• Tidak ada hasil yang ditemukan

Color Characteristics and Microbiological also Palatabilities of Beef Dendeng Treated with Different Curing Methods

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Color Characteristics and Microbiological also Palatabilities of Beef Dendeng Treated with Different Curing Methods"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK WARNA DAN MIKROBIOLOGIS SERTA

PALATABILITAS DENDENG SAPI YANG DIBERI

PERLAKUAN METODE

CURING

BERBEDA

SKRIPSI YENI RAHMAWATI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

YENI RAHMAWATI. D14080108. 2012. Karakteristik Warna dan Mikrobiologis serta Palatabilitas Dendeng Sapi yang Diberi Metode Perlakuan

Curing Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. Pemibmbing Anggota : Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si.

Dendeng merupakan salah satu produk olahan daging yang cukup digemari oleh banyak masyarakat. Dendeng merupakan salah satu makanan tradisional Indonesia dengan menggunakan rempah-rempah sebagai bumbu. Dendeng pada umumnya berwarna kecoklatan karena adanya penambahan gula merah dalam proses pembuatannya. Penambahan gula membuat dendeng memiliki warna yang lebih gelap, sedangkan konsumen menyukai dendeng yang memiliki warna coklat kemerahan. Curing merupakan salah satu proses yang dilakukan dalam pembuatan dendeng. Curing dengan penambahan natrium nitrit bertujuan untuk memfiksasi warna daging sehingga akan menimbulkan warna dendeng yang coklat kemerahan. Ada dua macam proses curing yang dapat dilakukan yaitu curing basah dan curing

kering. Kedua proses curing yang berbeda tersebut kemungkinan menimbulkan beberapa pengaruh yang berbeda pada dendeng yang dihasilkan.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh perlakuan curing yang berbeda terhadap karakteristik warna, mutu mikrobiologis dan palatabilitas dendeng sapi. Penelitian dilakukan selama 8 bulan di Laboratorium Terpadu, Laboratorium Teknologi Hasil Ternak dan Laboratorium Organoleptik, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian menggunakan daging sapi bagian knuckle. Parameter warna yang diuji meliputi nilai kecerahan (L), kromatik warna merah-hijau (a), kromatik warna biru-kuning (b), dan °HUE. Parameter kimia yang diuji meliputi kadar air, aktivitas air (aw), dan nilai pH. Pengujian karakteristik mikrobiologis dilakukan secara kuantitatif dengan menghitung banyaknya cemaran mikroba pada dendeng. Hasil dibandingkan dengan standar kualitas dendeng menurut SNI. Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik yang bertujuan untuk penentuan tingkat kesukaan terhadap produk. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan dan tiga kali ulangan. Perlakuan yang digunakan yaitu dendeng dengan perlakuan non-curing, dendeng dengan perlakuan curing basah dan dendeng dengan perlakuan curing kering.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan curing yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai L, a, b, dan °HUE pada dendeng. Tingkat kecerahan paling tinggi terdapat pada dendeng non-curing, walaupun secara umum, dendeng yang dihasilkan berwarna coklat gelap. Nilai °HUE yang diperoleh menunjukkan bahwa warna dendeng yang diperoleh berada pada kisaran warna merah. Dendeng curing basah memiliki intensitas warna merah yang paling tinggi dibandingkan dendeng non-curing dan dendeng curing basah. Dendeng non-curing

berada pada kisaran warna kuning merah.

(3)

analisis mikrobiologis menunjukkan bahwa curing cukup efektif menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan Salmonella spp. Penggunaan bumbu selain menambah citarasa dendeng juga mampu bersifat bakteriostatik terhadap pertumbuhan bakteri patogen E.coli dan Salmonella pada dendeng. Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa dendeng curing basah lebih disukai dibandingkan dendeng non

curing dan dendeng curing kering.

Kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah dendeng yang dibuat melalui proses curing memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dendeng

non-curing. Berdasarkan kualitas mikrobiologis dendeng curing kering memiliki hasil yang lebih bagus. Namun, hal tersebut tidak didukung oleh uji hedonik dan kualitas warna yang menunjukkan bahwa dendeng curing basah memiliki tingkat kesukaan yang lebih tinggi dan memiliki tingkat kemerahan warna yang lebih merah dibandingkan dendeng curing kering dan dendeng non-curing.

(4)

ABSTRACT

Color Characteristics and Microbiological also Palatabilities of Beef Dendeng Treated with Different Curing Methods

Rahmawati, Y., T. Suryati and Z. Wulandari

Curing was done in meat process to fixed the color of meat, therefore meat products have bright red color. The compound that used in the curing process was salt of nitrate or nitrite. There were several ways of curing process that can be done such as dry cured and wet cured. The difference method in the curing process could resulted different characteristic on the final product. The aim of this study was to determine the difference effect of curing method on the color, microbial and palatabilities characteristics of dendeng. The results of this study showed that the different curing

method influenced color of dendeng (P<0,05) and did not influence water activity, moisture and pH. The color of dendeng with wet curing was redder (P<0,05) than dendeng without curing and dry curing dendeng. Microbial analytical showed that

curing can prevented the growth of Escherichia coli and Salmonella sp bacteria. Organoleptic test showed that wet curing dendeng has better acceptability than dendeng without curing and dry curing dendeng.

(5)

KARAKTERISTIK WARNA DAN MIKROBIOLOGIS SERTA

PALATABILITAS DENDENG SAPI YANG DIBERI

PERLAKUAN METODE

CURING

BERBEDA

YENI RAHMAWATI D14080108

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(6)

Judul : Karakteristik Warna dan Mikrobiologis serta Palatabilitas Dendeng Sapi yang Diberi Perlakuan Metode Curing Berbeda

Nama : Yeni Rahmawati NIM : D14080108

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

Tuti Suryati S.Pt., M.Si. NIP: 197205161997022001

Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si. NIP: 197502071998022001

Mengetahui : Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc. NIP. 19591212 198603 1 004

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Maret 1990 di Banyuwangi, Jawa Timur. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Yunus Huda dan Sriningsih.

Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1996 di Sekolah Dasar Negeri III Benculuk dan diselesaikan pada tahun 2002. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai tahun 2002 dan diselesaikan pada tahun 2005 di Sekolah Menengah Pertama Negeri I Cluring. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri I Genteng pada tahun 2005 dan diselesaikan pada tahun 2008.

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah mencurahkan karunia dan hidayatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat kelulusan dari Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul “Karakteristik Warna dan Mikrobiologis serta Palatabilitas Dendeng Sapi yang Diberi Perlakuan Metode Curing Berbeda”.

Skripsi ini disusun untuk dapat memberikan informasi mengenai pengaruh perlakuan curing yang berbeda terhadap karakteristik warna, mikrobiologis dan palatabilitas pada dendeng sapi mentah. Penelitian ini dilakukan selama 8 bulan. Informasi yang diperoleh melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya dan juga memberikan informasi kepada masyarakat tentang dendeng dan keamanan pangan ditinjau dari segi mikrobiologis pada produk dendeng.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak terdapat kekurangan yang perlu dibenahi. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan sumber informasi kepada pembaca.

Bogor, Desember 2012

(9)
(10)

Lokasi dan Waktu ... 15

Karakteristik Warna Dendeng Sapi ... 23

Nilai L ... 23

Pengaruh Kadar Air dan Aktivitas Air Terhadap Karakteristik Mikrobiologis ... 30

Pengaruh Nilai pH terhadap Karakteristik Mikrobiologis ... 32

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dendeng ... 4

2. Batas Cemaran Mikroba pada Produk Dendeng ... 4

3. Komposisi Bahan yang Digunakan pada Pembuatan Dendeng ... 16

4. Pembagian Warna °HUE ... 18

5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan °HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ... 23

6. Karakteristik Mikrobiologis Dendeng Sapi dengan Metode Metode Curing yang Berbeda ... 27

7. Kadar Air dan Aktivitas Air Dendeng Sapi dengan Metode Metode Curing yang Berbeda ... 30

8. Nilai pH Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ... 32

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Formulir Uji Hedonik ... 44 2. Analisis Ragam Tingkat Kecerahan L Dendeng Sapi

dengan Metode Perlakuan Curing yangBerbeda ... 45 3. Uji Banding LSD Tingkat Kecerahan L Dendeng Sapi dengan

Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ... 45 4. Analisis Ragam Tingkat Warna a Dendeng Sapi dengan

Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ... 45 5. Uji Banding LSD Tingkat Warna a Dendeng Sapi dengan

Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ... 45 6. Analisis Ragam Tingkat Warna b Dendeng Sapi dengan

Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ... 46 7. Uji Banding LSD Tingkat Warna b Dendeng Sapi dengan

Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ... 46 8. Analisis Ragam °HUE Dendeng Sapi dengan Metode

Perlakuan Curing yang Berbeda ... 46 9. Uji Banding LSD °HUE Dendeng Sapi dengan Metode

Perlakuan Curing yang Berbeda ... 46 10. Analisis Ragam Kadar Air Dendeng Sapi dengan Metode

Perlakuan Curing yang Berbeda ... 47 11. Analisis Ragam Aktivitas Air (aw) Dendeng Sapi dengan

Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ... 47 12. Analisis Ragam Nilai pH Dendeng Sapi dengan Metode

Perlakuan Curing yang Berbeda ... 47 13. Analisis Ragam Data Hasil Uji Hedonik Warna Dendeng Sapi

dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ... 47 14. Uji Banding Data Hasil Uji Hedonik Warna Dendeng Sapi

dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ... 48 15. Analisis Ragam Data Hasil Uji Hedonik Aroma Dendeng Sapi

dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ... 48 16. Uji Banding Data Hasil Uji Hedonik Aroma Dendeng Sapi

Dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ... 48 17. Analisis Ragam Data Hasil Uji Hedonik Tekstur Dendeng Sapi

dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ... 48 18. Uji Banding Data Hasil Uji Hedonik Tekstur Dendeng Sapi

(13)

19. Analisis Ragam Data Hasil Uji Hedonik Penampilan Umum

Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ... 49 20. Uji Banding Data Hasil Uji Hedonik Penampilan Umum

Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ... 49 21. Analisis Mikrobiologis Total Plate Count (TPC) Dendeng

Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ... 50 22. Analisis Mikrobiologis Staphylococcus aures Dendeng Sapi

dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ... 51 23. Analisis Mikrobiologis Escherichia coli Dendeng Sapi

dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ... 52 24. Analisis Mikrobiologis Salmonella Dendeng Sapi dengan

Metode Perlakuan Curing yang Berbeda ... 53 25. Produk Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dendeng merupakan salah satu produk olahan daging yang cukup digemari oleh banyak masyarakat. Dendeng merupakan salah satu makanan tradisional Indonesia dengan menggunakan rempah-rempah sebagai bumbu. Dendeng dengan variasi tambahan berbagai jenis bumbu memberikan aroma dan rasa yang berbeda. Konsumsi dendeng di kalangan masyarakat semakin meningkat tiap tahunnya. Hal ini dapat terjadi karena makin populernya dendeng sebagai makanan khas. Masyarakat menyukai produk yang memiliki rasa yang cukup enak dan tampilan produk dengan warna yang cukup menarik. Penambahan bumbu pada pembuatan dendeng meningkatkan cita rasa dan aroma dari produk dendeng yang dibentuk. Tampilan fisik produk dendeng yang baik dapat diperoleh dari tahapan pengolahannya sebelum pemasakan, saat pemasakan, dan setelah pemasakan.

Salah satu proses atau tahapan yang dilalui dalam pembuatan dendeng adalah tahapan curing pada daging sebelum daging diolah menjadi dendeng. Bahan-bahan yang digunakan pada saat curing adalah garam nitrit atau nitrat, garam, gula dan bumbu-bumbu. Penambahan garam nitrit atau nitrat memberikan efek yang menguntungkan bagi daging yaitu sebagai bahan pengawet dan pemfiksasi warna daging. Fiksasi daging berarti mempertahankan warna merah pada daging. Dendeng yang telah melalui proses curing akan memiliki warna merah yang cerah. Garam nitrit atau nitrat merupakan senyawa kimia yang dapat bersifat bakteriostatik terhadap pertumbuhan bakteri. Oleh karena itu, garam nitrit atau nitrat memiliki fungsi sebagai bahan pengawet terhadap produk dendeng.

Beberapa teknik curing yang berbeda pada saat prapengolahan daging yang telah dikenal seperti curing yang dilakukan dengan pelarutan garam nitrit atau nitrat dalam air kemudian daging direndam dalam larutan curing tersebut, teknik ini disebut dengan curing basah. Teknik curing lainnya adalah curing kering. Teknik ini dilakukan dengan langsung mencampurkan garam nitrit atau nitrat dengan daging. Kadar garam nitrit atau nitrat yang terserap daging pada kedua teknik curing tersebut kemungkinan berbeda. Hal ini dapat memberikan pengaruh pada produk akhir dendeng yang dihasilkan.

(15)

Tujuan

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Daging Sapi

Daging sapi adalah urat daging yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari sapi yang sehat sewaktu dipotong (Standar Nasional Indonesia, 1995). Demikian halnya dengan Soeparno (2005) yang mendefinisikan daging sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsi atau memakannya. Organ-organ seperti hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limpa, pankreas, dan jaringan otot lainnya termasuk dalam definisi daging. Lawrie (2003) menyatakan bahwa komposisi daging terdiri atas 75% air, 19% protein, 3,5% substansi nonprotein yang larut, dan 2,5% lemak. Substansi nonprotein yang larut terdiri dari karbohidrat, vitamin dan mineral dalam daging. Protein memiliki fungsi untuk memperbaiki dan membantu pertumbuhan struktur jaringan dan jaringan aktif yang ada didalam tubuh.

Dendeng

(17)

Tabel 1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dendeng

No. Jenis Uji Persyaratan

Mutu I Mutu II

1 Warna dan bau Khas dendeng sapi Khas dendeng sapi 2 Kadar air (bobot-/bobot) Maks 12 % Maks 12 % 3 Kadar protein (bobot/bobot kering) Min 30 % Min 25 %

4 Abu tak larut dalam asam (bobot/bobot kering) Maks 1 % Maks 1 %

5 Benda asing (bobot-bobot kering) Maks 1 % Maks 1 % 6 Kapang dan serangga Tidak nampak Tidak Nampak Sumber : Dewan Standardisasi Nasional (1992)

Batas cemaran mikroba pada produk dendeng disebutkan dalam Standar Nasional Indonesia (2009). Tabel dibawah ini (Tabel 2) menunjukkan beberapa jenis cemaran mikroba pada produk dendeng, serta batas maksimum dari batas cemaran mikroba tersebut.

Tabel 2. Batas Cemaran Mikroba pada Produk Dendeng

Nama Produk Jenis Cemaran Mikroba Batas Maksimum Dendeng sapi ALT (30oC, 72 jam) 1x105 koloni/g

APM Escherichia coli < 3/g

Salmonella sp. Negatif/25 g

Staphylococcus aureus 1x102 koloni/g

Bacillus cereus 1x103 koloni/g

Sumber : Dewan Standardisasi Nasional (2009)

(18)

dengan produk lainnya. Komposisi nutrisi dalam dendeng, kadar air 26%; protein 35%; lemak 10%; garam 8% dan gula 35% (Huang dan Nip, 2001).

Produk daging semi basah memiliki kandungan kadar air sebesar 15% sampai 50%, dan daging yang dikeringkan mengandung kadar air yang lebih rendah. Nilai aktivitas air (aw) berkisar 0,60-0,92. Produk dendeng lebih tahan lama tanpa pendinginan atau dengan proses pemanasan, dan beberapa dapat langsung dikonsumsi tanpa harus dimasak terlebih dahulu. Produk daging kering ini biasanya lebih resisten terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh bakteri karena rendahnya aktivitas air (aw) dan kandungan garam yang cukup tinggi (Huang dan Nip, 2001).

Curing Daging

Secara umum curing didefinisikan sebagai penambahan garam pada pengolahan daging dengan tujuan untuk pengawetan (Bard dan Townsend, 1971; Mike Martin, 2001). Soeparno (2005) menyatakan bahwa curing adalah suatu proses pengolahan daging dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam NaCl, Na-nitrit atau Na-nitrat dan gula (dekstrosa atau sukrosa atau pati hodrolisis), serta dengan penambahan bumbu-bumbu. Tujuan dilakukan curing adalah untuk mendapatkan warna yang stabil, aroma, tekstur, dan kelezatan yang baik dan juga mengurangi pengerutan daging selama pengolahan serta memperpanjang masa simpan produk (Soeparno, 2005). Curing pada masa dahulu dilakukan untuk mengawetkan daging dan ikan dari jamur dan mikroba (Honikel, 2008). Harris dan Karmas (1989) menyatakan bahwa curing yang dilakukan dengan berbagai metode bergantung pada jenis bahan baku, perlengkapan yang ada dan adat istiadat. Cara pemasukan bahan curing ke dalam daging terdiri atas 5 metode yang berbeda : (1)

curing kering atau penggosokan kering, (2) perendaman atau curing basah atau

curing larutan garam, (3) pemompaan arteri, (4) penyuntikan jarum atau pemompaan jahit, (5) modifikasi dan gabungan dari keempat metode di atas.

Curing kering dilakukan dengan cara mencampurkan garam, gula, bumbu-bumbu dan natrium nitrit pada daging. Pencampuran dilakukan dengan cara meratakan agen curing ke seluruh permukaan daging (Pegg dan Sahidi, 2006). Proses

(19)

bagian daging, (3) tahap pengeringan terjadi kehilangan air dan pembentukan berbagai macam reaksi biokimia yang mempengaruhi perkembangan warna, tekstur dan flavor daging (Toldra, 2004). Kerugian dari curing kering adalah penetrasi garam yang lambat ke dalam jaringan otot dan pada potongan daging yang tipis akan mengakibatkan pertumbuhan jamur pada permukaan daging sebelum proses preservasi pada seluruh daging selesai (Pegg dan Sahidi, 2006).

Curing basah dilakukan dengan cara merendam daging ke dalam larutan

curing (Martin, 2001). Larutan curing terdiri atas garam, agen curing dan bumbu-bumbu yang dilarutkan dalam air (Pegg, 2004). Penetrasi garam ke dalam jaringan otot pada curing basah lebih cepat dibandingan dengan curing kering. Pertumbuhan mikroba dan jamur dapat terjadi selama perendaman pada curing basah meskipun daging disimpan dalam suhu dingin dan terdapat kandungan garam dalam larutan

curing. Hal ini terjadi karena adanya kandungan air yang tinggi selama perendaman daging dalam larutan curing (Pegg dan Sahidi, 2006).

Bahan Curing

Proses curing memerlukan beberapa bahan-bahan yang harus dicampurkan untuk meng-curing daging. Bahan-bahan dasar yang umumnya digunakan dalam proses curing adalah garam, gula, dan garam nitrat atau nitrit.

Garam

(20)

Kandungan metal dalam garam seperti tembaga (copper), besi (iron), dan krom mempercepat oksidasi lemak dan menimbulkan bau tengik (rancidity) pada daging

curing (Martin, 2001). Nitrit dan Nitrat

Natrium nitrat umum ditambahkan dalam formula curing. Karakteristik dari natrium nitrat adalah kristal berwarna kuning pucat dan sangat mudah larut di dalam air. Ion nitrit merupakan ion yang sangat reaktif dan dapat memiliki peran sebagai agen pereduksi dan agen pengoksidasi (Martin, 2001). Penambahan nitrit dan nitrat atau yang sering disebut dengan sendawa pada daging curing memiliki tujuan sebagai berikut (1) untuk mengembangkan warna daging menjadi merah muda terang (2) mempercepat proses curing (3) preservatif mikrobial yang mempunyai pengaruh bakteriostatik (4) sebagai agensia yang mampu mempengaruhi memperbaiki flavor dan antioksidan (Soeparno, 2005). Menurut Martin (2001), fungsi utama penambahan nitrit adalah untuk menstabilkan warna daging curing, selain itu juga berfungsi sebagai bahan antibakterial, dan dapat memperlambat ketengikan oksidatif.

Reaksi yang terjadi selama proses curing adalah interaksi antara senyawa nitrit dengan mioglobin yang membentuk nitrosomioglobin (NOMb) dan metmioglobin (MetMb) (Chasco et al., 1996). Metmioglobin adalah senyawa yang terbentuk karena adanya ikatan antara mioglobin dengan ion Fe3+. Metmioglobin yang terbentuk memiliki warna merah coklat (Honikel, 2008). Metmioglobin akan tereduksi membentuk senyawa nitrosomioglobin (NOMb) selama proses pemanasan (Chasco et al., 1996). Nitrosomioglobin (NOMb) atau NO-mioglobin merupakan senyawa yang berperan dalam pembentukan warna merah cerah pada daging curing

(Honikel, 2008).

Nitrit dapat bereaksi dengan amin-amin sekunder dan tersier yang terkandung dalam daging menghasilkan senyawa nitrosamin yang bersifat karsinogenik bagi tubuh (Lawrie, 2003). Kadar nitrit yang diizinkan pada produk akhir daging curing

(21)

Gula

Fungsi utama gula pada proses curing adalah untuk memodifikasi rasa dan menurunkan kadar air yang sangat diperlukan bagi mikroba untuk tumbuh dan berkembang. Konsentrasi gula yang tinggi pada saat curing berfungsi sebagai bahan pengawet (Soeparno, 2003; Martin, 2001). Pemanis yang sering digunakan adalah jenis sukrosa dan glukosa. Fungsi utamanya adalah untuk peningkat cita rasa dan menurunkan kekerasan garam (Bard dan Townsend, 1971). Martin (2001) juga menyebutkan bahwa fungsi gula adalah menetralkan kekerasan garam dan memberikan peningkatan flavor.

Penyedap dan Bumbu

Bahan penyedap dan bumbu memiliki pengaruh mengawetkan terhadap produk daging proses karena mengandung lemak (minyak esensial, substansi yang bersifat bakteriostatik). Beberapa bumbu juga memiliki sifat antioksidan, sehingga mampu menghambat ketengikan. Penambahan bahan penyedap dan bumbu terutama ditujukan untuk meningkatkan flavor. Karena bahan penyedap dapat meningkatkan dan memodifikasi flavor, maka formulasi bahan penyedap dan bumbu yang berbeda akan menghasilkan produk daging dengan flavor yang juga berbeda (Soeparno, 2005).

Bawang Putih

Bawang putih memiliki nama latin Allium sativum. Bawang putih banyak digunakan sebagai bumbu, pangan fungsional dan obat tradisional (Ichikawa et al., 2006). Bawang putih memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan mikroba. Senyawa allisin yang terkandung dalam bawang putih mampu menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif dan jamur patogen. Selain senyawa allisin, di dalam bawang putih juga terkandung senyawa fenol seperti eugenol, timol eugenol, dan timol karvakrol yang juga mampu menghambat pertumbuhan mikroba (Darmadji

(22)

Lengkuas

Lengkuas atau tanaman yang memiliki nama latin Alpinia galanga L. termasuk tanaman dengan familia Zingiberaceae (Handajani dan Purwoko, 2008). Minyak atsiri dan fraksi metanol yang terkandung dalam rimpang lengkuas diketahui mampu menghambat aktivitas pertumbuhan mikroba pada beberapa jenis bakteri dan jamur (Yuharmen et al., 2002). Minyak atsiri rimpang lengkuas mengandung beberapa turunan fenol dan terpen. Beberapa senyawa yang aktif sebagai antibakteri adalah D- limonen; eukaliptol; 3- sikloheksen-1-ol, metil-1- (1-metiletil); fenol, 4-(2-propenil) asetat; 2,6-oktadien-1-ol, 3,7-dimetil asetat; 1,6,10- dodekatrien, 7,11-dimetil-3-metilen; pentadesen; sikloheksen, 1-metil-4-(5-metil- 1-metilen-4-heksenil) (Parwata dan Dewi, 2008). Lengkuas selain mengandung minyak atsiri juga mengandung golongan senyawa flavonoid, fenol dan terpenoid. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan minyak atsiri pada rimpang lengkuas mengandung senyawa eugenol, sineol dan metil sinamat (Buchbaufr et al., 2003). Lengkuas memiliki nilai aktivitas antioksidan sebesar 98,61 ± 2,13 mg VCE/100 g dan nilai total fenol sebesar 216,63 ± 3,33 mg GAE/100 g (Tangkanakul et al., 2009). Lengkuas mengandung asetoksi kavikol asetat dan asetoksi eugenol asetat yang bersifat antiradang dan antitumor (Buchbaufr et al., 2003).

Ketumbar

Ketumbar merupakan sejenis tanaman yang memiliki fungsi sebagai rempah-rempah dan bumbu (Saeed dan Tariq, 2007). Ketumbar memiliki nama latin

(23)

Merica

Merica adalah sejenis tanaman yang termasuk golongan familia Piperacea. Merica memiliki nama latin Piper ningrum Linn. Kandungan minyak atsiri dalam merica diketahui memiliki aktivitas antimikroba (Karsha dan Lakshmi, 2009). Komponen alkaloid dalam merica seperti piperine dan piperidine memiliki fungsi sebagai zat antibakterial bagi bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif. Kadar 250 ppm piperine dalam merica mampu menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan gram negatif (Karsha dan Lakshmi, 2009). Merica memiliki nilai aktivitas antioksidan sebesar 108,47 ± 5,46 mg VCE/100 g dan nilai total fenol sebesar 447,23 ± 10,38 mg GAE/100 g (Tangkanakul et al., 2009).

Asam Jawa

Asam jawa memiliki komponen bioaktif yang berpotensi sebagai obat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen kimia yang terdapat di dalam asam jawa adalah gula, mineral, aktivitas antioksidan dan zat fenolik. Asam jawa memiliki kapasitas antioksidan dan level fenolik yang tinggi, hal ini dapat memberikan manfaat bagi kesehatan (Soemardji, 2007).

Pengeringan

Pengeringan pangan berarti pemindahan air dengan sengaja dari bahan pangan. Alasan utama dilakukannya pengeringan adalah untuk pengawetan (Earle, 1982). Pengeringan atau dehidrasi memiliki pengaruh pengawet karena mampu menurunkan aktivitas air sampai taraf yang rendah (Soeparno, 2005). Tujuan dilakukannya pengeringan adalah untuk mengurangi kadar air bahan sampai batas perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat atau bahkan terhenti sama sekali (Adawyah, 2008). Produk daging kering memiliki masa simpan yang cukup lama. Faktor yang mempengaruhi kualitas produk daging yang dikeringkan antara lain adalah suhu, ukuran partikel dan gerakan udara panas. Produk daging kering memiliki kandungan kadar air antara 5% sampai 6% (Soeparno, 2005). Penghilangan kandungan air melalui pengeringan dalam bentuk uap air (Harris dan Karmas, 1989). Selama proses pengeringan, daging mengalami perubahan fisik dan kimia (Xiong dan Mikel, 2001).

(24)

dan kelembaban udara, sedangkan faktor yang berhubungan dengan sifat bahan yang dikeringkan berupa ukuran bahan, kadar air awal dan tekanan parsial dalam bahan. Suhu yang semakin tinggi dan kecepatan udara pengering cepat mengakibatkan proses pengeringan berlangsung lebih cepat. Semakin tinggi suhu udara pengering semakin besar jumlah energi yang dibawa udara, sehingga semakin banyak jumlah masa cairan yang diuapkan dari permukaan bahan yang dikeringkan. Kecepatan aliran udara pengering semakin tinggi akan mengakibatkan semakin cepat pula masa uap air yang dipindahkan dari bahan ke atmosfer (Adawyah, 2008).

Buckle et al. (1985) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeringan antara lain :

a. Sifat fisik dan kimia dari produk (bentuk ukuran, komposisi, kadar air)

b. Pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat atau media perantara pemindah panas (seperti nampan untuk pengeringan).

c. Sifat-sifat fisik dari lingkungan alat pengering (suhu, kelembaban dan kecepatan udara).

d. Karakteristik alat pengering (efisiensi pemindahan panas). Karakteristik Dendeng

Nilai Aktivitas air

Aktivitas air (aw) adalah batas terendah jumlah air yang tersedia untuk pertumbuhan mikroba. Sebagian besar bakteri tidak dapat tumbuh pada nilai aktivitas air (aw) 0,91 dan sebagian besar jamur tidak tumbuh pada nilai aktivitas air (aw) di bawah 0,8. Beberapa jamur xerofilik mampu tumbuh pada nilai aktivitas air (aw) di bawah 0,7 tetapi kisaran nilai aktivitas air (aw) 0,7-0,75 umumnya dinyatakan sebagai batas terendah nilai aktivitas air (aw) untuk pertumbuhan jamur (Buckle et

al., 1985). Dendeng sayat memiliki nilai aktivitas air (aw) antara 0,52-0,67 sedangkan dendeng giling memiliki nilai aktivitas air (aw) sekitar 0,62-0,66 (Huang dan Nip, 2001).

Nilai pH

(25)

proses postrigor pada daging. Penurunan nilai pH dapat menghambat proses pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan selama proses pertama pengolahan (Bennani et al., 2000)

Warna

Bahan pangan yang dikeringkan dengan menggunakan oven akan memiliki penampakan yang lebih gelap, lebih rapuh dan aroma menjadi berkurang. Ketika bahan pangan dikeringkan, warna dan tekstur secara signifikan akan berbeda dari saat bahan masih mentah. Atribut warna pada dendeng dipengaruhi bumbu-bumbu seperti gula merah, asam jawa, ketumbar dan lengkuas yang digunakan dalam formulasi bumbu (Dewi et al., 2011). Secara umum, warna dendeng yang dihasilkan cenderung kecoklatan atau kehitaman. Hal ini dapat terjadi karena adanya reaksi pencoklatan Maillard selama pengeringan dan reaksi karamelisasi selama penggorengan dendeng (Legowo et al., 2002). Kusnandar (2010) menyatakan bahwa reaksi Maillard menghasilkan pigmen melanoidin yang bertanggung jawab pada pembentukan warna coklat dan reaksi karamelisasi menghasilkan warna coklat melalui reaksi kimia yang terjadi pada gula sederhana karena adanya proses pemanasan.

Tekstur

Tekstur merupakan faktor yang penting dalam proses seleksi dan konsumsi bahan pangan. Tekstur sebuah bahan pangan menentukan faktor yang mempengaruhi penerimaan bahan pangan tersebut (Guerrero et al., 1999). Permukaan daging yang dikeringkan akan mengeras karena daging kehilangan kandungan air selama pemanasan (Soeparno, 2005). Tekstur suatu produk yang dihasilkan tergantung pada banyaknya protein miofibrillar yang terdegradasi, tingkat pengeringan, tingkat degadrasi jaringan penghubung dalam daging dan kandungan lemak intramuskular dalam daging (Toldra, 2004)

Flavor dan Aroma

(26)

(Soeparno, 2005). Rasa dendeng dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain yaitu rasa daging, bumbu, perpaduan bumbu dan daging selama proses curing, pengaruh pengeringan dan penggorengan dendeng (Legowo et al., 2002).

Bakteri Patogen Pada Daging

Bahan pangan dapat berperan sebagai agen penularan penyakit dari mikroorganisme ke manusia. Bahan pangan tersebut bertindak sebagai vektor dari beberapa jenis mikroorganisme patogenik yang mencemari bahan pangan. Mikroorganisme patogenik dapat berasal dari jenis bakteri, kapang dan virus (Buckle

et al., 1985). Bakteri patogen yang berhubungan dengan bahan pangan tidak dapat tumbuh di luar kisaran suhu antara 4 ºC – 60 ºC, sehingga bahan pangan yang disimpan pada suhu dibawah 4 ºC atau diatas 60 ºC akan aman (Buckle et al., 1985). Bakteri patogen merupakan indikator keamanan pangan. Bakteri patogen dapat menyebabkan intoksikasi atau infeksi. Intoksikasi yaitu keracunan yang disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh bakteri patogen yang tumbuh dan berkembang dalam bahan pangan. Infeksi adalah bakteri yang menghasilkan racun setelah masuk ke dalam saluran pencernaan (Fardiaz, 1989). Beberapa bakteri patogen yang sering dijadikan sebagai standar mutu cemaran mikroba dalam bahan pangan asal ternak adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Salmonella sp, Bacillus cereus, dan

Coliform.

Staphylococcus aureus

Staphylococcus merupakan bakteri berbentuk bulat yang terdapat dalam bentuk tunggal, berpasangan, tetrad, atau berkelompok seperti buah anggur.

(27)

Escherichia coli

Escherichia coli adalah suatu bakteri gram negatif berbentuk batang, bersifat anaerobik fakultatif dan mempunyai flagella peritrikat (Fardiaz, 1989). Escherichia coli ditemukan di saluran usus hewan dan manusia, sehingga sering terdapat di dalam feses. Bakteri ini sering digunakan sebagai indikator kontaminasi kotoran (Fardiaz, 1989). Selama proses pengolahan daging, proses pemanasan didesain untuk menghilangkan bakteri ini. Karakteristik pertumbuhan dan kematian bakteri

Escherichia coli memiliki kemiripan dengan bakteri Salmonella sp (Thipparedi dan Sanchez, 2006). Organisme ini berada di dapur dan tempat-tempat persiapan bahan pangan melalui bahan baku dan selanjutnya masuk ke makanan yang telah dimasak melalui tangan, permukaan alat-alat, tempat-tempat masakan dan peralatan lainnya (Buckle et al., 1985)

Salmonella sp

Salmonella adalah jenis bakteri gram negatif yang tergolong kelompok bakteri Enterobacteriaceae, berbentuk batang bergerak (Buckle et al., 1985).

Salmonella merupakan bakteri patogen yang berbahaya. Selain menyebabkan gejala gastrointestinal (gangguan perut), juga dapat menyebabkan demam tifus (Salmonella typhi) dan paratifus (Salmonella paratyphi) (Fardiaz, 1989). Laju pertumbuhan

Salmonella umumnya akan menurun pada suhu dibawah 15 ºC. Pertumbuhan

Salmonella dapat dicegah pada suhu dibawah 7 ºC. Laju pertumbuhan optimum

(28)

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan selama 8 bulan yaitu dari bulan Oktober 2011 sampai Mei 2012. Lokasi penelitian di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Laboratorium Terpadu dan Laboratorium Uji Organoleptik, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi, natrium nitrit, bumbu-bumbu seperti garam, gula merah, gula putih, lengkuas, ketumbar, bawang merah, bawang putih, asam jawa dan merica. Larutan pengencer yang digunakan untuk uji mikrobiologi yaitu BPW (buffer pepton water). Media yang digunakan untuk pemupukan yaitu PCA (plate count agar), XLDA (xylose lysine deoxycholate agar), BPA (baird-parker agar) dan EMBA (eosin methylen blue agar). Bahan-bahan lain yang digunakan yaitu kuning telur bebek segar, tellurit,

akuades, serta alkohol.

Peralatan yang digunakan meliputi peralatan uji fisik seperti pH meter, aw meter dan kromameter. Peralatan pembuatan dendeng antara lain baskom, timbangan digital, gelas ukur, nampan, oven, dan lap kain. Peralatan untuk uji mikrobiologi seperti cawan petri, tabung reaksi, pipet mikro, labu erlenmeyer, botol schott, hockey stick, colony counter, pembakar bunsen, pengocok tabung (vortex), inkubator,

magnetic stirrer dan laminar air flow.

Prosedur

Perlakuan

(29)

Pembuatan Dendeng

Dendeng dibuat dengan komposisi bumbu yag terdiri atas garam, lengkuas, ketumbar, bawang putih, gula putih, gula merah, asam jawa dan merica. Tabel 3 menunjukkan persentase jumlah bumbu yang digunakan dalam pembuatan dendeng. Tabel 3. Komposisi Bahan yang Digunakan pada Pembuatan Dendeng

Jenis Bahan

Komposisi*

Non-Curing Curing Kering Curing Basah

Daging *dalam persentase dari jumlah daging yang digunakan

** Bumbu terdiri atas garam, lengkuas, ketumbar, bawang putih, asam jawa, merica

Daging yang digunakan adalah daging beku yang sudah disegarkan kembali. Daging yang digunakan berasal dari sapi dengan bangsa, umur dan bagian daging yang sama. Pembuatan diawali dengan penghilangan lemak ekstramuskuler dan jaringan ikat daging, kemudian diiris tipis (5 mm) menggunakan slicer daging. Daging yang digunakan untuk dendeng yang di-curing basah, setelah diiris tipis direndam dalam larutan nitrit selama 12 jam dalam suhu ruang, kemudian dicampur dengan bumbu yang sudah dihaluskan selama 12 jam. Daging kemudian dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 60 ºC selama 3 jam. Setelah itu daging dibalik dan selanjutnya suhu dinaikkan menjadi 70 ºC dan dipanaskan selama 5 jam. Selama 5 jam pemanasan dilakukan perputaran papan alas pengeringan setiap satu jam sekali.

Proses pembuatan dendeng yang tidak diberi nitrit sama dengan dendeng yang diberi nitrit dengan teknik curing kering. Irisan daging dicampur dengan bumbu. Setelah dicampur rata irisan daging disimpan dalam suhu ruang selama 12 jam untuk meresapkan bumbu pada daging. Pembuatan dendeng dengan curing

(30)

pemanasan dilakukan perputaran papan alas pengeringan. Selain dendeng yang berbumbu dibuat pula dendeng tanpa bumbu (daging kering sebagai kontrol), baik yang tanpa diberi nitrit, maupun yang diberi nitrit dengan teknik curing basah, maupun curing kering, sesuai dengan rancangan percobaan yang digunakan. Tahapan proses pembuatan dendeng dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tahapan Proses Pembuatan Dendeng Sapi Daging sapi diiris dengan ukuran 5 mm

Irisan daging dicampur dengan bumbu selama 12 jam

Irisan daging direndam ke dalam larutan curing

selama 12 jam

Tanpa Curing Curing Basah Curing Kering

Daging dikeringkan dengan oven pada suhu 60 ºC selama 3

Irisan daging dicampur dengan bumbu yang telah ditambahkan

nitrit selama 12 jam

Suhu dinaikkan menjadi 70 ºC. Daging dikeringkan selama 5 jam dengan pembalikan alas pengeringan tiap 1 jam

(31)

Prosedur Analisis

Analisis dilakukan terhadap beberapa peubah yang meliputi aktivitas air (aw), kadar air, nilai pH dan sensori. Selain itu dianalisis pula mutu mikrobiologis berupa cemaran mikroba pada dendeng mentah, yaitu TPC (total plate count),

Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Salmonella sp. Analisis Fisik Sampel

Analisis Warna (Hutching, 1999). Analisis warna menggunakan alat Chromameter minolta CR-310. Sebelum dilakukan pengukuran nilai L, a dan b perlu dilakukan kalibrasi terlebih dahulu terhadap alat dengan menggunakan pelat standar warna putih (L=97.51; a=5.35; b=-3.37). Proses pengukuran dilakukan dengan meletakkan sampel pada tempat yang tersedia, kemudian tombol “start” ditekan dan akan diperoleh nilai L, a, dan b dari sampel. Notasi L melambangkan kecerahan, notasi a melambangkan warna kromatik merah dan hijau, dan notasi b melambangkan kromatik warna biru dan kuning. Nilai a dan b digunakan untuk penentuan °HUE. °HUE berfungsi untuk menentukan warna produk. Rumus °HUE adalah :

°���= � �� ( )

Tabel 4. Pembagian Warna °HUE

(32)

Pengukuran Nilai Aktivitas Air (aw) (Syarief dan Halid, 1992). Aktivitas air (aw) diukur dengan menggunakan aw meter. Alat dikalibrasikan dengan larutan NaCl jenuh sebelum digunakan. Larutan NaCl jenuh dimasukkan ke dalam chamber

pengukuran, kemudian alat dinyalakan dengan menekan tombol start dan ditunggu sampai aktivitas air (aw)terbaca 0,750-0,752. Sebanyak 5 g sampel dendeng mentah yang dipotong kecil-kecil kemudian dimasukkan ke dalam chamber sampel, tombol

start ditekan dan sampel akan terukur dan terbaca oleh alat. Analisis Kimia Sampel

Pengukuran Nilai pH. Pengukuran menggunakan alat pH daging. Sampel dendeng dipotong-potong menjadi ukuran persegi dengan ukuran kurang lebih 2x2 cm2. Sampel dendeng ditumpuk menjadi satu sekitar 6 tumpukan potongan dendeng, kemudian pH daging ditusukkan pada tumpukan dendeng. Nilai pH dicatat setelah alat menunjukkan nilai yang stabil.

Kadar Air (AOAC, 1995). Sampel sebanyak 5 g dimasukkan dalam cawan aluminium berbobot tetap. Cawan beserta isinya dipanaskan dalam oven dengan suhu 105oC hingga diperoleh berat konstan. Setelah itu dimasukkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Kadar air dihitung dengan rumus :

� ����= � � (�� )− � � ℎ��(�� )

� � (�� ) 100%

Analisis Kuantitatif Mikrobiologi

(33)

angka delapan untuk menghomogenkan larutan suspensi dengan media PCA (plate count agar). Cawan didiamkan sampai agar menjadi padat dan kemudian diinkubasikan pada suhu 34 ºC sampai 36 ºC selama 24 jam sampai dengan 48 jam dengan meletakkan cawan pada posisi terbalik.

Staphylococcus aureus (Standar Nasional Indonesia 2897, 2008). Sampel ditimbang sebesar 25 g kemudian dimasukkan ke dalam 225 ml larutan BPW dan dihomogenkan selama 1 menit sampai 2 menit. Larutan yang dihasilkan merupakan pengenceran 100. 1 ml suspensi dipindahkan dengan menggunakan pipet steril ke dalam larutan 9 ml BPW untuk mendapatkan pengenceran 10-1. Pengenceran dilanjutkan sampai pada pengenceran 10-3 dengan cara yang sama. Sebanyak 15 ml sampai 20 ml media BPA (baird-parker agar) yang sudah ditambah dengan egg yolk tellurite emulsion (5 ml ke dalam 95 ml media BPA) dituangkan pada masing-masing cawan yang akan digunakan dan dibiarkan sampai memadat. 0,1 ml suspensi dari pengenceran 10-1 sampai 10-3 dipipet dan diinokulasikan pada cawan petri yang telah berisi media dan kemudian suspensi diratakan pada permukaan agar dengan menggunakan hockey stick. Cawan kemudian diinkubasikan pada suhu 35 ºC selama 45 jam sampai 48 jam pada posisi terbalik.

Escherichia coli. Sampel ditimbang sebesar 25 g kemudian dimasukkan ke dalam 225 ml larutan BPW dan dihomogenkan selama 1 menit sampai 2 menit. Larutan yang dihasilkan merupakan pengenceran 100. 1 ml larutan pengenceran 100 dipindahkan dengan menggunakan pipet steril ke dalam 9 ml larutan BPW untuk mendapatkan pengenceran 10-1. Pengenceran dilanjutkan sampai pada pengenceran 10-3. 1 ml suspensi dari pengenceran 10-1 sampai 10-3 dimasukkan ke dalam cawan petri secara duplo. Sebanyak 15 ml sampai 20 ml media EMBA (eosin methylen blue agar) yang sudah didinginkan dituangkan ke dalam cawan yang telah berisi suspensi

contoh. Suspensi larutan dan media dihomogenkan dengan cara cawan digerakkan ke depan dan ke belakang membentuk angka delapan. Cawan didiamkan hingga media menjadi padat kemudian diinkubasi dengan posisi terbalik pada temperatur 35 ºC selama 24 jam sampai 48 jam

(34)

dihasilkan merupakan pengenceran 100. 1 ml larutan pengenceran 100 dipindahkan dengan menggunakan pipet steril ke dalam 9 ml larutan BPW untuk mendapatkan pengenceran 10-1. Pengenceran dilanjutkan sampai pada pengenceran 10-3. 1 ml suspensi dari pengenceran 10-1 sampai 10-3 dimasukkan ke dalam cawan petri secara duplo. Sebanyak 15 ml sampai 20 ml media XLDA (xylose lysine deoxycholate agar) yang sudah didinginkan dituangkan ke dalam cawan yang telah berisi suspensi contoh. Suspensi larutan dan media dihomogenkan dengan cara cawan digerakkan ke depan dan ke belakang membentuk angka delapan. Cawan didiamkan hingga media menjadi padat kemudian diinkubasi dengan posisi terbalik pada temperatur 37 ºC selama 24 jam sampai 48 jam.

Analisis Sensori

Pengujian sifat sensori dilakukan secara hedonik menggunakan uji skoring, yang meliputi warna, aroma, tekstur (kelembutan), dan rasa yang melibatkan 25 orang panelis. Pengujian dilakukan pada dendeng mentah.

Rancangan dan Analisis Data Model

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 3 kali ulangan dan 3 perlakuan yang berbeda. Rancangan tersebut digunakan untuk semua jenis peubah, kecuali nilai pH dan analisis sensori. Analisis sensori terhadap 3 jenis dendeng yang dibuat dengan teknik curing yang berbeda menggunakan analisis acak lengkap pola searah dengan 25 orang panelis sebagai ulangan. Model analisis untuk rancangan acak lengkap yaitu (Steel dan Torrie, 1995)

� = �+ +�

Keterangan :

Y = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j, i=1,2,3 dan j=1,2,3 μ = nilai rataan umum

α = pengaruh perlakuan curing ke-i, i=1,2,3

(35)

Analisis Data

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Warna Dendeng Sapi

Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna suatu produk yang diukur dengan alat kromameter yang memiliki standar ukuran warna yang baku. Tabel 5 berikut menunjukkan rataan nilai warna (L, a, b, dan °HUE) pada dendeng sapi dengan perlakuan curing yang berbeda.

Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan °HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

Notasi Perlakuan

Non-Curing Curing Basah Curing Kering

L 27,10±0,63a 25,99±0,18b 27,17±0,58a

a+ 4,62±1,08a 8,50±0,39b 5,68±1,06a

b+ 6,24±0,06a 5,45±0,53b 5,68±0,29ab

°HUE 54,00±6,61a 32,62±3,73b 45,33±4,24a Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata

(P<0,05).

Nilai L

Nilai L melambangkan tingkat kecerahan dari produk. Nilai L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu dan hitam. Nilai L memiliki kisaran nilai dari 0 sampai 100. Semakin tinggi nilai L maka produk memiliki tingkat kecerahan yang semakin cerah (Setianingtias, 2005). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tingkat kecerahan dendeng non-curing tidak berbeda nyata dengan dendeng curing kering. Namun, keduanya menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan dendeng curing basah. Tingkat kecerahan kedua dendeng tersebut lebih tinggi daripada tingkat kecerahan dendeng curing basah.

(37)

oksimioglobin yang terbentuk terjadi karena mioglobin bereaksi dengan senyawa nitrit membentuk senyawa nitrosomioglobin. Nitrosomioglobin merupakan pigmen yang berperan dalam pembentukan warna merah cerah pada daging curing. Keberadaan oksimioglobin berpengaruh pada nilai b (Alvarez et al., 1999). Nilai b akan meningkat seiiring dengan peningkatan kandungan oksimioglobin dalam daging. Tingkat kecerahan dendeng non-curing lebih tinggi ditunjukkan oleh nilai b pada dendeng non-curing lebih tinggi dibandingkan dengan curing basah dan kandungan air dendeng non-curing yang lebih rendah (Tabel 8) dibandingkan dengan dendeng curing basah.

Nilai a

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat beda nyata nilai a pada dendeng non-curing dengan dendeng curing kering. Namun kedua nilai a tersebut berbeda nyata dengan dendeng curing basah. Nilai a dendeng curing basah menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan nilai lainnya. Hal ini membuktikan perlakuan curing basah mampu menghasilkan warna merah daging yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan curing kering dan non-curing.

Nilai a menunjukkan warna kromatik campuran merah sampai hijau. Nilai +a (positif) memiliki kisaran nilai 0 sampai 100 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) mempunyai kisaran nilai dari -80 sampai 0 untuk warna hijau (Setianingtias, 2005). Nilai a yang dihasilkan pada produk dendeng menunjukkan hasil yang positif, hal ini berarti produk dendeng tersebut berada pada kisaran warna akromatik merah. Semakin tinggi nilai a maka warna akromatik pada produk semakin meningkat. Berdasarkan skala kromatik warna merah (1 sampai 100) maka produk dendeng yang dihasilkan memiliki kromatik warna merah yang rendah.

(38)

berperan dalam pembentukan warna merah cerah pada daging curing (Honikel, 2008). Metmioglobin akan tereduksi membentuk senyawa nitrosomioglobin selama proses pemanasan (Chasco et al., 1996).

Perendaman daging dalam larutan curing membuat larutan nitrit dapat terserap sempurna kedalam setiap serabut otot daging, sehingga proses fiksasi warna berlangsung secara menyeluruh pada setiap permukaan daging. Hal inilah yang menyebabkan tingkat kemerahan warna akhir lebih tinggi pada dendeng yang diproses dengan curing basah. Dendeng yang diolah dengan curing kering dan

non-curing tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Penambahan nitrit pada curing

kering tidak dilarutkan terlebih dahulu dengan air, namun langsung ditambahkan dengan daging dan diaduk bersamaan dengan bumbu dan daging sebelum dikeringkan. Saat pengadukan dimungkinkan nitrit tidak tercampur secara merata pada setiap permukaan daging, sehingga ada bagian-bagian permukaan daging yang tidak terfikasasi oleh nitrit. Hal ini yang menyebabkan tingkat kemerahan warna akhir dendeng curing kering lebih rendah dibandingkan dengan dendeng curing

basah. Dendeng yang diolah tanpa proses curing memiliki warna merah yang rendah. Hal ini dapat terjadi karena tidak ada penambahan nitrit sehingga tidak ada agen pemfiksasi warna daging.

Nilai b

Hasil analisis ragam menunjukkan adanya beda nyata nilai b pada dendeng non-curing dengan dendeng curing basah. Namun kedua nilai b tersebut tidak menunjukkan beda nyata dengan nilai b pada dendeng curing kering. Nilai kekuningan lebih tinggi pada dendeng non-curing dibandingkan dengan dendeng

(39)

Oksimioglobin merupakan pigmen merah daging yang berperan dalam nilai b. Nitrit dapat bereaksi dengan mioglobin membentuk nitrosomioglobin. Reaksi tersebut dapat menurunkan konsentrasi mioglobin dan oksimioglobin (Alvarez et al., 1999). Oksimioglobin terbentuk karena adanya interaksi antara oksigen dengan mioglobin. Reaksi antara nitrit dengan mioglobin menyebabkan penurunan pembentukan pigmen oksimioglobin. Penurunan kandungan oksimioglobin dalam daging menyebabkan nilai b menurun. Hal inilah yang menyebabkan nilai b pada

curing basah lebih rendah dibandingkan dengan non-curing. Nilai b pada dendeng non-curing teridentifikasi lebih tinggi karena tidak terdapat nitrit yang bereaksi dengan mioglobin, sehingga mioglobin dapat bebas bereaksi dengan oksigen membentuk pigmen oksimioglobin.

Nilai °HUE

Derajat HUE menunjukkan warna dari produk. Nilai °HUE diperoleh melalui perhitungan yang melibatkan nilai a dan b. Berdasarkan Tabel 4 maka warna dendeng sapi yang dihasilkan adalah merah. Warna merah memiliki kisaran nilai °HUE 18 – 54. Nilai 54 pada dendeng non-curing juga berada pada kisaran warna kuning merah yang memiliki kisaran °HUE 54 – 90. Semakin tinggi nilai °HUE dendeng yang diperoleh, maka semakin mendekati warna kuning merah. Nilai °HUE dendeng curing basah lebih rendah dibandingkan nilai °HUE kedua dendeng lainnya. Hal ini berarti bahwa derajat warna kemerahan pada dendeng curing basah lebih tinggi dari kedua dendeng lainnya. Perlakuan curing basah terbukti mampu meningkatkan warna merah pada dendeng. Indikasi dendeng curing basah memiliki warna kemerahan yang lebih tinggi terlihat pada nilai a yang tinggi pada dendeng

curing basah. Pada dendeng non curing warna yang terbaca adalah kuning merah. Hal ini dapat terlihat pada nilai b dendeng non-curing yang tinggi dan nilai a yang rendah pada dendeng non-curing. Warna kuning merah menunjukkan adanya penggabungan warna kuning dan merah (Setianingtias, 2005).

Karakteristik Mikrobiologis

(40)

keawetan produk daging. Tabel 6 menunjukkan analisis deskriptif karakteristik mikrobiologis dendeng sapi dengan perlakuan curing yang berbeda.

Tabel 6. Karakteristik Mikrobiologis Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan

Curing yang Berbeda

Parameter Non Curing Curing Basah Curing Kering --- log10 CFU/g ---

Total Plate Count 2,93±1,64 6,31±2,84 2,03±0,32

Staphylococcus aureus 1,92±2,71 4,92±3,76 2,29±0,86

Escherichia coli 2,11±2,98 negatif negatif

Salmonella sp negatif negatif negatif

Total Plate Count (TPC)

Total plate count (TPC) menunjukkan jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada produk dendeng. Populasi total mikroba maksimal pada produk dendeng menurut standar nasional Indonesia (SNI) (2009) adalah 5 log10 CFU/g. Total mikroba pada dendeng non-curing dan dendeng curing kering memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan standar nasional Indonesia (SNI), sedangkan untuk dendeng curing basah memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan standar nasional Indonesia (SNI).

Proses curing pada dendeng curing kering mampu mereduksi pertumbuhan mikroba dalam pembuatan dendeng. Hal ini dapat terlihat pada rendahnya total mikroba yang terdapat pada dendeng. Nitrit yang ditambahkan dalam proses curing

memiliki fungsi preservatif mikrobial yang bersifat bakteriostatik pada bakteri (Martin, 2001). Penambahan bumbu pada pembuatan dendeng juga berpengaruh dalam proses preservasi. Garam memiliki fungsi sebagai pengawet dan penghambat pertumbuhan mikroba. Garam dapat meningkatkan tekanan osmotik pada daging sehingga akan menurunkan aktivitas air dalam daging (Soeparno, 2005).

Total mikroba dendeng curing basah yang diperoleh menunjukkan hasil yang lebih besar daripada standar nasional Indonesia (SNI). Hal ini dapat disebabkan karena terjadi pertumbuhan mikroba selama proses perendaman daging dalam larutan

(41)

perendaman kondisi kadar air pada daging yang tinggi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Pegg dan Sahidi (2006) yang menyatakan bahwa pertumbuhan mikroba dan jamur dapat terjadi selama perendaman pada curing basah meskipun daging disimpan dalam suhu dingin dan terdapat kandungan garam dalam larutan curing, hal tersebut terjadi karena adanya kandungan air yang tinggi selama perendaman daging dalam larutan curing.

Staphylococcus aureus

Hasil penelitian menunjukkan adanya Staphylococcus aureus yang cukup tinggi pada produk dendeng curing basah dan dendeng curing kering. Standar Nasional Indonesia menyatakan batas maksimum jumlah Staphylococcus aureus

pada produk dendeng adalah 2 log10 CFU/g. Dendeng non-curing memiliki jumlah total bakteri sebesar 1,92 log10 CFU/g. Nilai tersebut berada dibawah batas standar yang ditetapkan oleh standar nasional Indonesia (SNI). Penggunaan bumbu-bumbu, garam serta gula pada proses pembuatan dendeng non-curing terbukti mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Jumlah total mikroba pada dendeng curing basah dan dendeng curing kering adalah 4,92 log10 CFU/g dan 2,92 log10 CFU/g. Kedua nilai tersebut melebihi batas standar yang ditetapkan oleh standar nasional Indonesia (SNI).

Jumlah Staphylococcus aures paling tinggi terdapat pada dendeng curing

basah. Nilai tersebut berkaitan dengan nilai total plate count (TPC) yang menunjukkan curing basah memiliki jumlah mikroba paling tinggi. Nilai yang tinggi tersebut disebabkan oleh tingginya kadar air dalam daging selama proses curing

basah karena daging direndam dalam larutan curing sehingga memungkinkan mikroba dapat tumbuh dan berkembang. Jumlah Staphylococcus aures pada dendeng non-curing yang lebih rendah dari standar nasional Indonesia (SNI) membuktikan bahwa penambahan bumbu, gula dan garam dalam pembuatan dendeng mampu menurunkan pertumbuhan mikroba dalam selama proses pembuatan dendeng. Hal yang berlawanan terdapat pada dendeng curing kering. Jumlah Staphylococcus aures

(42)

dan higyene serta pengujian terhadap bahan-bahan baku sebelum proses pengolahan dilakukan.

Bakteri Staphylococcus aures mampu bertahan dengan baik pada kondisi beku (Thipparedi dan Sanchez, 2006), sehingga penyimpanan beku pada dendeng masih memungkinkan bakteri ini untuk bertahan. Staphylococcus aures mudah dihilangkan dengan menggunakan pemanasan dengan suhu yang umumnya digunakan untuk memproses produk daging dan ikan (Thipparedi dan Sanchez, 2006). Enterotoksin yang dihasilkan oleh bakteri ini masih dapat bertahan pada suhu 100 ºC meskipun bakteri ini mudah mati pada suhu 60 ºC (Gaman dan Sherrington, 1992). Meskipun bakteri Staphylococcus aures mudah mati pada pemanasan 60 ºC tidak berarti bahwa bakteri ini akan seluruhnya mati pada pemanasan tersebut. Pengolahan dendeng dengan penggorengan dimungkinkan dapat mematikan bakteri ini dan juga dapat menginaktifkan enterotoksin yang dihasilkan oleh bakteri ini. Metode penggorengan yang baik digunakan adalah metode deep frying, pada proses penggorengan dengan metode tersebut bahan pangan yang digoreng direndam dalam minyak dan suhu minyak dapat mencapai 200-205 ºC (Ketaren, 2005). Suhu penggorengan yang tinggi tersebut akan dapat menginkatifkan enterotoksin dan mematikan bakteri Staphylococcus aures.

Escherichia coli

Keberadaan Escherichia coli dijumpai pada dendeng non-curing dengan jumlah populasi bakteri sebesar 2,11 log10 CFU/g. Nilai tersebut melebihi SNI untuk batas maksimum cemaran Escherichia coli terhadap produk dendeng sebesar <3 CFU/g. Hal sebaliknya terjadi pada dua produk lainnya yaitu dendeng curing

basah dan dendeng curing kering yang menunjukkan hasil negatif terhadap keberadaan Escherichia coli. Proses curing efektif menghambat pertumbuhan bakteri

Escherichia coli pada produk dendeng. Penambahan natrium nitrit pada proses

curing memiliki fungsi sebagai agen antimikrobial terhadap mikroba (Martin, 2001). Selain natrium nitrit, bumbu-bumbu juga berperan aktif dalam penghambatan

(43)

Pengolahan lebih lanjut berupa penggorengan dapat membunuh bakteri

Escherichia coli. Metode penggorengan yang baik digunakan adalah metode deep frying. Suhu minyak pada penggorengan deep frying dapat mencapai 200-205 ºC (Ketaren, 2005). Karakteristik suhu pertumbuhan bakteri Escherichia coli yang merupakan kelompok bakteri gram negatif anaerobik fakultatif memiliki suhu optimum pertumbuhan 10-40 ºC (Fardiaz, 1992). Pertumbuhan bakteri tersebut akan menurun pada suhu di luar suhu optimum pertumbuhannnya. Penggorengan secara

deep frying dengan suhu yang tinggi akan mampu membunuh bakteri Escherichia coli.

Salmonella sp

Analisis Salmonella pada produk dendeng dihasilkan data yang negatif

Salmonella. Nilai tersebut sesuai dengan standar nasional indonesia (SNI) produk dendeng yang mengharuskan kandungan Salmonella yang harus negatif. Tingkat bahaya yang cukup tinggi pada Salmonella menjadikan standar nilai negatif untuk

Salmonella pada semua jenis produk pangan olahan hasil ternak. Penggunaan natrium nitrit serta bumbu-bumbu dalam pembuatan dendeng terbukti dapat mempertahankan kondisi produk tetap negatif terhadap pertumbuhan Salmonella. Pengaruh Kadar Air dan Aktivitas Air terhadap Karakteristik Mikrobiologis

Pengukuran kadar air dan aktivitas air yang dilakukan terhadap dendeng mentah bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan curing yang berbeda terhadap kadar air dan aktivitas air serta untuk mengetahui pengaruh kedua faktor tersebut terhadap karakteristik mikrobiologis dendeng. Tabel 7 menunjukkan nilai kadar air dan aktivitas air pada dendeng sapi dengan metode perlakuan curing

berbeda.

Tabel 7. Kadar Air dan Aktivitas Air Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan

Curing yang Berbeda

Peubah Perlakuan

Non Curing Curing Basah Curing Kering

Kadar air (%) 30,48±1,95 32,87±4,42 31,72±1,73

(44)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kadar air dan aktivitas air dendeng dengan tiga perlakuan curing yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini berarti bahwa perlakuan curing yang berbeda tidak berpengaruh terhadap kadar air produk dendeng, sehingga tidak mempengaruhi komposisi kandungan air dalam daging. Penggunaan nitrit pada proses curing secara langsung bereaksi secara kimia dengan pigmen merah daging. Pigmen merah daging yaitu mioglobin selama proses curing bereaksi dengan Nitrit Oksida (NO) dari nitrit membentuk Nitrosomioglobin (MbNO) yang menghasilkan warna merah yang stabil.

Proses pengeringan mampu menurunkan kadar air pada dendeng meskipun kadar air yang diperoleh belum memenuhi standar nasional indonesia (SNI) (1992) yaitu 12%, akan tetapi kadar air yang diperoleh masih berada pada kisaran nilai produk daging semi basah dan juga tergolong dalam nilai kadar air yang beredar di pasaran. Huang dan Nip (2001) yang menyatakan bahwa dendeng adalah produk daging semi basah, dan nilai kadar air untuk produk semi basah adalah berkisar 15% sampai 50%. Nilai kadar air dendeng sayat yang beredar di pasaran menurut Purnomo (1995) memiliki kisaran 9,9% sampai 35,5%. Beberapa penelitian sebelumnya juga mendapatkan hasil nilai kadar air yang belum sesuai dengan SNI, seperti penelitian Setianingtias (2005) yang meneliti tentang dendeng giling daging domba dengan suhu dan waktu pengeringan yang berbeda memiliki kisaran kadar air 17,81% sampai 30,56%. Begitu pula dengan penelitian Annasry (2006) tentang dendeng sapi giling dengan subsitusi madu terhadap gula merah mendapat nilai kadar air dengan kisaran 18,68% sampai 20,67%.

(45)

Nilai aktivitas air produk dendeng yang dihasilkan berada pada kisaran 0,59 sampai 0,69. Sebagian besar bakteri tidak dapat tumbuh pada nilai aktivitas air (aw) 0,91 dan sebagian besar jamur tidak tumbuh pada nilai aktivitas air (aw) di bawah 0,8 (Huang dan Nip, 2001). Berdasarkan nilai kisaran aktivitas air (aw), produk dendeng berada pada kisaran aman terhadap pertumbuhan mikroba. Penambahan garam selama proses pembuatan dendeng memiliki peran dalam menurunkan aktivitas air, karena garam dapat meningkatkan tekanan osmotik pada daging yang membuat aktivitas air dalam daging menurun (Soeparno, 2005). Proses penurunan aktivitas air tersebut merupakan peran garam yang bersifat preservatif terhadap pertumbuhan mikroba. Selain garam, penggunaan gula yang cukup tinggi dalam pembuatan dendeng juga berperan dalam proses preservasi terhadap pertumbuhan mikroba. Gula mampu menurunkan kadar air (Soeparno, 2003; Martin, 2001) karena gula bersifat higroskopis yang mampu menyerap air. Kadar air yang menurun akan mengakibatkan aktivitas air di dalam bahan pangan juga ikut menurun. Nilai aktivitas air yang rendah pada produk mengakibatkan mikroba tidak dapat bermetabolisme sehingga hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba.

Pengaruh Nilai pH terhadap Karakteristik Mikrobiologis

Nilai pH merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Sebagian besar mikroba tidak dapat tumbuh pada kisaran nilai pH yang rendah. Pengukuran nilai pH dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan curing

yang berbeda terhadap nilai pH dendeng sapi. Tabel 8 menunjukkan nilai pH pada dendeng sapi dengan metode perlakuan curing berbeda.

Tabel 8. Nilai pH Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

Peubah Perlakuan

Non-Curing 5,42±0,12

Curing Basah 5,40±0,05

Curing Kering 5,47±0,13

(46)

pH pada dendeng dengan metode perlakuan curing yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan curing yang berbeda tidak mempengaruhi nilai pH akhir produk dendeng. Nilai pH yang dihasilkan sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan. Huang dan Nip (2001) menyatakan bahwa rata-rata nilai pH pada dendeng adalah 5,6. Soeparno (2005) juga menyatakan bahwa kisaran nilai pH pada produk dendeng adalah 4,5-5,1. Penelitian lain yang dilakukan oleh Suharyanto et al. (2008) menyebutkan bahwa rataan nilai pH pada produk dendeng giling adalah 5,83.

Reaksi kimia selama proses curing tidak menghasilkan senyawa-senyawa asam yang mampu menurunkan nilai pH. Oleh karena itu, tidak terdapat perbedaan nilai pH pada produk dendeng yang dihasilkan. Nilai pH yang rendah pada produk dendeng terjadi karena proses rigor mortis pada daging (Bennani et al., 2000). Proses postrigor merupakan proses pelayuan pada daging, selama proses pelayuan terjadi metabolism anaerobik di dalam otot. Glikogen otot yang termetabolisme akan berubah menjadi asam laktat. Penimbunan asam laktat di dalam otot menyebabkan penurunan pH pada otot. Penurunan pH terus terjadi sampai tercapai pH ultimat (Soeparno, 2005).

Nilai pH yang rendah akan membuat produk lebih aman dari pertumbuhan berbagai macam mikroba. Sebagian besar mikroba tumbuh baik pada kisaran pH 6,6 sampai 7,5 (Gaman dan Sherrington, 1992). Nilai pH dendeng menunjukkan kisaran nilai 5,4 sampai 5,47. Hal ini menunjukkan bahwa dendeng berada pada kisaran nilai pH aman terhadap pertumbuhan mikroba. Beberapa mikroba patogen masih dapat tumbuh pada kisaran nilai pH tertentu. Bakteri Salmonella masih dapat tumbuh sampai pada pH 4,5 dan bakteri Escherichia coli masih dapat tumbuh sampai pada pH 4,4 (Gaman dan Sherrington, 1992). Nilai pH dendeng menunjukkan bahwa kedua bakteri tersebut masih dapat tumbuh pada kisaran nilai pH yang dihasilkan. Namun, hasil analisis mikroba menunjukkan bahwa penambahan nitrit mampu menghambat pertumbuhan kedua mikroba tersebut.

Uji Hedonik

(47)

penampilan umum. Tabel 9 menunjukkan nilai rataan uji hedonik dendeng sapi yang diberi perlakuan metode curing yang berbeda.

Tabel 9. Rataan Uji hedonik Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

Parameter Perlakuan

Non-Curing Curing Basah Curing Kering

Warna 5,44±1,66b 6,72±1,10a 5,96±1,54ab

Aroma/ Bau 6,08±1,52b 7,00±0,87a 6,24±1,27ab

Tekstur 5,04±1,57b 6,36±0,95a 6,08±0,99ab

Penampilan Umum 5,32±1,50b 6,60±1,15a 6,20±1,26ab

Warna

Rataan nilai warna hasil uji hedonik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kesukaan yang nyata antara dendeng non-curing dengan dendeng curing

basah. Dendeng yang diberi perlakuan curing kering mempunyai tingkat kesukaan yang sama dengan dendeng non-curing dan dendeng curing basah. Tingkat kesukaan tertinggi terhadap warna dendeng didapatkan pada dendeng curing basah, selanjutnya dendeng curing kering, dan terakhir pada dendeng non-curing. Panelis menyukai warna merah pada dendeng curing basah karena dendeng tersebut mendapat penambahan nitrit selama proses curing yang berfungsi untuk memfiksasi warna merah daging sehingga dihasilkan dendeng dengan warna merah yang cerah. Proses curing basah memungkinkan larutan nitrit dapat terserap sempurna ke seluruh permukaan daging. Hal tersebut menyebabkan proses fiksasi warna nitrit terhadap daging menjadi optimal dan merata ke seluruh permukaan daging. Meratanya proses fiksasi yang terjadi membuat warna merah menjadi merata. Hal ini berbeda dengan dendeng non-curing yang tidak ditambahkan nitrit dalam proses curing-nya, sehingga menyebabkan warna dendeng non-curing lebih gelap daripada dendeng

curing kering dan curing basah. Curing kering memiliki tingkat kesukaan dibawah

curing basah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat warna merah yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan curing basah. Tingkat kemerahan yang lebih rendah Keterangan : 1=amat sangat tidak suka

(48)

tersebut dapat disebabkan karena tidak meratanya nitrit memfiksasi seluruh permukaan daging selama proses curing kering berlangsung.

Aroma

Aroma atau bau merupakan salah satu kriteria penerimaan suatu produk oleh konsumen. Dendeng adalah salah satu jenis olahan produk asal daging yang memiliki aroma yang khas karena adanya penambahan rempah-rempah dalam proses pembuatannya. Rataan uji hedonik pada penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang nyata tingkat kesukaan terhadap aroma antara dendeng non-curing

dengan dendeng curing basah, namun kedua jenis dendeng tersebut tidak berbeda nyata dengan dendeng curing kering. Tingkat kesukaan yang lebih tinggi dijumpai pada dendeng curing basah dibandingkan pada kedua jenis dendeng lainnya. Hal ini membuktikan bahwa perlakuan curing basah mampu meningkatkan aroma pada dendeng menjadi lebih baik.

(49)

Tekstur

Hasil rataan uji hedonik menunjukkan bahwa terdapat beda nyata antara tekstur dendeng non-curing dengan dendeng curing basah, namun kedua dendeng tersebut menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan produk dendeng curing

kering. Tingkat kesukaan terhadap tekstur dendeng curing basah lebih tinggi dibandingkan dengan dendeng curing kering dan non-curing. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena selama proses curing basah daging direndam dalam larutan curing dalam waktu yang lama sehingga menjadikan tekstur daging lebih lunak karena daging menyerap lebih banyak air dari larutan curing.

Penampilan Umum

Penampilan umum mencakup segala variabel yang mencakup produk seperti warna, aroma, dan tekstur. Secara garis besar penampilan umum suatu produk akan mempengaruhi tingkat penerimaan produk oleh konsumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis pada dendeng non-curing dengan dendeng curing basah adalah berbeda nyata, namun tingkat kesukaan kedua jenis dendeng tersebut tidak berbeda nyata dengan dendeng curing kering. Secara keseluruhan, panelis lebih menyukai produk dendeng yang diberi perlakuan curing

(50)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Curing basah menghasilkan dendeng sapi dengan intensitas warna merah dan tingkat kesukaan yang lebih tinggi dibandingkan dendeng curing kering dan dendeng non-curing. Namun, hal tersebut tidak didukung oleh kualitas mutu mikrobiologis yang menunjukkan bahwa dendeng curing kering menghasilkan kualitas mikrobiologis yang lebih bagus dibandingkan dendeng curing basah dan dendeng non-curing.

Saran

Dendeng yang memiliki warna merah cerah dapat diperoleh melalui curing

Gambar

Tabel 1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dendeng
Tabel 3. Komposisi Bahan yang Digunakan pada Pembuatan Dendeng
Gambar 1. Tahapan Proses Pembuatan Dendeng Sapi
Tabel 1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dendeng
+3

Referensi

Dokumen terkait