DAGING SAPI DAN KERBAU DENGAN
BEBERAPA BAHAN PENGASAP
JAYA PUTRA JAHIDIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakteristik Dendeng Batokok dari
Daging Sapi dan Kerbau dengan Beberapa Bahan Pengasap adalah karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2012
Jaya Putra Jahidin
meat with Types of Smoke Materials. Under directon of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI and IRMA ISNAFIA ARIEF.
Dendeng batokok is one of traditional jerked meat in
Indonesia treated traditionally with smoked and pounded and using raw material produced at the local level and potential to be developed because it has a distinctive flavor. It needs to be introduced further into one of the alternative meat products. The production process is traditionally and often produce products that vary in quality, it is necessary for standardization related to the process of making dendeng batokok, so that would be generated products with a more homogeneous quality and safety. The objective of this study was to study the characteristics of dendeng batokok that made from beef and buffalo meat as raw materials and the use of coconut shell, medang sawdust and rice husk as smoke material. Smoking was conducted during each 30, 60 and 90 minutes. The research was conducted in three stages; 1) determining of selected smoking time, 2) determining of selected smoke materials, 3) flavor analysis of dendeng batokok. Parameters observed during research were organoleptic attributes (colour, texture, aroma and taste), quality changes of dendeng batokok with physical, chemical and microbiology variables (pH, water activity, hardness, moisture content, protein, lipid, total plate count, S. aureus, molds) and flavor volatile components. The experimental design used complete randomized design (CRD) with three replications. Nonparametric data of organoleptic tests processed statistically by Kruskal-Wallis method. Parametric data physical, chemical and microbiological variable analyzed by t test (Steel and Torrie 1993). Data processing using the program Statistical Analysis System (SAS) 9.1 and Minitab 15 version. The results of this study indicate that; 1) the selected of dendeng batokok with the highest average value of beef and buffalo meat are 60 minutes for coconut shell smoking during, 90 minutes for medang sawdust smoking medang and 90 minutes for rice husk smoking, (2) the use of beef and buffalo meat with smoking coconut shell, medang sawdust and rice husk showed no real difference on organoleptic characteristics, (3) physical, chemical and microbiological characteristics of dendeng batokok in this research in general is still quite good until 7 days of storage except for mold variable with rice husk smoking, (4) beef and buffalo meat have the same characteristic value to be used as raw material for dendeng batokok processing, (5) medang sawdust can be used as alternative smoke materials for dendeng batokok processing from beef and buffalo meat.
Pengasap. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI dan IRMA ISNAFIA ARIEF.
Pengembangan ternak ruminansia di Provinsi Jambi sangat berpotensi yang ditunjukkan dengan peningkatan jumlah dari tahun ke tahun terutama populasi sapi dan kerbau. Pada tahun 2005 populasi sapi potong dan kerbau tercatat masing-masing 113.678 ekor dan 72.852 ekor, sedangkan pada tahun 2009 meningkat menjadi 164.526 ekor sapi potong dan 73.872 ekor kerbau (BPS 2010). Peningkatan populasi ternak tersebut juga disertai dengan peningkatan pemotongan ternak seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi protein hewani. Permintaan daging yang meningkat harus diimbangi melalui usaha penanganan pasca panen yang memadai, sehingga dapat menekan kerusakan yang disebabkan oleh proses fisik, kimia dan mikrobiologi. Pengawetan dan pengolahan daging menjadi berbagai produk bertujuan untuk mengurangi penurunan kualitas sekaligus memberi nilai tambah pada produk olahan. Masyarakat di sebagian wilayah di Jambi secara tradisional telah melakukan usaha yang merupakan kombinasi antara pengolahan dan pengawetan daging untuk menghasilkan dendeng.
Dendeng batokok adalah salah satu jenis dendeng yang diolah secara tradisional dengan bahan baku utama yang dihasilkan di tingkat lokal, serta sudah dikenal cukup lama. Dendeng batokok berpotensi untuk dikembangkan karena memiliki citarasa yang khas, sehingga perlu diperkenalkan lebih lanjut menjadi salah satu alternatif olahan daging. Salah satu tahap penting dalam pengolahan dendeng batokok adalah proses pengasapan. Ketersediaan tempurung kelapa tidak selalu dapat diperoleh dengan mudah terutama di wilayah-wilayah yang bukan produsen kelapa dan jauh dari sentra-sentra ekonomi. Bahan lain yang dapat dimanfaatkan dengan ketersediaan tinggi diantaranya adalah serbuk gergaji medang dan sekam padi yang selama ini dianggap sebagai limbah dan belum dimanfaatkan secara optimal.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari penggunaan daging sapi dan kerbau sebagai bahan baku dendeng batokok dengan bahan pengasap tempurung kelapa, serbuk gergaji medang dan sekam padi. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yaitu; 1) penentuan lama pengasapan terpilih berdasarkan pada atribut organoleptik. yang diuji yaitu warna, aroma, tekstur dan rasa., 2) penentuan bahan pengasap terpilih melalui pengamatan peubah kualitas fisik, kimia dan mikrobiologi pada hari ke-0 dan hari ke-7 penyimpanan (nilai pH, aktivitas air, kekerasan, kadar air, kadar protein, kadar lemak, total koloni mikroba, bakteri Staphylococcus aureus dan kapang), 3) analisis komponen flavor untuk mengetahui komponen-komponen volatil yang berpengaruh terhadap flavor dendeng batokok dengan menggunakan bahan pengasap terpilih.
pengasapan serbuk gergaji medang selama masing-masing 90 menit, produk dari daging sapi dan kerbau dengan pengasapan sekam padi selama masing-masing 90 menit, 2) penggunaan daging sapi dan kerbau pada pengasapan tempurung kelapa, serbuk gergaji medang dan sekam padi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap karakteristik organoleptik yang meliputi warna, tekstur, aroma dan rasa, 3) karakteristik fisik, kimia dan mikrobiologi dendeng batokok dengan pengasapapan yang dilakukan secara umum masih cukup baik sampai lama penyimpanan hari ke-7 kecuali peubah kapang pada pengasapan sekam padi, 4) daging kerbau dan daging sapi memiliki nilai karakteristik yang sama untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan dendeng batokok, 5) serbuk gergaji medang dapat dijadikan alternatif bahan pengasap pembuatan dendeng batokok baik pada daging sapi maupun daging kerbau.
Kesimpulan umum dari penelitian ini adalah daging kerbau dengan bahan pengasap serbuk gergaji medang mampu menggantikan daging sapi dengan bahan pengasap tempurung kelapa pada pembuatan dendeng batokok.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan wajar IPB.
BEBERAPA BAHAN PENGASAP
JAYA PUTRA JAHIDIN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Kerbau dengan Beberapa Bahan Pengasap Nama Mahasiswa : Jaya Putra Jahidin
NIM : D151090071
Program Studi/Mayor : Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA
Ketua Anggota
Dr. Irma Isnafia Arief, S.Pt. M.Si
Diketahui
Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 1 Februari 2012 Tanggal Lulus:
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang
berjudul Karakteristik Dendeng Batokok dari daging Sapi dan Kerbau dengan
Beberapa Bahan Pengasap.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang setulusnya kepada Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA dan Dr. Irma
Isnafia Arief, S.Pt, M.Si sebagai pembimbing yang telah memberikan motivasi,
bimbingan, arahan dan masukan kepada penulis, sejak proses penyusunan dari awal
hingga akhir penulisan tesis. Ucapan terima kasih penulis sampaikan khususnya
untuk Ayahanda dan Ibunda tercinta, isteri (Meirina Lestari) dan anakku tersayang
(Muhammad Aqil Faizan), nenek dan nyantan Aqil, Bang San, Bang Rais, adinda
Henky, serta segenap keluarga atas doa, motivasi dan pengertiannya kepada penulis
selama ini. Terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Mayor Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan Angkatan 2009, Pak Tomo atas kebaikan dan
kebersamaannya yang luar biasa dan semua pihak yang telah memberikan dorongan
dan bantuannya baik materil maupun imateril.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan semoga
karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Februari 2012
April 1977 dari ayah Jahidin Said dan ibu Rosmadar. Penulis merupakan putra ketiga
dari empat bersaudara.
Program sarjana ditempuh di Program Studi Produksi Ternak, Fakultas
Peternakan Universitas Jambi, lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2009, penulis
melanjutkkan pendidikan ke Program Pascasarjana pada Program Studi Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa
pendidikan dari Indonesian Managing Higher Education for Relevance (IM-HERE).
Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Produksi Ternak Fakultas
Penilaian Uji Organoleptik ... 28
Karakteristik Kimia, Fisik dan Mikrobiologi Dendeng Batokok ... 29
Pengasapan Tempurung Kelapa ... 29
Pengasapan Serbuk Gergaji Medang ... 34
Pengasapan Sekam Padi ... 38
Karakteristik Dendeng Batokok Selama Penyimpanan ... 42
Analisis Komponen Volatil Flavor Serbuk Gergaji Medang ... 43
KESIMPULAN ... 49
DAFTAR PUSTAKA ... 51
1 Syarat mutu karkas sapi berdasarkan SNI 01-3932-1995 ... 6
2 Syarat mutu karkas kerbau berdasarkan SNI 01-3933-1995 ... 6
3 Persyaratan mutu dendeng sapi berdasarkan SNI 01-2908-1992 ... 7
4 Standar cemaran mikroba dan kimia dendeng sapi dan daging asap ... 7
5 Komposisi kimia kayu keras dan tempurung kelapa ... 10
6 Komposisi kimia sekam padi ... 11
7 Hasil uji organoleptik pada pengasapan tempurung kelapa ... 25
8 Hasil uji organoleptik pada pengasapan serbuk gergaji medang ... 25
9 Hasil uji organoleptik pada pengasapan sekam padi ... 25
10 Hasil pengamatan peubah dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau pada pengasapan tempurung kelapa ... 29
11 Hasil pengamatan peubah dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau pada pengasapan serbuk gergaji medang ... 34
1 Bagan alir pembuatan dendeng batokok ... 19
1 Hasil uji Kruskal-Wallis pada dendeng batokok daging sapi
dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa selama 30 menit ... 57
2 Hasil uji Kruskal-Wallis pada dendeng batokok daging sapi
dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa selama 60 menit ... 58
3 Hasil uji Kruskal-Wallis pada dendeng batokok daging sapi
dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa selama 90 menit ... 59
4 Hasil uji Kruskal-Wallis pada dendeng batokok daging sapi
dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa selama 30 menit ... 60
5 Hasil uji Kruskal-Wallis pada dendeng batokok daging sapi
dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa selama 60 menit ... 61
6 Hasil uji Kruskal-Wallis pada dendeng batokok daging sapi
dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa selama 90 menit ... 62
7 Hasil uji Kruskal-Wallis pada dendeng batokok daging sapi
dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa selama 30 menit ... 63
8 Hasil uji Kruskal-Wallis pada dendeng batokok daging sapi
dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa selama 60 menit ... 64
9 Hasil uji Kruskal-Wallis pada dendeng batokok daging sapi
dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa selama 90 menit ... 65
10 Hasil uji t pengasapan tempurung kelapa ... 66
11 Hasil uji t pengasapan serbuk gergaji medang ... 68
12 Hasil uji t pengasapan sekam padi ... 70
13 Hasil analisa kualitas daging segar ... 72
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Potensi pengembangan ternak ruminansia di Provinsi Jambi adalah besar
ditunjukkan oleh peningkatan populasi dari tahun ke tahun terutama untuk ternak
sapi dan kerbau. Pada tahun 2005, populasi sapi potong dan kerbau tercatat
masing-masing 113.678 ekor dan 72.852 ekor, sedangkan pada tahun 2009 meningkat
menjadi 164.526 ekor sapi potong dan 73.872 ekor kerbau (BPS 2010). Peningkatan
populasi ternak tersebut juga disertai dengan peningkatan pemotongan ternak, seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya
konsumsi protein hewani. Permintaan daging dari masyarakat Jambi yang meningkat
harus diimbangi oleh usaha penanganan pasca panen yang memadai, sehingga
kerusakan yang disebabkan oleh proses fisik, kimia dan mikrobiologi dapat dikurangi
dan ditekan. Pengawetan dan pengolahan daging menjadi berbagai produk olahan
bertujuan untuk mengurangi penurunan kualitas, sekaligus memberi nilai tambah
pada produk daging yang dihasilkan.
Dendeng batokok adalah salah satu jenis dendeng yang diolah secara
tradisional oleh sebagian masyarakat di Jambi dengan bahan baku utama yang
dihasilkan di tingkat lokal dan merupakan salah satu usaha yang sudah cukup lama
dikenal untuk pengolahan dan pengawetan daging. Dendeng batokok berpotensi
untuk dikembangkan karena memiliki citarasa yang khas, sehingga perlu
diperkenalkan lebih luas menjadi salah satu alternatif olahan daging. Proses produksi
secara tradisional sering menghasilkan produk yang bervariasi kualitasnya, untuk itu
standardisasi terhadap proses pembuatan dendeng batokok diperlukan agar
dihasilkan produk dengan kualitas yang lebih homogen dan terjamin keamanannya.
Dendeng batokok yang dikenal masyarakat, selama ini umumnya berasal dari
daging sapi. Hal ini bukan berarti bahwa dendeng batokok tidak dapat dibuat dari
daging selain sapi, seperti daging kerbau. Daging kerbau selama ini cenderung
dihindari digunakan karena mempunyai serat daging yang lebih kasar sehingga
kurang begitu disukai serta mempunyai kualitas fisik yang rendah (alot) karena
biasanya kerbau dipotong pada umur yang tua. Pengolahan daging kerbau menjadi
fisik yang dijumpai, disamping merupakan upaya diversifikasi produk olahan pangan
asal daging kerbau.
Salah satu tahap penting dalam pengolahan dendeng batokok adalah proses
pengasapan yang menentukan karakteristik flavor dari produk. Metode pengasapan
dendeng batokok di masyarakat masih dilakukan secara beragam, disesuaikan
dengan selera pembuatnya. Kondisi ini tentu dapat berdampak pada kualitas produk
yang ada, sehingga dikhawatirkan adanya penurunan kualitas baik secara fisik, kimia
maupun mikrobiologi. Pengasapan terhadap daging yang telah diberi bumbu
dilakukan di atas bara api dengan menggunakan tempurung kelapa sebagai bahan
pengasap. Ketersediaan tempurung kelapa tidak selalu dapat diperoleh dengan
mudah terutama di wilayah-wilayah yang bukan produsen kelapa dan jauh dari
sentra-sentra ekonomi. Tempurung kelapa juga telah banyak dimanfaatkan untuk
pembuatan arang tempurung kelapa untuk berbagai keperluan serta sebagai bahan
baku kerajinan. Bahan lain yang dapat dimanfaatkan dengan ketersediaan tinggi
diantaranya adalah serbuk gergaji seperti kayu medang serta sekam padi yang
selama ini dianggap sebagai limbah dan belum dimanfaatkan secara optimal.
Mempertimbangkan berbagai potensi yang dimiliki, maka bahan-bahan tersebut
dimungkinkan untuk dijadikan sebagai bahan pengasap alternatif selain tempurung
kelapa.
Informasi mengenai pengaruh penggunaan tempurung kelapa, serbuk gergaji
kayu medang dan sekam padi sebagai bahan pengasap terhadap karakteristik
dendeng batokok yang dihasilkan dari daging sapi maupun daging kerbau sebagai
pengganti daging sapi belum pernah dipelajari dan diteliti. Penelitian tentang
pengaruh penggunaan berbagai bahan pengasap terhadap karakteristik dendeng
batokok dengan bahan baku daging sapi dan kerbau menarik untuk dilakukan
sebagai upaya peningkatan nilai tambah produk-produk peternakan. Berdasarkan
uraian di atas, maka diperlukan penelitian terhadap proses pembuatan dendeng
batokok dengan bahan daging, bahan pengasap yang berbeda dengan memanfaatkan
Perumusan Masalah
Pemanfaatan ternak kerbau sebagai sumber ternak potong (sumber daging)
umumnya dilakukan untuk konsumsi langsung dan belum banyak dilakukan untuk
diversifikasi produk. Ternak kerbau umumnya dipotong pada umur yang tua
sehingga dagingnya relatif keras atau alot. Kendala tersebut diharapkan dapat
dikurangi dengan dilakukan pengolahan menjadi produk seperti dendeng batokok.
Proses pengasapan dendeng batokok selama ini umumnya hanya menggunakan
asap dari tempurung kelapa yang pada saat ini tidak selalu mudah diperoleh.
Penggunaan bahan pengasap lain yang banyak tersedia dan belum banyak
dimanfaatkan secara optimal seperti serbuk gergaji medang yang dapat diperoleh dari
banyak tempat penggergajian kayu dan sekam padi dari penggilingan padi perlu
dilakukan dan dicoba sebagai bahan pengasap pada proses pembuatan dendeng
batokok.
Upaya untuk perbaikan proses produksi perlu dipelajari sehingga dihasilkan
dendeng batokok dengan kualitas fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik yang
baik, sehingga dapat diberikan jaminan keamanan pangan bagi konsumen.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang proses
pengolahan dendeng batokok pada kondisi yang berbeda dan melakukan penilaian
kualitas produk yang meliputi fisik, kimia, mikrobiologi, organoleptik dan umur
simpan untuk menentukan batas kelayakan produk.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melakukan diversifikasi produk
dendeng batokok di tingkat industri rumah tangga dengan memanfaatkan sumber
daya lokal yang tersedia meliputi bahan baku (daging sapi dan kerbau) dan bahan
pengasap (tempurung kelapa, serbuk gergaji medang dan sekam padi).
Tujuan khusus adalah mempelajari kualitas organoleptik, fisik, kimia dan
mikrobiologi dendeng batokok dengan penggunaan daging sapi dan kerbau sebagai
bahan baku dan tempurung kelapa, serbuk gergaji medang atau sekam padi sebagai
Hipotesis
1. Daging kerbau dapat digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan dendeng
batokok.
2. Serbuk gergaji medang dan sekam padi dapat dijadikan sebagai bahan pengasap
pada pembuatan dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang; a) karakteristik
dendeng batokok dengan bahan baku selain daging sapi dan bahan pengasap selain
tempurung kelapa yang telah sebelumnya dikembangkan secara tradisional, b)
kemungkinan perbaikan dan pengembangan proses pengolahan dendeng batokok
sehingga produk yang dihasilkan tetap memiliki nilai gizi tinggi, memenuhi aspek
keamanan pangan serta dapat diperluas pemasarannya berdasarkan pada umur
simpan produk.
TINJAUAN PUSTAKA
Daging
Menurut BSN (1995), daging sapi atau kerbau adalah urat daging yang melekat
pada kerangka, kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal
dari sapi atau kerbau yang sehat waktu dipotong. Aberle et al. (2001) mendefinisikan daging sebagai semua jaringan tubuh hewan yang dapat digunakan sebagai bahan
makanan, demikian juga dengan semua produk yang diproses atau dihasilkan dari
jaringan hewan yang telah dipotong. Lawrie (2003) menyatakan bahwa daging
adalah sesuatu yang berasal dari hewan termasuk limpa, ginjal, otak,
jaringan-jaringan lain yang dapat dimakan.
Buckle et al. (2009) menyatakan bahwa daging pada karkas ternak tersusun oleh kira-kira 600 jenis otot yang berbeda ukuran dan bentuknya, berbeda pula
susunan syaraf dan persediaan darahnya serta melekatnya pada tulang, persendian
dan tujuan serta jenis gerakannya. Menurut Lawrie (2003) bahwa struktur daging
terdiri atas jaringan ikat, pembuluh darah dan jaringan syaraf. Kandungan nutrisi
utama daging adalah protein, lemak, abu dan air. Protein merupakan komponen
terbesar dari daging. Komposisi kimia daging adalah air (75%), protein (19%),
substansi-substansi non protein yang larut (2.3%), karbohidrat (1.2%) dan lemak
(2.5%).
Karkas Sapi
Karkas sapi menurut SNI 01-3932-1995 adalah tubuh sapi sehat yang telah
disembelih, utuh atau dibelah membujur sepanjang tulang belakangnya, setelah
dikuliti, isi perut dikeluarkan tanpa kepala, kaki bagian bawah dan alat kelamin sapi
jantan atau ambing sapi betina yang telah melahirkan dipisahkan dengan atau tanpa
ekor. Kepala dipotong diantara tulang ocipital (Os occipitale) dengan tulang tengkuk pertama (atlas). Kaki depan dipotong diantara carpus dan metacarpus, kaki belakang dipotong diantara tarsus dan metatarsus. Jika diperlukan untuk memisahkan ekor, maka paling banyak dua ruas tulang belakang coccigeal (caudalis) terikut karkas (BSN 1995).
Persyaratan mutu karkas sapi menurut Standar Nasional Indonesia (SNI)
Tabel 1 Syarat mutu karkas sapi (SNI 01-3932-1995).
Karkas kerbau menurut SNI 01-3933-1995 adalah tubuh kerbau sehat yang
telah disembelih, utuh, atau dibelah membujur sepanjang tulang belakangnya, setelah
dikuliti, isi perut dikeluarkan tanpa kepala, kaki bagian bawah dan alat kelamin sapi
jantan atau ambing sapi betina yang telah melahirkan dipisahkan dengan atau tanpa
ekor. Kepala dipotong diantara tulang ocipital (Os occipitale) dengan tulang tengkuk pertama (Os atlas). Kaki depan dipotong diantara carpus dan metacarpus, kaki belakang dipotong diantara tarsus dan metatarsus. Jika diperlukan untuk memisahkan ekor, maka paling banyak dua ruas tulang belakang coccigeal (Os
caudalis) terikut karkas (BSN 1995).
Persyaratan mutu karkas kerbau menurut Standar Nasional Indonesia (SNI)
01-3933-1995 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Syarat mutu karkas kerbau (SNI 01-3933-1995).
Dendeng dan Pembuatan Dendeng Batokok
Definisi dendeng pada penelitian ini mengacu pada Standar Nasional Indonesia
01-2908-1992 yang menyatakan bahwa dendeng sapi merupakan produk makanan
berbentuk lempengan yang terbuat dari irisan atau gilingan daging sapi segar
berasal dari sapi sehat yang telah diberi bumbu dan dikeringkan (BSN 1992).
Persyaratan mutu dendeng sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI)
01-2908-1992 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Persyaratan mutu dendeng (SNI 01-2908-1992).
Jenis Persyaratan
Ketetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan
berdasarkan Standar Nasional Indonesia 7388:2009 tentang pangan olahan dari
dendeng sapi dan daging asap yang diolah dengan panas disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Standar cemaran mikroba dan kimia dendeng sapi dan daging asap (SNI 7388:2009).
Sumber : Badan Standardisasi Nasional (2009)
Pengawetan dan pengolahan daging dapat dilakukan dengan cara pengeringan,
pemanasan atau pengasapan. Daging asap merupakan irisan daging yang diawetkan
dengan panas dan asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu keras yang banyak
menghasilkan asap dan lambat terbakar (Maruddin 2004).
Dendeng batokok adalah salah satu produk olahan daging yang diproses secara
tradisional dari Sumatera Barat yang diiris tipis, direndam dengan bumbu, diasap dan
dendeng biasa, hal ini disebabkan terjadinya penambahan flavor dari asap bahan
yang dibakar (Marzaleni 2005).
Menurut Bahar (2003), penggunaan alat pemukul daging bertujuan untuk
memutuskan beberapa jaringan pengikat daging sehingga serabut daging akan mudah
terputus saat dikunyah. Soeparno (2005) menyatakan, bahwa keempukan daging
ditentukan oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status
kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silang dan daya ikat air oleh
protein daging serta jus daging.
Perbedaan dendeng kering dengan dendeng batokok antara lain terletak pada
cara pembuatannya. Dendeng batokok untuk pengeringannya menggunakan bahan
bakar asap dan selama pengasapan daging dendeng ini dipukul-pukul dengan batu
atau alat pemukul lainnya, sehingga dendeng yang dihasilkan mempunyai cita rasa
yang khas. Pada pembuatan dendeng kering proses pengeringannya menggunakan
panas yang berasal dari sinar matahari atau oven dan produknya masih berasa daging
(Yusfrida 2000).
Pengasapan
Pengasapan, penggaraman dan pengeringan merupakan beberapa metode
pengawetan bahan pangan yang telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu (Viksna
2008). Pengasapan merupakan salah satu cara pengolahan yang dapat menghasilkan
cita rasa, aroma dan warna yang khas, sehingga produk yang dihasilkannya banyak
digemari oleh masyarakat (Darmadji 2002). Kombinasi proses yang meliput i
pengeringan, penggaraman, pemanasan dan pengasapan dapat menghasilkan produk
dengan rasa dan aroma yang disukai (Hastuti 2000). Pengasapan daging bertujuan
untuk meningkatkan flavor, mencegah ketengikan dan menghasilkan penampakan
produk yang menarik (Soeparno 2005).
Menurut Moeljanto (1992), beberapa model pengasapan yang sudah
berkembang yaitu direct smoke (pengasapan langsung), pengasapan indirect smoke (tidak langsung) dan artificial smoke (pengasapan sintetis). Penggunaan model pengasapan ini mempunyai teknik dan cara pemakaian yang berbeda. Pada
pengasapan langsung, suhu yang digunakan berkisar antara 65-80oC. Pengasapan ini
diasap langsung berhubungan dengan bahan bakar yang berada tepat di bawah
produk yang diasapkan.
Menurut Kadir (2004) dan Swastawati (1997) bahwa pengasapan
dikelompokkan menjadi hot smoking (pengasapan panas) dan cold smoking (pengasapan dingin). Pada pengasapan panas, produk pangan yang diasapi diletakkan cukup dekat dengan sumber asap dan dilakukan dalam waktu yang singkat
sedangkan pengasapan dingin, produk yang diasapi diletakkan agak jauh dari sumber asap dan dilakukan dalam waktu yang lama. Pada pengasapan dingin suhu yang
digunakan tidak melebihi 40oC, sedangkan pengasapan panas menggunakan suhu
60o
Menurut Wibowo (2002), tujuan utama dalam pengasapan panas adalah untuk
mengawetkan, memberi warna serta rasa yang khas pada produk yang diasap. Pada
pengasapan panas jarak antara produk dengan sumber bahan bakar asap dilakukan
sedekat mungkin dan panas yang berasal dari api cukup besar. Pengasapan ini
dilakukan di dalam ruang asap atau smoke house, dengan menggantungkan daging pada rak atau kayu di ruangan asap dan daging tidak boleh bersentuhan satu dengan
yang lain. C atau lebih.
Bahan Pengasap
Darmadji (2002) menyatakan bahwa pada proses pengasapan, biasanya
digunakan kayu yang keras karena pada kayu yang keras akan menghasilkan bara api
yang banyak sehingga asap yang dihasilkan juga banyak. Pada kayu yang keras
banyak mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin yang kemudian akan pecah
menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dalam proses pembakaran. Viksna
et al. (2008) menyatakan bahwa pemilihan jenis kayu untuk pengasapan merupakan
salah satu parameter penting dalam upaya mengurangi kontaminasi pangan.
Produksi bahan pangan dengan pengasapan sebaiknya menggunakan jenis kayu
keras yang mampu menghasilkan asap dengan kandungan unsur fenol yang cukup
tinggi. Unsur fenol ini lebih banyak melekat pada produk dan dapat menghasilkan
rasa maupun warna produk yang khas. Jenis kayu lunak tidak baik digunakan sebagai
bahan pengasap. Hal ini disebabkan kayu lunak banyak mengandung resin atau
Jenis kayu keras dan tempurung kelapa menghasilkan asap yang banyak.
Asap dari kayu keras pada bagian selulosanya akan terurai menjadi
senyawa-senyawa sederhana yaitu alkohol alifatik, aldehida, keton dan asam organik,
formaldehida, asam-asam dan fenol yang merupakan bahan pengawet. Bagian
ligninnya pecah menjadi senyawa-senyawa fenol, quinol dan pirogalol yang
merupakan bagian 20 senyawa antioksidan dan antiseptik (Girard 1992).
Tempurung kelapa merupakan bagian buah kelapa (15-19%) yang fungsinya
secara biologis adalah sebagai pelindung bagian inti buah dan terletak di bagian
dalam setelah sabut. Tempurung kelapa merupakan lapisan yang keras dengan
ketebalan 3-5 mm. Sifat kekerasan ini disebabkan kandungan silikat (SiO2
Tempurung kelapa mempunyai komposisi kimia yang hampir sama dengan
jenis kayu keras. Komposisi kimia kayu keras dan tempurung kelapa dapat dilihat
pada Tabel 5.
) di
tempurung kelapa tersebut (Anshari 2009).
Tabel 5 Komposisi kimia kayu keras dan tempurung kelapa
Komposisi Kimia Kayu Keras (%) Tempurung Kelapa (%)
Selulosa
Kayu lunak merupakan jenis kayu yang memiliki banyak pori-pori dan mudah
terbakar, sedangkan kayu keras adalah kayu yang tidak atau sedikit berpori dan tidak
mudah terbakar (Suryaningsih 2010). Pada umumnya terdapat hubungan langsung
antara kekerasan kayu dan berat kayu. Kayu yang keras juga merupakan kayu yang
berat, sebaliknya kayu ringan adalah kayu yang lunak. Cara menetapkan kekerasan
kayu ialah dengan memotong kayu tersebut dengan arah melintang. Kayu yang
sangat keras akan sulit dipotong melintang dengan pisau. Pisau tersebut akan meleset
dan hasil potongannya akan memberi tanda kilau pada kayu. Kayu yang lunak akan
mudah rusak dan hasil potongan melintangnya akan memberikan hasil yang kasar
dan suram (Iswanto 2008).
Sekam padi merupakan produk samping yang melimpah dari hasil
penggilingan padi yang selama ini banyak digunakan sebagai bahan bakar untuk
padi yang kurang tepat akan menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan (Putro
2007).
Sekam padi merupakan lapisan keras pembungkus butir gabah yang meliputi
kariopsis yang terdiri dari dua belahan yang disebut lemma dan palea yang saling
bertautan. Pada proses penggilingan gabah, sekam akan terpisah dari butir beras dan
menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan (16-28%). Sekam dikategorikan
sebagai biomassa yang mengandung komponen-komponen kimia seperti selulosa,
hemiselulosa dan lignin yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti
bahan baku industri pakan ternak, energi atau bahan bakar (BPPP 2001). Komposisi
kimia Komposisi kimia sekam padi dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Komposisi kimia sekam padi
Penyimpanan dendeng pada suhu ruang berpengaruh terhadap kualitas produk.
Susilawati (2008) menyatakan bahwa pH dendeng batokok yang disimpan pada suhu
ruang mengalami kenaikan disebabkan perubahan kimia yang diakibatkan oleh
proses proteolisis pada produk sehingga membuat mutu simpan produk yang
dihasilkan semakin berkurang. Soeparno (2005) menyatakan bahwa sistem metabolik
mikroorganisme yang menyerang protein, pada prinsipnya terdiri dari proteolisis,
deaminasi asam-asam amino, dekarboksilasi asam-asam amino dan metabolisme
asam-asam amino spesifik. Sejumlah bakteri seperti Clostridium dan Bacillus dapat mensekresikan enzim proteolitik ekstraseluler yang dapat menghidrolisis
molekul-molekul protein menjadi peptida dan asam-asam amino. Bakteri proteolitik secara
enzimatik dapat menghidrolisis asam-asam amino bebas tersebut yang menyebabkan
Nilai kekerasan merupakan indikator yang menunjukkan besarnya gaya tekan
yang dibutuhkan untuk pemecahan suatu bahan. Gaya tekan ini akan memecah bahan
padat dan pecahnya langsung dari bentuk aslinya tanpa mengalami perubahan.
Tingkat kekerasan merupakan faktor yang mempengaruhi mutu produk terutama
hubungannya dengan selera konsumen, sehingga akan mempengaruhi penerimaan
secara umum. Keempukan daging dapat diketahui dengan pengukuran daya
putusnya, semakin rendah nilai daya putusnya maka semakin empuk daging tersebut.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keempukan daging postmortem adalah
dengan penerapan metode pengasapan (Maruddin 2004).
Kualitas Kimia
Perubahan flavor dari produk daging dapat terjadi selama penyimpanan karena
kerusakan secara kimiawi, hilangnya bahan-bahan yang bersifat volatil dan
terjadinya oksidasi oleh sejumlah komponen tertentu (Aberle et al. 2001). Kebanyakan bahan pangan setengah lembab yang berasal dari daging mempunyai
nilai aktivitas air (aw) 0.60–0.90 dengan kadar air 20–40%, pada aktivitas air (aw)
yang tinggi (0.91) bakteri umumnya tumbuh dan berkembang biak dengan baik.
Khamir (ragi) dapat tumbuh dan berkembang biak pada aw 0.87–0.91, sedangkan
jamur (kapang) lebih rendah lagi yaitu pada nilai aw
Kualitas Mikrobiologi
0.80-0.87 (Buckle et al. 2009). Produk hasil pengolahan lidah sapi asap dengan menggunakan asap cair dan asap
dari kayu alam dan selanjutnya disimpan selama 0 hari, 5 hari, 15 hari dan 30 hari
pada suhu rendah, kualitasnya masih dapat diterima baik secara fisik, kimia dan
mikrobiologi (Gonulalan 2003).
Sunen et al. (2003) menyatakan, bahwa pengasapan merupakan metode tradisional untuk melakukan pengawetan. Umumnya metode pengawetan bahan
pangan yang menggunakan pengasapan dingin dengan kisaran suhu 25-30o
Holley et al. (2005) menyatakan, bahwa produk bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan karena pengaruh dari lingkungan membutuhkan upaya untuk
melindunginya dari pembusukan pada saat pengolahan, penyimpanan dan distribusi. C
dikhawatirkan tidak cukup untuk membunuh mikroorganisme berbahaya pada
Metode pemanasan merupakan salah satu cara yang dapat secara efektif mencegah
pertumbuhan mikroorganisme patogen.
Soeparno (2005) menyatakan, bahwa cara-cara pengolahan pangan yang
digunakan sering kali mengubah daya simpannya. Penurunan atau penyimpangan
produk pangan ditandai dengan penurunan nilai gizi dan kerusakan oleh
mikroorganisme. Penyebab kerusakan bahan pangan biasanya disebabkan oleh
kontaminasi oleh mikroba. Mikroba perusak bahan pangan dapat digolongkan
menjadi tiga kelompok, yaitu bakteri, kapang dan khamir. Jenis kerusakan
mikrobiologi pada makanan ditandai dengan timbulnya kapang, bau busuk, berlendir
serta terjadinya perubahan warna.
Kualitas Organoleptik
Penilaian organoleptik adalah penilaian mutu suatu produk dengan
menggunakan indra manusia melalui syaraf sensori. Penilaian dengan indra banyak
dilakukan untuk menilai hasil pertanian dan makanan. Penilaian dengan cara ini lebih
disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung (Rahayu 2001).
Perbedaan aroma produk pengasapan menurut Moeljanto (1992) dipengaruhi
kepekatan asap yang dihasilkan selama proses pengasapan. Semakin tebal komponen
asap yang dihasilkan, maka akan mempengaruhi tingkat kesukaan konsumen
terhadap produk. Aroma asap yang kuat akan menyebabkan timbulnya bau asam, hal
ini karena banyaknya asam-asam organik yang terbawa oleh asap dan menempel
pada produk. Badewi (2003) menambahkan, bahwa bahan bakar menggunakan
tempurung kelapa menghasilkan produk berwarna coklat kehitaman karena
tempurung kelapa mengandung lignin paling tinggi. Menurut Setyaningsih et al.(2010), penilaian tekstur produk dapat dilakukan dengan perabaan menggunakan ujung jari tangan. Tekstur bersifat kompleks dan terkait struktur bahan yang terdiri
dari tiga elemen, yaitu mekanik (kekerasan, kekenyalan), geometrik (berpasir,
beremah) dan mouthfeel (berminyak, berair).
Waysima dan Adawiyah (2009) menjelaskan bahwa banyaknya skala hedonik
tergantung pada tingkat perbedaan yang ada dan juga tingkat kelas yang dikehendaki.
Pada pemberian skor, besarnya skor tergantung pada kepraktisan dan kemudahan
pengolahan atau interpretasi data. Banyaknya skala hedonik biasanya dibuat dalam
ganjil misalnya sangat tidak suka (1), tidak suka (2), agak suka (3), suka (4) dan
sangat suka (5).
Flavor
Flavor didefinisikan sebagai sensasi yang disebabkan oleh sifat bahan di dalam
mulut yang merangsang indra perasa, indra pembau atau keduanya, reseptor taktil
dan reseptor suhu didalam mulut (Health 1978). Senyawa kimia yang berkontribusi
pada flavor secara garis besar dipengaruhi oleh dua senyawa yaitu komponen volatil
dan komponen non volatil. Komponen volatil adalah komponen yang memberikan
sensasi bau melalui reseptor pada hidung serta menguap dengan cepat. Komponen
non volatil memberikan sensasi pada rasa yaitu asam, asin, manis dan pahit.
Komponen ini tidak memberikan sensasi bau tetapi menjadi media untuk komponen
volatil dan membantu menahan penguapan volatil (Winarno 2002).
Daging mentah memiliki flavor yang kurang disukai karena beraroma sangat
lemah dan seperti darah. Pemasakan atau pemanasan sangat diperlukan untuk
meningkatkan flavor sehingga diperoleh flavor khas daging (Suryaningsih 2006).
Flavor daging akan dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama berupa spesies hewan
dan jenis organ atau jaringan tubuh (Health 1978).
Pengasapan merupakan salah satu cara pengawetan pangan. Proses pengasapan
saat ini lebih ditujukan untuk memberikan kualitas sensori pada makanan
dibandingkan sebagai pengawet (Sunen 2002). Sifat organoleptik dari bahan
makanan yang diasap akan sangat dipengaruhi oleh komposisi dari asap yang
dihasilkan selama proses pengasapan. Rasa asap dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain adalah sifat dan jenis kayu yang digunakan (Guillen 2002).
Asap berguna sebagai pengawet apabila komponen-komponen asap
mengendap atau meresap ke dalam bahan pangan. Semua senyawa yang terkandung
di dalam asap ikut menentukan karakteristik flavor daging yang diasapkan. Aldehid,
keton, fenol dan asam-asam organik dari asap memiliki daya bakteriostatik dan
bakterisidal pada daging yang diasapkan. Senyawa-senyawa utama yang terdapat
dalam asap antara lain adalah formaldehid sebagai preservatif, fenol dan asam
organik sebagai antioksidan yang menghambat ransiditas oksidatik dan
Pengaruh pengasapan terhadap sifat organoleptik adalah senyawa organik
dari asap akan memberikan warna pada makanan yang diasap. Warna pada makanan
yang diasap terbentuk oleh interaksi antara senyawa karbonil dan grup amino pada
permukaan bahan (Wibowo 2002). Senyawa yang paling menentukan aroma asap
adalah fenol seperti siringol, isoguenol dan metil guenol. Guakol memberikan rasa
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Oktober 2011 di
Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi,
Laboratorium Balai Kesehatan Daerah Provinsi Jambi, Laboratorium Terpadu
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Analisis Flavor Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) Sukamandi Kabupaten Subang.
Materi Penelitian
Bahan baku yang digunakan adalah daging sapi dan daging kerbau segar yang
diperoleh dari Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Jambi. Daging diambil pada
bagian paha belakang sebanyak 15 kg. Bahan pengasap yang digunakan adalah
tempurung kelapa, serbuk gergaji kayu medang dan sekam padi. Bumbu yang
digunakan untuk 1 kg daging adalah bawang putih 25 gram, garam dapur (NaCl) 15
gram, ketumbar 12 gram, jahe 15 gram dan asam jawa 1 gram.
Alat yang digunakan untuk pembuatan dendeng batokok antara lain adalah
tong pengasap, pisau, timbangan, wadah dan termometer. Alat-alat yang digunakan
untuk analisis di laboratorium antara lain adalah pH meter, aw
Metode Penelitian
meter, timbangan
analitik, texture analyzer, Gas Chromatography Mass Spectrophotometry(GC-MS), cawan, gelas piala, botol timbang, labu erlenmeyer dan gelas ukur.
Tahap 1: Penentuan Lama Pengasapan
Penelitian pengasapan ini bertujuan untuk menentukan lama pengasapan
terpilih dari dendeng batokok yang diolah dari daging sapi dan kerbau dengan
menggunakan tiga tipe bahan pengasap yaitu tempurung kelapa, serbuk gergaji
medang dan sekam padi dan pengasapan dilakukan selama masing-masing 30 menit,
60 menit dan 90 menit. Lama pengasapan terpilih ditentukan berdasarkan pada
peubah organoleptik yaitu warna, aroma, tekstur dan rasa yang dilakukan oleh 73
orang panelis tidak terlatih. Setelah diperoleh lama pengasapan yang terpilih pada
tahap ini, kemudian akan dilanjutkan ke tahap kedua penelitian yaitu penentuan
Tahap 2: Penentuan Bahan Pengasap
Pada tahap ini dibuat kembali dendeng batokok berdasarkan lama pengasapan
terpilih yang diperoleh dari penelitian tahap pertama dan bertujuan untuk
menentukan bahan pengasap terpilih yang selanjutnya akan dianalisa komponen
volatil flavornya. Produk yang telah telah diasap kemudian dikemas dan disimpan
pada suhu kamar (28-30o
Tahap 3: Analisis Komponen Flavor
C). Pada waktu penyimpanan (hari ke-0 dan hari ke-7)
dilakukan pengamatan perubahan kualitas dendeng batokok dengan peubah kualitas
fisik, kimia dan mikrobiologi (nilai pH, aktivitas air, kekerasan, kadar air, kadar
protein, kadar lemak, total koloni mikroba, bakteri Staphylococcus aureus dan kapang).
Setelah diperoleh bahan pengasap terpilih pada tahap kedua, selanjutnya
dilakukan analisis komponen volatil flavor pada produk. Analisis ini bertujuan untuk
mengetahui komponen-komponen volatil yang berpengaruh terhadap flavor dendeng
batokok baik yang diolah dari daging sapi maupun daging kerbau. Tahapan
Gambar 1 Bagan alir tahapan penelitian Daging Sapi/Kerbau
Pembersihan dan pengirisan
Perendaman dalam air kelapa
Daging dipukul-pukul Pencampuran bumbu-bumbu
Lama pengasapan terpilih dari tiap bahan pengasap pada daging sapi dan kerbau
Uji organoleptik Pengasapan temp.
kelapa: 30,60,90 menit
Pengasapan SG. medang: 30,60,90 menit
Pengasapan sekam padi: 30,60,90 menit
Pengamatan peubah fisik, kimia dan mikrobiologi hari ke-0 dan hari ke-7
Dendeng batokok
Perlakuan terpilih pada tahap I
Analisis komponen flavor bahan pengasap terpilih
Tahap 1
Rancangan Penelitian
Penelitian ini dirancang dengan menggunakan desain rancangan acak lengkap
(RAL) dengan 3 (tiga) ulangan. Data nonparametrik pada pengujian organoleptik
diolah statistik dengan metode Kruskal-Wallis, sedangkan data parametrik peubah
fisik, kimia dan mikrobiologi dianalisis dengan uji t (Steel dan Torrie 1993).
Pengolahan data menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1 dan Minitab versi 15.
Prosedur Analisa
a. Uji Organoleptik (Rahayu 2001)
Uji organoleptik menggunakan uji hedonik. Uji hedonik (kesukaan) bertujuan
memberikan penilaian suatu sifat organoleptik yang spesifik berdasarkankan
kesukaan panelis. Uji hedonik dilakukanoleh 73 orang panelis tidak terlatih
dengan menggunakan skala 1 sampai 5 dengan karakteristik penentu meliputi
warna, tekstur, aroma dan rasa. Deskripsi skala tersebut untuk uji hedonik adalah
sangat tidak suka (1), tidak suka (2), agak suka (3), suka (4), sangat suka (5).
b. Kadar Protein (Apriyantono 1989)
Analisa kadar protein dilakukan dengan metode kjedahl yang merupakan analisis kadar total N. Sampel seberat 0.2 g sebanyak 5 ml kemudian diekstraksi
selama 30 menit sampai diperoleh cairan yang berwarna hijau jernih. Cairan ini
kemudian didinginkan dengan air mengalir secara perlahan-lahan dan
ditambahkan aquades sebanyak 10 ml dan 30 ml NaOH kemudian didestilasi.
Hasil destilasi ditampung ke dalam labu erlenmeyer 125 ml yang berisi 10 ml larutan H3BO3
(ml HCl – ml blanko) x N HCl x 14.007
dan 2-3 tetes indikator campuran metilen merah dan metilen biru
yang kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N sampai menjadi warna merah
muda. Blanko dilakukan analisis dengan prosedur yang sama. Kadar protein dapat
dihitung dengan rumus :
N (%) = x 100% (mg) sampel
Kadar protein (%) = N (%) x 6.25
c. Kadar Lemak (Apriyantono 1989)
Penetapan kadar lemak ditentukan dengan metode ekstraksi Sokhlet yang
diawali dengan proses hidrolisis. Sebanyak 0.2 g sampel dimasukkan ke dalam
labu berukuran 600 ml dan kemudian ditambahkan 20 ml H2O dan 30 ml HCl
25%. Larutan dipanaskan hingga mendidih selama 15 menit, kemudian
diencerkan dengan air panas sampai bebas asam. Selanjutnya disaring dengan
kertas saring yang diketahui beratnya dan hasil saringannya dikeringkan dalam
oven suhu 50oC hingga kering atau sekitar 12 jam. Setelah kering, dimasukkan
kedalam selongsong pengekstrak (Soxhlet) yang dipasang alat kondensor
diatasnya dan labu lemak di bawahnya. Reflux dilakukan selama 5 jam sampai
pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada di
dalam labu lemak didestilasi dan pelarutnya ditampung. Labu yang berisi lemak
hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105o
Berat lemak
C sampai berat tetap dan
didinginkan dalam desikator. Labu dan berat lemaknya ditimbang, kemudian
kadar lemaknya dihitung dengan rumus :
Kadar lemak (%) = x 100% Berat sampel (g)
d. Kadar Air (Apriyantono 1989)
Sampel dendeng batokok sebanyak 5 g ditimbang dalam wadah yang berat kering
totalnya sudah diketahui sebelumnya. Wadah beserta isinya dipanaskan dalam oven
dengan suhu 105o
Berat awal sampel (g) – Berat akhir sampel (g)
C selama 16 jam sampai diperoleh berat konstan (selama
pemanasan ditimbang setiap jam hingga beratnya tetap). Setelah dicapai berat
konstan, cawan yang berisi sampel dipindahkan ke dalam desikator, didinginkan serta
ditimbang berat akhirnya. Kadar air dihitung dengan rumus :
Kadar air (%) = x 100% Berat sampel (g)
e. Aktivitas Air (AOAC 1995)
Pengukuran aktivitas air (aw) menggunakan alat aw meter yang terlebih dahulu
dikalibrasikan dengan larutan garam NaCl jenuh (suhu 30oC dan nilai aw 0.75).
Sampel kemudian dipotong tipis dengan ketebalan 0.2 cm dan diletakkan dalam
f. pH (AOAC 1995)
Sebanyak 5 gram sampel digerus halus kemudian dimasukkan ke dalam beker
glass, lalu ditambahkan air dan dihomogenkan dengan mixer selama 1 menit.
Nilai pH diukur dengan pH meter, pH meter yang digunakan terlebih distabilkan
selama 15 - 30 menit kemudian dikalibrasi dengan larutan buffer pada pH 4 dan 7. Elektroda dibilas dengan aquades, dan dikeringkan dengan kertas pengering,
kemudian dicelupkan ke dalam sampel dan dibiarkan hingga menunjukkan suatu
angka (stabil).
g. Kekerasan (Ranganna 1986)
Pengukuran terhadap tingkat keempukan dilakukan dengan menggunakan alat
texture analyzerRheoner RE-3305. Kira-kira 5 – 10 cm sampel yang akan diukur
diletakkan di atas meja penahan dan ditekan dengan alat pemotong sampai
terpotong menjadi dua bagian dengan chart speed 250 mm/menit. Dalam proses pemotongan akan terlihat grafik yang secara otomatis terhubung dengan
komputer. Nilai tertinggi grafik merupakan nilai kekerasan (kg/cm2
h. Jumlah Total Mikroba (AOAC 1995)
).
Prosedur pengujian untuk uji total koloni mikroba menggunakan metode
pemupukan tuang meliputi: sampel dendeng batokok yang telah disiapkan,
diencerkan secara desimal untuk masing-masing sampel dendeng yaitu 10-1 dan
10-2 menggunakan Buffer Pepton Water (0.1%). Labu erlenmeyer diletakkan secara berderet dan masing-masing diberi tanda 10-1 dan 10-2 dan satu labu
erlenmeyer lainnya dengan tanda K (kontrol). Cawan Petri steril disiapkan di
depan labu erlenmeyer disesuaikan dengan pengencerannya. Kemudian 1 ml sampel dipindahkan dengan menggunakan pipet steril ke dalam cawan petri,
dimulai dari pengenceran 10-2 ke pengenceran 10-1. Sebanyak ± 15 ml agar Plate
Count Agar (PCA) cair dituang ke dalam cawan, digerakkan di atas meja secara
mendatar (membentuk angka 8), lalu dibiarkan memadat. Inkubasi dilakukan pada
suhu 30-32oC selama 1-2 hari. Jumlah koloni per gram dendeng dihitung dengan
mengalikan jumlah rata-rata koloni dari pengenceran yang dipilih dengan
kebalikan faktor pengenceran. Jumlah koloni yang diperoleh dinyatakan dengan
i. Kapang (BPOM 2006)
Analisa kapang dilakukan dengan metode pour plate. Sebanyak 25 g sampel ditimbang secara aseptik ke dalam kantong plastik steril. Ditambahkan 225 ml
Pepton Dilution Fluid (PDF), dihomogenkan dengan stomacher selama 30 detik
sehingga diperoleh suspensi dengan pengenceran 10-1, kemudian disiapkan 3 buah
tabung yang masing-masing telah diisi 9 ml Air Suling Agar (ASA) 0.05%. Dari
hasil homogenisasi penyiapan sampel yang merupakan pengenceran 10-1, dipipet
1 ml ke dalam tabung ASA pertama, dikocok homogen hingga diperoleh
pengenceran 10-2. Dibuat pengenceran selanjutnya hingga 10-4
j. Analisis Komponen Volatil Flavor
. Dari
masing-masing pengenceran dipipet 0.5 ml, dituangkan pada permukaan Plate Dextrose Agar (PDA) yang sudah ditambahkan kloramfenikol dan digoyang berlahan sambil diputar hingga suspensi tersebar merata dan dibuat duplo. Untuk
mengetahui sterilitas media dan pengencer, dilakukan uji blangko. Pada satu
lempeng PDA yang sudah ditambahkan kloramfenikol diteteskan 0.5 ml
pengencer dan disebar merata dan untuk uji media digunakan satu lempeng PDA
ditambah kloramfenikol. Seluruh cawan petri diinkubasi pada suhu 20 - 25°C dan
diamati pada hari ke-3 dan ke-5, selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap
pertumbuhan kapang.
Analisis komponen flavor dilakukan pada pada produk dari daging sapi dan
kerbau dengan bahan pengasap terbaik. Metode ekstraksi komponen volatil flavor
yang dilakukan adalah Likens-Nicerson yang merupakan gabungan destilasi dan ekstraksi dengan pelarut secara simultan. Sampel sebanyak 300 gram
dihancurkan, ditambahkan air 700 ml dan standar internal 1.4 diklorobenzena
sebanyak 0.13 ml dengan konsentrasi 1 g dalam 100 ml dietil eter dan
ditempatkan pada labu sampel, lalu dipanaskan pada suhu 100oC dan diekstraksi
dengan pelarut dietil eter sebanyak 50 ml yang dipanaskan dalam penangas air
pada 45oC selama 2 jam terhitung setelah air mendidih. Sampel diekstraksi pada
saat yang bersamaan pada alat ekstraksi likens-Nicerson. Hasil ekstraksi ditambahkan Na2SO4 anhidrat sebanyak 1-2 sendok makan untuk mengikat air
dan disaring. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan kembali dengan gas N2 dan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Organoleptik Dendeng Batokok
Uji organoleptik dendeng batokok yang dilakukan bertujuan untuk
menentukan lama pengasapan terpilih berdasarkan pada penerimaan panelis terhadap
karakteristik sensori produk tersebut yang meliputi warna, tekstur, aroma dan rasa.
Hasil uji karakteristik organoleptik dapat dilihat pada Tabel 7, 8 dan 9.
Tabel 7 Hasil uji organoleptik dendeng batokok pada pengasapan tempurung kelapa.
Atribut DDS DDK DDS DDK DDS DDK
30 mnt 30 mnt 60 mnt 60 mnt 90 mnt 90 mnt
Tabel 8 Hasil uji organoleptik dendeng batokok pengasapan serbuk gergaji medang.
Atribut DDS DDK DDS DDK DDS DDK
30 mnt 30 mnt 60 mnt 60 mnt 90 mnt 90 mnt
Tabel 9 Hasil uji organoleptik dendeng batokok pada pengasapan sekam padi.
Atribut DDS DDK DDS DDK DDS DDK
30 mnt 30 mnt 60 mnt 60 mnt 90 mnt 90 mnt
Keterangan: 1. Superskrip yang sama dalam baris yang sama pada setiap lama pengasapan menunjuk kan tidak berbeda nyata (P>0.05).
2. DDS: dendeng daging sapi, DDK: dendeng daging kerbau.
Warna
Berdasarkan data pada Tabel 7, 8 dan 9 secara umum terlihat bahwa hasil uji
organoleptik warna dendeng batokok yang diolah dari daging sapi dan kerbau dengan
menggunakan bahan pengasap tempurung kelapa, serbuk gergaji medang dan sekam
antara agak suka (3.5) sampai suka (3.9). Hal ini menunjukkan bahwa atribut warna
dari dendeng batokok yang diuji berada pada taraf yang dapat diterima oleh panelis.
Hasil uji Kruskal Wallis dendeng batokok menunjukkan bahwa dendeng
batokok dari jenis daging, bahan pengasap dan lama pengasapan yang berbeda pada
penelitian ini tidak memberikan perbedaan terhadap penilaian warna. Hal ini
berkaitan dengan lama pengasapan selama 30-90 menit yang dilakukan tidak
memberikan warna berlebihan terhadap warna produk sehingga tingkat penilaian
panelis terhadap warna dendeng batokok tidak jauh berbeda.
Susilawati (2007) menyatakan, bahwa pengasapan dengan menggunakan
tempurung kelapa berpengaruh terhadap warna dendeng batokok. Perbedaan hasil ini
karena metode yang digunakan berbeda dan waktu pengasapan yang lebih lama
yaitu antara 3-9 jam sehingga jumlah asap yang melekat pada produk lebih banyak
sehingga memberikan pengaruh terhadap penilaian warna yang diberikan oleh
panelis.
Tekstur
Pada Tabel 7, 8 dan 9 terlihat bahwa hasil uji organoleptik tekstur dendeng
batokok dari daging sapi dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa, serbuk
gergaji medang dan sekam padi serta lama pengasapan 30, 60 dan 90 menit berkisar
antara agak suka (3.4) sampai suka (3.8). Hasil ini memperlihatkan bahwa atribut
tekstur dari dendeng batokok yang diuji juga secara umum dapat diterima oleh
panelis.
Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis pada dendeng batokok menunjukkan,
bahwa faktor jenis daging, tipe bahan pengasap dan lama pengasapan yang dilakukan
tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penilaian organoleptik tekstur. Hal ini
karena pada proses pengasapan tempurung kelapa, meskipun asap yang dihasilkan
lebih banyak namun dengan lama pengasapan yang lebih singkat sehingga
menghasilkan tekstur yang tidak jauh berbeda dengan asap dari bahan pengasap
serbuk gergaji medang dan sekam padi yang menghasilkan asap lebih sedikit namun
dengan waktu pengasapan lebih lama sehingga pelunakan protein jaringan ikat
menjadi tidak banyak berbeda. Selain itu, adanya pengaruh dari pemukulan yang
daging kerbau memiliki tekstur yang tidak jauh berbeda sehingga tidak
mempengaruhi penilaian panelis terhadap tekstur produk.
Menurut Lawrie (2003) menyatakan bahwa penilaian tekstur daging sangat
terkait dengan keempukan daging. Soeparno (2005) menyatakan, bahwa keempukan
daging ditentukan oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status
kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silang dan daya ikat air oleh
protein daging.
Aroma
Pada Tabel 7, 8 dan 9 dapat dilihat bahwa hasil uji organoleptik aroma dendeng
batokok berdasarkan jenis daging, tipe bahan pengasap dan lama pengasapan
berkisar antara agak suka (3.4) sampai suka (4.1). Hal ini memperlihatkan bahwa
atribut dari dendeng batokok yang diuji secara umum dapat diterima oleh panelis.
Hal ini karena dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau pada pengasapan
tempurung kelapa, serbuk gergaji medang dan sekam padi dengan lama pengasapan
30, 60 dan 90 menit, asap yang dihasilkan cukup merata melekat pada dendeng
batokok sehingga aroma direspon panelis tidak jauh berbeda.
Hasil uji Kruskal Wallis pada dendeng batokok menunjukkan bahwa produk
dari jenis daging, tipe bahan pengasap dan lama pengasapan berbeda tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap penilaian organoleptik aroma. Selain itu,
panelis kemungkinan sudah pernah atau sering menkonsumsi dendeng batokok
sehingga menyebabkannya tidak segera dapat membedakan perbedaan aroma asap
dari bahan yang berbeda. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Badewi
(2002) yang memperlihatkan tidak terdapat perbedaan aroma pada pengasapan
daging sei dengan lama pengasapan 1–2 jam dengan menggunakan tempurung
kelapa dan kayu kusambi sebagai bahan pengasap. Suryaningsih (2010) bahwa
senyawa yang paling menentukan aroma asap adalah fenol seperti siringol, isoguenol
dan metil guenol. Guakol memberikan rasa asap, sementara siringol memberikan
aroma asap. Guillen (2002) menyatakan, bahwa penerimaan masyarakat terhadap
sifat-sifat sensori daging asap turut dipengaruhi oleh kebiasaan kuliner dan adat
Rasa
Pada Tabel 7, 8 dan 9 menunjukkan bahwa hasil uji organoleptik rasa dendeng
batokok dari daging sapi dan kerbau dengan menggunakan bahan pengasap
tempurung kelapa, serbuk gergaji medang dan sekam padi serta lama pengasapan
selama masing-masing 30, 60 dan 90 menit berkisar antara agak suka (3.5) dan suka
(4.0). Hal ini memperlihatkan bahwa atribut rasa dari dendeng batokok yang diuji
secara umum dapat diterima oleh panelis.
Hasil uji Kruskal Wallis pada dendeng batokok, menunjukkan bahwa dendeng
batokok dari jenis daging, tipe bahan pengasap dan lama pengasapan yang dilakukan
tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penilaian warna produk. Hal ini bahwa
asap dari bahan tempurung kelapa, serbuk gergaji medang dan sekam padi tersebar
cukup merata pada daging sehingga respon panelis terhadap rasa relatif sama. Selain
itu, bumbu juga memberikan pengaruh terhadap respon panelis terhadap rasa produk
pada penelitian dendeng batokok ini karena menggunakan bumbu-bumbu dengan
jumlah yang sama, sehingga respon panelis tidak jauh berbeda terhadap rasa produk.
Hasil ini sejalan dengan penelitian Badewi (2002) yang menyatakan bahwa lama
pengasapan 1-2 jam dengan menggunakan bahan pengasap yang berbeda tidak
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap rasa daging asap pada penyimpanan 0
minggu.
Penilaian Hasil Uji Organoleptik Dendeng Batokok
Berdasarkan hasil uji hedonik yang dilakukan oleh 73 orang panelis tidak
terlatih yang meliputi warna, aroma, tekstur dan rasa, maka diperoleh lama
pengasapan terpilih dendeng batokok dengan nilai rataan tertinggi pada
masing-masing bahan pengasap dan jenis daging yaitu: pada pengasapan tempurung kelapa,
produk dari daging sapi (3.8) dan daging kerbau (3.7) dengan lama pengasapan
masing-masing selama 60 menit. Pada pengasapan serbuk gergaji medang, produk
dari daging sapi (4.0) dan daging kerbau (3.8) dengan lama pengasapan
masing-masing selama 90 menit. Pada pengasapan sekam padi, produk dari daging sapi (3.8)
Karakteristik Kimia, Fisik dan Mikrobiologi Dendeng Batokok
Pengasapan Tempurung Kelapa
Data hasil pengamatan karakteristik kimia, fisika dan mikrobiologi dendeng
batokok dari daging sapi dan kerbau dengan pengasapan tempurung kelapa disajikan
pada Tabel 10.
Tabel 10 Hasil pengamatan peubah dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau pada pengasapan tempurung kelapa.
Peubah Hari ke-0 Hari ke-7
DDS DDK DDS DDK
Protein (%bk) 65.29±4.16a 58.15±4.0a - -
Lemak (%bk) 7.44±2.54a 8.99±1.59a - -
Kadar Air (%) 28.78±5.53a 31.18±3.27a 25.37±5.13p 28.96±2.60
pH
p
5.50±0.22a 5.64±0.07a 5.66±0.19p 5.74±0.07
A
) a 22.63±8.19a 22.43±1.02p 19.74±8.11
ALT (log
p
10cfu/g) 1.43±0.37a 0.53±0.92a 2.48±0.12p 1.16±1.00
S.aureus (log
q
10cfu/g) 0.33±0.58a 0.00a 0.57±0.98p 0.49±0.85
Kapang
p
negatif negatif negatif negatif
Keterangan: 1. Superskrip yang berbeda dalam baris yang sama pada setiap lama (hari) penyimpanan menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).
2. DDS: dendeng daging sapi, DDK: dendeng daging kerbau.
Kadar protein dendeng batokok (Tabel 10) memperlihatkan bahwa produk
yang diolah dari daging sapi cenderung lebih tinggi daripada produk dari daging
kerbau yang dapat diakibatkan oleh nilai pH daging kerbau (5.43) sebelum
pengolahan yang lebih rendah daripada pH daging sapi (5.66) menyebabkan daya
ikat airnya juga menjadi rendah dan berakibat terhadap penurunan kadar air produk
yang lebih cepat, akibatnya terjadi penurunan protein daging yang keluar bersama air
pada saat dilakukan pemukulan dan pengasapan juga menjadi lebih besar. Namun
berdasarkan hasil analisis uji t menunjukkan bahwa kadar protein dendeng batokok
yang diolah dari daging sapi dan kerbau tidak berbeda nyata. Hal ini karena proses
pengasapan pada dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau berlangsung secara
merata dan panas yang dihasilkan secara umum tidak menyebabkan terjadinya
perbedaan kandungan protein pada produk dari kedua jenis daging. Kadar protein
yang diperoleh pada pengasapan tempurung kelapa ini cukup baik, kondisi ini dapat
dilakukan proses pengolahan dan pengasapan masih cukup tinggi (diatas 30%) yang
menunjukkan bahwa nilai gizi dari dendeng batokok pengasapan tempurung kelapa
masih dapat dipertahankan. Kadar protein pada penelitian ini mengacu pada Standar
Nasional Indonesia (SNI) tentang persyaratan mutu dendeng daging sapi karena
standar dendeng dari daging kerbau belum ada. BSN (1992) menetapkan, bahwa
kadar minimal protein untuk dendeng sapi minimal adalah 30%.
Kadar lemak dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau pada pengasapan
tempurung kelapa ini memperlihatkan tidak ada perbedaan antara kedua jenis daging.
Hal ini karena adanya pengaruh pengeringan dari asap dan panas yang relatif stabil,
selain itu asap yang dihasilkan cukup banyak menyebabkan lemak yang terdapat
pada daging terbakar serta terurai dengan lebih banyak. Kadar lemak produk pada
pengasapan tempurung kelapa ini (7.44% dan 8.99%) jauh lebih rendah
dibandingkan dengan dendeng batokok yang diolah dari daging sapi dan kerbau
dengan pengasapan serbuk gergaji medang yaitu masing-masing 20.22% dan
23.32%, sedangkan pada pengasapan sekam padi, masing-masing 26.31% dan
22.86%. Kondisi ini disebabkan suhu pengasapan dengan menggunakan tempurung
kelapa (60-75oC) lebih tinggi daripada suhu pengasapan serbuk gergaji medang
(50-65 oC) dan pengasapan sekam padi (40-50o
Rataan persentase kadar air dendeng batokok selama penyimpanan pada daging
sapi dan daging kerbau masing-masing adalah 27.07% dan 30.07%. Hasil ini
menunjukkan bahwa kadar air daging sapi dan kerbau tidak berbeda. Hal ini karena
kedua jenis daging mempunyai kadar air awal yang tidak jauh berbeda yaitu pada
daging sapi (75.71%) dan daging kerbau (77.80%) sehingga dengan proses
pengolahan dan pengasapan yang sama menyebabkan kadar air produk yang
diperoleh juga tidak jauh berbeda. Nilai kadar air ini berpengaruh terhadap nilai dari
aktivitas air yang juga tidak berbeda pada pengamatan hari ke-0 maupun hari ke-7.
Selama penyimpanan terjadi penurunan kadar air pada kedua produk yang terjadi
melalui proses penguapan yang berlangsung secara alami dari permukaan produk. C) sehingga menyebabkan penurunan
kadar lemak dendeng batokok pada pengasapan tempurung kelapa menjadi lebih
tinggi. Suharyanto (2007) menyatakan bahwa pada saat terjadi pemanasan, lemak
meleleh dan mengalir dari permukaan bahan, hilangnya lemak ini proporsional
Kadar air ini cukup tinggi bila merujuk pada Standar Nasional Indonesia tentang
kualitas dendeng daging sapi yang menetapkan kadar air maksimal sebesar 12%
(BSN 1992). Menurut Buckle et al. (2009) bahwa kebanyakan bahan pangan setengah lembab yang berasal dari daging mempunyai kadar air berkisar 20-40%.
Nilai pH secara umum pada daging sapi dan kerbau masing-masing adalah
5.58% dan 5.69%. Hasil ini memperlihatkan nilai pH dendeng batokok daging
kerbau cenderung lebih tinggi daripada produk yang diolah dari daging sapi. Hal ini
dapat diakibatkan oleh komponen-komponen asap yang melekat pada produk dari
daging kerbau lebih banyak sehingga meningkatkan nilai pH setelah pengasapan.
Namun demikian berdasarkan hasil uji t yang dilakukan, nilai pH produk dari kedua
jenis daging tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Pada pengamatan pada hari
ke-0 dan hari ke-7 menunjukkan terjadinya peningkatan pH dendeng batokok daging
sapi dari 5.50 menjadi 5.66 dan nilai pH pada produk dari daging kerbau dari 5.64
menjadi menjadi 5.74. Kenaikan pH ini erat hubungannya dengan terjadinya
peningkatan kerusakan produk oleh adanya aktivitas mikroorganisme selama
penyimpanan. Badewi (2002) menyatakan, bahwa nilai pH yang tinggi merupakan
salah satu penyebab pertumbuhan mikroorganisme yang lebih baik daripada produk
dengan nilai pH yang lebih rendah.
Nilai aktivitas air (aw) yang diperoleh memperlihatkan bahwa daging sapi dan
kerbau memiliki rataan nilai aw yang tidak berbeda. baik pada pengamatan hari ke-0
maupun hari ke-7. Kondisi ini berkaitan dengan kadar air daging segar kedua jenis
daging yang tidak jauh berbeda yaitu pada daging sapi 75.81% dan daging kerbau
77.80% sehingga dengan pengasapan dan perlakuan yang sama mengakibatkan nilai
aw yang diperoleh juga menjadi tidak jauh berbeda. Selama penyimpanan nilai aw
Tingkat kekerasan dendeng batokok dari daging sapi dan kerbau yang
diperoleh juga tidak menunjukkan perbedaan antara kedua jenis daging. Hasil ini
disebabkan adanya pengaruh dari proses pengasapan dan pemukulan yang dilakukan
secara merata sehingga tingkat kekerasannya tidak banyak berbeda. Tingkat mengalami penurunan yang dapat dipengaruhi oleh adanya penurunan kadar air
produk dari dendeng batokok kedua jenis daging melalui penguapan. Maltini et al. (2003) menyatakan bahwa nilai aktivitas air berkaitan dengan kadar air dan berperan