• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Proliferasi Berdasarkan Population Doubling Time (PDT)

Population Doubling Time (PDT) adalah waktu yang diperlukan oleh

populasi sel untuk menjadikan jumlahnya dua kali dari jumlah semula. Hasil PDT kultur sel saraf yang diberi perlakuan ekstrak daun mahkota dewa dibandingkan dengan kontrol disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Tingkat PDT sel saraf yang tumbuh dalam medium yang diberi ekstrak daun mahkota dewa

Kontrol positif

Kontrol negatif

Konsentrasi MD (ekstrak daun mahkota dewa)

100 ppm 200 ppm 400 ppm

3,28 ± 0,26a 3,78 ± 0,51ab 3,93 ± 0,49ab 4,33 ± 0,28b 6,63 ± 1,27c

Ket: Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0,05). Kontrol positif (mDMEM+asiaticoside (AC) 30 µg/ml); kontrol negatif (mDMEM); MD 100 ppm (mDMEM+MD 100 ppm); MD 200 ppm (mDMEM+MD 200 ppm); MD 400 ppm (mDMEM+MD 400 ppm).

Menurut Martin (1994), sel saraf memiliki PDT sekitar 3-4 hari. Proliferasi sel yang cepat ditunjukkan dari PDT yang rendah. Nilai PDT pada MD 400 ppm secara nyata lebih besar dibandingkan kontrol positif dan negatif yaitu 6,63 ± 1,27 (P<0,05), sedangkan MD 100 ppm dan 200 ppm tidak berbeda nyata tetapi tetap lebih besar daripada kontrol positif dan negatif. Berdasarkan hasil tersebut, pemberian ekstrak daun mahkota dewa dapat menyebabkan proliferasi sel yang lebih lambat. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun mahkota dewa yang diberikan, efek antiproliferasinya semakin besar.

Salah satu cara mengendalikan sel kanker adalah dengan menghambat proliferasi selnya (Mori et al. 2004).Kintoko dan Pihie (2007) meneliti kultur sel kanker servik, sel kanker melanoma, sel kanker payudara, dan sel hati normal yang diberi ekstrak daun mahkota dewa. Hasil penelitian tersebut memberikan informasi bahwa ekstrak daun mahkota dewa dapat menghambat proliferasi sel-sel kanker walaupun tidak signifikan. Ekstrak daun mahkota dewa juga bersifat antiproliferatif tidak selektif yang artinya ekstrak daun mahkota dewa tidak hanya dapat menghambat proliferasi sel-sel kanker, tetapi juga dapat menghambat

proliferasi sel-sel hati normal. Berdasarkan penelitian Tjandrawinata et al. (2010) mahkota dewa memiliki efek antiinflamasi, antiangiogenesis, antiproliferasi, dan proapoptosis pada kultur sel kanker payudara.

A akson badan sel dendrit B akson badan sel dendrit

Gambar 4 Sel saraf bipolar pada kontrol negatif (A) dan sel saraf bipolar pada MD 400 ppm yang selnya mengalami degenerasi (B). Bar: 10µm.

Bentuk degenerasi sel saraf dapat dilihat pada kultur sel saraf MD 400 ppm. Gambar 4 memperlihatkan perbandingan bentuk sel saraf pada kontrol negatif dan MD 400 ppm secara natif. Sel saraf pada kontrol negatif terlihat utuh sedangkan sel saraf pada MD 400 ppm mengalami degenerasi. Menurut Shearer dan Fawcett (2001), terjadinya kerusakan pada sel saraf dapat mengakibatkan terjadinya degenerasi akson.

Dardanela (2005) telah melakukan penelitian mengenai toksisitas dari ekstrak buah mahkota dewa terhadap larva udang Artemia salina Leach, dari hasil penelitian tersebut nilai toksisitas LC50 mahkota dewa adalah sebesar 541,76 ppm.

Komposisi Jumlah Sel Glia dan Sel Saraf

Sel glia merupakan sel-sel yang menjaga, memelihara, dan mendukung sel saraf. Terdapat empat macam sel glia di sistem saraf pusat yaitu astrosit, oligodendrosit, mikroglia, dan sel ependimal. Astrosit berfungsi memberikan nutrisi pada sel saraf serta memperbaiki dan mencegah jaringan saraf dari kerusakan. Oligodendrosit merupakan sel glia yang melapisi akson dengan

myelin. Mikroglia melindungi sistem saraf pusat dengan mekanisme fagosit. Sel ependimal merupakan sel epitel yang melapisi dinding ventrikel, membentuk, memonitor, dan membantu sirkulasi cairan cerebrospinal (Kuntarti 2007). Menurut Shearer dan Fawcett (2001), terjadinya toksisitas pada sistem saraf secara in vivo dapat menyebabkan infiltrasi sel glia. Sel glia pertama yang berespon adalah astrosit, kemudian mikroglia, dan disusul oleh oligodendrosit.

Sel glia yang ditemukan pada kultur sel saraf adalah astrosit, oligodendrosit, dan mikroglia. Bentuk ketiga sel ini mirip dengan sel saraf. Morfologi sel glia dan sel saraf dapat disajikan pada Gambar 5. Sel ependimal tidak terlihat pada kultur sel saraf karena sel ependimal melapisi dinding ventrikel.

Gambar 5 Sel glia astrosit (A), oligodendrosit (B), mikroglia (C), dan sel saraf multipolar (D). Pewarnaan HE. Bar: 5µm.

Perbandingan sel saraf dengan sel glia pada kondisi in vivo adalah 1:10 (Junqueria & Carnerio 2005). Persentase sel saraf dan sel glia pada masing-masing perlakuan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

A B

Tabel 2 Persentase sel saraf dan sel glia pada masing-masing perlakuan (%) Jenis sel Kontrol positif Kontrol negatif Konsentrasi MD 100 ppm 200 ppm 400 ppm Sel saraf 69,03 ± 3,47c 47,19 ± 9,94b 52,46 ± 5,23b 46,75 ± 4,49b 27,33 ± 4,93a Sel glia 30,97 ± 3,47a 52,81 ± 9,94b 47,54 ± 5,23b 53,25 ± 4,49b 72,67 ± 4,93c Ket: Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata

(P<0,05).

Persentase sel saraf dan sel glia pada kontrol negatif adalah 41,50% dan 58,50%. Hasil ini hampir sama dengan penelitian Riyacumala (2010) yang memberikan hasil persentase sel saraf dengan sel glia pada medium DMEM yang ditambahkan serum 10% adalah 48,50% dan 51,50%. Sel glia memiliki jumlah yang lebih banyak karena digunakan untuk membantu pertumbuhan sel saraf. Pada penelitian ini, persentase sel glia tertinggi adalah pada MD 400 ppm sebanyak 76,00%.

Berdasarkan penelitian Dardanela (2005) ekstrak kasar buah mahkota dewa pada konsentrasi 100 ppm, 200 ppm, dan 300 ppm dapat menghambat enzim tirosin kinase. Penghambatan terbesar adalah pada konsentrasi 300 ppm yaitu sebanyak 72,11%. Enzim tirosin kinase adalah enzim yang berperan penting dalam mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel. Aktivitas tirosin kinase sebagai reseptor pertumbuhan sangat penting bagi proliferasi sel (Salim 2006). Jika enzim ini dihambat, pertumbuhan sel menjadi terhambat sehingga proliferasi sel juga terhambat.

Sel saraf dan sel glia diketahui sama-sama memiliki enzim tirosin kinase (Voigt et al. 1996) sehingga memiliki peluang untuk dihambat pertumbuhannya oleh ekstrak daun mahkota dewa, tetapi hasil penelitian ini pada perlakuan konsentrasi 400 ppm jumlah sel glia tetap tinggi sedangkan sel saraf rendah. Dari hasil tersebut, terlihat bahwa ekstrak daun mahkota dewa lebih spesifik menghambat sel saraf dibandingkan sel glia. Sel saraf memiliki morfologi yang berbeda dengan sel glia. Sel saraf memiliki myelin pada aksonnya sedangkan sel glia tidak memiliki akson sehingga tidak memiliki myelin. Berdasarkan hal tersebut, ekstrak daun mahkota dewa kemungkinan memiliki pengaruh pada myelin tetapi hal ini perlu dikaji lebih lanjut.

Pertumbuhan Panjang Akson dan Dendrit

Akson dan dendrit merupakan penjuluran sel saraf yang berfungsi untuk menghantarkan impuls. Panjang akson dan dendrit pada penelitian ini disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Panjang akson dan dendrit pada masing-masing perlakuan (µm) Kontrol positif Kontrol negatif Konsentrasi MD 100 ppm 200 ppm 400 ppm Akson 21,50 ± 3,37ab 18,11 ± 2,25a 16,09 ± 5,29a 32,79 ± 8,19c 28,55 ± 3,60bc Dendrit 9,27 ± 3,60a 10,28 ± 2,19a 7,89 ± 2,03a 13,07 ± 0,96a 23,25 ± 4,31b Ket: Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata

(P<0,05).

Sel-sel saraf yang memiliki ukuran akson paling panjang secara nyata adalah pada perlakuan MD 200 ppm yaitu 32,79 ± 8,19 µm, sedangkan dendrit pada perlakuan MD 400 ppm yaitu 23,25 ± 4,31 µm. Semakin panjang dan banyak jumlah dendrit maka semakin besar kemungkinan untuk terjadinya sinaps dengan sel saraf yang lain. Dengan semakin banyaknya sinaps, maka kemampuan otak untuk menampung informasi menjadi lebih besar (Affari 2011).

Sel saraf berkembang dari progenitor saraf atau neuroblast yang memiliki kemampuan membelah dan melakukan diferensiasi menjadi sel-sel saraf (Kim et

al. 2008). Neuroblast memiliki penjuluran yang nantinya akan berkembang

menjadi akson dan dendrit (Kalverbour et al. 1999). Pada penelitian Riyacumala (2010) panjang akson dan dendrit dari sel-sel saraf yang ditumbuhkan pada medium dasar (mDMEM) selama sebelas hari berkisar 167,7 µm dan 102,5 µm. Pada penelitian ini, kultur dilakukan selama enam hari. Panjang akson dan dendrit yang didapat lebih pendek dibandingkan dengan hasil penelitian Riyacumala (2010) yaitu berkisar 18,11 µm dan 10,28 µm. Hal ini disebabkan karena penjuluran sel-sel saraf masih berkembang sehingga panjang penjuluran sel-sel saraf ini pada hari kesebelas akan lebih panjang dibandingkan hari keenam.

Berdasarkan data-data yang diperoleh, ekstrak daun mahkota dewa memiliki efek menghambat proliferasi sel-sel saraf. Namun, ekstrak daun mahkota dewa dapat meningkatkan panjang akson dan dendrit.

Dokumen terkait