Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh data mengenai prosentase jenis kelamin ikan nila jantan, intesex, kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan nila, hormon testosteron dalam ekstrak testis sapi (ETTS) serta data kualitas air sebagai data penunjang.
Prosentase Jenis Kelamin Ikan Nila Jantan
Hasil analisis data terhadap prosentase jenis kelamin ikan nila jantan pada akhir pemeliharaan, dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Prosentase (%) jenis kelamin ikan nila jantan pada setiap perlakuan di akhir pemeliharaan Ulangan Perlakuan K (-) K (+) A B C I 60,00 90,00 66,67 80,00 83,33 II 46,67 73,33 73,33 76,67 83,33 III 60,00 80,00 66,67 70,00 90,00 Rata-rata 55,56 a 81,11bc 68,89b 75,56bc 85,56c STDEV 7,70 8,39 3,85 5,09 3,85
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P≥0,05)
Berdasarkan data pada Tabel 1, dapat dijelaskan bahwa prosentase rata-rata jenis kelamin ikan nila jantan tertinggi diperoleh pada perlakuan C sebesar
85,56%. Jumlah prosentase rata-rata ikan nila jantan pada kelompok perlakuan K (-), K (+), perlakuan A dan B adalah 55,56%, 81,11%, 68,89% dan 75,56%.
Secara umum perendaman larva ikan nila dalam ETTS pada setiap perlakuan menghasilkan prosentase ikan nila jantan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan K (-) dan berdasarkan hasil analisis sidik ragam terhadap prosentase jenis kelamin masing-masing perlakuan menunjukkan perbedaan satu dengan yang lainnya (P≤0,05).
Prosentase ikan nila jantan tertinggi pada perlakuan C memberikan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan K (-) dan perlakuan A, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan K (+) dan B. Dari prosentase rata-rata menunjukkan bahwa dengan semakin tinggi konsentrasi hormon yang diberikan pada setiap perlakuan, prosentase ikan nila jantan yang dihasilkan tampak semakin besar pula. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pemberian ETTS yang mengandung hormon
testosteron melalui aplikasi perendaman, mampu mempengaruhi sistem hormonal dalam tubuh ikan nila, sehingga berpengaruh terhadap terbentuknya kelamin jantan ikan nila.
Hormon testosteron bertujuan untuk menambah konsentrasi androgen sehingga akan menyebabkan ikan menjadi jantan secara fenotipe. Sumantadinata dan Carman (1995) menyatakan bahwa pemberian hormon bertujuan untuk mengganggu keseimbangan hormonal di dalam darah yang pada saat diferensiasi kelamin, akan menentukan individu tertentu berstatus jantan atau betina. Androgen dapat merangsang munculnya sifat-sifat kelamin jantan, karena hormon ini dapat menghambat penumpukan kuning telur serta dapat menyebabkan penyerapan telur kembali dan degenerasi ovari betina (Hunter dan Donaldson 1983).
Keberhasilan pengarahan jenis kelamin pada ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis ikan, metode pemberian, lama waktu perlakuan, jenis dan dosis atau konsentrasi hormon yang digunakan serta temperatur air (Hunter dan Donaldson 1983). Massenreng (2007) menyebutkan bahwa hormon endogeneous, eksogenous dan faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap proses pembentukan jenis kelamin jantan maupun pada betina.
Proses pengarahan jenis kelamin merupakan proses perkembangan gonad ikan menjadi suatu jaringan yang definitif. Hardiantho et al. (2009) menyebutkan bahwa pada ikan nila secara normal, individu jantan memiliki kromosom XY yang memiliki testis sementara betina berkromosom XX yang memiliki ovari. Pada ikan jantan, proses ini ditandai dengan munculnya spermatoonia serta pembentukan sistem vaskular pada testis, sedangkan pada ikan betina proses ini ditandai dengan terjadinya meiosis oogonia dan perbanyakan sel-sel somatik membentuk rongga ovari, dengan perlakuan menggunakan bahan-bahan tertentu, misalnya hormon, maka perkembangan gonad dengan genotipe tersebut dapat diarahkan berlawanan dengan kondisi yang seharusnya (Park et al. 2004). Pada kondisi ini terjadi pengarahan morfologi jenis kelamin ikan, tingkah laku serta fungsi pada saat periode kritis dimana otak embrio yang telah terbentuk, masih dalam keadaan bipotensial untuk mengarahkan jenis kelamin.
Berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan nila di bawah mikroskop, bentuk gonad menyerupai sebuah benang tipis memanjang dan terletak tepat di bawah gelembung renang. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa pada gonad ikan jantan dapat ditemukan adanya sel spermatozoa dengan bentuk dan ukuran yang tidak beraturan. Ukuran sel spermatozoa tersebut lebih kecil dibandingkan dengan sel telur dan jumlahnya banyak, apabila diperhatikan sepintas dengan pembesaran tertentu, hanya akan tampak berupa titik-titik kecil (Gambar 1).
Gambar 1. Jaringan gonad pada ikan nila jantan a. Bakal sel sperma
Teknik perendaman dalam penelitian ini dilakukan pada saat ikan nila masih berupa larva berumur 4 hari kemudian diulangi setelah larva berumur 7 hari. Hal ini diharapkan akan meningkatkan prosentase ikan nila jantan yang dihasilkan dikarenakan pada saat itu organ kelamin belum terbentuk sempurna. Mantau (2005) menyebutkan bahwa maskulinisasi dengan rangsangan hormon perlu memperhatikan umur ikan. Semakin muda umur ikan, peluang terbentuknya kelamin jantan akan semakin besar, dan semakin tua umur ikan, peluang perubahan kelamin betina ke jantan semakin berkurang. Menurut Yamazaki (1983) masa yang tepat dan baik untuk pemberian hormon yaitu pada saat ikan masih dalam stadia larva atau pada saat ikan mulai makan. Melalui metode perendaman larva, hormon akan masuk ke dalam tubuh ikan melalui pertukaran seperti pada insang, kulit dan gurat sisi serta melalui proses difusi (Zairin 2002). Mekanisme masuknya hormon ke dalam tubuh dengan cara perendaman adalah hormon masuk mengalir langsung oleh darah menuju ke hati selanjutnya ke seluruh tubuh dan menuju organ tertentu (target), seperti pada ikan jantan langsung menuju ke testis sedangkan ikan betina langsung menuju ovarium.
Hunter dan Donaldson (1983) menyatakan bahwa untuk memperoleh perendaman yang efektif, perlu memperhatikan hubungan antara konsentrasi hormon yang diberikan dan lamanya waktu perendaman. Umumnya perendaman dengan konsentrasi yang tinggi membutuhkan waktu perendaman yang lebih singkat. Pemberian hormon dengan konsentrasi yang lebih tinggi serta waktu perlakuan yang terlalu lama juga dapat menyebabkan terhambatnya proses pembentukan gonad dan gamet, akibatnya akan menimbulkan efek yang berlawanan yaitu efek feminisasi atau intesex (Murni 2005).
Ikan intesex merupakan individu ikan yang gonadnya mengandung bakal sel jantan (sperma) dan bakal sel telur (ovum). Pada umumnya sel telur dan bakal sperma terletak dalam suatu kelompok yang terpisah. Hasil analisis data terhadap prosentase ikan nila intesex pada akhir pemeliharaan, dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Prosentase (%) ikan nila intesex pada setiap perlakuan diakhir
pemeliharaan Ulangan Perlakuan K (-) K (+) A B C I 0,00 3,33 10,00 0,00 0,00 II 0,00 3,33 6,67 6,67 3,33 III 0,00 6,67 6,67 3,33 0,00 Rata-rata 0,00a 4,44b 7,78b 3,33bc 1,11c STDEV 0,00 1,92 1,92 3,33 1,92
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P≥0,05)
Dalam penelitian ini ditemukan ikan nila intesex dengan prosentase tertinggi pada perlakuan A 7,78%; kemudian diikuti perlakuan K (+) sebesar 4,44%; B sebesar 3,33% dan perlakuan C 1,11% sedangkan pada perlakuan K (-) tidak ditemukan adanya ikan nila intesex. Pada gonad ikan intesex dapat dilihat adanya sel telur dan sel sperma yang umumnya kedua sel tersebut terletak dalam suatu kelompok yang terpisah seperti terlihat pada Gambar 2.
Yamazaki (1983) menyebutkan bahwa terjadinya ikan intesex sebagai akibat dari pemberian hormon steroid dalam dosis yang terlalu rendah atau terlalu tinggi (Pandian dan Sheela 1995). Kelangsungan reproduksi ikan intesex sulit untuk dievaluasi, kondisi ini diketahui hanya setelah kejadian dimana ikan dimatikan dan gonadnya dianalisa (Phelps dan Popma 2000).
Gambar 2. Jaringan gonad pada ikan nila intesex
a. Bakal sel sperma; b. Bakal sel telur
Menurut Hunter dan Donaldson (1983) pemberian dosis hormon yang terlalu tinggi atau rendah dapat menimbulkan sterilisasi dan abnormalitas dalam perkembangan gonad, meningkatnya kematian (mortalitas), adanya fenomena paradoksial serta tekanan terhadap pertumbuhan (Pandian dan Sheela 1995; Nakamura et al. 1998).
Diferensiasi seks meliputi seluruh aktifitas yang berhubungan dengan keberadaan gonad, mencakup perpindahan awal sel nutfah, munculnya bagian tepi gonad serta diferensiasi gonad menjadi testis atau ovari (Piferrer 2001). Pandian dan Sheela (1995) menyebutkan bahwa perlakuan hormonal sebelum gonad terdiferensiasi (periode labil) dapat mengarahkan individu menjadi jantan atau betina. Sensitivitas hormon steroid terhadap diferensiasi seks tergantung pada perkembangan gonad (gonadogenesis) yang terjadi. Dalam hal ini pada saat gonad belum terbentuk, sensitivitasnya sangat rendah dan mulai meningkat pada saat terbentuk formasi gonad serta pertumbuhan gonad melalui perkembangan sel. Puncak sensitivitas terjadi pada saat fisiologi seks telah terdiferensiasi yang selanjutnya mulai menurun kembali pada saat jaringan seks berdiferensiasi (Piferrer 2001).
Menurut Yuniarti et al. (2007) fase diferensiasi kelamin pada ikan nila terjadi pada saat larva berumur 6-7 hari setelah menetas sampai 27-28 hari setelah menetas. Proses diferensiasi seks pada teleost terjadi secara bertahap dan labil (Pandian 1999). Aplikasi alih kelamin pada ikan yang dipilih, disesuaikan dengan
fase terjadinya diferensiasi kelamin. Apabila diferensiasi kelamin terjadi sebelum ikan belum mampu memanfaatkan makanan dari luar, maka proses alih kelamin dapat dilaksanakan dengan menggunakan metode perendaman. Pada ikan teleost gonochorist, fisiologi kelamin dapat dimanipulasi dengan pemberian hormon steroid, walaupun tidak sepenuhnya efektif pada beberapa spesies (Piferrer et al.1994 dalam Patino 1997). Yamazaki (1983) menyebutkan bahwa proses diferensiasi seks dapat terjadi pada saat tertentu diantaranya pada waktu telur menetas dan atau sebelum atau sesudah ikan mulai makan.
Hormon seksual eksogenous yang diberikan sebelum proses determinasi seksual terjadi dapat secara kuat mempengaruhi proses diferensiasi kelamin pada ikan hingga diperoleh jenis kelamin tertentu (Hunter dan Donaldson 1983). Proses pemberian hormon steroid merupakan salah satu perubahan kelamin secara buatan. Hormon steroid seksual yang berguna untuk proses ini antara lain androgen (testosteron dan metiltestosteron) yang memiliki pengaruh maskulinitas, serta hormon estrogen (estron dan estradiol) yang berpengaruh terhadap feminitas.
Pemberian beberapa jenis hormon androgen dapat menyebabkan timbulnya efek maskulinisasi atau efek dari sifat antara maskulin dengan feminin. Testosteron dengan esternya merupakan hormon alami yang dihasilkan oleh gonad jantan. Pada fase embrionik, hormon ini dapat menyebabkan timbulnya sifat jantan pada saluran genital, akan tetapi tidak mempengaruhi gonad secara keseluruhan (Hunter dan Donaldson 1983).
Jenis androgen yang paling sering digunakan dalam aplikasi alih kelamin untuk maskulinisasi adalah hormon 17α-metiltestosteron (MT) yang diperkirakan efektif digunakan pada lebih dari 25 spesies yang telah diuji (Devlin dan Nagahama 2002). 17α-metiltestosteron merupakan hormon sintetik yang molekulnya telah dimodifikasi agar dapat bertahan lama di dalam tubuh, hal ini disebabkan pada karbon ke-17 telah ditempeli gugus metil agar tahan lebih lama (Zairin 2002). Namun demikian, meskipun 17α-metiltestosteron bersifat stabil dan mudah penanganannya (Yamazaki 1983), peredaran hormon ini sangat terbatas, harganya yang mahal dan sulit didapat di pasaran, selain itu untuk tujuan-tujuan yang sifatnya komersil, hormon tersebut tidak dijual secara bebas dan dibatasi penggunaannya. Wiryowidagdo (2005) menyebutkan bahwa
senyawa MT mempunyai beberapa kelemahan yaitu sulit terurai di dalam tubuh, bersifat karsinogenik, mencemari lingkungan dan seringkali menyebabkan efek samping yang tidak dikehendaki. Oleh karenanya Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Kelautan dan Perikanan mengeluarkan aturan yang menyatakan larangan penggunaan 21 jenis obat-obatan dalam kegiatan akuakultur termasuk metiltestosteron dan steroid sintetik lainnya. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dicari alternatif untuk menggantikan peranan hormon sintetik dan bahan kimia sintetik lainnya dengan jenis hormon yang berasal dari bahan alami, salah satunya adalah pemanfaatan ETTS. Menurut Murni (2005) pada testis sapi terdapat hormon androgen. ETTS dapat dijadikan sebagai bahan alternatif dalam kegiatan alih kelamin ikan karena selain aman, bahan ini tidak menimbulkan tekanan fisiologis pada ikan sehingga tidak menyebabkan kematian pada ikan, ramah lingkungan dan aman terhadap konsumen.
Dibandingkan penelitian sejenis yang menggunakan bahan-bahan senyawa alami seperti pemanfaatan testis beri-beri (ram) dengan prosentase jantan yang dihasilkan sebesar 57% (Haylor dan Pascual 1991) dalam Pelps dan Popma (2000), ekstrak teripang pasir sebesar 67,31% jantan (Triajie 2008) serta resin lebah 60 % jantan (Soelistyowati 2009), pemanfaatan ETTS melalui perendaman menghasilkan prosentase jantan lebih tinggi sebesar 85,56%.
Kelangsungan Hidup Ikan Nila
Kelangsungan hidup merupakan parameter penting dalam pemeliharaan ikan nila sehingga dapat diketahui hasil akhir dari perlakuan terhadap benih ikan nila. Dalam penelitian ini data kelangsungan hidup serta analisa statistik dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3. Prosentase (%) kelangsungan hidup ikan nila diakhir pemeliharaan
Ulangan Perlakuan K (-) K (+) A B C I 87,00 81,00 87,00 82,00 86,00 II 92,00 83,00 93,00 92,00 88,00 III 87,00 86,00 89,00 84,00 91,00 Rata-rata 88,67a 83,33 a 89,67 a 86,00 a 88,33 a STDEV 2,89 2,52 3,06 5,29 2,52
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P≥0,05)
Berdasarkan hasil penelitian dan analisa statistik diatas bahwa perendaman larva ikan nila dengan menggunakan ETTS pada level konsentrasi yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan selama perlakuan dan akhir penelitian.
Pada akhir penelitian, tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila masih relatif tinggi berkisar antara 83,33 – 89,67%. Mantau (2005) menyebutkan bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan selama proses pengalihan jenis kelamin dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti padat penebaran, pemberian pakan, temperatur dan kondisi lingkungan lainnya. Selama pelaksanaan teknis penelitian, semua benih ikan nila pada setiap perlakuan mendapatkan proporsi dan penanganan yang sama. Kepadatan larva pada masing-masing percobaan sebanyak 33 ekor/ liter (Gale et al. 1999). Pakan diberikan secara ad libitum
(sekenyangnya) dengan frekuensi pemberian 3 sampai 4 kali/ hari. Temperatur pada masing-masing media baik pada saat perlakuan perendaman maupun pemeliharaan dipertahankan stabil pada kisaran 28-300 C.
Penggunaan hormon atau bahan kimia sintetik dalam aplikasi alih kelamin pada ikan secara umum mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup karena diduga mempengaruhi adanya tekanan fisiologi terhadap ikan yang diberi perlakuan. Benih ikan nila masih dalam fase larva sehingga kondisi fisiologinya masih lemah. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bahan alami dari ETTS yang tidak menyebabkan tekanan terhadap fisiologi benih ikan nila sehingga tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila relatif tinggi.
Berdasarkan hasil analisa yang diperoleh, bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan nila dalam penelitian ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian dengan memanfaatkan bahan-bahan alami seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Murni (2005) dengan tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila sebesar 80%, menggunakan testis sapi yang dikeringkan dengan cara dioven. Triajie (2008) yang memanfaatkan ekstrak teripang pasir dengan tingkat kelangsungan hidup 83,33%.
Pertumbuhan Ikan Nila
Pertumbuhan merupakan pertambahan bobot ikan selama pemeliharaan. Parameter pertumbuhan penting diamati untuk mengetahui kondisi fisiologis ikan
yang dipelihara. Data hasil pengamatan pertumbuhan benih ikan nila selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Pertumbuhan ikan nila diakhir pemeliharaan (gram)
Ulangan Perlakuan K (-) K (+) A B C I 12,1290 12,0070 9,8610 11,4360 11,7740 II 12,1470 12,0730 12,9810 13,1520 13,6860 III 12,8850 11,4030 10,8510 13,4250 14,2690 Rata-rata 12,38a 11,82 a 11,23 a 12,67 a 13,24 a STDEV 0,43 0,36 1,59 1,07 1,30
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P≥0,05)
Berdasarkan analisa sidik ragam diketahui bahwa pertumbuhan benih ikan nila yang diberi perlakuan perendaman ETTS dengan konsentrasi berbeda tidak menunjukkan perbedaan nyata antara satu dengan yang lainnya (P≥0,05). Menurut Mantau (2005), perlakuan androgen yang tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan ikan nila selama 60 hari pemeliharaan dimungkinkan disebabkan oleh faktor-faktor lain diluar efek androgen. Lebih lanjut disebutkan bahwa pertumbuhan benih selama proses pengubahan kelamin ditentukan oleh beberapa faktor seperti seperti padat penebaran, pemberian pakan, temperatur dan kondisi lingkungan lainnya. Joe et al. (1995) dalam Guerrero III dan Guerrero (2004) melaporkan bahwa perlakuan MT 5-25 mg/kg pakan memiliki pengaruh yang lebih nyata dibandingkan dengan kontrol selama periode pengubahan kelamin. Diduga MT memiliki efek anabolik terhadap ikan. Namun, Cruz dan Mair (1994) dalam Mantau (2005) tidak menemukan pengaruh yang nyata perlakuan MT 40 mg/kg pakan terhadap pertumbuhan ikan nila selama masa pengubahan jenis kelamin.
Hormon androgen memiliki dua aktifitas fisiologi yaitu aktifitas androgenik dan aktifitas anabolik (Phelps dan Popma 2000). Terkait dengan hal tersebut, Dunham (2004) menyebutkan tentang satu penjelasan dari efek anabolik bahwa perubahan betina menjadi jantan menghasilkan peningkatan bobot tubuh ikan. Hormon dalam hal ini bertanggung jawab terhadap efek anabolik, tidak pada perubahan larva dari betina ke jantan. Shepered dan Bronage (1988) dalam Arfah (1997) menyatakan bahwa hormon MT pada umumnya memiliki sifat anabolik yang mampu merangsang pertumbuhan, lebih lanjut dikatakan bahwa
hormon-hormon androgen bertanggung jawab terhadap penampakan karakter dan fungsi kelamin jantan.
Menurut Phelps dan Popma (2000), proses pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal seperti faktor genetik (Dunham 2004), faktor eksternal, diantaranya kualitas air khususnya temperatur air (Devlin dan Nagahama 2002) serta nutrisi khususnya protein (Adel et al. 2007). Selain pertumbuhan genetik, faktor internal juga dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin. Jantan ikan nila tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan ikan betina, hal ini dikarenakan kematangan gonad ikan betina lebih cepat, sehingga energi untuk pertumbuhan berkurang karena dialihkan untuk proses pematangan telur (Dunham 2004).
Hormon Testosteron Dalam ETTS
Hormon adalah suatu substansi kimia yang diproduksi oleh jaringan khusus yang kemudian disekresikan ke dalam darah untuk selanjutnya dibawa menuju organ target (Bolander 1994). Menurut Hunter dan Donaldson (1983) hormon steroid seksual yang berguna untuk proses pengubahan kelamin antara lain hormon androgen yang terdiri dari testosteron dan metiltestosteron, yang memiliki pengaruh maskulinitas serta hormon estrogen seperti estradiol dan estron yang berpengaruh terhadap feminitas.
Hormon steroid merupakan hormon yang dapat mempengaruhi reproduksi hewan, merangsang proses pertumbuhan, diferensiasi kelamin dan juga mempengaruhi tingkah laku ikan. Testosteron dan esternya merupakan hormon alami yang dihasilkan oleh gonad jantan. Hormon testosteron yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari testis sapi yang telah diekstrak, Taylor dan Thomas (2004) menyebutkan bahwa kandungan testosteron tersebut diproduksi oleh sel-sel interstitial dari leydig. Hormon testosteron yang terkandung dalam ETTS dapat dikategorikan sebagai hormon alami. Pandian dan Sheela (1995) menyebutkan bahwa terdapat 13 hormon steroid yang digunakan untuk aplikasi alih kelamin (16 hormon androgen dan 15 hormon estrogen). Hormon androgen dibagi menjadi 5 hormon alami dan 11 hormon sintetik. Kelima hormon alami tersebut adalah testosteron, 11-ketotestosteron, 11β-hidrosiandrostenedion, androstenedion, dehidroepiandrostenedion.
ETTS berbahan dasar dari tepung testis sapi yang dibuat dengan menggunakan metode fresh drying (kering segar). Testis sapi yang digunakan berbobot 200-450 gram dan berasal dari sapi lokal (jenis bull), umur 5-7 tahun, dengan bobot 4-7 kuintal (Muslim, 2010). Sapi dengan ukuran ini dikategorikan sebagai sapi dewasa (matang kelamin), sehingga testisnya telah berfungsi untuk menghasilkan hormon jantan (androgen). Jenis sapi merupakan jantan normal, bukan sapi kastrasi.
Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan di Laboratorium Uji Bioteknologi LIPI-Bogor, kandungan hormon testosteron yang terdapat di dalam ETTS sebesar 100 mcg/ml ekstrak TTS. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian lainnya: 142,8-1,204 ng/g (Murni dan Jenny, 2001); 2300-27.700 pg/g (Iskandariah 1996); 18,8 mg/l (Meyer et al. 2008). Tingginya kandungan hormon dalam ETTS ini diduga karena bahan dasar ekstrak berupa tepung testis sapi dibuat dengan menggunakan metode fresh drying (kering segar), menurut Muslim (2010) dengan menggunakan metode ini tidak merusak bahan kimia termasuk hormon yang terkandung dalam tepung testis sapi (Lampiran 1).
Kualitas Air
Pengukuran parameter kualitas air selama penelitian berlangsung dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5. Kualitas air media pemeliharaan selama penelitian
Parameter Satuan Hasil Pengukuran
Oksigen terlarut mg/l 5,5 - 7,6
Temperatur air oC 27 - 30
pH Unit 6,38 - 7, 32
Amoniak mg/l 0,011 - 0,018
Dari hasil pengukuran yang disajikan pada Tabel diatas, kualitas air media pemeliharaan benih ikan selama pemeliharaan masih berada dalam kisaran yang normal untuk pertumbuhan maupun tingkat kelangsungan hidup ikan nila. Kondisi lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi keberhasilan teknik alih kelamin. Meskipun ikan nila mampu hidup pada air dengan kadar oksigen terlarut rendah (Popma 1999), namun
menurut Phelps dan Popma (2000) bahwa tingkat oksigen terlarut lebih dari 4 mg/liter dapat meningkatkan respon makan ikan yang dipelihara. Selanjutnya
Popma dan Masser (1999) menyatakan bahwa lingkungan optimal untuk pemeliharaan ikan nila adalah DO ≥ 3 mg/l; pH 6,5-8,5; temperatur air 25-28oC, sedangkan Phelps dan Popma (2000) menyebutkan bahwa temperatur air yang optimum untuk pemeliharaan ikan nila adalah 26-280C.
Menurut Zairin (2002) salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap alih kelamin adalah temperatur air. Temperatur air akan berpengaruh langsung terhadap proses metabolisme tubuh yang selanjutnya akan mempengaruhi kerja hormon. Selain itu disebutkan pula bahwa temperatur air akan mempengaruhi stadia perkembangan larva dan mempengaruhi lamanya sensitivitas gonad terhadap stimulasi hormon. Temperatur merupakan faktor yang mengendalikan aktifitas molekuler dalam metabolisme. Peningkatan temperatur akan diikuti dengan perubahan laju penyerapan kuning telur, laju perkembangan dan laju metabolisme. Temperatur air dapat mempengaruhi struktur dan fungsi protein serta makro molekul lain dalam tubuh ikan (Devlin dan Nagahama 2002).