• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaan Wilayah Penelitian

Kabupaten Cianjur

Cianjur merupakan salah satu kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Barat, berada di antara 6021’ – 7025’ Lintang Selatan dan 106042’ – 107025’ Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Cianjur adalah 350.148 hektar dengan jumlah penduduk pada tahun 2007 sebanyak 2.138.465 jiwa (Pemerintah Kabupaten Cianjur, 2009). Wilayah kabupaten ini terletak di lintasan jalur yang strategis antara Jakarta dan Bandung. Secara administratif, Kabupaten Cianjur dibagi dalam 30 kecamatan, dengan batas-batas sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, serta sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.

Kabupaten Cianjur beriklim tropis dengan curah hujan per tahun rata-rata 1.000 sampai 4.000 mm dan jumlah hari hujan rata-rata 150 per tahun (Pemerintah Kabupaten Cianjur, 2009). Dengan kondisi alam tersebut, Kabupaten Cianjur memiliki kesuburan tanah yang baik dan mengandung keanekaragaman kekayaan sumberdaya alam yang potensial sebagai modal dasar pembangunan dan potensi investasi. Lahan-lahan pertanian tanaman pangan dan hortikultura, peternakan, perikanan dan perkebunan merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat. Cakupan wilayah Kabupaten Cianjur seluas 350.148 hektar dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti tertera pada Lampiran 5.

Penduduk Kabupaten Cianjur sebagian besar bekerja di sektor pertanian yaitu sekitar 63,0 persen. Sektor pertanian ini merupakan penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yaitu sekitar 42,8 persen. Sektor lain yang cukup banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan dan jasa yaitu sekitar 14,60 persen. Sebagai daerah agraris yang pembangunannya bertumpu pada sektor pertanian, Kabupaten Cianjur merupakan salah satu daerah swa-sembada padi. Produksi dan luas areal pertanian tanaman pangan di Kabupaten Cianjur secara rinci ditampilkan pada Lampiran 6.

Luas areal padi gogo yang ditanam di lahan kering Kabupaten Cianjur tampak jauh lebih rendah, yakni sekitar 14 persen dibandingkan padi sawah (Lampiran 4). Produktivitas padi gogo yang rendah (3,1 ton/ha), menjadikan komoditas ini tidak banyak ditanam dibandingkan padi sawah dengan produktivitas yang lebih tinggi (5,3 ton/ha). Perhatian pemerintah terhadap padi gogo adalah relatif kurang dibandingkan padi sawah. Inovasi teknologi padi gogo terlihat tidak banyak berubah, sedangkan teknologi padi sawah terus berkembang, dari mulai teknik budidaya hingga varietas unggul baru diharapkan mampu meningkatkan produktivitas. Tanaman padi banyak dijumpai di daerah Cianjur Tengah, sedangkan tanaman palawija tumbuh dengan baik di wilayah Cianjur Selatan.

Sebagaimana daerah beriklim tropis, di wilayah Cianjur Utara tumbuh subur tanaman sayuran, teh dan tanaman hias. Jenis sayuran yang banyak ditanam petani Cianjur adalah daun bawang, pete dan wortel (Lampiran 7). Salah satu jenis sayuran yang mempunyai nilai ekonomis tinggi adalah cabe. Produktivitas cabe besar dan cabe rawit tergolong tinggi, masing-masing sebesar 10,7 ton/ha dan 10,3 ton/ha. Meskipun harga cabe fluktuatif seperti harga komoditas sayuran yang lain, namun pada saat-saat tertentu harga komoditas cabe di tingkat petani dapat mencapai Rp 30.000,00/kg. Kondisi ini yang mendorong petani untuk tetap menanam cabe.

Di wilayah Cianjur Selatan, selain terdapat tanaman palawija, juga banyak dijumpai tanaman buah-buahan. Komoditas pisang menjadi komoditas unggulan di Cianjur, produksi yang dihasilkan selama tahun 2007 mencapai 232.614 ton (Lampiran 8). Potensi lain di wilayah Cianjur Selatan adalah tanaman perkebunan yang cukup besar, sekitar 16,5 persen dari seluruh luas merupakan areal perkebunan. Selama ini dikelola oleh Perkebunan Besar Negara (PBN), Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Rakyat (PR). Peningkatan produksi perkebunan, terutama komoditas teh cukup baik. Produktivitas teh rakyat mampu mencapai antara 1.400 - 1.500 kg teh kering per hektar, sedangkan yang dikelola oleh perkebunan besar rata-rata mencapai di atas 2.000 kg per hektar.

Desa Talaga adalah desa penelitian merupakan salah satu desa di Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur. Desa tersebut dibagi dalam tiga dusun, yakni Dusun 1, Dusun 2 dan Dusun 3. Dusun 1 mencakup 4 kampung, yakni Pasir Pendey, Lebak Songgom, Cilebak dan Sindang Palay, sedangkan Dusun 2 meliputi Kampung Koleberes, Marilid, Salamuncang dan Angkrong. Dusun 3 terdiri atas Kampung Kabandungan, Salahuni dan Bayabang. Wilayah Desa Talaga seluas 365,6 ha dengantingkat kemiringan tanah berkisar antara200 - 350 dan tinggi tempat berada 750 m di atas permukaan laut (dpl), serta jenis tanah dominan berupa andosol. Suhu rata-rata harian mencapai 280 C, dengan curah hujan 450 mm/tahun serta 6 bulan hujan per tahun.

Penduduk Desa Talaga berjumlah 5.459 jiwa, yang terdiri atas penduduk laki-laki sebanyak 2.733 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 3.839 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2.726. Kepadatan penduduk tergolong padat, yakni 607 orang per kilometer persegi. Sebaran penduduk berdasarkan mata pencaharian ditampilkan pada Tabel 16. Persentase penduduk yang bekerja sebagai buruh swasta/pembantu rumah tangga (PRT) mencapai 35,1% dan 350 orang (27,3%) di antaranya sebagai PRT.

Tabel 16 Penduduk Desa Talaga berdasarkan mata pencaharian

No. Mata pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%)

(1) Petani 326 25,4 (2) Buruh tani 108 8,4 (3) Buruh swasta/PRT 450 35,1 (4) Pegawai negeri/pensiunan 35 2,7 (5) Pengrajin 250 19,5 (6) Pedagang 11 0,9 (7) Jasa 102 8,0 Jumlah 1.282 100,0

Sumber: Potensi Desa Talaga, 2008

Pada tahun 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat memperkenalkan teknologi usahatani terpadu kepada petani di Desa Talaga. Model inovasi yang dikembangkan merupakan inovasi untuk memanfaatkan secara optimal sumberdaya pertanian yang ada dan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan petani. Terdapat lima kelompok tani yang diikutsertakan dalam kegiatan tersebut, yakni kelompok tani: (1) Sumber Arum, anggota 18 petani; (2) Intan

Langsung Makmur, anggota 21 petani; (3) Sumber Tani, anggota 24 petani; (4) Jembar Tani, anggota 21 petani; dan (5) Sumur Sari, anggota 19 petani. Seluruh petani yang berjumlah 103 menjadi petani adopter. Kelompok Tani Sumber Arum merupakan kelompok tani yang tumbuh dari masyarakat, dibentuk pada akhir tahun 2005. Kelompok lain dibentuk berdasarkan kepentingan program pemerintah, agar lebih mempermudah diseminasi teknologi usahatani terpadu.

Kabupaten Garut

Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º 56' 49'' - 7º 45' 00'' Lintang Selatan dan 107º 25 '8'' - 108º 7' 30'' Bujur Timur. Kabupaten Garut memiliki luas wilayah administratif sebesar 306.519 ha atau 3.065,19 km² (Pemerintah Kabupaten Garut, 2009) dengan batas- batas sebelah utara dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang, sebelah timur dengan sebelah Kabupaten Tasikmalaya, sebelah selatan dengan Samudera Indonesia, serta sebelah barat dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur.

Secara geografis Kabupaten Garut berdekatan dengan Kota Bandung sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat. Daerah ini merupakan daerah penyangga dan hinterland bagi pengembangan wilayah Bandung Raya. Oleh karena itu, Kabupaten Garut mempunyai kedudukan strategis dalam memasok kebutuhan warga Kota dan Kabupaten Bandung sekaligus berperan di dalam mengendalikan keseimbangan lingkungan.

Wilayah Kabupaten Garut mempunyai kemiringan lereng yang bervariasi antara 0-40 persen, di antaranya sebesar 71,4 persen atau 218.924 ha berada pada tingkat kemiringan antara 8-25 persen. Luas daerah landai dengan tingkat kemiringan di bawah 3 persen mencapai 29.033 ha atau 9,5 persen; wilayah dengan tingkat kemiringan sampai dengan 8 persen mencakup areal seluas 79.214 ha atau 25,8 persen; luas areal dengan tingkat kemiringan sampai 15 persen mencapai 62.975 ha atau 20,6 persen wilayah dengan tingkat kemiringan sampai dengan 40 persen mencapai luas areal 7.550 ha atau sekitar 2,5 persen (Pemerintah Kabupaten Garut, 2009).

Berdasarkan jenis tanah dan topografi di Kabupaten Garut, penggunaan lahan secara umum di Garut Utara digunakan untuk persawahan dan Garut Selatan didominasi oleh perkebunan dan hutan. Rincian penggunaan lahan Kabupaten Garut tertera pada Lampiran 9.

Perekonomian Kabupaten Garut dari tahun ke tahun selalu didominasi oleh sektor pertanian, khususnya tanaman pangan. Dengan kondisi ini Garut dapat dikatakan sebagai kabupaten yang berbasis pertanian. Kebijakan pengembangan ekonomi Garut diarahkan kepada pengembangan ekonomi rakyat terutama di daerah pedesaan, untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Sektor pertanian dijadikan andalan Kabupatan Garut agar mendapat peluang mendorong roda ekonomi Garut, juga dapat turut andil dalam perekonomian Jawa Barat.

Di antara komoditas pangan, padi merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia, sehingga ketersediaan padi (beras) menjadi tolok ukur ketersediaan pangan. Di Garut, produktivitas padi gogo (3,0 ton/ha) lebih rendah dibandingkan dengan padi sawah (6,2 ton/ha), demikian juga dengan luas areal panen. Kondisi ini menunjukkan bahwa padi gogo kurang diprioritaskan. Pada kenyataannya, produktivitas padi gogo sulit ditingkatkan. Berbagai kebijakan pemerintah yang terkait dengan peningkatan produksi padi, baik melalui peningkatan mutu intensifikasi maupun perluasan areal tanam, lebih diarahkan pada tanaman padi sawah. Pada tanaman palawija, komoditas ubi kayu memiliki produktivitas tertinggi dibandingkan komoditas lain, mencapai 22,0 ton/ha (Lampiran 10).

Selama tahun 2008, di Garut produksi tanaman sayuran yang tergolong tinggi adalah kentang, kubis dan tomat (Lampiran 11), produksi buah-buahan tertinggi adalah pisang (Lampiran 12). Perubahan harga pada komoditas hortikultura (sayuran maupun buah-buahan) menyebabkan penerimaan petani dari hasil penjualan mengalami perubahan. Kondisi demikian kurang kondusif bagi pengembangan usaha hortikultura, karena keuntungan yang diperoleh menjadi tidak stabil dan tidak dapat diperkirakan dengan baik. Padahal tingkat keuntungan yang tinggi justru merupakan daya tarik utama bagi petani untuk berusahatani dan memperluas skala usaha.

Desa Jatiwangi merupakan salah satu desa di wilayah Kabupaten Garut dan berada di Kecamatan Pakenjeng. Desa tersebut dibagi dalam empat dusun, yakni Ciakar, Pasirkaliki, Halimun, dan Bojong dengan cakupan wilayah seluas 2.242,43 hektar. Ketinggian wilayah Desa Jatiwangi mencapai 300-700 meter diatas permukaan laut (dpl). Jenis tanah termasuk latosol, sebagian andosol dengan tekstur liat berlempung, sebagian berbatuan dan terjal, dengan pH tanah berkisar antara 4 – 6 (Monografi Desa Jatiwangi, 2008).

Topografi Desa Jatiwangi dari mulai datar sampai berbukit, bergelombang sampai berbukit, dan berbukit sampai bergunung, dengan jenis tanah berupa latosol (33,6%) dan podsolik merah kuning (66,4%). Terdapat dua sungai yang berada di desa tersebut, yakni Sungai Cikandang dan Ciarinem. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson, iklim di Desa Jatiwangi tergolong ke dalam tipe C. Suhu harian rata-rata berkisar antara 200 C-270 C dengan curah hujan 2.000 mm/tahun serta 6 bulan hujan per tahun (Monografi Desa Jatiwangi, 2008).

Penduduk Desa Jatiwangi berjumlah 7.709 jiwa, yang terdiri atas penduduk laki-laki sebanyak 3.870 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 3.839 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2.242. Kepadatan penduduk tergolong jarang (tidak padat), yakni 34 orang per kilometer persegi. Sebaran penduduk berdasarkan mata pencaharian ditampilkan pada Tabel 17.

Tabel 17 Penduduk Desa Jatiwangi berdasarkan mata pencaharian

No. Mata pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%)

(1) Petani 1.100 57,3 (2) Buruh tani 445 23,2 (3) Buruh swasta 2 0,1 (4) Pegawai negeri 95 4,9 (5) Pengrajin 26 1,4 (6) Pedagang 142 7,4 (7) Jasa 109 5,7 Jumlah 1.919 100,0

Sumber: Monografi Desa Jatiwangi, 2008

Inovasi teknologi usahatani terpadu diperkenalkan di Desa Jatiwangi pada tahun 2005 (dua tahun lebih awal dibanding Desa Talaga). Pada tahun 2005 hanya dua kelompok tani yang diikutsertakan dalam kegiatan tersebut, yakni Kelompok Tani: Saluyu, 25 anggota dan Mekar Hurip, 30 anggota. Kedua kelompok tani tersebut telah ada sebelum teknologi usahatani terpadu

diperkenalkan, tumbuh atas inisiatif masyarakat setempat. Sampai tahun 2008 jumlah kelompok tani yang ikut serta bertambah, yakni Kelompok Tani: (1) Arimba, 30 anggota; (2) Nusawargi, 25 anggota; (3) Harapan Jaya, 30 anggota; (4) Mekar Harapan, 25 anggota; dan (5) Mekar Baru, 25 anggota. Kelima kelompok tani tersebut merupakan kelompok bentukan, dengan tujuan memudahkan alih teknologi usahatani terpadu, dibandingkan melalui pendekatan individu. Keseluruhan petani Desa Jatiwangi yang menjadi anggota kelompok tani berjumlah 190.

Karakteristik Petani

Karakteristik Sosial Ekonomi Petani

Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa sebagian besar petani adopter (59,1%) dan petani non adopter (53,9%) di lokasi penelitian berada pada usia produktif (Tabel 18). Persentase petani yang berumur tua ( 65 tahun) relatif kecil (kurang dari 14%). Batasan usia kerja menurut Badan Pusat Statistik (2009) berada pada kisaran usia 15-64 tahun dan digolongkan sebagai umur produktif. Walaupun terdapat kecenderungan golongan usia muda tidak berminat bekerja di sektor pertanian, namun petani responden yang berusia muda (27-45 tahun) beranggapan bahwa sektor ini masih mampu memberikan penghidupan. Hal ini memperkuat temuan penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (2008) mengenai Panel Petani Nasional (Patanas). Petani yang berusia 45 tahun ke bawah, sebanyak 55 persen digolongkan sebagai angkatan kerja produktif yang bekerja di sektor pertanian.

Bila dicermati lebih lanjut, ternyata petani yang berusia produktif berpendidikan sampai sekolah dasar (Tabel 18). Beberapa di antara petani tersebut bahkan ada yang tidak bersekolah. Proporsi terbesar petani responden (71,4% - 95,7%) berpendidikan SD. Tanpa pendidikan dan keterampilan memadai, masyarakat hanya dapat memasuki lapangan pekerjaan yang mengandalkan kekuatan fisik. Mata pencaharian sebagai petani tidak

mensyaratkan pendidikan formal yang memadai. Diperkirakan masyarakat desa yang berusia muda dan berpendidikan SLTP ataupun SLTA mulai beralih ke sektor non-pertanian di perkotaan. Terdapat kecenderungan tenaga muda pedesaan

yang relatif terdidik tidak tertarik bekerja di sektor pertanian. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 18 bahwa petani yang berpendidikan SLTA ( 10 tahun) relatif rendah (0-13%). Performa masyarakat yang bekerja di pertanian dinilai kurang menarik, baik dilihat dari sisi penampilan maupun perolehan pendapatan.

Tabel 18 Karakteristik sosial ekonomi petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat

Petani Cianjur (%) Petani Garut (%) Total Petani (%)

Peubah Kategori Adopter

(n=46) Non adopter (n=47) Adopter (n=91) Non adopter (n=118) Adopter (n=137) Non adopter (n=165) Umur Muda Dewasa Tua Tahun 27-45 46-64 65 60,9 32,6 6,5 42,5 51,1 6,4 58,2 33,0 8,8 58,4 28,0 13,6 59,1 32,9 8,0 53,9 34,6 11,5 Pendidikan formal Rendah Sedang Tinggi Tahun 0-6 7-9 10 76,1 10,9 13,0 95,7 4,3 0,0 71,4 19,8 8,8 80,5 15,3 4,2 73,0 16,8 10,2 84,8 12,1 3,0 Tingkat pendapatan Rendah Sedang Tinggi Rp (Juta) <4,51 4,51-6,70 6,71 41,3 21,7 37,0 66,0 31,9 2,1 37,3 30,8 31,9 55,9 35,6 8,5 38,7 27,7 33,6 58,8 34,5 6,7 Tingkat mobilitas Rendah Sedang Tinggi Skor 1-6 7-12 13-14 58,7 32,6 8,7 83,0 8,5 8,5 67,0 24,2 8,8 75,4 21,2 3,4 64,2 27,0 8,8 77,6 17,6 4,8 Luas lahan Sempit Sedang Luas Hektar 0,04-0,25 0,26-0,50 0,51 19,6 54,3 26,1 80,9 12,7 6,4 57,1 27,5 15,4 65,3 28,8 5,9 44,5 36,5 19,0 69,7 24,2 6,1 Daya beli saprodi

Rendah Sedang Tinggi Skor 0-1 2 3-4 19,6 43,4 37,0 80,9 8,5 10,6 42,9 18,6 38,5 74,6 15,2 10,2 35,0 27,0 38,0 76,4 13,3 10,3

Keterangan: Rentang skor tk mobilitas 1-14; daya beli 0-4

Informasi yang diperoleh dari tokoh masyarakat setempat menyatakan telah terjadi pergeseran orientasi dari desa ke kota di kalangan muda Cianjur dan Garut. Hal ini dilihat dari tingkat migrasi yang dilakukan tenaga kerja muda ke luar daerah, baik migrasi sementara (harian, bulanan), maupun migrasi permanen. Para migran ini bekerja di sektor formal dan informal, yaitu sebagai karyawan (sipil, swasta), buruh dan tukang bangunan, pedagang, pembantu rumah tangga, TKI, dan sebagainya. Selain lebih memilih bermigrasi, para pemuda yang menetap di pedesaan lebih memilih bekerja di sektor jasa angkutan (sopir angkutan, ojeg), dengan alasan lebih mudah untuk memperoleh penghasilan

sehari-hari dan lebih bergengsi dilihat dari status sosial, dibanding harus bekerja sebagai petani. Keberhasilan tenaga kerja yang lebih dulu merantau ke daerah perkotaan ataupun ke luar negeri, memotivasi tenaga kerja lain di pedesaan yang merasa memiliki peluang sama.

Pendidikan non formal masih menjadi tumpuan proses alih teknologi pertanian. Namun demikian, sebagian besar petani responden baik di Desa Talaga (94,6%) maupun di Desa Jatiwangi (96,7%) dalam satu tahun terakhir (2008- 2009), tidak mengikuti pendidikan non formal (seperti pelatihan, kegiatan penyuluhan ataupun plot demonstrasi). Pemberian informasi tentang teknologi usahatani terpadu dilakukan oleh peneliti (sebagai manajer lapang) dan penyuluh (sebagai tenaga detasir) BPTP Jawa Barat serta penyuluh pertanian dari BPP. Informasi hanya disampaikan kepada ketua kelompok tani dan sekretaris atau bendahara kelompok. Selama tahun 2008, kegiatan diskusi teknologi usahatani terpadu antara tenaga detasir dan penyuluh pertanian dari BPP dilakukan sebanyak 8 -10 kali. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh ketua kelompok tani diteruskan kepada petani lain dalam kelompok masing-masing. Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Cianjur pada tahun 2008, diikuti 8 petani adopter (17,4%) dan 13 petani non adopter (27,7%) dari Desa Talaga. Proses belajar mengajar dalam SLPHT dilakukan 12 kali pertemuan. Pokok bahasan difokuskan pada pengendalian hama terpadu komoditas cabe. Pada bulan September 2008 Kantor Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Garut mengadakan Pelatihan Penyuluh Pertanian Swadaya yang diikuti oleh seorang petani adopter yang merupakan ketua kelompok tani dari Desa Jatiwangi.

Rata-rata pendapatan petani non adopter selama satu tahun (2008), baik di Desa Talaga Cianjur maupun Desa Jatiwangi Garut (Tabel 19) adalah kurang dari Rp 4,51 juta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2005 pendapatan rata-rata buruh tani sebesar Rp 4,511.900,00 dan rumah tangga pengusaha pertanian sebesar Rp 6.706.500,00. Batas garis kemiskinan yang ditetapkan BPS pada tahun 2008 untuk masyarakat pedesaan adalah sebesar Rp 161.831,00/ kapita/bulan atau Rp 1,94 juta/kapita/tahun. Bila dalam satu

rumah tangga, kepala keluarga menanggung 3 orang anggota keluarga (istri dan 2 anak), maka batas garis kemiskinan Rp 647.324,00/rumah tangga/bulan atau Rp 7,77 juta/rumah tangga. Dengan demikian petani adopter Cianjur yang termasuk dalam kategori miskin sebesar 71,7 persen dan seluruh petani non adopter tergolong miskin (100,0%). Petani adopter Garut yang termasuk kategori miskin ada sebanyak 78,0 persen, sedangkan petani non adopter yang tergolong miskin sebesar 94,9 persen. Bila menggunakan indikator batas garis kemiskinan menurut Bank Dunia sebesar $ 2.0/kapita/hari atau Rp 6,77 juta/kapita/tahun ($ 1.0 setara dengan Rp 9.400,00) atau Rp 27,08 juta/rumah tangga/tahun, maka seluruh petani responden (Cianjur dan Garut) tergolong miskin. Kondisi ini didukung data pada tahun 2007, sekitar 63,5 persen penduduk miskin di Indonesia merupakan penduduk pedesaan dan sebagian besar menggantungkan sumber pendapatan dari sektor pertanian (Syafa’at et al., 2007; Sumaryanto dan Sudaryanto, 2009).

Petani adopter di Cianjur masih mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber pendapatan utama. Hal ini terlihat dari proporsi pendapatan dari usahatani (63,7%) dan berburuh tani lebih tinggi dibanding non pertanian (Tabel 19). Pendapatan usahatani dan non pertanian bagi petani non adopter Cianjur, petani adopter dan non adopter Garut dapat dikatakan hampir seimbang. Dengan kondisi demikian, petani-petani tersebut sulit diharapkan untuk mengadopsi teknologi baru dengan biaya tinggi. Di tingkat produsen, petani rentan mengalami kegagalan dalam bertani, baik yang disebabkan anomali musim yang tidak dapat diprediksi petani ataupun serangan hama penyakit pada komoditas yang diusahakan. Serangan hama kuuk menimbulkan kerugian finansial yang relatif besar pada sebagian besar petani di Desa Jatiwangi, Kabupaten Garut.

Petani yang memiliki lahan garapan relatif sempit dan peluang untuk mencari pekerjaan di luar sektor pertanian relatif sulit, maka kegiatan berburuh tani merupakan salah satu alternatif sebagai mata pencaharian sampingan, baik di dalam maupun di luar desa sebagai upaya diversifikasi usaha. Upah buruh tani pria berkisar antara Rp 10.000,00 (ditambah makan dan minum) hingga Rp 17.000,00 (tanpa makan dan minum, diistilahkan buruh lepas) dengan jam kerja 7.00 – 12.00 WIB. Upah buruh wanita dengan jam kerja yang sama 7.00 – 12.00

WIB berkisar antara Rp 6.000,00 (ditambah makan dan minum) hingga Rp 10.000,00 (tanpa makan dan minum, diistilahkan buruh lepas). Ketimpangan upah buruh pria dan wanita dikarenakan buruh pria melakukan pekerjaan yang dinilai lebih berat dibandingkan wanita, seperti mencangkul, mengangkut hasil panen dan menyemprot; sedangkan buruh wanita melakukan pekerjaan tanam, menyiang, dan panen.

Tabel 19 Rata-rata pendapatan petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat selama tahun 2008

Petani Cianjur (Rp 1.000) Petani Garut (Rp 1.000)

No. Uraian Adopter

(n=46) Non adopter (n=47) Adopter (n=91) Non adopter (n=118) (1) Usahatani 3.981,0 (63,7) 1.681,4 (44,8) 2.693,7 (47,7) 1.704,7 (39,1) (2) Buruh tani 348,7 (5,6 ) 327,8 (8,7) 582,8 (10,3) 580,9 (13,3) (3) Non pertanian 1.916,4 (30,7) 1.748,1 (46,5) 2.376,5 (42,0) 2.077,6 (47,6) Total 6.246,1 (100,0) 3.757,3 (100,0) 5.653,0 (100,0) 4.363,2 (100,0) Keterangan: Angka (…) merupakan persentase terhadap total

Kontribusi pendapatan non pertanian terhadap total pendapatan petani adalah relatif tinggi (berkisar antara 30,7% - 47,6%). Kenyataan ini menunjukkan bahwa pekerjaan sampingan selain bertani adalah berdagang, usaha jasa ojeg, kerajinan bambu, dan buruh bangunan dibutuhkan petani. Usaha pertanian setahun tidak mampu menopang kehidupan petani dan keluarganya. Bagi petani yang memiliki sepeda motor, waktu luang setelah bertani digunakan untuk usaha jasa ojeg. Selain itu, terdapat pula petani yang berburuh membuat anyaman bilik dari bambu. Perolehan upah yang diterima petani dalam menganyam bambu ukuran 2x3 m2 adalah Rp 1.000,00 dan dalam satu hari mampu menganyam hingga 4 lembar. Pada waktu musim kemarau beberapa petani merantau ke kota, bekerja sebagai buruh bangunan ataupun berdagang.

Berbagai penelitian yang telah dilakukan selama ini di lingkup mikro memperlihatkan bahwa peran sektor non pertanian adalah meningkat sebagai sumber pendapatan rumah tangga di pedesaan. Namun sebagian besar hasil-hasil

penelitian diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan tersebut masih belum sesuai dengan harapan. Sebagian besar kesempatan kerja non pertanian yang dapat diakses masyarakat pedesaan adalah di sektor non formal, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Penyerapan tenaga kerja di sektor ini, lebih rendah dari pertumbuhan angkatan kerja. Laju peningkatan kesempatan kerja non pertanian yang mempunyai kaitan kuat dengan sektor pertanian adalah relatif rendah. Oleh karena itu, peningkatan peran sektor non pertanian sebagai sumber pendapatan rumah tangga berkorelasi positif dengan peningkatan urbanisasi tenaga kerja ke wilayah perkotaan (Sumaryanto dan Sudaryanto, 2009).

Untuk mengatasi fenomena laju urbanisasi, perlu ada kebijakan pemerintah daerah setempat (baik Cianjur maupun Garut) yang mengupayakan pembangunan agro-industri di tingkat pedesaan. Salah satu upaya untuk melaksanakannya dengan pemberian insentif dalam bentuk modal kerja, disertai dengan penyediaan infrastruktur yang memadai. Langkah ini diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja bagi tenaga muda pedesaan yang relatif terdidik dan memberikan nilai tambah komoditas pertanian yang dihasilkan petani. Dengan upaya tersebut diharapkan pendapatan masyarakat pedesaan meningkat dan dapat menekan laju urbanisasi.

Tingkat mobilitas petani responden yang dikaitkan dengan tujuan ekonomi, seperti pembelian sarana produksi atau penjualan hasil pertanian adalah tergolong rendah dengan kisaran persentase antara 58,7 - 83,0 persen. Kebutuhan petani responden terhadap sarana produksi dipenuhi oleh kios-kios sarana produksi di dalam desa yang menyediakan bibit/benih, pupuk dan obat-obatan. Jarak tempuh antara lahan petani dengan kios sarana produksi adalah relatif dekat. Petani responden cenderung menjual hasil pertanian di dalam desa, karena telah melakukan perhitungan antara dijual di dalam desa dan di luar desa. Biaya transportasi yang harus dikeluarkan secara tunai dan curahan tenaga kerja tidak seimbang dengan selisih nilai jual yang diperoleh. Petani yang pergi ke luar desa dengan tujuan konsumtif, jarang ditemui. Hanya petani yang dinilai mampu yang pergi ke luar desa bukan untuk tujuan ekonomi. Mobilitas petani dari desa ke daerah lain yang didasarkan atas keperluan kekerabatan, tidak hanya terjadi pada

petani yang mampu saja, namun juga berlaku pada petani yang dinilai kurang mampu, misal pada hajatan pernikahan, atau kematian kerabat dekat.

Dokumen terkait