• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat) dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair (Nelson et al. 1969; Morley 1973 dalam Suharyono 1985). Menurut Morley (1973) dalam Suharyono (1985), diare selalu dikaitkan dengan gastroenteritis karena umumnya diare muncul sebagai manifestasi adanya gangguan pada saluran gastrointestinal.

Diare akibat kolibasilosis pada sapi neonatus di Indonesia umumnya disebabkan oleh Enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC) K-99 yang mempunyai antigen perlekatan fimbriae atau pili K-99(F5) (Supar 1996a; Priyadi dan Natalia 2005). Supar (2001) melaporkan bahwa kejadian diare pada sapi neonatal yang disebabkan oleh ETEC K-99 bersifat non-hemolitik dengan tipe non-inflamasi. Karakteristik diare ini adalah pengeluaran cairan secara cepat, tidak ada pendarahan dalam cairan diare dan diikuti dengan sedikit atau tidak ada demam. Gejala umum yang muncul adalah sakit perut, rasa tidak enak badan (malaise), mual dan muntah, nyeri perut sampai kram. Diare dan gejala lain yang mengikutinya akan berhenti secara spontan setelah 1-3 hari (Evans and Evans 2001 dalam Kifly 2009).

Kolibasilosis mengakibatkan dehidrasi akibat kehilangan cairan dan elektrolit secara cepat, yang dapat mengakibatkan shock dan kematian. Gejala klinis diare berupa feses sangat encer, bewarna putih atau profus dan berbau busuk. Hewan penderita mengalami penurunan nafsu makan dan minum (Hasnawi 2008). Derajat dehidrasi pedet dapat diperkirakan dengan melihat gejala yang tampak pada pedet. Derajat dehidrasi dapat diprediksi dengan melakukan uji elastisitas kulit, yaitu dengan melakukan penarikan/pencubitan kulit di daerah leher. Kulit pada pedet yang normal akan kembali seperti ke keadaan semula dalam waktu kurang dari 2 detik (Anonim 2009c).

Menurut Sudarjat (2009), feses hewan yang mengalami diare akan mengalami perubahan dibandingkan dengan feses hewan sehat. Mencret atau diare merupakan gejala klinis yang menunjukkan adanya perubahan fisiologis atau patologis di dalam tubuh terutama dalam saluran pencernaan. Gejala yang bisa

diamati meliputi perubahan konsistensi, warna, bau, dan keberadaan benda atau bahan yang terbawa di dalam feses pada waktu feses keluar.

Morfologi Feses (Warna, Bau, Bentuk dan Konsistensi)

Perubahan makroskopis feses pada masing-masing perlakuan menunjukkan adanya variasi perubahan pada semua kelompok perlakuan. Morfologi feses sapi neonatus sebelum dan sesudah uji tantang dapat dilihat pada Tabel 1, 2, dan 3

Tabel 1. Perubahan warna feses pada masing-masing perlakuan sebelum dan sesudah uji tantang dengan E. coli K-99

No Waktu pengambilan Kolostrum Non-kolostrum (jam)

1 0 Hijau Hitam Hijau Hitam

2 12 Kuning Kehijauan Coklat Tua

3 24 Kuning Kehijauan Kuning

4 36 Kuning Kecoklatan Kuning

5 48 Kuning Kuning

6 60 Kuning Kuning Kecoklatan

7 72 Kuning Kecoklatan Kuning

8 96 Kuning Kuning Kecoklatan

9 120 Kuning Kuning Kecoklatan

10 144 Kuning Kuning

11 168 Coklat Kuning Kecoklatan

Morfologi feses pada kelompok non-kolostrum dan kolostrum pada 0 jam (sebelum uji tantang) memperlihatkan feses berwarna hijau kehitaman seperti ter dengan bau tidak menyengat dan konsistensi mirip pasta. Dua belas jam setelah uji tantang, perubahan warna feses pada kelompok non-kolostrum mulai terlihat, dimana warna feses berubah menjadi coklat tua. Perubahan warna menyolok terjadi pada 60 sampai 168 jam sesudah uji tantang, dimana feses berubah menjadi kuning kecoklatan. Perubahan warna feses pada kelompok kolostrum mulai terjadi pada 12 jam sesudah uji tantang berupa kuning kehijauan. Warna feses kemudian berubah menjadi kuning pada 48-144 jam, dan menjadi coklat pada 168

jam sesudah uji tantang. Perubahan bau feses terjadi pada kedua kelompok perlakuan, mulai 12 jam sampai dengan 168 jam sesudah uji tantang.

Tabel 2. Perubahan bau feses pada masing-masing perlakuan sebelum dan sesudah uji tantang dengan E. coli K-99

No Waktu pengambilan Kolostrum Non-kolostrum (jam)

1 0 Tidak menyengat Tidak menyengat

2 12 Tidak menyengat Tidak menyengat

3 24 Menyengat Menyengat 4 36 Menyengat Menyengat 5 48 Menyengat Menyengat 6 60 Menyengat Menyengat 7 72 Menyengat Menyengat 8 96 Menyengat Menyengat 9 120 Menyengat Menyengat 10 144 Menyengat Menyengat 11 168 Menyengat Menyengat

Perubahan konsistensi feses yang menyolok terjadi pada kelompok non- kolostrum, dimana konsistensinya berubah menjadi cair. Perubahan terjadi pada 12-72 jam sesudah uji tantang. Setelah itu (96 jam-168 jam sesudah uji tantang) konsistensi feses berubah menjadi lembek. Konsistensi feses pada kelompok kolostrum tidak terlalu mengalami perubahan (lembek).

Tabel 3. Perubahan konsistensi feses pada masing-masing perlakuan sebelum dan sesudah uji tantang dengan E. coli K-99

No Waktu pengambilan Kolostrum Non-kolostrum (jam) 1 0 Pasta Pasta 2 12 Lembek Cair 3 24 Lembek Cair 4 36 Lembek Cair 5 48 Lembek Cair 6 60 Lembek Cair 7 72 Lembek Cair 8 96 Lembek Lembek 9 120 Lembek Lembek 10 144 Lembek Lembek 11 168 Lembek Lembek

Feses berwarna hijau kehitaman seperti ter dengan bau tidak menyengat dan konsistensi mirip pasta yang keluar pada 0 jam (sebelum uji tantang) pada kedua kelompok perlakuan bukan merupakan suatu kelainan. Feses dengan karakteristik tersebut merupakan mekonium. Menurut Febriyanti (2009), mekonium adalah feses yang pertama kali dikeluarkan setelah seekor hewan lahir. Mekonium merupakan kombinasi dari rambut, garam empedu, enzim pankreas, dan getah kelenjar usus, feses janin, dan air ketuban. Mekonium merupakan bahan yang kental, lengket dan berwarna hijau kehitaman seperti ter. Secara normal, mekonium keluar dalam waktu kurang dari 24 jam setelah anak dilahirkan. Setelah itu feses berubah warna menjadi kuning cerah, tidak terlalu berbau dengan konsistensi seperti pasta (Sudarjat 2009). Menurut Rucketbusch (1991), pemberian kolostrum kepada hewan neonatus dapat membantu keluarnya mekonium. Selain sebagai penyedia antibodi, kolostrum bekerja juga sebagai laksansia.

Warna feses kuning kehijauan menandakan terjadinya perubahan fisiologis pada saluran pencernaan anak sapi tersebut. Warna kuning kecoklatan dan coklat menandakan adanya infeksi pada salauran pencernaan bagian depan oleh bakteri, sedangkan warna kuning kemerahan menandakan terjadi infeksi pada intestin bagian belakang. Warna coklat diindikasikan sebagai hasil sisa infeksi yang tertahan, dan akhirnya dikeluarkan (Sudarjat 2009).

Feses yang berwarna merah dan hitam menunjukkan telah terjadi infeksi di dalam tubuh. Infeksi yang terjadi di dalam tubuh biasanya disebabkan oleh bakteri, protozoa, parasit darah atau virus. Jika disertai adanya lendir yang berbau amis kemungkinan disebabkan oleh protozoa dan parasit darah (Sudarjat 2009).

Perubahan bau feses terjadi pada semua kelompok perlakuan, dan terjadi dalam waktu 24 jam sesudah uji tantang. Menurut Sudarjat (2009), feses yang berbau busuk menunjukkan adanya infeksi oleh bakteri, protozoa atau parasit darah.

Perubahan konsistensi pada feses sering dihubungkan dengan kejadian diare pada anak sapi. Perubahan konsistensi dari padat menjadi lembek atau cair menandakan terjadinya diare akibat infeksi bakteri seperti E. coli (Siregar 2000). Anonim (2009c) melaporkan bahwa feses yang cair atau berair selalu abnormal

dan dipertimbangkan sebagai diare, dan jika disertai dengan lendir dalam feses bisa disebabkan karena infeksi oleh parasit ataupun luruhan epitel mukosa usus halus.

Kejadian diare yang berlangsung lama pada kelompok non-kolostrum menyebabkan terjadinya penurunan kondisi kesehatan berupa kelemahan. Anak sapi terlihat sempoyongan, susah untuk berdiri, cenderung berbaring, dan nafsu makan menurun. Kematian terjadi pada satu ekor sapi neonatus dari kelompok non-kolostrum.

Frekuensi Defekasi, Durasi dan Onset Diare, Tingkat Keparahan dan Identifikasi Bakteri

Frekuensi Defekasi

Tabel 4 memperlihatkan frekuensi defekasi, durasi dan onset diare pada sapi neonatus semua kelompok perlakuan sesudah uji tantang dengan E. coli K- 99. Frekuensi defekasi adalah jumlah peristiwa keluarnya feses dalam selang waktu yang ditentukan. Tabel 4 memperlihatkanrataan frekuensi diare pada sapi neonatus semua kelompok perlakuan sesudah uji tantang dengan E. coli K-99. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa frekuensi diare pada kelompok non- kolostrum lebih tinggi (9.4 ± 3.9 kali/12 jam) dibandingkan dengan kelompok kolostrum (7.0 ± 3.5kali/12 jam).

Tabel 4. Frekuensi defekasi , durasi dan onset diare akibat E. coli ETEC K-99 pada sapi

neonatus semua kelompok perlakuan sesudah uji tantang dengan E. coli K-99

No Parameter Kolostrum Non-kolostrum

1 Frekuensi (...x /12 jam) 7.0 ± 3.5 9.4 ± 3.9 2 Durasi (jam) 101.0 ± 53.9 102.2 ± 57.1

3 Onset (jam) 15.5 ± 10.6 19.2 ± 14.9

Rataan frekuensi defekasi seperti yang diperlihatkan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa frekuensi defekasi lebih sering terjadi pada kelompok non- kolostrum dibandingkan dengan kelompok kolostrum. Frekuensi defekasi

tertinggi pada penelitian ini terjadi pada kelompok non-kolostrum, sedangkan frekuensi defekasi terendah terjadi pada 1 ekor sapi neonatus kelompok kolostrum. Grafik rataan frekuensi defekasi pada semua kelompok perlakuan sebelum dan sesudah uji tantang dengan E. coli ETEC K-99 dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 7. Rata-rata frekuensi defekasi pada sapi neonatus kelompok kolostrum dan non- kolostrum sesudah uji tantang dengan E. coli K-99.

Frekuensi defekasi menunjukkan seberapa sering respon dari individu terhadap infeksi E. coli. Menurut Sudarjat (2009), semakin sering frekuensi sekresi feses semakin terlihat gejala diare pada hewan. Menurut Reither (1978) dan Odle et al (1996) dalam Esfandiari 2005, dalam kolostrum terdapat senyawa antimikrobial yang berperan menyediakan perlindungan non-spesifik melawan infeksi bagi sapi neonatus. Menurut Waterman (1998), kolostrum sapi mengandung komponen utama berupa imunoglobulin Gamma (IgG) yang menentukan kualitas dari kolostrum yang diproduksi, dan berperan menyediakan perlindungan spesifik bagi sapi neonatus.

Diare bukan merupakan penyakit, melainkan suatu gejala yang mengiringi adanya penyakit atau gangguan pada tubuh. Secara normal hewan melakukan defekasi sekali sehari. Perubahan yang terjadi berupa peningkatan frekuensi defekasi, volume, dan konsistensi feses (mulai dari yang lembek hingga cair) dan dapat disertai dengan ada tidaknya perubahan warna feses merupakan gejala umum diare (Bunawan 2009).

Durasi Diare

Durasi diare adalah lamanya kejadian diare yang terjadi dalam selang waktu yang ditentukan (pertama kali gejala diare muncul sampai dengan hilangnya gejala diare). Rataan durasi diare pada masing-masing sapi neonatus kelompok perlakuan sesudah uji tantang dapat dilihat pada Gambar 2 dan Tabel 4.

Gambar 8. Rata-rata durasi diare pada sapi neonatus kelompok kolostrum dan non- kolostrum sesudah uji tantang dengan E. coli K-99.

Hasil pengamatan durasi diare menunjukan bahwa rata-rata durasi diare paling lama terjadi pada anak sapi kelompok non-kolostrum. Kelompok kolostrum menunjukkan rataan durasi diare sebesar 101 ± 53.861 jam, sedangkan pada kelompok perlakuan non-kolostrum menunjukkan durasi diare sebesar 102.2 ± 57.081 jam.

Menurut Neill (2009), durasi diare yang berkepanjangan dapat menunjukkan tingkat keparahan. Keparahan yang terjadi dapat berupa kehilangan cairan dalam jangka waktu panjang yang berakibat pada dehidrasi dan gangguan keseimbangan cairan tubuh. Sedangkan menurut Tizard (2000), pemberian kolostrum dapat meningkatkan antibodi maternal tubuh sehingga dapat melawan serangan antigen dari luar. Dengan demikian, pemberian kolostrum dapat meningkatkan ketahanan tubuh terhadap infeksi E. coli, sehingga diare yang dialami lebih singkat.

Onset Diare

Onset diare adalah munculnya gejala diare pertama kali sesudah anak sapi ditantang dengan E. coli. Gambar 3 memperlihatkan onset diare pada kelompok kolostrum lebih cepat terjadi dibandingkan dengan kelompok non-kolostrum. Beberapa sapi neonatus kelompok kolostrum memiliki onset diare dibawah rata- rata, yaitu pada 1, 12, dan 12,5 jam sesudah uji tantang. Sedangkan pada kelompok non-kolostrum terdapat dua ekor sapi neonatus dengan onset diare 6 jam. Sapi yang memiliki onset paling tinggi terjadi pada perlakuan non-kolostrum yaitu pada 42 jam sesudah uji tantang. Gambar 3 memperlihatkan onset diare pada masing- masing anak sapi perlakuan.

Gambar 9. Rata-rata onset diare pada kelompok kolostrum dan non-kolostrum sesudah uji tantang dengan E. coli K-99.

Miller (2009) melaporkan bahwa onset diare pada anak sapi penderita diare akibat E. coli umumnya terjadi dalam kurun waktu 24 jam pertama setelah kelahiran. Diare tersebut berlangsung sampai anak sapi berumur 14 hari. Onset diare pada penelitian ini terjadi lebih cepat, dimana gejala diare muncul kurang dari 24 jam sesudah uji tantang.

Menurut Thived et al. 1980, Matte et al. 1982 dalam Esfandiari (2005), kemampuan penyerapan makromolekul dapat berkurang segera setelah hewan lahir. Sedangkan Tizard (2000) melaporkan bahwa penyerapan kolostrum efektif pada 24 jam pertama setelah kelahiran. Dengan demikian, dapat diperkirakan onset tejadi karena penyerapan kolostrum tidak maksimal atau bakteri E. coli

berkembang pesat dalam tubuh sapi neonatus kelompok kolostrum sehingga menimbulkan reaksi cepat terhadap infeksi. Kegagalan dalam proses transfer pasif imunoglobulin dalam kolostrum dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

1. kegagalan produksi, yaitu rendahnya kualias dan kuantitas kolostrum yang dihasilkan induk,

2. kegagalan ingesti yang disebabkan metode pemberian kolostrum yang buruk atau asupan kolostrum yang tidak mencukupi,

3. kegagalan absorbsi akibat penyerapan IgG pada anak neonatus yang tidak efisien.

Tingkat Keparahan dan Identifikasi Bakteri

Tingkat keparahan diare sapi neonatus semua kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5. Anak sapi kelompok non-kolostrum mengalami tingkat keparahan yang lebih tinggi, yang terjadi pada sapi neonatus dengan kode K4 dan K5. Anak sapi K4 memperlihatkan gejala klinis tidak mau minum, lesu, gelisah, sangat lemah, sempoyongan, tidak mampu berdiri, dan dehidrasi yang parah. Kondisi demikian terus berlanjut, dan berakibat anak sapi tidak tertolong (mengalami kematian) pada tiga hari sesudah uji tantang. Gejala dehidrasi parah juga teramati pada sapi neonatus K5. Kondisi hewan sangat lemah, hewan lebih banyak berbaring, lesu dan tidak mau minum susu. Identifikasi bakteri dalam feses sapi neonatus semua kelompok perlakuan menunjukkan hasil positif adanya E. coli K-99.

Kemampuan E. coli dalam menimbulkan keparahan diare tergantung dari faktor-faktor virulensi yang dimiliki E.coli patogenik (Kifly 2009). Koliseptikemia merupakan penyakit yang cepat menyebar dan paling umum terjadi di peternakan ruminansia. Koliseptikemia terjadi jika E.coli masuk ke dalam sirkulasi darah dan menginfeksi berbagai jaringan melalui lesi pada usus atau saluran pernafasan yang ditimbulkan oleh berbagai sebab. Gejala yang ditimbulkan pada penyakit ini disebabkan toksin yang dikeluarkan oleh bakteri akibat pertumbuhan dan multiplikasi (McMullin 2004, Sauvani 2008 dan Tabbu 2000 dalam Kifly 2009).

Tabel 5. Tingkat keparahan diare pada sapi neonatus kelompok kolostrum dan non- kolostrum sesudah uji tantang dengan E. coli K-99

Kolostrum Non-Kolostrum

No Kode Tingkat Keparahan Kode Tingkat Keparahan

1 K1 + NK1 ++ 2 K2 + NK2 ++ 3 K3 + NK3 ++++ 4 K4 + NK4 +++ 5 K5 ++ NK5 ++

Peranan kolostrum dalam penelitian ini diharapkan dapat menyediakan antibodi bagi anak yang baru dilahirkan. Peranan yang paling penting dari unsur kolostrum adalah imunoglobulin (McFadden 1997 dalam Esfandiari 2005). Kolostrum sapi memiliki kandungan nutrisi dan IgG yang jauh lebih besar dibandingkan dengan susu sapi segar ( Lazzaro 2000). Menurut laporan Folley dan Otterby (1978) dalam Esfandiari (2005), kandungan immunoglobulin dalam kolostrum sapi jauh lebih tinggi (6%) dibandingkan dengan susu sapi segar (0,09%). Menurut Subowo (1993), imunoglobulin merupakan molekul glikoprotein yang terdiri dari komponen polipeptida dan karbohidrat. Komponen polipeptida dalam imunoglobulin memiliki hampir semua sifat antibodi dan memiliki kemampuan spesifik mengikat antigen.

Menurut Perino et al (1993) dalam Esfandiari (2005), transfer pasif imunoglobulin kepada anak melalui kolostrum memegang peranan penting dalam mempengaruhi kesehatan dan daya tahan anak sapi pada awal kehidupan. Kekebalan pasif ini akan tercapai apabila kolostrum yang digunakan mengandung sejumlah besar IgG yang diberikan kepada anak neonatus beberapa jam setelah kelahiran. Sedangkan menurut Rogers (1999) dalam Esfandiari (2005), faktor utama keberhasilan transfer pasif adalah umur pada saat pertama kali mengkonsumsi kolostrum dan kandungan antibodi dalam kolostrum yang dikonsumsi anak sapi.

Dokumen terkait