami perubahan.

Tingkat kekerasan merupakan faktor yang mempengaruhi mutu produk terutama

hubungannya dengan selera konsumen, sehingga akan mempengaruhi penerimaan

secara umum. Keempukan daging dapat diketahui dengan pengukuran daya

putusnya, semakin rendah nilai daya putusnya maka semakin empuk daging tersebut.

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keempukan daging postmortem adalah

dengan penerapan metode pengasapan (Maruddin 2004).

Kualitas Kimia

Perubahan flavor dari produk daging dapat terjadi selama penyimpanan karena

kerusakan secara kimiawi, hilangnya bahan-bahan yang bersifat volatil dan

terjadinya oksidasi oleh sejumlah komponen tertentu (Aberle et al. 2001). Kebanyakan bahan pangan setengah lembab yang berasal dari daging mempunyai

nilai aktivitas air (aw) 0.60–0.90 dengan kadar air 20–40%, pada aktivitas air (aw)

yang tinggi (0.91) bakteri umumnya tumbuh dan berkembang biak dengan baik.

Khamir (ragi) dapat tumbuh dan berkembang biak pada aw 0.87–0.91, sedangkan

jamur (kapang) lebih rendah lagi yaitu pada nilai aw

Kualitas Mikrobiologi

0.80-0.87 (Buckle et al. 2009). Produk hasil pengolahan lidah sapi asap dengan menggunakan asap cair dan asap

dari kayu alam dan selanjutnya disimpan selama 0 hari, 5 hari, 15 hari dan 30 hari

pada suhu rendah, kualitasnya masih dapat diterima baik secara fisik, kimia dan

mikrobiologi (Gonulalan 2003).

Sunen et al. (2003) menyatakan, bahwa pengasapan merupakan metode tradisional untuk melakukan pengawetan. Umumnya metode pengawetan bahan

pangan yang menggunakan pengasapan dingin dengan kisaran suhu 25-30o

Holley et al. (2005) menyatakan, bahwa produk bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan karena pengaruh dari lingkungan membutuhkan upaya untuk

melindunginya dari pembusukan pada saat pengolahan, penyimpanan dan distribusi. C

dikhawatirkan tidak cukup untuk membunuh mikroorganisme berbahaya pada

(38)

Metode pemanasan merupakan salah satu cara yang dapat secara efektif mencegah

pertumbuhan mikroorganisme patogen.

Soeparno (2005) menyatakan, bahwa cara-cara pengolahan pangan yang

digunakan sering kali mengubah daya simpannya. Penurunan atau penyimpangan

produk pangan ditandai dengan penurunan nilai gizi dan kerusakan oleh

mikroorganisme. Penyebab kerusakan bahan pangan biasanya disebabkan oleh

kontaminasi oleh mikroba. Mikroba perusak bahan pangan dapat digolongkan

menjadi tiga kelompok, yaitu bakteri, kapang dan khamir. Jenis kerusakan

mikrobiologi pada makanan ditandai dengan timbulnya kapang, bau busuk, berlendir

serta terjadinya perubahan warna.

Kualitas Organoleptik

Penilaian organoleptik adalah penilaian mutu suatu produk dengan

menggunakan indra manusia melalui syaraf sensori. Penilaian dengan indra banyak

dilakukan untuk menilai hasil pertanian dan makanan. Penilaian dengan cara ini lebih

disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung (Rahayu 2001).

Perbedaan aroma produk pengasapan menurut Moeljanto (1992) dipengaruhi

kepekatan asap yang dihasilkan selama proses pengasapan. Semakin tebal komponen

asap yang dihasilkan, maka akan mempengaruhi tingkat kesukaan konsumen

terhadap produk. Aroma asap yang kuat akan menyebabkan timbulnya bau asam, hal

ini karena banyaknya asam-asam organik yang terbawa oleh asap dan menempel

pada produk. Badewi (2003) menambahkan, bahwa bahan bakar menggunakan

tempurung kelapa menghasilkan produk berwarna coklat kehitaman karena

tempurung kelapa mengandung lignin paling tinggi. Menurut Setyaningsih et al.(2010), penilaian tekstur produk dapat dilakukan dengan perabaan menggunakan ujung jari tangan. Tekstur bersifat kompleks dan terkait struktur bahan yang terdiri

dari tiga elemen, yaitu mekanik (kekerasan, kekenyalan), geometrik (berpasir,

beremah) dan mouthfeel (berminyak, berair).

Waysima dan Adawiyah (2009) menjelaskan bahwa banyaknya skala hedonik

tergantung pada tingkat perbedaan yang ada dan juga tingkat kelas yang dikehendaki.

Pada pemberian skor, besarnya skor tergantung pada kepraktisan dan kemudahan

pengolahan atau interpretasi data. Banyaknya skala hedonik biasanya dibuat dalam

(39)

ganjil misalnya sangat tidak suka (1), tidak suka (2), agak suka (3), suka (4) dan

sangat suka (5).

Flavor

Flavor didefinisikan sebagai sensasi yang disebabkan oleh sifat bahan di dalam

mulut yang merangsang indra perasa, indra pembau atau keduanya, reseptor taktil

dan reseptor suhu didalam mulut (Health 1978). Senyawa kimia yang berkontribusi

pada flavor secara garis besar dipengaruhi oleh dua senyawa yaitu komponen volatil

dan komponen non volatil. Komponen volatil adalah komponen yang memberikan

sensasi bau melalui reseptor pada hidung serta menguap dengan cepat. Komponen

non volatil memberikan sensasi pada rasa yaitu asam, asin, manis dan pahit.

Komponen ini tidak memberikan sensasi bau tetapi menjadi media untuk komponen

volatil dan membantu menahan penguapan volatil (Winarno 2002).

Daging mentah memiliki flavor yang kurang disukai karena beraroma sangat

lemah dan seperti darah. Pemasakan atau pemanasan sangat diperlukan untuk

meningkatkan flavor sehingga diperoleh flavor khas daging (Suryaningsih 2006).

Flavor daging akan dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama berupa spesies hewan

dan jenis organ atau jaringan tubuh (Health 1978).

Pengasapan merupakan salah satu cara pengawetan pangan. Proses pengasapan

saat ini lebih ditujukan untuk memberikan kualitas sensori pada makanan

dibandingkan sebagai pengawet (Sunen 2002). Sifat organoleptik dari bahan

makanan yang diasap akan sangat dipengaruhi oleh komposisi dari asap yang

dihasilkan selama proses pengasapan. Rasa asap dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain adalah sifat dan jenis kayu yang digunakan (Guillen 2002).

Asap berguna sebagai pengawet apabila komponen-komponen asap

mengendap atau meresap ke dalam bahan pangan. Semua senyawa yang terkandung

di dalam asap ikut menentukan karakteristik flavor daging yang diasapkan. Aldehid,

keton, fenol dan asam-asam organik dari asap memiliki daya bakteriostatik dan

bakterisidal pada daging yang diasapkan. Senyawa-senyawa utama yang terdapat

dalam asap antara lain adalah formaldehid sebagai preservatif, fenol dan asam

organik sebagai antioksidan yang menghambat ransiditas oksidatik dan

(40)

Pengaruh pengasapan terhadap sifat organoleptik adalah senyawa organik

dari asap akan memberikan warna pada makanan yang diasap. Warna pada makanan

yang diasap terbentuk oleh interaksi antara senyawa karbonil dan grup amino pada

permukaan bahan (Wibowo 2002). Senyawa yang paling menentukan aroma asap

adalah fenol seperti siringol, isoguenol dan metil guenol. Guakol memberikan rasa

(41)
(42)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Oktober 2011 di

Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi,

Laboratorium Balai Kesehatan Daerah Provinsi Jambi, Laboratorium Terpadu

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Analisis Flavor Balai

Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) Sukamandi Kabupaten Subang.

Materi Penelitian

Bahan baku yang digunakan adalah daging sapi dan daging kerbau segar yang

diperoleh dari Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Jambi. Daging diambil pada

bagian paha belakang sebanyak 15 kg. Bahan pengasap yang digunakan adalah

tempurung kelapa, serbuk gergaji kayu medang dan sekam padi. Bumbu yang

digunakan untuk 1 kg daging adalah bawang putih 25 gram, garam dapur (NaCl) 15

gram, ketumbar 12 gram, jahe 15 gram dan asam jawa 1 gram.

Alat yang digunakan untuk pembuatan dendeng batokok antara lain adalah

tong pengasap, pisau, timbangan, wadah dan termometer. Alat-alat yang digunakan

untuk analisis di laboratorium antara lain adalah pH meter, aw

Metode Penelitian

meter, timbangan

analitik, texture analyzer, Gas Chromatography Mass Spectrophotometry(GC-MS), cawan, gelas piala, botol timbang, labu erlenmeyer dan gelas ukur.

Tahap 1: Penentuan Lama Pengasapan

Penelitian pengasapan ini bertujuan untuk menentukan lama pengasapan

terpilih dari dendeng batokok yang diolah dari daging sapi dan kerbau dengan

menggunakan tiga tipe bahan pengasap yaitu tempurung kelapa, serbuk gergaji

medang dan sekam padi dan pengasapan dilakukan selama masing-masing 30 menit,

60 menit dan 90 menit. Lama pengasapan terpilih ditentukan berdasarkan pada

peubah organoleptik yaitu warna, aroma, tekstur dan rasa yang dilakukan oleh 73

orang panelis tidak terlatih. Setelah diperoleh lama pengasapan yang terpilih pada

tahap ini, kemudian akan dilanjutkan ke tahap kedua penelitian yaitu penentuan

(43)

Tahap 2: Penentuan Bahan Pengasap

Pada tahap ini dibuat kembali dendeng batokok berdasarkan lama pengasapan

terpilih yang diperoleh dari penelitian tahap pertama dan bertujuan untuk

menentukan bahan pengasap terpilih yang selanjutnya akan dianalisa komponen

volatil flavornya. Produk yang telah telah diasap kemudian dikemas dan disimpan

pada suhu kamar (28-30o

Tahap 3: Analisis Komponen Flavor

C). Pada waktu penyimpanan (hari ke-0 dan hari ke-7)

dilakukan pengamatan perubahan kualitas dendeng batokok dengan peubah kualitas

fisik, kimia dan mikrobiologi (nilai pH, aktivitas air, kekerasan, kadar air, kadar

protein, kadar lemak, total koloni mikroba, bakteri Staphylococcus aureus dan kapang).

Setelah diperoleh bahan pengasap terpilih pada tahap kedua, selanjutnya

dilakukan analisis komponen volatil flavor pada produk. Analisis ini bertujuan untuk

mengetahui komponen-komponen volatil yang berpengaruh terhadap flavor dendeng

batokok baik yang diolah dari daging sapi maupun daging kerbau. Tahapan

(44)

Gambar 1 Bagan alir tahapan penelitian Daging Sapi/Kerbau

Pembersihan dan pengirisan

Perendaman dalam air kelapa

Daging dipukul-pukul Pencampuran bumbu-bumbu

Lama pengasapan terpilih dari tiap bahan pengasap pada daging sapi dan kerbau

Uji organoleptik Pengasapan temp.

kelapa: 30,60,90 menit

Pengasapan SG. medang: 30,60,90 menit

Pengasapan sekam padi: 30,60,90 menit

Pengamatan peubah fisik, kimia dan mikrobiologi hari ke-0 dan hari ke-7

Dendeng batokok

Perlakuan terpilih pada tahap I

Analisis komponen flavor bahan pengasap terpilih

Tahap 1

(45)

Rancangan Penelitian

Penelitian ini dirancang dengan menggunakan desain rancangan acak lengkap

(RAL) dengan 3 (tiga) ulangan. Data nonparametrik pada pengujian organoleptik

diolah statistik dengan metode Kruskal-Wallis, sedangkan data parametrik peubah

fisik, kimia dan mikrobiologi dianalisis dengan uji t (Steel dan Torrie 1993).

Pengolahan data menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1 dan Minitab versi 15.

Prosedur Analisa

a. Uji Organoleptik (Rahayu 2001)

Uji organoleptik menggunakan uji hedonik. Uji hedonik (kesukaan) bertujuan

memberikan penilaian suatu sifat organoleptik yang spesifik berdasarkankan

kesukaan panelis. Uji hedonik dilakukanoleh 73 orang panelis tidak terlatih

dengan menggunakan skala 1 sampai 5 dengan karakteristik penentu meliputi

warna, tekstur, aroma dan rasa. Deskripsi skala tersebut untuk uji hedonik adalah

sangat tidak suka (1), tidak suka (2), agak suka (3), suka (4), sangat suka (5).

b. Kadar Protein (Apriyantono 1989)

Analisa kadar protein dilakukan dengan metode kjedahl yang merupakan analisis kadar total N. Sampel seberat 0.2 g sebanyak 5 ml kemudian diekstraksi

selama 30 menit sampai diperoleh cairan yang berwarna hijau jernih. Cairan ini

kemudian didinginkan dengan air mengalir secara perlahan-lahan dan

ditambahkan aquades sebanyak 10 ml dan 30 ml NaOH kemudian didestilasi.

Hasil destilasi ditampung ke dalam labu erlenmeyer 125 ml yang berisi 10 ml larutan H3BO3

(ml HCl – ml blanko) x N HCl x 14.007

dan 2-3 tetes indikator campuran metilen merah dan metilen biru

yang kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N sampai menjadi warna merah

muda. Blanko dilakukan analisis dengan prosedur yang sama. Kadar protein dapat

dihitung dengan rumus :

N (%) = x 100% (mg) sampel

Kadar protein (%) = N (%) x 6.25

(46)

c. Kadar Lemak (Apriyantono 1989)

Penetapan kadar lemak ditentukan dengan metode ekstraksi Sokhlet yang

diawali dengan proses hidrolisis. Sebanyak 0.2 g sampel dimasukkan ke dalam

labu berukuran 600 ml dan kemudian ditambahkan 20 ml H2O dan 30 ml HCl

25%. Larutan dipanaskan hingga mendidih selama 15 menit, kemudian

diencerkan dengan air panas sampai bebas asam. Selanjutnya disaring dengan

kertas saring yang diketahui beratnya dan hasil saringannya dikeringkan dalam

oven suhu 50oC hingga kering atau sekitar 12 jam. Setelah kering, dimasukkan

kedalam selongsong pengekstrak (Soxhlet) yang dipasang alat kondensor

diatasnya dan labu lemak di bawahnya. Reflux dilakukan selama 5 jam sampai

pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada di

dalam labu lemak didestilasi dan pelarutnya ditampung. Labu yang berisi lemak

hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105o

Berat lemak

C sampai berat tetap dan

didinginkan dalam desikator. Labu dan berat lemaknya ditimbang, kemudian

kadar lemaknya dihitung dengan rumus :

Kadar lemak (%) = x 100% Berat sampel (g)

d. Kadar Air (Apriyantono 1989)

Sampel dendeng batokok sebanyak 5 g ditimbang dalam wadah yang berat kering

totalnya sudah diketahui sebelumnya. Wadah beserta isinya dipanaskan dalam oven

dengan suhu 105o

Berat awal sampel (g) – Berat akhir sampel (g)

C selama 16 jam sampai diperoleh berat konstan (selama

pemanasan ditimbang setiap jam hingga beratnya tetap). Setelah dicapai berat

konstan, cawan yang berisi sampel dipindahkan ke dalam desikator, didinginkan serta

ditimbang berat akhirnya. Kadar air dihitung dengan rumus :

Kadar air (%) = x 100% Berat sampel (g)

e. Aktivitas Air (AOAC 1995)

Pengukuran aktivitas air (aw) menggunakan alat aw meter yang terlebih dahulu

dikalibrasikan dengan larutan garam NaCl jenuh (suhu 30oC dan nilai aw 0.75).

Sampel kemudian dipotong tipis dengan ketebalan 0.2 cm dan diletakkan dalam

(47)

f. pH (AOAC 1995)

Sebanyak 5 gram sampel digerus halus kemudian dimasukkan ke dalam beker

glass, lalu ditambahkan air dan dihomogenkan dengan mixer selama 1 menit.

Nilai pH diukur dengan pH meter, pH meter yang digunakan terlebih distabilkan

selama 15 - 30 menit kemudian dikalibrasi dengan larutan buffer pada pH 4 dan 7. Elektroda dibilas dengan aquades, dan dikeringkan dengan kertas pengering,

kemudian dicelupkan ke dalam sampel dan dibiarkan hingga menunjukkan suatu

angka (stabil).

g. Kekerasan (Ranganna 1986)

Pengukuran terhadap tingkat keempukan dilakukan dengan menggunakan alat

texture analyzerRheoner RE-3305. Kira-kira 5 – 10 cm sampel yang akan diukur

diletakkan di atas meja penahan dan ditekan dengan alat pemotong sampai

terpotong menjadi dua bagian dengan chart speed 250 mm/menit. Dalam proses pemotongan akan terlihat grafik yang secara otomatis terhubung dengan

komputer. Nilai tertinggi grafik merupakan nilai kekerasan (kg/cm2

h. Jumlah Total Mikroba (AOAC 1995)

).

Prosedur pengujian untuk uji total koloni mikroba menggunakan metode

pemupukan tuang meliputi: sampel dendeng batokok yang telah disiapkan,

diencerkan secara desimal untuk masing-masing sampel dendeng yaitu 10-1 dan

10-2 menggunakan Buffer Pepton Water (0.1%). Labu erlenmeyer diletakkan secara berderet dan masing-masing diberi tanda 10-1 dan 10-2 dan satu labu

erlenmeyer lainnya dengan tanda K (kontrol). Cawan Petri steril disiapkan di

depan labu erlenmeyer disesuaikan dengan pengencerannya. Kemudian 1 ml sampel dipindahkan dengan menggunakan pipet steril ke dalam cawan petri,

dimulai dari pengenceran 10-2 ke pengenceran 10-1. Sebanyak ± 15 ml agar Plate

Count Agar (PCA) cair dituang ke dalam cawan, digerakkan di atas meja secara

mendatar (membentuk angka 8), lalu dibiarkan memadat. Inkubasi dilakukan pada

suhu 30-32oC selama 1-2 hari. Jumlah koloni per gram dendeng dihitung dengan

mengalikan jumlah rata-rata koloni dari pengenceran yang dipilih dengan

kebalikan faktor pengenceran. Jumlah koloni yang diperoleh dinyatakan dengan

(48)

i. Kapang (BPOM 2006)

Analisa kapang dilakukan dengan metode pour plate. Sebanyak 25 g sampel ditimbang secara aseptik ke dalam kantong plastik steril. Ditambahkan 225 ml

Pepton Dilution Fluid (PDF), dihomogenkan dengan stomacher selama 30 detik

sehingga diperoleh suspensi dengan pengenceran 10-1, kemudian disiapkan 3 buah

tabung yang masing-masing telah diisi 9 ml Air Suling Agar (ASA) 0.05%. Dari

hasil homogenisasi penyiapan sampel yang merupakan pengenceran 10-1, dipipet

1 ml ke dalam tabung ASA pertama, dikocok homogen hingga diperoleh

pengenceran 10-2. Dibuat pengenceran selanjutnya hingga 10-4

j. Analisis Komponen Volatil Flavor

. Dari

masing-masing pengenceran dipipet 0.5 ml, dituangkan pada permukaan Plate Dextrose Agar (PDA) yang sudah ditambahkan kloramfenikol dan digoyang berlahan sambil diputar hingga suspensi tersebar merata dan dibuat duplo. Untuk

mengetahui sterilitas media dan pengencer, dilakukan uji blangko. Pada satu

lempeng PDA yang sudah ditambahkan kloramfenikol diteteskan 0.5 ml

pengencer dan disebar merata dan untuk uji media digunakan satu lempeng PDA

ditambah kloramfenikol. Seluruh cawan petri diinkubasi pada suhu 20 - 25°C dan

diamati pada hari ke-3 dan ke-5, selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap

pertumbuhan kapang.

Analisis komponen flavor dilakukan pada pada produk dari daging sapi dan

kerbau dengan bahan pengasap terbaik. Metode ekstraksi komponen volatil flavor

yang dilakukan adalah Likens-Nicerson yang merupakan gabungan destilasi dan ekstraksi dengan pelarut secara simultan. Sampel sebanyak 300 gram

dihancurkan, ditambahkan air 700 ml dan standar internal 1.4 diklorobenzena

sebanyak 0.13 ml dengan konsentrasi 1 g dalam 100 ml dietil eter dan

ditempatkan pada labu sampel, lalu dipanaskan pada suhu 100oC dan diekstraksi

dengan pelarut dietil eter sebanyak 50 ml yang dipanaskan dalam penangas air

pada 45oC selama 2 jam terhitung setelah air mendidih. Sampel diekstraksi pada

saat yang bersamaan pada alat ekstraksi likens-Nicerson. Hasil ekstraksi ditambahkan Na2SO4 anhidrat sebanyak 1-2 sendok makan untuk mengikat air

dan disaring. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan kembali dengan gas N2 dan

(49)
(50)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Organoleptik Dendeng Batokok

Uji organoleptik dendeng batokok yang dilakukan bertujuan untuk

menentukan lama pengasapan terpilih berdasarkan pada penerimaan panelis terhadap

karakteristik sensori produk tersebut yang meliputi warna, tekstur, aroma dan rasa.

Hasil uji karakteristik organoleptik dapat dilihat pada Tabel 7, 8 dan 9.

Tabel 7 Hasil uji organoleptik dendeng batokok pada pengasapan tempurung kelapa.

Atribut DDS DDK DDS DDK DDS DDK

30 mnt 30 mnt 60 mnt 60 mnt 90 mnt 90 mnt

Tabel 8 Hasil uji organoleptik dendeng batokok pengasapan serbuk gergaji medang.

Atribut DDS DDK DDS DDK DDS DDK

30 mnt 30 mnt 60 mnt 60 mnt 90 mnt 90 mnt

Tabel 9 Hasil uji organoleptik dendeng batokok pada pengasapan sekam padi.

Atribut DDS DDK DDS DDK DDS DDK

30 mnt 30 mnt 60 mnt 60 mnt 90 mnt 90 mnt

Keterangan: 1. Superskrip yang sama dalam baris yang sama pada setiap lama pengasapan menunjuk kan tidak berbeda nyata (P>0.05).

2. DDS: dendeng daging sapi, DDK: dendeng daging kerbau.

Warna

Berdasarkan data pada Tabel 7, 8 dan 9 secara umum terlihat bahwa hasil uji

organoleptik warna dendeng batokok yang diolah dari daging sapi dan kerbau dengan

menggunakan bahan pengasap tempurung kelapa, serbuk gergaji medang dan sekam

(51)

antara agak suka (3.5) sampai suka (3.9). Hal ini menunjukkan bahwa atribut warna

dari dendeng batokok yang diuji berada pada taraf yang dapat diterima oleh panelis.

Hasil uji Kruskal Wallis dendeng batokok menunjukkan bahwa dendeng

batokok dari jenis daging, bahan pengasap dan lama pengasapan yang berbeda pada

penelitian ini tidak memberikan perbedaan terhadap penilaian warna. Hal ini

berkaitan dengan lama pengasapan selama 30-90 menit yang dilakukan tidak

memberikan warna berlebihan terhadap warna produk sehingga tingkat penilaian

panelis terhadap warna dendeng batokok tidak jauh berbeda.

Susilawati (2007) menyatakan, bahwa pengasapan dengan menggunakan

tempurung kelapa berpengaruh terhadap warna dendeng batokok. Perbedaan hasil ini

karena metode yang digunakan berbeda dan waktu pengasapan yang lebih lama

yaitu antara 3-9 jam sehingga jumlah asap yang melekat pada produk lebih banyak

sehingga memberikan pengaruh terhadap penilaian warna yang diberikan oleh

panelis.

Tekstur

Pada Tabel 7, 8 dan 9 terlihat bahwa hasil uji organoleptik tekstur dendeng

batokok dari daging sapi dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa, serbuk

gergaji medang dan sekam padi serta lama pengasapan 30, 60 dan 90 menit berkisar

antara agak suka (3.4) sampai suka (3.8). Hasil ini memperlihatkan bahwa atribut

tekstur dari dendeng batokok yang diuji juga secara umum dapat diterima oleh

panelis.

Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis pada dendeng batokok menunjukkan,

bahwa faktor jenis daging, tipe bahan pengasap dan lama pengasapan yang dilakukan

tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penilaian organoleptik tekstur. Hal ini

karena pada proses pengasapan tempurung kelapa, meskipun asap yang dihasilkan

lebih banyak namun dengan lama pengasapan yang lebih singkat sehingga

menghasilkan tekstur yang tidak jauh berbeda dengan asap dari bahan pengasap

serbuk gergaji medang dan sekam padi yang menghasilkan asap lebih sedikit namun

dengan waktu pengasapan lebih lama sehingga pelunakan protein jaringan ikat

menjadi tidak banyak berbeda. Selain itu, adanya pengaruh dari pemukulan yang

(52)

daging kerbau memiliki tekstur yang tidak jauh berbeda sehingga tidak

mempengaruhi penilaian panelis terhadap tekstur produk.

Menurut Lawrie (2003) menyatakan bahwa penilaian tekstur daging sangat

terkait dengan keempukan daging. Soeparno (2005) menyatakan, bahwa keempukan

daging ditentukan oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status

kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silang dan daya ikat air oleh

protein daging.

Aroma

Pada Tabel 7, 8 dan 9 dapat dilihat bahwa hasil uji organoleptik aroma dendeng

batokok berdasarkan jenis daging, tipe bahan pengasap dan lama pengasapan

berkisar antara agak suka (3.4) sampai suka (4.1). Hal ini memperlihatkan bahwa

atribut dari dendeng batokok yang diuji secara umum dapat diterima oleh panelis.

Hal ini karena dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau pada pengasapan

tempurung kelapa, serbuk gergaji medang dan sekam padi dengan lama pengasapan

30, 60 dan 90 menit, asap yang dihasilkan cukup merata melekat pada dendeng

batokok sehingga aroma direspon panelis tidak jauh berbeda.

Hasil uji Kruskal Wallis pada dendeng batokok menunjukkan bahwa produk

dari jenis daging, tipe bahan pengasap dan lama pengasapan berbeda tidak

memberikan pengaruh nyata terhadap penilaian organoleptik aroma. Selain itu,

panelis kemungkinan sudah pernah atau sering menkonsumsi dendeng batokok

sehingga menyebabkannya tidak segera dapat membedakan perbedaan aroma asap

dari bahan yang berbeda. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Badewi

(2002) yang memperlihatkan tidak terdapat perbedaan aroma pada pengasapan

daging sei dengan lama pengasapan 1–2 jam dengan menggunakan tempurung

kelapa dan kayu kusambi sebagai bahan pengasap. Suryaningsih (2010) bahwa

senyawa yang paling menentukan aroma asap adalah fenol seperti siringol, isoguenol

dan metil guenol. Guakol memberikan rasa asap, sementara siringol memberikan

aroma asap. Guillen (2002) menyatakan, bahwa penerimaan masyarakat terhadap

sifat-sifat sensori daging asap turut dipengaruhi oleh kebiasaan kuliner dan adat

(53)

Rasa

Pada Tabel 7, 8 dan 9 menunjukkan bahwa hasil uji organoleptik rasa dendeng

batokok dari daging sapi dan kerbau dengan menggunakan bahan pengasap

tempurung kelapa, serbuk gergaji medang dan sekam padi serta lama pengasapan

selama masing-masing 30, 60 dan 90 menit berkisar antara agak suka (3.5) dan suka

(4.0). Hal ini memperlihatkan bahwa atribut rasa dari dendeng batokok yang diuji

secara umum dapat diterima oleh panelis.

Hasil uji Kruskal Wallis pada dendeng batokok, menunjukkan bahwa dendeng

batokok dari jenis daging, tipe bahan pengasap dan lama pengasapan yang dilakukan

tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penilaian warna produk. Hal ini bahwa

asap dari bahan tempurung kelapa, serbuk gergaji medang dan sekam padi tersebar

cukup merata pada daging sehingga respon panelis terhadap rasa relatif sama. Selain

itu, bumbu juga memberikan pengaruh terhadap respon panelis terhadap rasa produk

pada penelitian dendeng batokok ini karena menggunakan bumbu-bumbu dengan

jumlah yang sama, sehingga respon panelis tidak jauh berbeda terhadap rasa produk.

Hasil ini sejalan dengan penelitian Badewi (2002) yang menyatakan bahwa lama

pengasapan 1-2 jam dengan menggunakan bahan pengasap yang berbeda tidak

memberikan pengaruh yang berbeda terhadap rasa daging asap pada penyimpanan 0

minggu.

Penilaian Hasil Uji Organoleptik Dendeng Batokok

Berdasarkan hasil uji hedonik yang dilakukan oleh 73 orang panelis tidak

terlatih yang meliputi warna, aroma, tekstur dan rasa, maka diperoleh lama

pengasapan terpilih dendeng batokok dengan nilai rataan tertinggi pada

masing-masing bahan pengasap dan jenis daging yaitu: pada pengasapan tempurung kelapa,

produk dari daging sapi (3.8) dan daging kerbau (3.7) dengan lama pengasapan

masing-masing selama 60 menit. Pada pengasapan serbuk gergaji medang, produk

dari daging sapi (4.0) dan daging kerbau (3.8) dengan lama pengasapan

masing-masing selama 90 menit. Pada pengasapan sekam padi, produk dari daging sapi (3.8)

(54)

Karakteristik Kimia, Fisik dan Mikrobiologi Dendeng Batokok

Pengasapan Tempurung Kelapa

Data hasil pengamatan karakteristik kimia, fisika dan mikrobiologi dendeng

batokok dari daging sapi dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa disajikan

pada Tabel 10.

Tabel 10 Hasil pengamatan peubah dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau pada pengasapan tempurung kelapa.

Peubah Hari ke-0 Hari ke-7

DDS DDK DDS DDK

Protein (%bk) 65.29±4.16a 58.15±4.0a - -

Lemak (%bk) 7.44±2.54a 8.99±1.59a - -

Kadar Air (%) 28.78±5.53a 31.18±3.27a 25.37±5.13p 28.96±2.60

pH

p

5.50±0.22a 5.64±0.07a 5.66±0.19p 5.74±0.07

A

) a 22.63±8.19a 22.43±1.02p 19.74±8.11

ALT (log

p

10cfu/g) 1.43±0.37a 0.53±0.92a 2.48±0.12p 1.16±1.00

S.aureus (log

q

10cfu/g) 0.33±0.58a 0.00a 0.57±0.98p 0.49±0.85

Kapang

p

negatif negatif negatif negatif

Keterangan: 1. Superskrip yang berbeda dalam baris yang sama pada setiap lama (hari) penyimpanan menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).

2. DDS: dendeng daging sapi, DDK: dendeng daging kerbau.

Kadar protein dendeng batokok (Tabel 10) memperlihatkan bahwa produk

yang diolah dari daging sapi cenderung lebih tinggi daripada produk dari daging

kerbau yang dapat diakibatkan oleh nilai pH daging kerbau (5.43) sebelum

pengolahan yang lebih rendah daripada pH daging sapi (5.66) menyebabkan daya

ikat airnya juga menjadi rendah dan berakibat terhadap penurunan kadar air produk

yang lebih cepat, akibatnya terjadi penurunan protein daging yang keluar bersama air

pada saat dilakukan pemukulan dan pengasapan juga menjadi lebih besar. Namun

berdasarkan hasil analisis uji t menunjukkan bahwa kadar protein dendeng batokok

yang diolah dari daging sapi dan kerbau tidak berbeda nyata. Hal ini karena proses

pengasapan pada dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau berlangsung secara

merata dan panas yang dihasilkan secara umum tidak menyebabkan terjadinya

perbedaan kandungan protein pada produk dari kedua jenis daging. Kadar protein

yang diperoleh pada pengasapan tempurung kelapa ini cukup baik, kondisi ini dapat

(55)

dilakukan proses pengolahan dan pengasapan masih cukup tinggi (diatas 30%) yang

menunjukkan bahwa nilai gizi dari dendeng batokok pengasapan tempurung kelapa

masih dapat dipertahankan. Kadar protein pada penelitian ini mengacu pada Standar

Nasional Indonesia (SNI) tentang persyaratan mutu dendeng daging sapi karena

standar dendeng dari daging kerbau belum ada. BSN (1992) menetapkan, bahwa

kadar minimal protein untuk dendeng sapi minimal adalah 30%.

Kadar lemak dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau pada pengasapan

tempurung kelapa ini memperlihatkan tidak ada perbedaan antara kedua jenis daging.

Hal ini karena adanya pengaruh pengeringan dari asap dan panas yang relatif stabil,

selain itu asap yang dihasilkan cukup banyak menyebabkan lemak yang terdapat

pada daging terbakar serta terurai dengan lebih banyak. Kadar lemak produk pada

pengasapan tempurung kelapa ini (7.44% dan 8.99%) jauh lebih rendah

dibandingkan dengan dendeng batokok yang diolah dari daging sapi dan kerbau

dengan pengasapan serbuk gergaji medang yaitu masing-masing 20.22% dan

23.32%, sedangkan pada pengasapan sekam padi, masing-masing 26.31% dan

22.86%. Kondisi ini disebabkan suhu pengasapan dengan menggunakan tempurung

kelapa (60-75oC) lebih tinggi daripada suhu pengasapan serbuk gergaji medang

(50-65 oC) dan pengasapan sekam padi (40-50o

Rataan persentase kadar air dendeng batokok selama penyimpanan pada daging

sapi dan daging kerbau masing-masing adalah 27.07% dan 30.07%. Hasil ini

menunjukkan bahwa kadar air daging sapi dan kerbau tidak berbeda. Hal ini karena

kedua jenis daging mempunyai kadar air awal yang tidak jauh berbeda yaitu pada

daging sapi (75.71%) dan daging kerbau (77.80%) sehingga dengan proses

pengolahan dan pengasapan yang sama menyebabkan kadar air produk yang

diperoleh juga tidak jauh berbeda. Nilai kadar air ini berpengaruh terhadap nilai dari

aktivitas air yang juga tidak berbeda pada pengamatan hari ke-0 maupun hari ke-7.

Selama penyimpanan terjadi penurunan kadar air pada kedua produk yang terjadi

melalui proses penguapan yang berlangsung secara alami dari permukaan produk. C) sehingga menyebabkan penurunan

kadar lemak dendeng batokok pada pengasapan tempurung kelapa menjadi lebih

tinggi. Suharyanto (2007) menyatakan bahwa pada saat terjadi pemanasan, lemak

meleleh dan mengalir dari permukaan bahan, hilangnya lemak ini proporsional

(56)

Kadar air ini cukup tinggi bila merujuk pada Standar Nasional Indonesia tentang

kualitas dendeng daging sapi yang menetapkan kadar air maksimal sebesar 12%

(BSN 1992). Menurut Buckle et al. (2009) bahwa kebanyakan bahan pangan setengah lembab yang berasal dari daging mempunyai kadar air berkisar 20-40%.

Nilai pH secara umum pada daging sapi dan kerbau masing-masing adalah

5.58% dan 5.69%. Hasil ini memperlihatkan nilai pH dendeng batokok daging

kerbau cenderung lebih tinggi daripada produk yang diolah dari daging sapi. Hal ini

dapat diakibatkan oleh komponen-komponen asap yang melekat pada produk dari

daging kerbau lebih banyak sehingga meningkatkan nilai pH setelah pengasapan.

Namun demikian berdasarkan hasil uji t yang dilakukan, nilai pH produk dari kedua

jenis daging tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Pada pengamatan pada hari

ke-0 dan hari ke-7 menunjukkan terjadinya peningkatan pH dendeng batokok daging

sapi dari 5.50 menjadi 5.66 dan nilai pH pada produk dari daging kerbau dari 5.64

menjadi menjadi 5.74. Kenaikan pH ini erat hubungannya dengan terjadinya

peningkatan kerusakan produk oleh adanya aktivitas mikroorganisme selama

penyimpanan. Badewi (2002) menyatakan, bahwa nilai pH yang tinggi merupakan

salah satu penyebab pertumbuhan mikroorganisme yang lebih baik daripada produk

dengan nilai pH yang lebih rendah.

Nilai aktivitas air (aw) yang diperoleh memperlihatkan bahwa daging sapi dan

kerbau memiliki rataan nilai aw yang tidak berbeda. baik pada pengamatan hari ke-0

maupun hari ke-7. Kondisi ini berkaitan dengan kadar air daging segar kedua jenis

daging yang tidak jauh berbeda yaitu pada daging sapi 75.81% dan daging kerbau

77.80% sehingga dengan pengasapan dan perlakuan yang sama mengakibatkan nilai

aw yang diperoleh juga menjadi tidak jauh berbeda. Selama penyimpanan nilai aw

Tingkat kekerasan dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau yang

diperoleh juga tidak menunjukkan perbedaan antara kedua jenis daging. Hasil ini

disebabkan adanya pengaruh dari proses pengasapan dan pemukulan yang dilakukan

secara merata sehingga tingkat kekerasannya tidak banyak berbeda. Tingkat mengalami penurunan yang dapat dipengaruhi oleh adanya penurunan kadar air

produk dari dendeng batokok kedua jenis daging melalui penguapan. Maltini et al. (2003) menyatakan bahwa nilai aktivitas air berkaitan dengan kadar air dan berperan

Gambar

Tabel 1 Syarat mutu karkas sapi (SNI 01-3932-1995).
Tabel 7 Hasil uji organoleptik dendeng batokok pada pengasapan tempurung kelapa.
Tabel 10 Hasil pengamatan peubah  dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau
Tabel 11 Hasil pengamatan peubah pada dendeng batokok dari daging sapi dan                  kerbau dengan pengasapan serbuk gergaji medang
+7

Referensi

Dokumen terkait

The research on the influence of beef submersion used various concentration of smoke liquid coconut shell toward total bacteria count, shelf life and acceptability was to know

The results indicated that addition of liquid smoke up to 1% did not affect the meat pH, water holding capacity, cooking loss, the tensile strength of meat, blood urea nitrogen,

Yield, protein recovery, total nitrogen and free amino acid in shishibishio treated with enzymes were significantly greater P < 0.05 than that of control, especially at 15% salt.. The

CONCLUSION AND SUGGESTIONS 5.1 Conclusion Based on the results of research data processing using SPSS Statistical Package for Social Science Version 25, there is a partial influence

MTD impact H!WWand +15-25% statistical precision on the cross section Isolation and H!4leptons !Improve coupling measurements Vertex identification VBF!H!gg +30% statistical precision

The protein content of buffalo meat patties in the control F0 was also significantly different P˂0.05 from the samples supplemented with 6% F2 and 9% F3 fenugreek powder, while the fat

Error of the Estimate 1 ,890a ,792 ,783 3,33995 Source: Results of Data Processing with SPSS version 24 2022 DISCUSSION The Effect of Leadership Style, Organizational Culture and

Data Analysis The results of this study used a completely randomized design with a 3x3x4 factorial pattern, with the first factor being the aging time 1, 21, 42 days and the second