• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterangan: ... (...) = koefisien jalur (nilai-p)

kelembagaan kerjasama. Sebagai contoh, adanya kepastian pasar dan harga. Faktor sosial kelembagaan, terkait dengan hubungan interpersonal yang menumbuhkan kepercayaan yang kuat antar pelaku yang berinteraksi. Kepercayaan ini menjadi dasar bagi keberlangsungan kerjasama yang dibangun, menjadi jaminan antar pelaku yang melengkapi aturan main tidak tertulis yang berlaku. Kebijakan terkait dengan posisi dan peran pemerintah dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi kinerja suatu kerjasama, seperti kebijakan subsidi pupuk, ataupun bantuan kredit lunak dengan tingkat suku bunga yang rendah.

Peran penyuluh pertanian dalam pemasaran bersama terkait dengan mutu komoditas pisang yang dihasilkan petani adopter Cianjur melalui kegiatan pembrongsongan. Ukuran pisang yang dibrongsong relatif lebih besar dengan kulit tanpa bintik-bintik hitam. Produk pisang yang dihasilkan petani mampu memasuki supermarket (melalui supplier), yang dikenal memiliki persyaratan cukup ketat terhadap kriteria mutu produk yang dibutuhkan, bila dibandingkan pedagang pengumpul. Namun demikian, tidak semua petani adopter Cianjur melakukan pembrongsongan pisang. Alasan yang dikemukakan berkaitan dengan biaya yang harus dikeluarkan menjadi meningkat dan plastik pembrongsong tidak tersedia di kios desa.

Tingkat kekosmopolitan berpengaruh negatif nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa tingkat kekosmopolitan sebagian besar petani responden (Cianjur dan Garut) tergolong rendah dan dapat dikategorikan sebagai petani lokalit. Akses terhadap informasi usahatani cukup diperoleh dari sesama petani di dalam desa. Frekuensi petani responden dalam mencari teknologi yang sesuai dengan kebutuhan, dilihat dari aspek kesesuaian dengan kondisi masyarakat, keuntungan finansial dan kelestarian lingkungan, tergolong sangat jarang. Paling tidak tingkat pendidikan formal petani responden yang dikategorikan rendah ikut memberikan kontribusi terhadap keadaan petani yang lokalit. Pendidikan dengan cara pandang atau wawasan petani memiliki keterkaitan yang erat. Di samping itu dengan skala usaha yang sempit (petani non adopter Cianjur, petani adopter dan non adopter Garut), petani responden merasa tidak memiliki daya sama sekali untuk

mengembangkan usaha pada skala yang lebih luas. Keyakinan pada nasib yang tidak dapat diubah, petani cenderung tidak berkeinginan untuk mencari informasi teknologi ke luar desa. Untuk itu peran penyuluh sebagai motivator dan fasilitator dituntut untuk mampu membuka pemikiran petani kelompok ini, bahwa nasib berbeda dengan takdir, sehingga dapat diubah dengan kemauan dan peningkatan kemampuan.

Keterdedahan terhadap media berpengaruh positif nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan. Meskipun proporsi petani responden dengan keterdedahan terhadap media tergolong sedang sampai tinggi relatif kecil, berkisar antara 17 - 31,9 persen (Tabel 29), namun memberikan pengaruh nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan. Petani kelompok ini mempunyai tingkat pendidikan di atas rata-rata petani secara umum di desanya dan memiliki pekerjaan lain di luar bertani dan dinilai terpandang oleh petani lain di sekitarnya. Petani kelompok ini tergolong petani elit yang menjadi pengurus dalam kelompok tani dan berinteraksi dengan penyuluh.

Dalam penyampaian inovasi teknologi usahatani terpadu oleh penyuluh BPTP Jawa Barat disertai dengan pembagian leaflet, brosur dan poster yang berisi informasi tentang teknik budidaya komoditas yang direkomendasikan (termasuk ternak domba). Sebagaimana dikemukakan Berlo (1960), Face dan Faules (1998) bahwa dalam pemilihan media dapat didasarkan pada pertimbangan sifat-sifat media yang dapat diakses oleh sebagian besar komunikan dengan biaya paling rendah, hasil-hasil yang diinginkan, dan budaya masyarakat penerima pesan, serta preferensi komunikan.

Keterdedahan terhadap media akan menentukan pemahaman petani responden terhadap informasi-informasi pertanian. Bahkan pada petani non adopter yang merangkap sebagai pedagang telah menggunakan media elektronik, berupa telepon selular untuk mendapatkan informasi tentang harga jual produk pertanian. Informasi dari berbagai media ini akan menentukan sikap petani responden dalam merespon inovasi suatu teknologi.

Bila petani responden dibedakan atas petani adopter dan petani non adopter, maka tampak faktor-faktor yang mempengaruhi positif nyata persepsi petani adopter terhadap penyuluhan adalah tingkat mobilitas, tingkat intelegensi, keberanian beresiko, dan kerjasama. Pada petani non adopter, faktor-faktor tersebut adalah sikap terhadap perubahan, kerjasama, keterdedahan terhadap media, dan ketersediaan fasilitas keuangan; sedangkan faktor yang mempengaruhi negatif nyata adalah daya beli (Tabel 30). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi daya beli petani nonadopter, maka persepsi terhadap penyuluhan semakin rendah. Petani non adopter ini tidak mengenal penyuluh, interaksi lebih sering dilakukan dengan pedagang sarana produksi ataupun pedagang hasil.

Tabel 30 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat

Koefisien jalur yang telah

distandarkan P Peubah Adopter (n=137) Non adopter (n=165) Adopter (n=137) Non adopter (n=165) X1 Karakteristik Petani X14 Tingkat mobilitas 0,127 0,085 X18 Tingkat intelegensi 0,202 0,021 X110 Keberanian beresiko 0,161 0,065 X16 Dayabeli -0,153 0,099

X19 Sikap terhadap perubahan 0,290 0,001 X2 Perilaku Komunikasi Petani

X21 Kerjasama 0,168 0,249 0,105 0,006

X23 Keterdedahan terhadap media 0,136 0,114

X3 Dukungan Iklim Usaha

X32 Ketersediaan fasilitas keuangan 0,132 0,129

R2 42% 30%

Keterangan: peubah yang dicantumkan yang nyata pada taraf = 0,15

Faktor kerjasama mempengaruhi persepsi petani, baik adopter maupun non adopter terhadap penyuluhan (Gambar 7). Peran penyuluh sebagai fasilitator diperlukan petani adopter dan petani non adopter dalam membangun kerjasama dengan pihak lain, baik yang terkait dengan ketersediaan modal usahatani maupun jaminan pemasaran produk yang dihasilkan petani. Penyuluh dalam

menyampaikan pesan inovasi kepada seluruh khalayak sasaran perlu memperhatikan perilaku komunikasi ini (kerjasama). Nilai koefisien jalur sub peubah kerjasama pada petani non adopter adalah lebih tinggi dibandingkan petani adopter. Hal ini menggambarkan bahwa petani non adopter mempunyai tingkat kebutuhan yang relatif lebih tinggi untuk difasilitasi bekerjasama dengan pihak lain. Kehadiran penyuluh pertanian sangat diharapkan petani non adopter untuk dapat mengembangkan usahatani yang dikelolanya selama ini. Asas berkeadilan, belum tercermin dalam penyelenggaraan penyuluhan yang memposisikan petani non adopter berhak mendapatkan pelayanan secara proporsional sesuai dengan kemampuan, kondisi, dan kebutuhannya.

Gambar 7 Sub peubah-sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani adopter dan non adopter terhadap penyuluhan

X4 Persepsi Petani terhadap Penyuluhan -0,153 (0,099) 0,202 (0,021) 0,161 (0,065) 0,168 (0,105) X1 KARAKTERISTIK PETANI X2 PERILAKU KOMUNI- KASI PETANI X1.4 Tingkat mobilitas X1.8 Tingkat intelegensi X1.10 Keberanian beresiko X2.1 Kerjasama X1 KARAKTERISTIK PETANI X2 PERILAKU KOMUNI- KASI PETANI X1.6 Daya beli X1.9 Tingkat intelegensi X2.1 Kerjasama X2.3 Keterdedahan terhadap media X3 DUKUNGAN IKLIM USAHA X3.2 Ketersediaan fasilitas keuangan

PETANI ADOPTER PETANI NON ADOPTER

0,127 (0,085)

0,290 (0,001)

0,136 (0,114)

0,132 (0,129) Keterangan: ... (...) = koefisien jalur (nilai-p)

Koefisien jalur yang dicantumkan yang nyata pada taraf =0,15

Persepsi Petani terhadap Ciri-ciri Inovasi

Banyak pengamat pertanian mempertanyakan perkembangan teknologi pertanian saat ini yang dinilai lambat. Sebagian pengamat menilai bahwa perkembangan teknologi pertanian lambat, karena lembaga penelitian tidak menghasilkan terobosan teknologi yang nyata dalam peningkatan produksi. Pengamat lain berpendapat bahwa, lembaga penelitian telah banyak menghasilkan teknologi, tetapi teknologi tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan petani, atau belum diadopsi petani secara progresif, karena: (1) Faktor internal petani, seperti sikap petani yang cenderung kurang berani menanggung resiko terhadap perubahan; dan (2) Faktor eksternal petani, seperti dukungan infrastruktur dalam adopsi teknologi baru yang dinilai kurang, atau bahkan yang lebih ironis adalah bahwa teknologi itu sendiri tidak tersedia di pasar (Simatupang dan Syafaat, 2003).

Lebih lanjut Simatupang dan Syafaat (2003) menyatakan bahwa untuk mendorong pengembangan teknologi pertanian, diperlukan perhatian terhadap tiga aspek, yaitu: (1) Terobosan teknologi spesifik lokasi yang disesuaikan dengan kebutuhan petani; (2) Pengembangan sistem inovasi teknologi, sehingga berbagai teknologi yang telah dihasilkan dapat dirakit menjadi teknologi spesifik lokasi yang siap untuk disebarluaskan kepada petani; dan (3) Melakukan komersialisasi teknologi melalui pengembangan infrastruktur pendukung, sehingga teknologi tersebut tersedia di pasar dan mudah diakses oleh petani.

Persepsi Petani terhadap Inovasi Teknologi Lokal dan Teknologi Usahatani Terpadu

Di Desa Talaga Cianjur, kegiatan usahatani terpadu dimulai pada tahun 2007 dan berakhir tahun 2009 (3 tahun), sedangkan di Desa Jatiwangi Garut kegiatan dimulai pada tahun 2005 dan berakhir tahun 2009 (5 tahun). Pada tahun pertama, kegiatan diawali dengan pemahaman pedesaan secara partisipatif atau Participatory Rural Appraisal (PRA) yang melibatkan calon petani pelaksana, penyuluh pertanian, peneliti dan perekayasa BPTP Jawa Barat, aparat daerah setempat serta instansi terkait lain. PRA dimaksudkan untuk mengumpulkan dan menganalisis berbagai informasi yang dibutuhkan guna merancang jenis-jenis

inovasi yang dikembangkan. Tahapan setelah PRA, dilanjutkan dengan kegiatan baseline survey.Pada tataran konsep kegiatan usahatani terpadu telah diupayakan penerapan pendekatan bottom-up yang merupakan koreksi terhadap pendekatan top-down.

Persepsi Petani di Desa Talaga Cianjur

Desa Talaga Cianjur merupakan daerah yang mewakili daerah lahan kering dataran tinggi. Di desa tersebut terdapat beberapa komoditas pertanian yang berpotensi untuk dikembangkan, seperti berbagai jenis pisang (raja bulu, ambon lumut, pisang Jepang, pisang nangka, pisang cavendish, pisang muli/emas, pisang tanduk dan pisang cere), sayuran (cabai rawit dan caisin), domba serta kambing. Inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan kepada petani di Desa Talaga Cianjur merupakan upaya perbaikan dari teknologi lokal dengan komoditas yang telah diusahakan petani. Teknologi lokal pada komoditas pisang belum ada pengaturan jarak tanam, terutama untuk tanaman tumpang sari. Di samping itu teknik budidaya domba/kambing belum diketahui dengan baik, terutama dalam hal pemilihan bibit unggul, pemberian pakan, sanitasi kandang, sistem perkandangan, kesehatan ternak dan reproduksi ternak. Pada Tabel 31 ditampilkan teknologi lokal dan inovasi teknologi usahatani terpadu di Desa Talaga Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur.

Persepsi Petani di Desa Jatiwangi Garut

Wilayah Desa Jatiwangi Garut mewakili daerah lahan kering dataran rendah beriklim basah. Inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan kepada petani di desa tersebut merupakan upaya perbaikan dari teknologi lokal dengan komoditas yang telah diusahakan petani. Gambaran tentang teknologi lokal dan inovasi teknologi usahatani terpadu ditampilkan pada Tabel 32.

Pada komoditas padi gogo yang menggunakan teknologi lokal, hama tikus menjadi permasalahan yang dihadapi petani. Untuk komoditas pisang, petani menjual pisang langsung dari hasil panen. Belum ada petani yang mengolah pisang, untuk mendapatkan nilai tambah. Pada ternak domba, masalah penyakit cacingan dan sakit mata belum tertangani dengan baik. Untuk itu, inovasi teknologi usahatani terpadu berupaya memperbaiki teknologi lokal yang telah

digunakan petani, terutama yang terkait dengan budidaya padi gogo, nilam, dan pembibitan ternak domba. Di samping itu diperkenalkan upaya konservasi lahan yang merupakan hal baru bagi petani.

Tabel 31 Teknologi lokal dan inovasi teknologi usahatani terpadu di Desa Talaga Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur

No. Komoditas Teknologi Lokal Inovasi Teknologi Usahatani

Terpadu1) (1) Pisang - Bibit masih lokal

- Belum ada pengaturan jarak tanam - Pemupukan belum sesuai dosis - Sanitasi kebun belum intensif - Pengendalian hama

dan penyakit belum optimal

- Pemilihan bibit unggul - Pengaturan jarak tanam - Pemberian pupuk kandang dan

pupuk anorganik sesuai rekomendasi

- Penyiangan gulma dan sanitasi kebun (pemeliharaan intensif) - Pembrongsongan buah pisang - Pengendalian hama dan

penyakit

- Penanganan panen dan pasca panen

(2) Sayuran (cabai rawit, caisin)

- Bibit masih lokal - Belum ada pengaturan jarak tanam - Pemupukan belum sesuai dosis - Pengendalian hama

dan penyakit belum sesuai konsep PHT

- Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) 1) Penggunaan varietas unggul 2) Pengaturan jarak tanam 3) Penggunaan pupuk sesuai

dosis 4) Pengairan

5) Pengendalian OPT sesuai dengan konsep PHT (3) Domba - Belum diketahui

teknik budidaya dengan baik - Skala usaha kecil,

sampingan - Kotoran ternak

belum dimanfaatkan secara optimal

- Perbaikan bibit (pemilihan bibit unggul)

- Skala usaha minimal rumah tangga (1 jantan : 8 betina) - Sistem perkandangan: komunal - Pakan: perbaikan nutrisi - Reproduksi: memperpendek

jarak kelahiran

- Kesehatan: pengendalian penyakit, dan sanitasi kandang serta lingkungan

- Pengolahan pupuk kandang Sumber: BPTP Jawa Barat (2006), data diolah

Tabel 32 Teknologi lokal dan inovasi teknologi usahatani terpadu di Desa Jatiwangi Kecamatan Pakenjeng Kabupaten Garut

No. Komoditas Teknologi Lokal Inovasi Teknologi Usahatani

Terpadu1) (1) Padi gogo - Jarak tanam tidak

teratur

- Tidak menggunakan pupuk organik

- Jarak tanam 15 cm memotong lereng 30 cm, searah lereng - Penggunaan pupuk organik (2) Ubi kayu - Ditanam pada lahan

sampai bibir teras

- Tanaman ubi kayu ditiadakan

(3) Rumput dan gliricidia

- Belum ada upaya konservasi vegetatif (alley cropping)

- Rumput dan gliricidia ditanam di bibir teras (strip rumput) sebagai tanaman konservasi dan pakan ternak

- Pemeliharaan tanaman konservasi

(4) Nilam - Jarak tanam tidak teratur

- Tidak menggunakan bahan organik

- Jarak tanam 50 cm memotong lereng 100 cm, searah lereng - Pupuk organik diberikan pada

saat tanam sebanyak 2 kg per lubang tanam

(5) Domba/ kambing

- Ukuran domba kecil - Tidak ada bibit

bermutu

- Mutu pakan rendah

- Pengadaan bibit bermutu - Manajemen terpadu (sanitasi

kandang dan ternak, aplikasi obat cacing, nutrisi)

- Suplemen leguminosa 20-40% dalam campuran hijauan Sumber: BPTP Jawa Barat (2006), data diolah

Keterangan: 1) Rincian inovasi teknologi usahatani terpadu dicantumkan pada Lampiran 4 Persepsi Petani terhadap Keuntungan

Relatif

Persepsi sebagian besar petani adopter Cianjur dan Garut (73,0%) terhadap keuntungan relatif inovasi teknologi usahatani terpadu tergolong sedang (Tabel 33). Petani adopter bersikap kurang setuju-setuju dalam menilai usahatani terpadu. Petani adopter kurang setuju bila usahatani terpadu dikatakan memerlukan biaya awal (biaya produksi) yang rendah, dalam pengelolaan menghemat waktu, dan menghemat curahan tenaga kerja. Kenyataan yang dihadapi petani adopter, justru sebaliknya yakni biaya produksi relatif lebih

tinggi, waktu yang dibutuhkan untuk mengelola relatif lebih banyak dengan curahan tenaga kerja yang lebih banyak. Namun petani adopter Cianjur (71,7%) dan petani adopter Garut (63,8%) bersikap setuju bahwa penerapan teknologi usahatani terpadu lebih menguntungkan dibanding teknologi lokal (dengan mengikuti ketentuan sesuai anjuran).

Tabel 33 Persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat

Petani Cianjur Petani Garut Total Petani Persepsi Petani terhadap Adopter (n=46) Non adopter (n=47) Adopter (n=91) Non adopter (n=118) Adopter (n=137) Non adopter (n=165) Adopter & Non adopter (n=302) Keuntungan relatif 2,50 2,25 2,59 2,31 2,55 2,28 2,42 Kesesuaian 2,70 2,58 2,62 2,67 2,66 2,63 2,65 Kerumitan 2,47 2,69 2,49 2,60 2,48 2,65 2,57 Dapat diujicoba 2,77 2,73 2,74 2,72 2,76 2,73 2,75 Dapat diamati 2,91 2,68 2,80 2,65 2,86 2,67 2,77 Ciri-ciri inovasi 2,67 2,59 2,65 2,59 2,66 2,59 2,63 Keterangan: Rentang skor 1,00-4,00

Kategori Rendah = Skor 1,00-2,00; Sedang = Skor 2,01-3,00; Tinggi = Skor 3,01-4,00

Petani adopter merasa bangga (prestise) dapat menerapkan teknologi usahatani terpadu. Ada hal-hal baru yang diterapkan petani adopter seperti pemberongsongan buah pisang dengan menggunakan plastik warna biru. Pembrongsongan pisang ini banyak diminati petani adopter Cianjur. Karena penggunaan plastik brongsong mampu meningkatkan bobot buah per tandan, per sisir serta mutu kulit buah yang lebih baik (mulus), sehingga dapat meningkatkan harga jual pisang. Di samping itu dampak lain pembrongsongan adalah dapat mengurangi kehilangan hasil panen buah pisang akibat tindakan pencurian yang sering terjadi di Desa Talaga Cianjur. Dengan pembrongsongan buah pisang, pencuri harus membuka brongsongan terlebih dahulu sebelum tanaman pisang ditebang. Kondisi tersebut akan mempersulit pencuri. Selain itu, pengenalan varietas padi gogo yang baru yakni Situ patenggang, Situ bagendit, Limboto, Towuti dan Batu tegi kepada petani adopter Garut, membuat petani desa lain

tertarik menanam benih tersebut, terutama benih Situ patenggang dan Situ bagendit, karena rasa nasi pulen dan wangi. Hal ini tentu menguntungkan bagi petani adopter Garut, terutama Kelompok Tani Mekar Hurip yang secara khusus melakukan pembenihan kedua varietas padi gogo tersebut.

Persepsi sebagian besar petani non adopter Cianjur dan Garut (80,0%) terhadap keuntungan relatif teknologi lokal tergolong sedang. Petani non adopter menilai bahwa biaya produksi teknologi lokal sesuai kemampuan petani, sarana produksi yang digunakan tidak mengikuti anjuran penyuluh; dalam pengelolaan dapat menghemat waktu dan curahan tenaga kerja. Petani non adopter merasa nyaman dalam menerapkan teknologi lokal, karena tidak ada aturan yang mengikat. Dari sisi pendapatan, penggunaan teknologi lokal dinilai petani kurang menguntungkan dan petani tidak merasa bangga dalam menerapkan teknologi tersebut. Hasil dari kegiatan bertani tidak dapat dipastikan, baik dari aspek produksi maupun harga jual produk.

Persepsi 23,4 persen petani nonadopter Cianjur terhadap keuntungan relatif teknologi lokal dikategorikan rendah (Tabel 33). Petani ini tidak memiliki tanah, hanya sebagai penggarap lahan milik orang lain dengan kondisi telah ada tanaman di lahan tersebut, seperti tanaman teh dan pisang. Luas lahan garapan berkisar antara 200m2 – 800m2 atau rata-rata 400m2. Komoditas yang ditanam petani non adopter merupakan tanaman sela. Biaya produksi dan resiko kegiatan usahatani tanaman sela ditanggung penggarap. Pemilik lahan mendapatkan bagian dari hasil tanaman pokok yang telah ada di lahan tersebut (teh dan pisang) ditambah sebagian hasil tanaman sela petani penggarap. Jenis tanaman sela yang diusahakan seringkali berupa tanaman pangan, singkong atau jagung untuk konsumsi sendiri ataupun jenis sayuran seperti tomat, dan cabai rawit. Tidak ada ketentuan yang mengikat, besaran bagi hasil untuk pemilik lahan, lebih didasari keikhlasan penggarap. Sistem ini dianggap menguntungkan kedua belah pihak, bagi pemilik lahan diuntungkan dari sisi perawatan lahan dan tanaman yang ada, sehingga tidak ditumbuhi ilalang dan hasil tanaman tetap diperoleh, tidak membayar upah tenaga kerja. Penggarap juga diuntungkan, memanfaatkan lahan dengan menanami tanaman sela, tanpa dipungut biaya sewa. Dengan kondisi demikian, petani non adopter menilai bahwa biaya produksi, curahan tenaga kerja relatif rendah, namun

keuntungan yang diperoleh juga relatif rendah dengan luas lahan garapan yang sempit.

Persepsi Petani terhadap Kesesuaian Inovasi

Persepsi sebagian besar petani adopter Cianjur dan Garut (81,0%) terhadap kesesuaian inovasi teknologi usahatani terpadu tergolong sedang (Tabel 33). Berarti petani adopter bersikap kurang setuju – setuju terhadap kesesuaian inovasi teknologi usahatani terpadu. Penilaian petani adopter terhadap komponen teknologi yang diperkenalkan sesuai dengan kebiasaan petani setempat, sehingga petani adopter telah memiliki pengalaman dalam menerapkannya. Perbaikan teknik budidaya dilakukan pada komoditas yang telah dikembangkan petani, sesuai dengan agroekologi dan layak diusahakan. Varietas unggul yang diperkenalkan juga pada komoditas yang biasa ditanam petani. Namun terdapat petani adopter yang berpendapat bahwa Kampung Dangder (Babakan Darusalam) dan Kampung Arinem dengan ketinggian antara 680 - 700 meter dpl kurang tepat dikategorikan sebagai daerah lahan kering dataran rendah. Konsekuensinya, varietas unggul baru yang diperkenalkan dinilai kurang tepat untuk ditanam di kedua kampung tersebut dan tidak sesuai kebutuhan petani adopter.

Menurut petani adopter, tanaman yang cocok dibudidayakan di Kampung Dangdeur dan Arinem adalah tanaman kayu seperti albasia/sengon. Kebutuhan petani ini menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan, sehingga perlu ada upaya koordinasi lintas kementerian dalam mengintrodusikan suatu inovasi. Secara teknis, kondisi agroekologi di Kampung Dangdeur dan Arinem sesuai untuk tanaman nilam, dan perbaikan teknik budidaya nilam merupakan salah satu komponen teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan. Namun, secara ekonomis harga jual nilam pada tahun 2008-2009 relatif turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, sehingga petani kurang tertarik menanam nilam. Hal ini yang menyebabkan petani adopter ingin beralih menanam komoditas kayu. Kecenderungan petani menanam albasia/sengon, karena tidak memerlukan perawatan intensif dan memperoleh keuntungan relatif besar, tetapi kurang diperhatikan bahwa albasia/sengon baru dapat dipanen/dijual kayunya setelah tanaman berumur 1,5 – 2 tahun.

Persepsi sebagian besar petani non adopter Cianjur dan Garut (73,9%) terhadap kesesuaian teknologi lokal tergolong sedang (Tabel 33). Cara bertani yang diajarkan orang tua atau sesama petani dinilai petani non adopter sesuai dengan kebiasaan masyarakat petani setempat. Beberapa petani non adopter memodifikasi cara bertani lama, seperti pengaturan pola tanam disesuaikan dengan kondisi lahan sebagai upaya menjaga kesuburan lahan dan mencegah resistensi hama penyakit. Pengalaman selama bertani mengajarkan beberapa hal positif yang mengarah ke perbaikan, seperti takaran dalam penggunaan benih, pupuk ataupun pestisida. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Hubbard dan Sandmann (2007) yang mengemukakan bahwa faktor kesesuaian tidak hanya melihat dari aspek sumberdaya yang tepat (tanah atau lainnya) tetapi lebih melibatkan banyak konsep-konsep filosofis seperti kepedulian atas penerapan pestisida atau pupuk yang berlebihan untuk tanaman organik.

Persepsi petani non adopter Cianjur sebanyak 27,7 persen terhadap kesesuaian teknologi lokal tergolong rendah (Tabel 33). Petani non adopter Cianjur bersikap tidak setuju – kurang setuju terhadap teknologi lokal. Penilaian petani non adopter bahwa teknologi lokal kurang sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat saat ini, dan dalam penerapannya tidak sesuai dengan ketersediaan tenaga kerja. Salah satu teknologi lokal berupa alat panen ani-ani, meskipun waktu yang dibutuhkan untuk memanen padi gogo dengan ani-ani relatif lama, namun jumlah kehilangan hasil panen relatif kecil (kurang dari 5%). Bagi sebagian petani, ani-ani dianggap tidak sesuai lagi karena tidak efisien dari segi waktu, digantikan dengan alat sabit. Bagi petani penggarap lahan milik orang lain, yang menjadi perhitungan justru perolehan hasil gabah.

Dengan kondisi hanya menggarap lahan milik orang lain yang relatif sempit, modal terbatas, dan usahatani bersifat subsisten serta tidak dapat diandalkan sebagai penopang kehidupan keluarga, maka penggunaan alat panen ani-ani lebih dipilih daripada sabit. Hal yang sama berlaku juga pada penggunaan varietas lokal padi gogo, masa tanam butuh waktu lama, namun karena benih mudah diperoleh dan rasa nasi pulen, maka varietas lokal tetap ditanam. Keadaan ini sesuai dengan temuan penelitian Efa et al. (2005) di Ethiopia Baratdaya juga

Dokumen terkait