• Tidak ada hasil yang ditemukan

Performa Produksi

Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Harian

Bobot badan merupakan salah satu indikator untuk mengetahui performa produksi suatu ternak. Performa produksi meliputi pertumbuhan dan perkembangan ternak. Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa pertumbuhan dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dan bobot badan yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat dan diberi pakan, minum serta mendapat tempat berlindung yang layak. Pengukuran bobot tubuh berguna untuk menentukan tingkat konsumsi, efisiensi pakan dan harga (Parakkasi, 1999).

Peubah yang dapat digunakan untuk menilai pertumbuhan dan kualitas bahan makanan ternak yaitu pertambahan bobot badan (PBB). Pertambahan bobot badan dapat diperoleh dari zat-zat makanan yang dikonsumsi oleh ternak dan kemampuan ternak dalam mengubah zat-zat makanan tersebut menjadi daging. Nilai suatu pakan dari seekor ternak dapat diketahui dari PBB (Church dan Pond, 1988).

Tabel 5. Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Harian Domba selama Penelitian

Peubah Domba Perlakuan Rataan

R1 R2 X±sd BB Akhir (kg/e) jonggol* 25,00±1,47 a 24,70±1,68 b 24,85±1,47 garut* 23,70±3,06 b 29,45±1,28 a 26,58±3,76 Rataan X±sd* 24,35±2,33 b 27,08±2,89 a 25,71±2,90 PBBH (g/e/h) jonggol* 135,71±12,45 a 126,79±21,42 b 131,25±16,90 garut* 98,81±38,22 b 152,98±23,52 a 125,90±41,25 Rataan X±sd 117,26±32,89 139,89±25,09 128,57±30,58

Keterangan : R1 : Ransum Indigofera sp., R2: Ransum limbah tauge, *) Superskrip dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada P<0,05

Hasil penelitian ini menunjukkan bobot badan (BB) akhir domba dipengaruhi oleh faktor jenis ransum dan interaksi antara kedua faktor (P<0,05), tetapi tidak dipengaruhi oleh faktor jenis domba (Tabel 5). PBB harian (PBBH) domba

dipengaruhi oleh interaksi antara kedua faktor (P<0,05), tetapi tidak dipengaruhi oleh faktor jenis domba dan faktor jenis ransum (Tabel 5).

Perlakuan ransum limbah tauge menghasilkan BB akhir domba yang lebih besar (P<0,05) dibandingkan BB akhir domba dengan perlakuan ransum Indigofera sp. Perlakuan ransum Indigofera sp. menghasilkan BB akhir dan PBBH domba jonggol yang lebih besar (P<0,05) dibandingkan BB akhir dan PBBH domba jonggol dengan perlakuan ransum limbah tauge. Perlakuan ransum limbah tauge menghasilkan BB akhir dan PBBH domba garut yang lebih besar (P<0,05) dibandingkan BB akhir dan PBBH domba garut dengan perlakuan ransum Indigofera sp. BB akhir dan PBBH domba jonggol tidak berbeda nyata dengan BB akhir dan PBBH domba garut. PBBH domba dengan perlakuan ransum Indigofera sp. tidak berbeda nyata dengan PBBH domba dengan perlakuan ransum limbah tauge.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh positif dari faktor jenis ransum dan interaksi antara kedua faktor terhadap produktivitas ternak domba yang dapat berkaitan dengan konsumsi ransum; hasil ini sesuai dengan pendapat (Arora, 1989). Konsumsi ransum limbah tauge yang lebih tinggi (P<0,01) daripada konsumsi ransum Indigofera sp. (Tabel 6) menghasilkan BB akhir domba yang lebih tinggi (P<0,05) pada perlakuan ransum limbah tauge dibandingkan BB akhir domba pada perlakuan ransum Indigofera sp. (Tabel 5). Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat kesukaan ternak terhadap pakan yang diberikan berbeda untuk jenis domba dan jenis pakan atau ransum. Domba jonggol lebih baik dalam memanfaatkan zat makanan ransum Indigofera sp. untuk pertumbuhan badan, sedangkan domba garut lebih baik dalam memanfaatkan zat makanan ransum limbah tauge untuk pertumbuhan badan.

Sumantri et al. (2007) melaporkan bahwa domba UP3 jonggol mempunyai bobot tubuh dewasa sebesar 34,9 kg untuk jantan dan 26,1 kg untuk betina. Sedangkan menurut Einstiana (2006), rataan BB domba garut jantan umur 2-3 tahun : 40,80±12,30 kg dan domba garut betina : 27,57±3,80 kg. Rataan BB akhir domba jonggol dan domba garut sebesar 24,85 kg/e dan 26,58 kg/e pada penelitian ini lebih rendah dari hasil Sumantri et al. (2007) dan Einstiana (2006) karena perbedaan umur domba. Domba jonggol dan domba garut jantan yang digunakan pada penelitian ini berumur 11-12 bulan, sedangkan domba penelitian Sumantri et al. (2007) dan

Einstiana (2006) berumur 2-3 tahun. Bobot tubuh seekor ternak dipengaruhi oleh bangsa ternak, jenis kelamin, umur, jenis kelahiran, dan jenis pakan (NRC, 1985).

Hasil penelitian ini relatif sebanding dengan penelitian Wandito (2011) yang menyatakan bahwa domba yang mendapatkan ransum konsentrat ditambah limbah tauge hingga taraf pemberian 75% menghasilkan PBBH sebesar 86,7-145,28 g/e/h. Martawidjaja (1986) menyatakan bahwa pemberian konsentrat pada domba sangat berpengaruh terhadap PBB. Pertambahan bobot badan domba tanpa penambahan konsentrat rata-rata 18 g/e/h, sedangkan dengan penambahan konsentrat adalah 71 g/e/h. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan leguminosa Indigofera sp. dan limbah tauge pada ransum domba dapat meningkatkan PBB baik pada domba jonggol maupun domba garut. Thalib et al. (2000) menyatakan bahwa PBB ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan, penilaian PBB ternak sebanding dengan ransum yang dikonsumsi.

Rataan Konsumsi Ransum Harian

Konsumsi pada umumnya diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh ternak, yang kandungan zat makanan didalamnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi ternak tersebut (Tillman et al., 1998).

Tabel 6. Rataan Konsumsi Ransum Harian selama Penelitian

Konsumsi Domba Perlakuan Rataan

R1 R2 X±sd

...…..……….g/e/h………... Bahan Segar jonggol 765,15±46,63 859,20±65,30 812,17±72,71

garut 673,51±125,68 997,07±151,36 835,29±215,64 Rataan X±sd** 719,33±100,50 B 928,13±130,68 A 823,73±155,91

Keterangan : R1 : Ransum Indigofera sp., R2: Ransum limbah tauge, **) Superskrip dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata pada P<0,01

Hasil penelitian ini menunjukkan rataan konsumsi ransum harian dipengaruhi oleh faktor jenis ransum (P<0,01), tetapi tidak dipengaruhi oleh faktor jenis domba dan interaksi antara kedua faktor (Tabel 6). Perlakuan ransum limbah tauge

menghasilkan rataan konsumsi ransum harian yang lebih tinggi (P<0,01) daripada rataan konsumsi ransum harian pada perlakuan ransum Indigofera sp. Rataan konsumsi ransum harian domba jonggol tidak berbeda nyata dengan rataan konsumsi ransum harian domba garut.

Rataan konsumsi ransum harian limbah tauge yang lebih tinggi pada penelitian ini menunjukkan tingkat kesukaan ternak terhadap ransum limbah tauge lebih tinggi dibandingkan tingkat kesukaan ternak terhadap ransum Indigofera sp. Tingkat kesukaan ternak terhadap ransum ditentukan dari banyaknya pakan yang dikonsumsi. Pond et al. (1995) mendefinisikan palatabilitas sebagai daya tarik suatu pakan atau bahan pakan untuk menimbulkan selera makan dan langsung dimakan oleh ternak. Tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh sifat fisik, komposisi kimia pakan (Parakkasi, 1999), dan palatabilitas pakan (Williamson dan Payne, 1993). Sutardi (1980) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah palatabilitas, jumlah makanan yang tersedia dan kualitas atau komposisi kimia bahan makanan. Selain itu aroma dari pakan yang digunakan akan meningkatkan konsumsi ransum (Pond et al., 1995).

Kandungan PK yang tinggi dan SK yang rendah pada ransum Indigofera sp. (Tabel 4) tidak mengakibatkan konsumsi ransum Indigofera sp. yang tinggi (Tabel 6). Kandungan SK yang tinggi pada ransum limbah tauge (Tabel 4) tidak mengakibatkan konsumsi BK ransum limbah tauge yang rendah (Tabel 6). Hal ini menunjukkan kulitas SK ransum limbah tauge lebih mudah dicerna dibandingkan kulitas SK ransum Indigofera sp. yang ditunjukkan dengan KCSK ransum limbah tauge yang lebih tinggi dibandingkan KCSK ransum Indigofera sp. (Tabel 11). McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa kecernaan pakan dan laju digesta pakan mempengaruhi konsumsi ransum. Kecernaan yang tinggi dan laju digesta yang cepat akan meningkatkan kosumsi ransum. Semakin baik kualitas bahan pakan maka semakin tinggi konsumsi pakan dari seekor ternak.

Hasil penelitian ini relatif sebanding dengan penelitian Wandito (2011) yang menyatakan domba yang mendapatkan ransum konsentrat ditambah limbah tauge hingga taraf pemberian 75% menghasilkan rataan konsumsi harian ransum sebesar 824-920 g/e/h. Menurut Martawidjaja (1986), rata-rata konsumsi pakan domba yang diberikan konsentrat adalah 580 g/e/h dibandingkan dengan yang tidak diberi

konsentrat yaitu 371 g/e/h. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan leguminosa Indigofera sp. dan limbah tauge pada ransum domba dapat meningkatkan rataan konsumsi ransum harian.

Konversi Ransum

Hasil penelitian ini menunjukkan konversi ransum tidak dipengaruhi oleh faktor jenis domba, faktor jenis ransum dan interaksi antara kedua faktor (Tabel 7). Konversi ransum domba jonggol tidak berbeda nyata dengan konversi ransum domba garut. Konversi ransum domba dengan perlakuan ransum Indigofera sp. tidak berbeda nyata dengan konversi ransum domba dengan perlakuan ransum limbah tauge.

Tabel 7. Konversi Ransum selama Penelitian

Peubah Domba Perlakuan Rataan

R1 R2 X ± sd

...…..……….g/e/h………... Konversi Ransum jonggol 5,65±0,21 6,90±1,03 6,28±0,96

garut 7,22±1,53 6,72±1,87 6,95±1,60

Rataan X ± sd 6,44±1,31 6,81±1,40 6,62±1,33

Keterangan : R1 : Ransum Indigofera sp., R2: Ransum limbah tauge

Hasil penelitian ini menunjukkan zat-zat makanan dari kedua ransum perlakuan dapat dimanfaatkan secara baik oleh kedua jenis domba untuk pertumbuhannya. Domba jantan muda mempunyai potensi untuk tumbuh lebih cepat daripada domba betina muda, PBBH lebih cepat, konsumsi pakan lebih banyak dan penggunaan ransum lebih efisien untuk pertumbuhan badan (Anggorodi, 1990).

Konsumsi dan Kecernaan Zat Makanan

Konsumsi dan Kecernaan Bahan Kering

Konsumsi BK ransum dipengaruhi oleh faktor jenis ransum (P<0,01), tetapi tidak dipengaruhi oleh faktor jenis domba dan interaksi antara kedua faktor (Tabel 8). Rataan konsumsi BK ransum limbah tauge lebih tinggi (P<0,01) daripada rataan konsumsi BK ransum Indigofera sp. Rataan konsumsi BK ransum pada domba

jonggol tidak berbeda nyata dengan rataan konsumsi BK ransum pada domba garut. Hal ini menunjukkan tingkat kesukaan ternak terhadap ransum limbah tauge lebih tinggi dibandingkan ransum Indigofera sp. Tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh sifat fisik, komposisi kimia pakan (Parakkasi, 1999), dan palatabilitas pakan (Williamson dan Payne, 1993). Tingginya konsumsi BK ransum limbah tauge dapat disebabkan oleh jumlah konsumsi bahan segar ransum limbah tauge lebih tinggi daripada jumlah konsumsi bahan segar ransum Indigofera sp. (Tabel 6), tetapi kandungan BK kedua ransum perlakuan yang tidak berbeda (Tabel 4). Sutardi (1980) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah palatabilitas, jumlah makanan yang tersedia dan kualitas atau komposisi kimia bahan makanan.

Tabel 8. Konsumsi Bahan Kering, Bahan Kering Feses dan Kecernaan Bahan Kering Ransum selama Periode Pengukuran Kecernaan

Peubah Domba Perlakuan Rataan

R1 R2 X±sd Konsumsi BK jonggol 689,83±60,31 860,62±199,81 775,22±164,33 g/e/h garut 643,44±110,50 967,44±153,38 800,94±212,86 Rataan X±sd** 666,64±86,06 B 914,03±174,51A 790,33±184,36 BK Feces jonggol 293,36±54,94 330,41±119,28 311,88±88,22 g/e/h garut 233,41±95,93 390,39±118,74 311,90±130,49 Rataan X±sd 263,38±79,15 360,40±114,75 311,89±107,60 BK Tercerna jonggol 396,47±82,14 530,21±93,44 463,34±108,37 g/e/h garut 410,03±17,87 577,05±77,22 493,54±103,26 Rataan X±sd** 403,25±55,51 B 553,63±83,21 A 478,44±103,44

Koefisien Cerna jonggol 57,25±8,36 62,27±6,16 59,76±7,30 Bahan Kering (%) garut 64,81±8,63 60,09±6,68 62,45±7,57

Rataan X±sd 61,03±8,84 61,18±6,06 61,10±7,32

Keterangan : R1 : Ransum Indigofera sp., R2: Ransum limbah tauge, **) Superskrip dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata pada P<0,01

Hasil konsumsi BK ransum Indigofera sp. pada penelitian ini sebesar 666,64 g/e/h lebih tinggi daripada hasil penelitian Tarigan (2009) yang menunjukkan konsumsi BK ransum sebesar 368,24-440,92 g/e/h. Pakan yang digunakan dalam penelitian Tarigan (2009) menggunakan kombinasi rumput Brachiaria ruziziensis

ditambah leguminosa Indigofera sp. pada taraf perlakuan yang berbeda-beda. Penggunaan leguminosa Indigofera sp. dengan taraf 30% pada penelitian Tarigan (2009) menghasilkan konsumsi BK tertinggi sebesar 440,92 g/e/h. Hasil konsumsi BK ransum limbah tauge pada penelitian ini sebesar 914,03 g/e/h relatif sebanding dengan hasil penelitian Wandito (2011) yang menunjukkan konsumsi BK ransum yaitu sebesar 589-974,53 g/e/h. Ransum yang digunakan Wandito (2011) adalah ransum komplit dengan kombinasi konsentrat ditambah limbah tauge segar dengan taraf pemberian limbah tauge yang berbeda-beda mencapai 75% dari ransum.

Konsumsi BK pada penelitian ini sebesar 634,44-967,44 g/e/h relatif sebanding dengan standar konsumsi BK Kearl (1982) yaitu domba dengan bobot badan 20-30 kg mengkonsumsi BK sebesar 650-950 g/e/h. Konsumsi BK yang diperoleh dari hasil penelitian ini juga sesuai dengan standar NRC (2006) yaitu domba dengan bobot badan 20-30 kg membutuhkan BK sekitar 3% dari bobot badannya yaitu sekitar 600-900 g/ekor/hari. Hasil konsumsi BK pada penelitian ini sebesar 634,44-967,44 g/e/h lebih tinggi dari hasil penelitian sebelumnya yaitu domba tumbuh UP3 jonggol yang dipelihara secara semi intensif dengan pemberian ransum hijauan yang tumbuh di daerah tropika seperti Gliricidea, Moringa, Caliandra dan Leucaena dapat mengkonsumsi sebanyak 555 g/e/h atau 4% BB (Astuti et al., 2011). Konsumsi BK penelitian ini sebesar 634,44-967,44 g/e/h lebih tinggi dari konsumsi BK hasil penelitian Karolita (2011). Hasil penelitian Karolita (2011) menghasilkan konsumsi BK sebesar 477,45-498,65 g/e/h pada domba bunting. Ransum yang digunakan Karolita (2011) adalah ransum komplit dengan sumber karbohidrat jagung, onggok dan kombinasi jagung ditambah onggok. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan leguminosa Indigofera sp. dan limbah tauge dalam ransum komplit dapat meningkatkan konsumsi BK ransum, dengan efek limbah tauge yang lebih baik daripada leguminosa Indigofera sp. terhadap konsumsi BK ransum.

Koefisien cerna BK (KCBK) ransum tidak dipengaruhi oleh faktor jenis domba, faktor jenis ransum, dan interaksi antara kedua faktor (Tabel 8). KCBK ransum Indigofera sp. tidak berbeda nyata dengan KCBK ransum limbah tauge. KCBK pada domba jonggol tidak berbeda nyata dengan KCBK domba garut. Hasil yang tidak berbeda nyata disebabkan oleh kandungan BK yang tidak berbeda pada

kedua ransum perlakuan (Tabel 4) dan perbandingan antara jumlah BK tercerna dengan konsumsi BK dari masing-masing perlakuan ransum yang relatif sebanding (Tabel 8). Meskipun demikian, ransum dengan limbah tauge dapat menyediakan BK tercerna yang lebih tinggi daripada ransum Indigofera sp. (P<0,05) sehingga dapat meningkatkan bobot akhir kedua jenis domba (Tabel 5).

Hasil penelitian ini lebih tinggi daripada hasil penelitian Elita (2006) dan Tarigan (2009). Elita (2006) menyatakan bahwa rataan KCBK pada domba lokal adalah 57,34%. Tarigan (2009) menyatakan bhawa KCBK kambing Boerka yang mendapatkan ransum dengan penambahan Indigofera sp. 45% dari total ransum sebesar 60,07%. Hasil penelitian ini lebih rendah daripada penelitian Abdullah dan Suharlina (2010) yang menghasilkan KCBK Indigofera sp. sebesar 67,39%-81,80%.

Konsumsi dan Kecernaan Protein Kasar

Konsumsi PK ransum dipengaruhi oleh faktor jenis ransum (P<0,05), tetapi tidak dipengaruhi oleh faktor jenis domba dan interaksi antara kedua faktor (Tabel 9). Rataan konsumsi PK ransum limbah tauge lebih tinggi (P<0,05) daripada rataan konsumsi PK ransum Indigofera sp. Rataan konsumsi PK ransum pada domba jonggol tidak berbeda nyata dengan rataan konsumsi PK ransum pada domba garut.

Konsumsi PK ransum limbah tauge yang lebih tinggi (P<0,01) daripada konsumsi PK ransum Indigofera sp. disebabkan oleh konsumsi BK dan BK tercerna dari ransum limbah tauge lebih tinggi (P<0,01) daripada konsumsi BK dan BK tercerna ransum Indigofera sp. (Tabel 8), dan kadar PK kedua ransum perlakuan tidak berbeda (Tabel 4). Faktor yang mempengaruhi konsumsi PK adalah konsumsi BK dan kandungan PK dalam ransum (Rianto et al., 2008).

Hasil konsumsi PK ransum Indigofera sp. pada penelitian ini sebesar 138,42 g/e/h lebih rendah dari hasil konsumsi PK penelitian Apdini (2011) yaitu sebesar 354-363 g/e/h. Pada penelitian Apdini (2011) digunakan ternak kambing perah Saanen dan Peranakan Etawah yang diberikan perlakuan rumput lapang 60% dengan penambahan Indigofera sp. sebanyak 40% dalam ransum. Faktor lain yang membedakan jumlah konsumsi PK pada penelitian ini dengan Apdini (2011) adalah jumlah rataan konsumsi BK pada penelitian Apdini (2011) sebesar 2170,86 g/e/h, sedangkan pada penelitian ini rataan konsumsi BK ransum Indigofera sp. sebesar

666,64 g/e/h (Tabel 8). Hasil konsumsi PK ransum limbah tauge pada penelitian ini sebesar 173,74 g/e/h lebih tinggi dari konsumsi PK hasil penelitian Wandito (2011) yang menunjukkan konsumsi PK ransum sebesar 77,9-131,01 g/e/h. Ransum yang digunakan Wandito (2011) adalah ransum komplit dengan kombinasi konsentrat ditambah limbah tauge segar dengan taraf pemberian limbah tauge yang berbeda- beda mencapai 75% dari ransum. Kandungan PK ransum pada penelitian Wandito (2011) sebesar 13,63% dan pada penelitian ini kandungan PK ransum limbah tauge sebesar 19,00%.

Tabel 9. Konsumsi Protein Kasar, Protein Kasar Feses dan Kecernaan Protein Kasar Ransum selama Periode Pengukuran Kecernaan

Peubah Domba Perlakuan Rataan

R1 R2 X±sd Konsumsi PK jonggol 143,23±12,52 163,58±37,98 153,40±28,35 g/e/h garut 133,60±22,94 183,89±29,16 158,74±36,23 Rataan X±sd* 138,42±17,87 b 173,74±33,17 a 156,08±31,54 PK Feces jonggol 37,95±8,03 46,04±14,89 41,99±11,89 g/e/h garut 33,15±13,74 52,51±18,00 42,83±18,08 Rataan X±sd 35,55±10,73 49,27±15,68 42,42±14,79 PK Tercerna jonggol 105,28±14,39 117,54±24,93 111,41±19,95 g/e/h garut 100,45±9,34 131,37±16,91 115,91±20,92 Rataan X±sd* 102,86±11,53 b 124,46±21,06 a 113,66±19,83

Koefisien Cerna jonggol 73,39±5,54 72,15±4,37 72,77±4,67 Protein Kasar (%) garut 75,95±6,02 71,83±5,84 73,89±5,91

Rataan X±sd 74,67±5,53 71,99±4,78 73,33±5,18

Keterangan : R1 : Ransum Indigofera sp., R2: Ransum limbah tauge, *) Superskrip dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada P<0,05

Hasil konsumsi PK pada penelitian ini sebesar 133,60-183,89 g/e/h lebih tinggi dari yang distandarkan oleh Kearl (1982), yaitu domba dengan BB 20-30 kg mengkonsumsi PK sebesar 72-106 g/e/h. Hal ini menunjukkan perlakuan ransum mencukupi kebutuhan PK untuk ternak domba pada daerah tropis. Hasil konsumsi PK pada penelitian ini sebesar 133,60-183,89 g/e/h relatif sebanding dari standar NRC (1985) yaitu sebesar 167-191 g/e/h. Adapun perbedaan konsumsi PK dengan

kebutuhan berdasarkan ketentuan NRC (1985), yaitu terkait dengan genetik dari perbedaan jenis domba yang digunakan antara domba lokal yang hidup di daerah tropis dengan domba luar negeri yang hidup di daerah subtropis. Konsumsi PK pada penelitian ini sebesar 133,60-183,89 g/e/h lebih tinggi dari konsumsi PK hasil penelitian Karolita (2011). Hasil penelitian Karolita (2011) menunjukkan domba bunting yang diberi ransum komplit dengan sumber karbohidrat jagung, onggok, dan kombinasi jagung ditambah onggok mengkonsumsi PK sebesar 76,20-77,30 g/e/h. Kandungan PK ransum pada penelitian ini mencapai 20,76% (Tabel 4), sedangkan pada penelitian Karolita (2011) kandungan PK ransum sebesar 16%. Hasil penelitian ini menunjukkan ransum konsentrat yang ditambahkan leguminosa Indigofera sp. dan limbah tauge dapat meningkatkan ketersediaan PK ransum dan meningkatkan konsumsi PK ransum.

Koefisien cerna protein kasar (KCPK) ransum tidak dipengaruhi oleh faktor jenis domba, faktor jenis ransum, dan interaksi antara kedua faktor (Tabel 9). KCPK ransum Indigofera sp. tidak berbeda nyata dengan KCPK ransum limbah tauge. KCPK ransum pada domba jonggol tidak berbeda nyata dengan KCPK ransum pada domba garut. Hasil yang tidak berbeda nyata disebabkan oleh kadar PK (Tabel 4) dan banyaknya ekskresi PK feses yang tidak berbeda pada kedua ransum perlakuan (Tabel 9), tetapi menghasilkan jumlah PK tercerna yang lebih tinggi pada ransum dengan limbah tauge (Tabel 9). Hal ini berkaitan dengan banyaknya konsumsi PK dan proses pencernaan PK di dalam saluran pencernaan.

Hasil penelitian ini lebih tinggi daripada hasil penelitian Ginting (2000), Suci (2011), dan Karolita et al. (2011). Ginting (2000) melaporkan bahwa kecernaan PK domba yang diberi hijauan berkisar antara 38,19%-51,09%. Suci (2011) menyatakan KCPK ransum dengan onggok dan bungkil kelapa pada domba jantan sebesar 55,80%. Karolita et al. (2011) menyatakan KCPK ransum dengan jagung dan onggok sebagai sumber karbohidrat sebesar 70,79% pada domba bunting. Hasil penelitian ini lebih tinggi daripada kisaran normal kecernaan protein yang dilaporkan Manurung (1996) yaitu antara 47,70%-71,94%. Penelitian ini menunjukkan pemberian tambahan leguminosa Indigofera sp. dan limbah tauge pada ransum dapat meningkatkan KCPK ransum.

Konsumsi dan Kecernaan Lemak Kasar

Konsumsi LK ransum dipengaruhi oleh faktor jenis ransum (P<0,01), tetapi tidak dipengaruhi oleh faktor jenis domba dan interaksi antara kedua faktor (Tabel 10). Rataan konsumsi LK ransum limbah tauge lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan rataan konsumsi LK ransum Indigofera sp. Rataan konsumsi LK ransum pada domba jonggol tidak berbeda nyata dengan rataan konsumsi LK ransum pada domba garut.

Tingginya konsumsi LK ransum limbah tauge dapat disebabkan oleh konsumsi BK ransum limbah tauge lebih tinggi (P<0,01) daripada konsumsi BK ransum Indigofera sp. (Tabel 8) dan kadar LK ransum limbah tauge lebih tinggi daripada ransum Indigofera sp. (Tabel 4).

Tabel 10. Konsumsi Lemak Kasar, Lemak Kasar Feses dan Kecernaan Lemak Kasar Ransum selama Periode Pengukuran Kecernaan

Peubah Domba Perlakuan Rataan

R1 R2 X±sd Konsumsi LK jonggol 24,98±2,01 36,43±8,46 30,70±8,36 g/e/h garut 23,14±3,97 41,08±6,40 32,11±10,78 Rataan X±sd** 24,06±3,08 B 38,75±7,37 A 31,40±9,35 LK Feces jonggol 3,41±1,28 4,41±3,11 3,91±2,27 g/e/h garut 3,64±1,65 4,43±2,06 4,03±1,78 Rataan X±sd 3,52±1,38 4,42±2,44 3,97±1,97 LK Tercerna jonggol 21,57±3,00 32,02±5,68 25,76±6,99 g/e/h garut 19,50±2,72 36,65±5,20 29,11±9,94 Rataan X±sd** 20,53±2,87 B 34,33±5,62 A 27,43±8,33

Koefisien Cerna jonggol 86,09±5,81 88,66±5,68 87,37±5,49 Lemak Kasar (%) garut 84,69±5,37 89,39±3,96 87,04±5,04

Rataan X±sd 85,39±5,23 89,03±4,55 87,21±5,09

Keterangan : R1 : Ransum Indigofera sp., R2: Ransum limbah tauge, **) Superskrip dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata pada P<0,01

Koefisien cerna lemak kasar (KCLK) ransum tidak dipengaruhi oleh faktor jenis domba, faktor jenis ransum, dan interaksi antara kedua faktor (Tabel 10). KCLK ransum Indigofera sp. tidak berbeda nyata dengan KCLK ransum limbah tauge. KCLK ransum pada domba jonggol tidak berbeda nyata dengan KCLK

ransum pada domba garut. Hasil yang tidak berbeda nyata disebabkan oleh perbandingan antara jumlah LK tercerna dengan konsumsi LK dari masing-masing perlakuan ransum yang relatif sebanding (Tabel 10). Namun demikian konsumsi LK yang tinggi pada ransum limbah tauge dengan LK yang dikeluarkan melalui feses yang tidak berbeda dengan ransum Indigofera sp. menghasilkan LK tercerna yang lebih tinggi pada ransum limbah tauge (P<0,01) (Tabel 10). Pond et al. (2005) menyatakan bahwa daya cerna sejati lemak yaitu melebihi 80%. KCLK hasil penelitian ini menunjukkan nilai masing-masing perlakuan cukup tinggi. KCLK yang tinggi menunjukkan bahwa pemberian Indigofera sp. dan limbah tauge ke dalam ransum dapat meningkatkan KCLK ransum.

Konsumsi dan Kecernaan Serat Kasar

Konsumsi SK ransum dipengaruhi oleh faktor jenis ransum (P<0,01), tetapi tidak dipengaruhi oleh faktor jenis domba dan interaksi antara kedua faktor (Tabel 11). Rataan konsumsi SK ransum limbah tauge lebih tinggi (P<0,01) daripada rataan konsumsi SK ransum Indigofera sp. Rataan konsumsi SK ransum pada domba jonggol tidak berbeda nyata dengan rataan konsumsi SK ransum pada domba garut.

Kadar SK ransum limbah tauge lebih tinggi daripada ransum Indigofera sp. (Tabel 4) dan konsumsi BK ransum limbah tauge lebih tinggi (P<0,01) daripada konsumsi BK ransum Indigofera sp. (Tabel 8) menjadi faktor yang mengakibatkan konsumsi SK ransum limbah tauge lebih tinggi daripada ransum Indigofera sp.

Hasil konsumsi SK ransum Indigofera sp. pada penelitian ini sebesar 117,50 g/e/h lebih rendah daripada konsumsi SK hasil penelitian Apdini (2011) yaitu sebesar 587-602 g/e/h. Pada penelitian Apdini (2011) digunakan ternak kambing perah Saanen dan Peranakan Etawah yang diberikan perlakuan rumput lapang 60% dengan penambahan Indigofera sp. sebanyak 40% dalam ransum. Ransum yang digunakan Apdini (2011) memiliki kandungan SK 28,56%, sedangkan pada penelitian ini SK ransum Indigofera sp. sebesar 17,62%.

Faktor lain yang membedakan jumlah konsumsi SK pada penelitian ini dengan Apdini (2011) adalah jumlah rataan konsumsi BK pada penelitian Apdini (2011) sebesar 2170,86 g/e/h, sedangkan pada penelitian ini rataan konsumsi BK ransum Indigofera sp. sebesar 666,64 g/e/h (Tabel 8).

Tabel 11. Konsumsi Serat Kasar, Serat Kasar Feses dan Kecernaan Serat Kasar Ransum selama Periode Pengukuran Kecernaan

Peubah Domba Perlakuan Rataan

R1 R2 X±sd Konsumsi SK jonggol 121,58±10,63 240,66±55,87 181,12±73,74 g/e/h garut 113,41±19,47 270,53±42,89 191,97±89,47 Rataan X±sd** 117,50±15,17 B 255,59±48,80 A 186,54±79,40 SK Feces jonggol 70,97±7,62 118,00±21,09 94,48±29,11 g/e/h garut 62,73±11,09 128,76±14,00 95,74±37,18 Rataan X±sd** 66,85±9,85 B 123,38a±17,54 A 95,12±32,26 SK Tercerna jonggol 50,61±4,76 122,66±36,53 86,63±45,44 g/e/h garut 50,68±8,64 141,77±30,39 96,22±52,90 Rataan X±sd** 50,64±6,46 B 132,21±32,74 A 91,43±47,90

Koefisien Cerna jonggol 41,66±2,73 50,53±3,97 46,09±5,69

Dokumen terkait