• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Warna Dendeng Sapi

Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna suatu produk yang diukur dengan alat kromameter yang memiliki standar ukuran warna yang baku. Tabel 5 berikut menunjukkan rataan nilai warna (L, a, b, dan °HUE) pada dendeng sapi dengan perlakuan curing yang berbeda.

Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan °HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

Notasi Perlakuan

Non-Curing Curing Basah Curing Kering

L 27,10±0,63a 25,99±0,18b 27,17±0,58a

a+ 4,62±1,08a 8,50±0,39b 5,68±1,06a

b+ 6,24±0,06a 5,45±0,53b 5,68±0,29ab

°HUE 54,00±6,61a 32,62±3,73b 45,33±4,24a Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata

(P<0,05). Nilai L

Nilai L melambangkan tingkat kecerahan dari produk. Nilai L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu dan hitam. Nilai L memiliki kisaran nilai dari 0 sampai 100. Semakin tinggi nilai L maka produk memiliki tingkat kecerahan yang semakin cerah (Setianingtias, 2005). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tingkat kecerahan dendeng non-curing tidak berbeda nyata dengan dendeng curing kering. Namun, keduanya menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan dendeng curing basah. Tingkat kecerahan kedua dendeng tersebut lebih tinggi daripada tingkat kecerahan dendeng curing basah.

Tingkat kecerahan curing basah yang rendah dapat disebabkan oleh kadar air yang tinggi pada dendeng (Tabel 8). Esteban et al. (2003) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi tingkat kecerahan pada produk daging adalah persentase kandungan metmioglobin (MetMb) dan oksimioglobin (MbO) serta kandungan garam dan kadar air yang tinggi dalam daging. Oksimioglobin adalah senyawa yang terbentuk karena adanya reaksi antara oksigen dengan mioglobin. Rendahnya

oksimioglobin yang terbentuk terjadi karena mioglobin bereaksi dengan senyawa nitrit membentuk senyawa nitrosomioglobin. Nitrosomioglobin merupakan pigmen yang berperan dalam pembentukan warna merah cerah pada daging curing. Keberadaan oksimioglobin berpengaruh pada nilai b (Alvarez et al., 1999). Nilai b akan meningkat seiiring dengan peningkatan kandungan oksimioglobin dalam daging. Tingkat kecerahan dendeng non-curing lebih tinggi ditunjukkan oleh nilai b pada dendeng non-curing lebih tinggi dibandingkan dengan curing basah dan kandungan air dendeng non-curing yang lebih rendah (Tabel 8) dibandingkan dengan dendeng curing basah.

Nilai a

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat beda nyata nilai a pada dendeng non-curing dengan dendeng curing kering. Namun kedua nilai a tersebut berbeda nyata dengan dendeng curing basah. Nilai a dendeng curing basah menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan nilai lainnya. Hal ini membuktikan perlakuan curing basah mampu menghasilkan warna merah daging yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan curing kering dan non-curing.

Nilai a menunjukkan warna kromatik campuran merah sampai hijau. Nilai +a (positif) memiliki kisaran nilai 0 sampai 100 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) mempunyai kisaran nilai dari -80 sampai 0 untuk warna hijau (Setianingtias, 2005). Nilai a yang dihasilkan pada produk dendeng menunjukkan hasil yang positif, hal ini berarti produk dendeng tersebut berada pada kisaran warna akromatik merah. Semakin tinggi nilai a maka warna akromatik pada produk semakin meningkat. Berdasarkan skala kromatik warna merah (1 sampai 100) maka produk dendeng yang dihasilkan memiliki kromatik warna merah yang rendah.

Penambahan nitrit saat curing pada pembuatan dendeng memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap kemerahan warna dendeng. Hal ini sesuai dengan pernyataan Martin (2001) bahwa fungsi utama penambahan nitrit adalah untuk menstabilkan warna daging curing. Stabilisasi atau fiksasi warna daging terjadi karena reaksi antara nitrit dengan mioglobin yang menghasilkan warna merah cerah pada daging curing. Chasco et al. (1996) menyatakan bahwa interaksi antara nitrit dengan mioglobin akan membentuk nitrosomioglobin (NOMb) dan metmioglobin (MetMb). Nitrosomioglobin (NOMb) atau NO-mioglobin merupakan senyawa yang

berperan dalam pembentukan warna merah cerah pada daging curing (Honikel, 2008). Metmioglobin akan tereduksi membentuk senyawa nitrosomioglobin selama proses pemanasan (Chasco et al., 1996).

Perendaman daging dalam larutan curing membuat larutan nitrit dapat terserap sempurna kedalam setiap serabut otot daging, sehingga proses fiksasi warna berlangsung secara menyeluruh pada setiap permukaan daging. Hal inilah yang menyebabkan tingkat kemerahan warna akhir lebih tinggi pada dendeng yang diproses dengan curing basah. Dendeng yang diolah dengan curing kering dan non-

curing tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Penambahan nitrit pada curing

kering tidak dilarutkan terlebih dahulu dengan air, namun langsung ditambahkan dengan daging dan diaduk bersamaan dengan bumbu dan daging sebelum dikeringkan. Saat pengadukan dimungkinkan nitrit tidak tercampur secara merata pada setiap permukaan daging, sehingga ada bagian-bagian permukaan daging yang tidak terfikasasi oleh nitrit. Hal ini yang menyebabkan tingkat kemerahan warna akhir dendeng curing kering lebih rendah dibandingkan dengan dendeng curing

basah. Dendeng yang diolah tanpa proses curing memiliki warna merah yang rendah. Hal ini dapat terjadi karena tidak ada penambahan nitrit sehingga tidak ada agen pemfiksasi warna daging.

Nilai b

Hasil analisis ragam menunjukkan adanya beda nyata nilai b pada dendeng non-curing dengan dendeng curing basah. Namun kedua nilai b tersebut tidak menunjukkan beda nyata dengan nilai b pada dendeng curing kering. Nilai kekuningan lebih tinggi pada dendeng non-curing dibandingkan dengan dendeng

curing basah dan curing kering. Nilai b menyatakan warna kromatik campuran biru sampai kuning dengan kisaran 0 sampai 70 untuk warna kuning dan nilai -70 sampai 0 untuk warna biru (Setianingtias, 2005). Nilai b yang diperoleh menunjukkan nilai yang positif, hal ini berarti bahwa produk dendeng yang dihasilkan berada pada kisaran warna kromatik kuning. Semakin tinggi nilai yang diperoleh berarti bahwa semakin tinggi pula tingkat warna kekuningan pada produk. Berdasarkan skala kromatik warna kuning (1 sampai 70) maka produk dendeng dendeng yang dihasilkan memiliki kromatik warna kuning yang rendah.

Oksimioglobin merupakan pigmen merah daging yang berperan dalam nilai b. Nitrit dapat bereaksi dengan mioglobin membentuk nitrosomioglobin. Reaksi tersebut dapat menurunkan konsentrasi mioglobin dan oksimioglobin (Alvarez et al., 1999). Oksimioglobin terbentuk karena adanya interaksi antara oksigen dengan mioglobin. Reaksi antara nitrit dengan mioglobin menyebabkan penurunan pembentukan pigmen oksimioglobin. Penurunan kandungan oksimioglobin dalam daging menyebabkan nilai b menurun. Hal inilah yang menyebabkan nilai b pada

curing basah lebih rendah dibandingkan dengan non-curing. Nilai b pada dendeng non-curing teridentifikasi lebih tinggi karena tidak terdapat nitrit yang bereaksi dengan mioglobin, sehingga mioglobin dapat bebas bereaksi dengan oksigen membentuk pigmen oksimioglobin.

Nilai °HUE

Derajat HUE menunjukkan warna dari produk. Nilai °HUE diperoleh melalui perhitungan yang melibatkan nilai a dan b. Berdasarkan Tabel 4 maka warna dendeng sapi yang dihasilkan adalah merah. Warna merah memiliki kisaran nilai °HUE 18 – 54. Nilai 54 pada dendeng non-curing juga berada pada kisaran warna kuning merah yang memiliki kisaran °HUE 54 – 90. Semakin tinggi nilai °HUE dendeng yang diperoleh, maka semakin mendekati warna kuning merah. Nilai °HUE dendeng curing basah lebih rendah dibandingkan nilai °HUE kedua dendeng lainnya. Hal ini berarti bahwa derajat warna kemerahan pada dendeng curing basah lebih tinggi dari kedua dendeng lainnya. Perlakuan curing basah terbukti mampu meningkatkan warna merah pada dendeng. Indikasi dendeng curing basah memiliki warna kemerahan yang lebih tinggi terlihat pada nilai a yang tinggi pada dendeng

curing basah. Pada dendeng non curing warna yang terbaca adalah kuning merah. Hal ini dapat terlihat pada nilai b dendeng non-curing yang tinggi dan nilai a yang rendah pada dendeng non-curing. Warna kuning merah menunjukkan adanya penggabungan warna kuning dan merah (Setianingtias, 2005).

Karakteristik Mikrobiologis

Dendeng merupakan salah satu produk olahan daging yang selain bertujuan untuk menghasilkan variasi produk baru juga untuk meningkatkan daya simpan dan

keawetan produk daging. Tabel 6 menunjukkan analisis deskriptif karakteristik mikrobiologis dendeng sapi dengan perlakuan curing yang berbeda.

Tabel 6. Karakteristik Mikrobiologis Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan

Curing yang Berbeda

Parameter Non Curing Curing Basah Curing Kering --- log10 CFU/g ---

Total Plate Count 2,93±1,64 6,31±2,84 2,03±0,32

Staphylococcus aureus 1,92±2,71 4,92±3,76 2,29±0,86

Escherichia coli 2,11±2,98 negatif negatif

Salmonella sp negatif negatif negatif

Total Plate Count (TPC)

Total plate count (TPC) menunjukkan jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada produk dendeng. Populasi total mikroba maksimal pada produk dendeng menurut standar nasional Indonesia (SNI) (2009) adalah 5 log10 CFU/g. Total mikroba pada dendeng non-curing dan dendeng curing kering memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan standar nasional Indonesia (SNI), sedangkan untuk dendeng curing basah memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan standar nasional Indonesia (SNI).

Proses curing pada dendeng curing kering mampu mereduksi pertumbuhan mikroba dalam pembuatan dendeng. Hal ini dapat terlihat pada rendahnya total mikroba yang terdapat pada dendeng. Nitrit yang ditambahkan dalam proses curing

memiliki fungsi preservatif mikrobial yang bersifat bakteriostatik pada bakteri (Martin, 2001). Penambahan bumbu pada pembuatan dendeng juga berpengaruh dalam proses preservasi. Garam memiliki fungsi sebagai pengawet dan penghambat pertumbuhan mikroba. Garam dapat meningkatkan tekanan osmotik pada daging sehingga akan menurunkan aktivitas air dalam daging (Soeparno, 2005).

Total mikroba dendeng curing basah yang diperoleh menunjukkan hasil yang lebih besar daripada standar nasional Indonesia (SNI). Hal ini dapat disebabkan karena terjadi pertumbuhan mikroba selama proses perendaman daging dalam larutan

curing. Meskipun dalam larutan curing terdapat bahan yang bersifat preservatif seperti garam nitrit, namun pertumbuhan bakteri masih dapat terjadi karena selama

perendaman kondisi kadar air pada daging yang tinggi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Pegg dan Sahidi (2006) yang menyatakan bahwa pertumbuhan mikroba dan jamur dapat terjadi selama perendaman pada curing basah meskipun daging disimpan dalam suhu dingin dan terdapat kandungan garam dalam larutan curing, hal tersebut terjadi karena adanya kandungan air yang tinggi selama perendaman daging dalam larutan curing.

Staphylococcus aureus

Hasil penelitian menunjukkan adanya Staphylococcus aureus yang cukup tinggi pada produk dendeng curing basah dan dendeng curing kering. Standar Nasional Indonesia menyatakan batas maksimum jumlah Staphylococcus aureus

pada produk dendeng adalah 2 log10 CFU/g. Dendeng non-curing memiliki jumlah total bakteri sebesar 1,92 log10 CFU/g. Nilai tersebut berada dibawah batas standar yang ditetapkan oleh standar nasional Indonesia (SNI). Penggunaan bumbu-bumbu, garam serta gula pada proses pembuatan dendeng non-curing terbukti mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Jumlah total mikroba pada dendeng curing basah dan dendeng curing kering adalah 4,92 log10 CFU/g dan 2,92 log10 CFU/g. Kedua nilai tersebut melebihi batas standar yang ditetapkan oleh standar nasional Indonesia (SNI).

Jumlah Staphylococcus aures paling tinggi terdapat pada dendeng curing

basah. Nilai tersebut berkaitan dengan nilai total plate count (TPC) yang menunjukkan curing basah memiliki jumlah mikroba paling tinggi. Nilai yang tinggi tersebut disebabkan oleh tingginya kadar air dalam daging selama proses curing

basah karena daging direndam dalam larutan curing sehingga memungkinkan mikroba dapat tumbuh dan berkembang. Jumlah Staphylococcus aures pada dendeng non-curing yang lebih rendah dari standar nasional Indonesia (SNI) membuktikan bahwa penambahan bumbu, gula dan garam dalam pembuatan dendeng mampu menurunkan pertumbuhan mikroba dalam selama proses pembuatan dendeng. Hal yang berlawanan terdapat pada dendeng curing kering. Jumlah Staphylococcus aures

tinggi melebihi standar SNI meskipun dalam proses pembuatannya tidak hanya terdapat bumbu-bumbu tetapi juga nitrit. Penyimpangan hasil yang diperoleh memberikan petunjuk bahwa dalam proses pengolahan perlu peningkatan sanitasi

dan higyene serta pengujian terhadap bahan-bahan baku sebelum proses pengolahan dilakukan.

Bakteri Staphylococcus aures mampu bertahan dengan baik pada kondisi beku (Thipparedi dan Sanchez, 2006), sehingga penyimpanan beku pada dendeng masih memungkinkan bakteri ini untuk bertahan. Staphylococcus aures mudah dihilangkan dengan menggunakan pemanasan dengan suhu yang umumnya digunakan untuk memproses produk daging dan ikan (Thipparedi dan Sanchez, 2006). Enterotoksin yang dihasilkan oleh bakteri ini masih dapat bertahan pada suhu 100 ºC meskipun bakteri ini mudah mati pada suhu 60 ºC (Gaman dan Sherrington, 1992). Meskipun bakteri Staphylococcus aures mudah mati pada pemanasan 60 ºC tidak berarti bahwa bakteri ini akan seluruhnya mati pada pemanasan tersebut. Pengolahan dendeng dengan penggorengan dimungkinkan dapat mematikan bakteri ini dan juga dapat menginaktifkan enterotoksin yang dihasilkan oleh bakteri ini. Metode penggorengan yang baik digunakan adalah metode deep frying, pada proses penggorengan dengan metode tersebut bahan pangan yang digoreng direndam dalam minyak dan suhu minyak dapat mencapai 200-205 ºC (Ketaren, 2005). Suhu penggorengan yang tinggi tersebut akan dapat menginkatifkan enterotoksin dan mematikan bakteri Staphylococcus aures.

Escherichia coli

Keberadaan Escherichia coli dijumpai pada dendeng non-curing dengan jumlah populasi bakteri sebesar 2,11 log10 CFU/g. Nilai tersebut melebihi SNI untuk batas maksimum cemaran Escherichia coli terhadap produk dendeng sebesar <3 CFU/g. Hal sebaliknya terjadi pada dua produk lainnya yaitu dendeng curing

basah dan dendeng curing kering yang menunjukkan hasil negatif terhadap keberadaan Escherichia coli. Proses curing efektif menghambat pertumbuhan bakteri

Escherichia coli pada produk dendeng. Penambahan natrium nitrit pada proses

curing memiliki fungsi sebagai agen antimikrobial terhadap mikroba (Martin, 2001). Selain natrium nitrit, bumbu-bumbu juga berperan aktif dalam penghambatan

Escherichia coli karena adanya kandungan senyawa-senyawa aktif dalam bumbu yang dapat berfungsi sebagai antimikroba. Selama proses pengolahan daging, proses pemanasan dirancang untuk menghilangkan bakteri ini (Thipparedi dan Sanchez, 2006).

Pengolahan lebih lanjut berupa penggorengan dapat membunuh bakteri

Escherichia coli. Metode penggorengan yang baik digunakan adalah metode deep frying. Suhu minyak pada penggorengan deep frying dapat mencapai 200-205 ºC (Ketaren, 2005). Karakteristik suhu pertumbuhan bakteri Escherichia coli yang merupakan kelompok bakteri gram negatif anaerobik fakultatif memiliki suhu optimum pertumbuhan 10-40 ºC (Fardiaz, 1992). Pertumbuhan bakteri tersebut akan menurun pada suhu di luar suhu optimum pertumbuhannnya. Penggorengan secara

deep frying dengan suhu yang tinggi akan mampu membunuh bakteri Escherichia coli.

Salmonella sp

Analisis Salmonella pada produk dendeng dihasilkan data yang negatif

Salmonella. Nilai tersebut sesuai dengan standar nasional indonesia (SNI) produk dendeng yang mengharuskan kandungan Salmonella yang harus negatif. Tingkat bahaya yang cukup tinggi pada Salmonella menjadikan standar nilai negatif untuk

Salmonella pada semua jenis produk pangan olahan hasil ternak. Penggunaan natrium nitrit serta bumbu-bumbu dalam pembuatan dendeng terbukti dapat mempertahankan kondisi produk tetap negatif terhadap pertumbuhan Salmonella. Pengaruh Kadar Air dan Aktivitas Air terhadap Karakteristik Mikrobiologis

Pengukuran kadar air dan aktivitas air yang dilakukan terhadap dendeng mentah bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan curing yang berbeda terhadap kadar air dan aktivitas air serta untuk mengetahui pengaruh kedua faktor tersebut terhadap karakteristik mikrobiologis dendeng. Tabel 7 menunjukkan nilai kadar air dan aktivitas air pada dendeng sapi dengan metode perlakuan curing

berbeda.

Tabel 7. Kadar Air dan Aktivitas Air Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan

Curing yang Berbeda

Peubah Perlakuan

Non Curing Curing Basah Curing Kering

Kadar air (%) 30,48±1,95 32,87±4,42 31,72±1,73

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kadar air dan aktivitas air dendeng dengan tiga perlakuan curing yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini berarti bahwa perlakuan curing yang berbeda tidak berpengaruh terhadap kadar air produk dendeng, sehingga tidak mempengaruhi komposisi kandungan air dalam daging. Penggunaan nitrit pada proses curing secara langsung bereaksi secara kimia dengan pigmen merah daging. Pigmen merah daging yaitu mioglobin selama proses curing bereaksi dengan Nitrit Oksida (NO) dari nitrit membentuk Nitrosomioglobin (MbNO) yang menghasilkan warna merah yang stabil.

Proses pengeringan mampu menurunkan kadar air pada dendeng meskipun kadar air yang diperoleh belum memenuhi standar nasional indonesia (SNI) (1992) yaitu 12%, akan tetapi kadar air yang diperoleh masih berada pada kisaran nilai produk daging semi basah dan juga tergolong dalam nilai kadar air yang beredar di pasaran. Huang dan Nip (2001) yang menyatakan bahwa dendeng adalah produk daging semi basah, dan nilai kadar air untuk produk semi basah adalah berkisar 15% sampai 50%. Nilai kadar air dendeng sayat yang beredar di pasaran menurut Purnomo (1995) memiliki kisaran 9,9% sampai 35,5%. Beberapa penelitian sebelumnya juga mendapatkan hasil nilai kadar air yang belum sesuai dengan SNI, seperti penelitian Setianingtias (2005) yang meneliti tentang dendeng giling daging domba dengan suhu dan waktu pengeringan yang berbeda memiliki kisaran kadar air 17,81% sampai 30,56%. Begitu pula dengan penelitian Annasry (2006) tentang dendeng sapi giling dengan subsitusi madu terhadap gula merah mendapat nilai kadar air dengan kisaran 18,68% sampai 20,67%.

Penurunan kadar air berimplikasi pada penurunan aktivitas air dalam bahan pangan. Perlakuan curing yang berbeda tidak berpengaruh terhadap kadar air, hal tersebut juga berlaku sama terhadap aktivitas air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai aktivitas air (aw) yang diperoleh pada ketiga sampel dendeng dengan perlakuan curing yang berbeda tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Nilai aktivitas air (aw) yang diperoleh sesuai dengan pernyataan Huang dan Nip (2001) yang menyatakan bahwa nilai aktivitas air (aw) dendeng sayat memiliki kisaran 0,52-0,67. Perlakuan curing yang berbeda pada penelitian ini tidak berpengaruh terhadap nilai aktivitas air (aw) produk dendeng yang dihasilkan.

Nilai aktivitas air produk dendeng yang dihasilkan berada pada kisaran 0,59 sampai 0,69. Sebagian besar bakteri tidak dapat tumbuh pada nilai aktivitas air (aw) 0,91 dan sebagian besar jamur tidak tumbuh pada nilai aktivitas air (aw) di bawah 0,8 (Huang dan Nip, 2001). Berdasarkan nilai kisaran aktivitas air (aw), produk dendeng berada pada kisaran aman terhadap pertumbuhan mikroba. Penambahan garam selama proses pembuatan dendeng memiliki peran dalam menurunkan aktivitas air, karena garam dapat meningkatkan tekanan osmotik pada daging yang membuat aktivitas air dalam daging menurun (Soeparno, 2005). Proses penurunan aktivitas air tersebut merupakan peran garam yang bersifat preservatif terhadap pertumbuhan mikroba. Selain garam, penggunaan gula yang cukup tinggi dalam pembuatan dendeng juga berperan dalam proses preservasi terhadap pertumbuhan mikroba. Gula mampu menurunkan kadar air (Soeparno, 2003; Martin, 2001) karena gula bersifat higroskopis yang mampu menyerap air. Kadar air yang menurun akan mengakibatkan aktivitas air di dalam bahan pangan juga ikut menurun. Nilai aktivitas air yang rendah pada produk mengakibatkan mikroba tidak dapat bermetabolisme sehingga hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba.

Pengaruh Nilai pH terhadap Karakteristik Mikrobiologis

Nilai pH merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Sebagian besar mikroba tidak dapat tumbuh pada kisaran nilai pH yang rendah. Pengukuran nilai pH dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan curing

yang berbeda terhadap nilai pH dendeng sapi. Tabel 8 menunjukkan nilai pH pada dendeng sapi dengan metode perlakuan curing berbeda.

Tabel 8. Nilai pH Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

Peubah Perlakuan

Non-Curing 5,42±0,12

Curing Basah 5,40±0,05

Curing Kering 5,47±0,13

pH pada dendeng dengan metode perlakuan curing yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan curing yang berbeda tidak mempengaruhi nilai pH akhir produk dendeng. Nilai pH yang dihasilkan sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan. Huang dan Nip (2001) menyatakan bahwa rata-rata nilai pH pada dendeng adalah 5,6. Soeparno (2005) juga menyatakan bahwa kisaran nilai pH pada produk dendeng adalah 4,5- 5,1. Penelitian lain yang dilakukan oleh Suharyanto et al. (2008) menyebutkan bahwa rataan nilai pH pada produk dendeng giling adalah 5,83.

Reaksi kimia selama proses curing tidak menghasilkan senyawa-senyawa asam yang mampu menurunkan nilai pH. Oleh karena itu, tidak terdapat perbedaan nilai pH pada produk dendeng yang dihasilkan. Nilai pH yang rendah pada produk dendeng terjadi karena proses rigor mortis pada daging (Bennani et al., 2000). Proses postrigor merupakan proses pelayuan pada daging, selama proses pelayuan terjadi metabolism anaerobik di dalam otot. Glikogen otot yang termetabolisme akan berubah menjadi asam laktat. Penimbunan asam laktat di dalam otot menyebabkan penurunan pH pada otot. Penurunan pH terus terjadi sampai tercapai pH ultimat (Soeparno, 2005).

Nilai pH yang rendah akan membuat produk lebih aman dari pertumbuhan berbagai macam mikroba. Sebagian besar mikroba tumbuh baik pada kisaran pH 6,6 sampai 7,5 (Gaman dan Sherrington, 1992). Nilai pH dendeng menunjukkan kisaran nilai 5,4 sampai 5,47. Hal ini menunjukkan bahwa dendeng berada pada kisaran nilai pH aman terhadap pertumbuhan mikroba. Beberapa mikroba patogen masih dapat tumbuh pada kisaran nilai pH tertentu. Bakteri Salmonella masih dapat tumbuh sampai pada pH 4,5 dan bakteri Escherichia coli masih dapat tumbuh sampai pada pH 4,4 (Gaman dan Sherrington, 1992). Nilai pH dendeng menunjukkan bahwa kedua bakteri tersebut masih dapat tumbuh pada kisaran nilai pH yang dihasilkan. Namun, hasil analisis mikroba menunjukkan bahwa penambahan nitrit mampu menghambat pertumbuhan kedua mikroba tersebut.

Uji Hedonik

Uji hedonik dilakukan untuk menyatakan tingkat kesukaan konsumen terhadap mutu produk yang dihasilkan. Uji hedonik yang dilakukan dalam pengujian dendeng sapi ini meliputi beberapa ciri sensori seperti warna, aroma, tekstur dan

penampilan umum. Tabel 9 menunjukkan nilai rataan uji hedonik dendeng sapi yang diberi perlakuan metode curing yang berbeda.

Tabel 9. Rataan Uji hedonik Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

Parameter Perlakuan

Non-Curing Curing Basah Curing Kering

Warna 5,44±1,66b 6,72±1,10a 5,96±1,54ab Aroma/ Bau 6,08±1,52b 7,00±0,87a 6,24±1,27ab Tekstur 5,04±1,57b 6,36±0,95a 6,08±0,99ab Penampilan Umum 5,32±1,50b 6,60±1,15a 6,20±1,26ab Warna

Rataan nilai warna hasil uji hedonik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

Dokumen terkait