• Tidak ada hasil yang ditemukan

Percobaan 3. Efek Pemberian Kombinasi Probiotik Saccharomyces cerevisiae

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Seleksi Saccharomyces cerevisiae sebagai Probiotik secara in vitro

Hasil percobaan 1 menunjukkan adanya interaksi antara strain S. cerevisiae dengan waktu inkubasi (P<0.05) terhadap populasi S. cerevisiae dalam rumen. Ketiga strain S. cerevisiae memiliki perbedaan pertumbuhan dalam cairan rumen. Strain dengan pertumbuhan terbaik dalam rumen adalah strain NRRL 12618 dengan laju pertumbuhannya 3.3% jam-1, sedangkan strain NBRC 10217 dan NRRL Y 567 memiliki pertumbuhan yang hampir sama (Gambar 1) dengan laju pertumbuhan masing-masing 2.2% jam-1 dan 2.3% jam-1. Perlakuan kontrol (tanpa suplementasi S. cerevisiae) tidak ditemukan pertumbuhan S. cerevisiae dalam media cairan rumen. Hal ini menunjukkan bahwa S. cerevisiae yang dihitung merupakan S. cerevisiae yang ditambahkan.

Ketiga strain S. cerevisiae memiliki pertumbuhan yang semakin meningkat sejalan dengan lamanya waktu inkubasi. Namun, peningkatan kelajuan pertumbuhan S. cerevisiae setelah 4 jam belum diketahui. Menurut Koul et al. (1998) yeast menunjukkan efek stimulasi selama 2-4 jam dan aktivitasnya akan menurun pada 12 jam. Hal ini menunjukkan setelah 24 jam aktivitas S. cerevisiae akan hilang, sehingga suplementasi S. cerevisiae diberikan setiap hari pada hewan ternak untuk merangsang aktivitas mikroba rumen. Hasil Penelitian Harrison et al. (1988) menyatakan ransum yang disuplementasi S. cerevisiae sebanyak 2.4 x 106 cfu g-1 setelah inkubasi 4 jam menunjukkan pertumbuhan S. cerevisiae sebesar 5.67 log cfu ml-1 cairan rumen, lebih tinggi dibandingkan pada percobaan ini dengan populasi 3.04-3.75 log cfu ml-1 cairan rumen.

Semakin meningkatnya populasi S. cerevisiae dalam cairan rumen dapat disebabkan oleh konsentrasi oksigen dalam media, karena salah satu faktor yang

berpengaruh terhadap pertumbuhan S. cerevisiae dalam rumen adalah

ketersediaan oksigen dalam rumen. Beberapa strain S. cerevisiae mampu beradaptasi dalam kondisi anaerob. Hal ini menunjukkan ketiga strain S. cerevisiae yang digunakan bersifat anaerob fakultatif. Perbedaan strain S. cerevisiae menyebabkan kemampuan konsumsi oksigen yang berbeda sehingga berbeda pula aktivitas metabolisnya Jurkovich et al. (2014).

Gambar 1. Pertumbuhan tiga strain S. cerevisiae dalam cairan rumen

Pengaruh S. cerevisiae terhadap pertumbuhan bakteri rumen total pada ransum diperlihatkan pada Gambar 2. Tidak ada interaksi antara strain S.

3 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 0 2 4 6 P o p u la si SC (lo g c fu m l -1 cair an r u m en )

Waktu inkubasi (jam)

NBRC 10217 NRRL Y 567 NRRL 12618

12

cerevisiae dengan waktu inkubasi (P>0.05) terhadap populasi bakteri rumen total. Semua perlakuan tidak menunjukkan pola pertumbuhan secara linier, kuadratik maupun kubik (P>0.05). Berdasarkan rataan waktu bergerak maka terdapat kecenderungan populasi bakteri rumen total meningkat jika disuplementasi dengan S. cerevisiae, sedangkan perlakuan kontrol yang tidak disuplementasi S. cerevisiae mengalami penurunan populasi bakteri rumen total. Perlakuan suplementasi strain S. cerevisiae NRRL 12618 memiliki pertumbuhan populasi bakteri rumen total yang paling baik dibanding dengan strain S. cerevisiae NBRC

10217 dan strain S. cerevisiae NRRL Y 567. Berdasarkan kelajuan

pertumbuhannya yang tinggi dalam cairan rumen serta kemampuannya dalam menstimulasi pertumbuhan bakteri rumen maka strain S. cerevisiae NRRL 12618 terpilih sebagai probiotik yeast terbaik yang akan digunakan pada percobaan kedua.

Semakin meningkatnya populasi bakteri rumen pada perlakuan suplementasi S. cerevisiae disebabkan oleh S. cerevisiae mampu menghilangkan oksigen dalam rumen untuk mempertahankan aktivitas metabolismenya (Rose 1987). Oksigen merupakan komponen toksik bagi bakteri anaerob dalam rumen dan dapat menghambat pelekatan bakteri selulolitik terhadap selulosa (Roger et al. 1990). Hasil penelitian Chaucheryas-Durand et al. (2008) menyatakan suplementasi S. cerevisiae mampu menurunkan potensial redoks yang memberikan kondisi ekologis yang lebih baik untuk pertumbuhan dan aktivitas mikrooganisme anaerob. Faktor lain yang menyebabkan tingginya populasi bakteri rumen pada perlakuan penambahan S. cerevisiae karena S. cerevisiae mempunyai kemampuan menyediakan faktor tumbuh seperti asam organik dan vitamin sehingga mampu menstimulasi populasi bakteri rumen.

Gambar 2. Pengaruh penambahan probiotik S. cerevisiae terhadap pertumbuhan bakteri rumen total

Efek Suplementasi Saccharomycescerevisiae, MR4 terhadap Fermentabilitas, Populasi Mikroba dan Detoksifikasi Aflatoksin

Karakteristik fermentasi dan populasi mikroba rumen dapat diperlihatkan pada Tabel 4. Suplementasi probiotik tidak memberikan pengaruh pada nilai pH. Hal ini menunjukkan suplementasi probiotik masih dapat mempertahankan pH rumen secara normal yaitu sebesar 5.5-7.0 (Dehority 2005). Suplementasi probiotik S. cerevisiae pada P1 cenderung memiliki rataan nilai pH yang paling tinggi yaitu 6.96 diikuti dengan pemberian kombinasi S. cerevisiae dan probiotik

6.6 6.7 6.8 6.9 7 7.1 7.2 7.3 0 1 2 3 4 P o p u lasi B ak ter i Ru m en T o tal (lo g cf u m l -1 ca ir an r u m en )

Waktu Inkubasi (jam)

Kontrol NBRC 10217 NRRL Y 567 NRRL 12618

MR4 sebesar 6.92. pH rumen yang normal mendukung ekosistem pertumbuhan bakteri rumen dan aktivitas fermentasinya menjadi lebih optimal. Beberapa hasil penelitian menunjukkan suplementasi S. cerevisiae mampu meningkatkan pH rumen. Hal ini disebabkan oleh yeast mampu bersaing dengan bakteri pencerna pati (amilolitik) sehingga dapat mencegah akumulasi asam laktat dalam rumen (Lynch dan Martin 2002) sehingga dapat meningkatkan pH rumen. Selain itu hasil penelitian Thrune et al. (2009) sapi perah yang disuplementasi yeast berupa S. cerevisiae memiliki lama waktu pH rendah yang lebih singkat (pH<5.6) dibanding dengan perlakuan kontrol yang tidak disuplementasi yeast.

Tabel 4 Karakteristik fermentasi dan populasi mikroba rumen secara in vitro dari ransum sapi pedaging yang disuplementasi probiotik S. cerevisiae dan MR4

Parameter Perlakuan

P0 P1 P2 P3

pH 6.88±0.04 6.96±0.15 6.88±0.04 6.92±0.11

NH3 (mM) 5.73±0.3c 5.95±0.77b 6.49±0.23a 6.26±0.18b

Bakteri rumen (log cfu ml-1)

7.04±0.76c 7.29±0.81b 7.97±0.47a 7.67±0.66b

Protozoa (log sel ml-1) 3.98±0.11a 3.79±0.13b 3.80±0.14b 3.78±0.23b Keterangan : P0 (pakan kontrol); P1 (P0 + probiotik S. cerevisiae), P2 (P0 + MR4); P3 (P0 +

probiotik S. cerevisiae + MR4). Superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaaan nyata (P<0.05).

Suplementasi probiotik mampu meningkatkan konsentrasi amonia (NH3) rumen (P<0.05). Kemampuan probiotik tunggal dalam memproduksi NH3 rumen sama dengan perlakuan kombinasi, sedangkan perlakuan suplementasi probiotik MR4 memiliki rataan konsentrasi NH3 rumen yang lebih tinggi dibandingkan suplementasi probiotik S. cerevisiae dengan rataan berturut-turut 6.49 mM dan 5.95 mM. Rataan konsentrasi NH3 pada perlakuan kontrol dan pemberian S. cerevisiae tidak berada di kisaran normal (6-21 mM) (McDonald et al. 2002). Rendahnya nilai NH3 dalam rumen dipengaruhi oleh kelarutan protein dalam ransum. NH3 digunakan sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein mikroba (Bach et al. 2005) sehingga bakteri dapat tumbuh dalam rumen. Konsentrasi NH3

pada penelitian ini sejalan dengan populasi bakteri rumen total. Suplementasi probiotik mampu meningkatkan populasi bakteri rumen total (P<0.05). Kemampuan probiotik tunggal dalam merangsang pertumbuhan bakteri rumen sama dengan perlakuan kombinasi, sedangkan perlakuan P2 memiliki rataan populasi bakteri rumen yang lebih tinggi dibandingkan P1 dengan rataan berturut-turut 7.97 log cfu ml-1 dan 7.29 log cfu ml-1. Tingginya populasi bakteri rumen pada P2 ini disebabkan oleh probiotik MR4 itu sendiri merupakan bakteri rumen. Hal ini menunjukkan pemberian probiotik secara tunggal maupun kombinasinya mampu meningkatkan suplai NH3 dalam rumen untuk disintesis menjadi protein mikroba sehingga terjadi peningkatan suplai asam amino pasca rumen yang bermanfaat untuk ternak.

Suplementasi probiotik berpengaruh terhadap penurunan populasi protozoa pada inkubasi 4 jam (P<0.05). Rendahnya populasi protozoa pada perlakuan suplementasi probiotik menunjukkan pemberian probiotik meningkatkan populasi bakteri rumen sehingga populasi protozoa menurun. Hal ini yang menunjukkan penambahan probiotik hidup mampu mendefaunasi protozoa. Hasil penelitian Kowalik et al. (2012) menunjukkan suplementasi S. cerevisiae hidup mampu

14

menurunkan protozoa rumen, sedangkan suplementasi metabolit S. cerevisiae dapat meningkatkan protozoa rumen karena pada S. cerevisiae mati berfungsi sebagai prebiotik sebagai sumber nutrien mikroba rumen. Strain S. cerevisiae mengandung faktor-faktor terlarut (vitamin B, asam amino, asam organik seperti fumarat, malat dan aspartat), selain itu kandungan membran sel S. cerevisiae berupa mannan dan β-glukan dapat menstimulasi pertumbuhan Entodinium. Nutrien-nutrien inilah yang dapat diutilisasi bakteri maupun protozoa untuk

kelangsungan hidupnya sehingga pemberian S. cerevisiae mati mampu

meningkatkan populasi. Hasil penelitian Dobicki et al. (2006) menunjukkan bahwa metabolit S. cerevisiae mampu meningkatkan populasi Diplodinium spp. dibandingkan dengan kontrol.

Tabel 5 Konsentrasi VFA total dan parsial secara in vitro dari ransum sapi pedaging yang disuplementasi probiotik S. cerevisiae dan MR4

Parameter Perlakuan P0 P1 P2 P3 VFA total (mM) 101.05± 5.41b 115.53± 17.88a 110.36± 0.88a 119.89± 5.41a Asetat (mM) 50.46±3.39 58.15±7.12 52.80±0.85 55.82±2.49 Propionat (mM) 34.71±3.54 43.31±7.42 36.17±1.75 38.93±2.39 Butirat (mM) 9.60±0.43 12.51±2.01 10.77±0.42 12.16±1.06 Isobutirat (mM) 6.13±1.14 6.50±1.04 6.66±0.45 7.26±0.74 Valerat (mM) 0.66±0.21 1.04±0.63 0.71±0.25 1.03±0.05 Isovalerat (mM) 1.98±0.87c 1.89±0.52d 2.79±0.96b 3.93±0.65a Asetat : Propionat 1.46±0.05 1.35±0.10 1.46±0.08 1.43±0.05 Keterangan : P0 (pakan kontrol); P1 (P0 + probiotik S. cerevisiae), P2 (P0 + MR4); P3 (P0 +

probiotik S. cerevisiae + MR4). Superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaaan nyata (P<0.05).

Konsentrasi VFA total dan parsial diperlihatkan pada Tabel 5. Suplementasi probiotik berpengaruh terhadap peningkatan konsentrasi VFA total pada rumen (P<0.05) namun tidak mempengaruhi proporsi molar asetat, propionat, butirat dan isobutirat. Suplementasi probiotik S. cerevisiae yang dikombinasikan dengan isolat MR4 memiliki kemampuan yang sama dengan suplementasi probiotik secara tunggal dengan rataan konsentrasi VFA berturut-turut 119.89 mM dan 112.94 mM. Kosentrasi VFA total ini masih berada dalam kisaran normal yaitu 70-150 mM atau setara dengan 5-10 g l-1 (McDonald et al. 2002). Ternak sapi yang diberi ransum dengan rasio hijauan 60% dan konsentrat 40% menghasilkan VFA 96 mM dengan proporsi asetat (C2) 61%, propionat (C3) 18%, butirat (C4) 13% dan 8% isoacid lainnya (McDonald et al. 2002). Proporsi VFA pada penelitian ini adalah 47.72% asetat (C2), 33.51% propionat (C3), 9.86% butirat (C4) dan 8% isoacid. Suplementasi probiotik tidak mempengaruhi rasio asetat : propionat. Semua perlakuan memiliki rasio A:P rendah yang menunjukkan bahwa produksi propionat dalam rumen yang tinggi. Kandungan propionat yang tinggi menunjukkan aktivitas propiogenik yang lebih dominan dalam merombak pakan. Kandungan propionat yang tinggi disebabkan oleh tingginya Propionibacteria seperti Meganosphera elsdenii dan Selenomonas ruminantium yang mengubah asam laktat menjadi propionat (Silberberg et al. 2013). Proporsi propionat yang tinggi sangat cocok untuk sapi pedaging. Propionat merupakan prekursor utama dalam proses glukoneogenesis, sehingga kenaikan produksi propionat didalam rumen dapat meningkatkan produksi glukosa di dalam hati (Stein et al. 2006).

Kandungan isobutirat tidak dipengaruhi oleh suplementasi probiotik sedangkan isovalerat dipengaruhi oleh suplementasi probiotik (P<0.05). Kandungan isovalerat meningkat pada perlakuan yang disuplementasi probiotik. Suplementasi MR4 dalam pakan memiliki konsentrasi isovalerat yang tinggi dibanding suplementasi S. cerevisiae (P<0.05), namun jika keduanya dikombinasikan maka konsentrasi isovalerat akan tinggi dibandingkan perlakuan tunggal. Produksi isoacid (isobutirat dan isovalerat) oleh mikroba rumen berhubungan dengan pelepasan asam amino dan deaminasi dari protein di rumen dan dapat terjadi pada saat protein degradabel dapat dimanfaatkan (Yang et al. 2004). Bakteri selulolitik lebih dominan menggunakan N-NH3 sementata bakteri amilolitik menggunakan asam amino sebagai aktivitas proteolitik. Konsentrasi isobutirat dan isovalerat yang tinggi pada perlakuan P3 menunjukkan peningkatan aktivitas proteolitik dengan S. cerevisiae sehingga bakteri pendegradasi protein dapat memanfaatkan asam amino rantai cabang sebagai sumber energi sehingga menghasilkan asam lemak rantai cabang sebagai produk akhirnya. Asam amino dan peptida hasil degradasi bakteri yang memiliki aktivitas proteolitik dapat diinkorporasi menjadi protein mikroba atau dapat dideaminasi menjadi VFA jika energi dibutuhkan oleh bakteri rumen (Bach et al. 2005). El Hassan et al. (1996) menyatakan terjadi peningkatan jumlah protein di rumen pada saat yeast ditambahkan, hal ini berhubungan dengan peningkatan inkorporasi N-NH3

menjadi protein mikroba. Suplementasi yeast dapat menstimulasi bakteri amilolitik yang mendegradasi protein murni (asam amino) dan menghasilkan peningkatan konsentrasi isoacid dan valerat (Dawson et al. 1990). Sebagian besar bakteri selulolitik membutuhkan isoacid dari deaminasi protein untuk meningkatkan pertumbuhannya dan mendegradasi serat (Yang 2002). Konsentrasi isovalerat dapat dipengaruhi oleh nilai pH rumen, bila pH rumen stabil seperti pada penelitian ini maka konsentrasi isovalerat dapat meningkat.

Tabel 6 Konsentrasi AFB1 secara in vitro dari ransum sapi pedaging yang disuplementasi probiotik S. cerevisiae dan MR4

Konsentrasi AFB1 Perlakuan

P0 P1 P2 P3

0 jam (ng l-1) ---16.67---

4 jam (ng l-1) 16.67 33.33 16.67 ttd

Keterangan : P0 (pakan kontrol); P1 (P0 + probiotik S. cerevisiae ), P2 (P0 + MR4); P3 (P0 + probiotik S. cerevisiae + MR4). Ttd = tidak terdeteksi

Konsentrasi aflatoksin B1 (AFB1) dalam rumen pada inkubasi 0 jam dan 4 jam ditunjukkan pada Tabel 6. Konsentrasi AFB1 dalam rumen pada inkubasi 0 jam sebesar 16.67 ng l-1. Setelah inkubasi 4 jam konsentrasi AFB1 pada perlakuan P0 dan P2 masih sama sebesar 16.67 ng l-1 yang menunjukkan belum terjadinya perombakan AFB1. Isolat MR4 ini mampu menekan degradasi AFB1 sehingga tidak terjadi peningkatan konsentrasi AFB1. Perlakuan P1 dengan suplementasi S. cerevisiae terjadi peningkatan konsentrasi AFB1 menjadi 33.33 ng l-1. Peningkatan konsentrasi AFB1 ini disebabkan oleh AFB1 diserap oleh dinding sel S. cerevisiae sehingga dapat ditransformasikan menjadi metabolit AFB1 lain dalam rumen. Selain itu tingginya konsentrasi AFB1 juga disebabkan pada percobaan in vitro tidak terjadi penyerapan, sehingga terjadi akumulasi AFB1. Penggunaan S. cerevisiae sebagai agen detoksifikasi aflatoksin optimal pada pH 4 (Dawson et al. 2001) sedangkan pada penelitian ini inkubasi dalam media cairan rumen memiliki rataan pH 6.96. Perlakuan P3 dengan suplementasi probiotik S. cerevisiae dan probiotik MR4 tidak terdeteksi konsentrasi AFB1 dalam rumen.

16

Hal ini diduga terjadi penurunan konsentrasi AFB1 akibat kombinasi suplementasi S. cerevisiae dan MR4. Probiotik S. cerevisiae berperan dalam mengurangi penyerapan AFB1 dalam rumen dengan terjadinya penyerapan molekul toksin pada dinding sel S. cerevisiae, sementara MR4 dapat menekan perombakan AFB1 menjadi metabolit lainnya. Pengukuran konsentrasi AFB1 pada penelitian ini berasal dari satu sampel (tidak ada ulangan), hal ini yang menyebabkan terjadinya ketidak konsistenan pada hasil yang diperoleh. Upadhaya et al. (2009) menyatakan bahwa aktivitas perombakan AFB1 pada ternak sapi yang dilakukan secara in vivo menurun pada 3 jam inkubasi, setelah itu mengalami peningkatan sampai 12 jam inkubasi. Perbedaan kemampuan degradasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kemampuan masing-masing spesies, rasio hijauan dan konsentrat, jenis dan populasi mikroba rumen, dan waktu inkubasi. Penelitian lain yang menggunakan strain S. cerevisiae dalam mendetoksifikasi AFB1 adalah Shetty et al. (2006) menyatakan bahwa kemampuan S. cerevisiae mendetoksifikasi AFB1 sebesar 40-70%.

Efek Pemberian Kombinasi Probiotik Saccharomyces cerevisiae dan MR4 terhadap Kecernaan dan Performa Sapi Bali

Sapi Bali merupakan hasil domestikasi dari Banteng. Sapi Bali biasa dipelihara secara ekstensif di daerah asalnya di Nusa Tenggara Timur, sehingga pada penelitian ini sapi Bali harus diadaptasikan dengan kondisi lingkungan, kandang dan pakan yang diberikan. Adaptasi terhadap pakan penelitian dilakukan selama 10 hari. Tingkat palatabilitas atau kesukaan terhadap ransum dapat terlihat dari konsumsi segar dan konsumsi nutrien sapi Bali. Tabel 7 menunjukkan konsumsi pakan dan nutrien sapi Bali yang disuplementasi probiotik S. cerevisiae dan isolat MR4. Suplementasi probiotik belum mampu meningkatkan konsumsi Hi~fer dan konsumsi konsentrat.

Tabel 7 Konsumsi pakan dan nutrien sapi Bali yang disuplementasi probiotik S. cerevisiae dan MR4

Parameter Perlakuan

P0 P1

Konsumsi segar

Hi~fer(kg ekor-1 hari-1) 4.62±4.86 4.63±2.48

Konsentrat (kg ekor-1 hari-1) 3.69±31.37 3.72±11.49

Konsumsi nutrien

BK (kg ekor-1 hari-1) 4.15±27.94 4.18±9.56

BK metabolis (g kg-1 BB0.75 hari-1) 77.15±6.38 76.83±5.65

Abu (g ekor-1 hari-1) 495±3.34 498±1.14

BO (kg ekor-1 hari-1) 3.66±24.60 3.68±8.42

BO metabolis (g kg-1 BB0.75 hari-1) 67.95±5.62 67.66±4.98

PK (g ekor-1 hari-1) 353±2.42 356±0.83

LK (g ekor-1 hari-1) 123±0.93 124±0.33

SK (g ekor-1 hari-1) 651±3.59 654±1.14

BETN (kg ekor-1 hari-1) 2.53±17.69 2.55±6.12

Keterangan : P0 = ransum basal, P1 = P0 + probiotik S. cerevisiae dan MR4. Superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)

Peningkatan palatabilitas dan konsumsi ransum dapat dilihat dari peubah konsumsi BK metabolis dan BO metabolis. Pada penelitian ini belum menunjukkan adanya peningkatan konsumsi BK metabolis dan BO metabolis (P>0.05) yang menunjukkan suplementasi probiotik belum mampu meningkatkan palatabilitas dan konsumsi ransum. Hasil penelitian Vyas et al. (2014) menyatakan suplementasi S. cerevisiae dengan dosis 4 x 1010 cfu hari-1 dalam ransum yang mengandung 40% silase barley, 10% hay dan 50% barley belum mampu meningkatkan konsumsi BK. Pinos-Rodriguez et al. (2008) menyatakan bahwa pemberian S. cerevisiae dengan dosis 2 x 1010 cfu hari-1 pada ransum mampu meningkatkan konsumsi BK. Respon pemberian yeast dalam hal ini S. cerevisiae dalam ransum tidak konsisten pada beberapa penelitian. Hal ini diduga karena karakteristik S. cerevisiae yang berbeda antara masing-masing strain, dosis atau jumlah S. cerevisiae yang ditambahkan dalam pakan, hewan ternak percobaan, dan komposisi ransum yang berbeda. Probiotik S. cerevisiae yang diberikan merupakan probiotik padat dan tidak memiliki aroma yang dapat meningkatkan serea makan ternak serta probiotik diberikan dalam jumlah sedikit. Lee et al. (2009) menyatakan konsumsi pakan dapat dipengaruhi oleh rasa dan aroma pakan. Suplementasi probiotik juga belum memberikan pengaruh terhadap konsumsi nutrien (BK, abu, BO, PK, SK, LK dan BETN).

Kearl (1982) menyatakan sapi dengan BB 200 kg dan PBBH 0.5 kg ekor-1 hari-1 memiliki kebutuhan konsumsi BK sebesar 5.2 kg BK atau 2.6% bobot hidup, sedangkan pada penelitian ini konsumsi BK sapi Bali berkisar 4.12-4.19 kg ekor-1 hari-1 atau sekitar 2.08% bobot hidup. Selain itu kebutuhan PK pada sapi tersebut juga kurang, Kearl (1982) menyatakan kebutuhan protein sapi tersebut seharusnya 554 g ekor-1 hari-1 sedangkan konsumsi PK pada penelitian ini adalah 353-356 g ekor-1 hari-1. Hal ini menunjukkan konsumsi BK dan PK sapi Bali pada penelitian ini perlu ditingkatkan agar optimal pertumbuhannya.

Tabel 8 Kecernaan nutrien ransum sapi Bali yang disuplementasi probiotik S. cerevisiae dan MR4 Parameter Perlakuan P0 P1 Kecernaan (%) BK 60.36±2.15 62.45±5.56 BO 68.16±1.07 67.55±0.90 Abu 26.13±7.11 19.67±4.69 PK 63.65±2.54 64.16±1.87 LK 89.76±2.10 91.39±2.53 SK 44.80±3.25 43.85±1.15 BETN 73.93±2.19 69.27±1.15 TDN (%) 63.3±1.0 62.8±0.9 DE (Mcal kg-1) 2.79±0.04 2.77±0.04 ME (Mcal kg-1) 2.37±0.04 2.35±0.04

18

Kecernaan menunjukkan tinggi rendahnya kualitas bahan pakan. Kandungan nutrien yang mudah dicerna akan memiliki nilai gizi yang tinggi, sehingga nutrien tersebut dapat dimanfaatkan oleh hewan. Kecernaan juga digunakan sebagai penduga mutu ransum. Tabel 8 menunjukkan kecernaan nutrien ransum sapi Bali yang disuplementasi probiotik S. cerevisiae dan isolat MR4. Secara umum tidak terdapat perbedaan yang nyata efek suplementasi terhadap kecernaan nutrien (BK, BO, abu, PK, LK, SK, BETN). Hal ini sejalan dengan konsumsi nutrien yang tidak berbeda antara perlakuan kontrol dan suplementasi probiotik. Efek suplementasi probiotik pada penelitian ini adalah pada performa sapi Bali (Tabel 9) tanpa mengganggu konsumsi pakan dan kecernaan nutrien. Suplementasi probiotik belum memberikan efek pada kecernaan TDN, DE dan ME (P<0.05). Sapi Bali memiliki efisiensi penggunaan ME untuk peningkatan PBBH yang rendah. Karakteristik ini membuat sapi Bali tidak sesuai dengan sistem pemeliharaan high input-high output. Sapi Bali lebih sesuai dengan sistem pemeliharaan low input-low output yang biasa dilakukan oleh petani (Quigley et al. 2014).

Tabel 9 Pertambahan bobot badan dan efisiensi pakan sapi Bali yang disuplementasi probiotik S. cerevisiae dan MR4

Parameter Perlakuan

P0 P1

Bobot badan awal (kg ekor-1 hari-1) 197±18.98 200±16.43

Pertambahan bobot badan harian (g ekor-1 hari-1)

330±180 440±220

Bobot badan akhir (kg ekor-1 hari-1) 207±21.66 213±13.81

Laju pertumbuhan (% hari-1) 4.97±2.56 6.69±3.48

Efisiensi pakan (%) 7.95±4.33 10.43±5.27

Keterangan : P0 = ransum basal, P1 = P0 + probiotik S. cerevisiae dan MR4

Pengaruh suplementasi probiotik terhadap pertambahan bobot badan dan efisiensi pakan ditunjukkan pada Tabel 9. Hasil pengukuran BB awal sapi Bali menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata, artinya bobot badan awal tidak menjadi pembatas jika diberikan perlakuan. Suplementasi probiotik tidak berpengaruh pada peningkatan pertambahan bobot badan harian (PBBH), bobot badan akhir, laju pertumbuhan dan efisiensi pakan sapi Bali. Rataan PBBH sapi perlakuan yang disuplementasi probiotik (P1) memiliki kecenderungan lebih tinggi dibanding perlakuan kontrol (P0), dengan rataan PBBH P1 dan P0 masing-masing sebesar 440 g ekor-1 hari-1 dan 330 g ekor-1 hari-1. Hal ini menunjukkan pemberian probiotik memiliki retensi pakan yang tinggi dibanding kontrol meskipun konsumsi dan kecernaannya sama. Nilai PBBH yang tidak berbeda ini diduga karena keragaman individu ternak dalam merespon pakan yang diberikan. Berdasarkan pengukuran TDN, DE dan ME maka perlakuan P0 memiliki kecenderungan nilai TDN, DE dan ME yang tinggi dibanding P1, namun tingginya nilai tersebut tidak mampu memperbaiki performa, terutama pada PBBH sapi Bali. Tingginya nilai DE dan ME pada perlakuan P0 seharusnya dapat dimanfaatkan untuk utilisasi nutrien dalam tubuh ternak sehingga meningkatkan produksi daging, dalam hal ini disertai dengan kenaikan bobot badan. Sapi Bali masih memiliki tingkah laku yang masih liar dan lebih cocok dipelihara secara

ekstensif di padang penggembalaan, sehingga apabila dipelihara secara intensif masih belum optimal pertumbuhannya. Hasil penelitian Mastika (2001) menunjukkan sapi Bali steer yang dipelihara feedlot diberi pakan berupa rumput gajah dan 4 kg konsentrat memiliki PBBH 851 g ekor-1 hari-1. Nilai ini jauh berbeda dengan hasil penelitian ini.

Hasil pengukuran laju pertumbuhan menunjukkan rataan laju pertumbuhan sapi Bali pada perlakuan P0 dan P1 masing-masing sebesar 4.97% hari-1 dan 6.69% hari-1. Nilai ini menunjukkan semua sapi penelitian masih mengalami pertumbuhan, namun laju pertumbuhan sapi P0 dan P1 masih sama. Tingginya nilai PBBH pada perlakuan P1 diiringi dengan tingginya nilai efisiensi pakan yaitu sebesar 10.43%, lebih tinggi dibandingkan P0 efisiensi pakan sebesar 7.95%. Efisiensi pakan yang sama pada perlakuan P0 dan P1 diduga karena mutu konsentrat yang ada di peternakan tersebut kurang baik. Berdasarkan hasil analisa proksimat, kandungan PK konsentrat sebesar 8.67% dan TDN 67.28%. Kandungan PK konsentrat tidak jauh berbeda dengan kandungan PK Hi~fer

yaitu selisih sebesar 0.67%. Hal ini menunjukkan perlu adanya perbaikan kualitas konsentrat yang diproduksi peternakan tersebut, terutama pada peningkatan TDN dan PK konsentrat.

Sapi Bali merupakan sapi lokal yang memiliki laju pertumbuhan rendah dibandingkan sapi impor lainnya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan kualitas pakan menjadi faktor penting dalam peningkatan performa sapi Bali, tentu berhubungan dengan manajemen pemberiannya. Pada penelitian ini perlakuan kontrol (P0) cenderung memiliki performa yang sama dengan perlakuan suplementasi probiotik (P1). Rendahnya performa perlakuan P0 dan P1 disebabkan oleh penggunaan molases yang tinggi pada konsentrat. Pemberian molases yang tinggi mampu meningkatkan selera makan ternak, namun jika penggunaannya terlalu banyak dapat menyebabkan konsentrat berair yang menyebabkan mutu konsentrat menurun dan menyebabkan konsentrat mudah berjamur serta daya simpannya rendah.

Dokumen terkait