• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fluks CO2 dari Penggunaan Lahan Plot Bera, Hortikultura, Teh dan Hutan Fluks CO2 selama 25 minggu pengamatan dari penggunaan lahan bera, hortikultura, teh dan hutan disajikan pada Gambar 2. Data menunjukkan variasi yang tidak besar dari semua lokasi. Lokasi tanpa tanaman atau plot bera fluks CO2 selalu lebih kecil dibandingkan dengan lokasi bervegetasi. Gambar 2 menunjukkan penyebaran data fluks dan rata-rata dari masing-masing lokasi pengukuran. Fluks CO2 setiap pengamatan dan rata-rata fluks CO2 lokasi hutan > hortikultura > teh > plot bera.

Fluks CO2 hutan dan hortikultura lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan plot bera seperti dapat dilihat pada Tabel 2. Data Tabel 2 menunjukkan kontribusi respirasi akar dari total fluks CO2 pada hortikultura 53.08%, hutan 53.14% sedangkan kebun teh 28.53%. Hal ini menunjukkan pengaruh respirasi akar lebih dominan terutama pada hutan dan hortikultura. Fluks CO2 berdasarkan uji t (p<0.01) semua lokasi menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan lokasi bera.

9

Gambar 2. Diagram pencar dan rata-rata fluks CO2 selama 25 minggu

pengamatan dari penggunaan lahan plot bera, hortikultura, teh dan hutan

Tabel 2. Rata-rata ± standar deviasi total fluks CO2 dan kontribusi respirasi akar Penggunaan lahan Fluks (ton C-CO2 ha-1 th-1) Respirasi akar (ton C-CO2 ha-1 th-1) Persentase respirasi akar Plot Bera Hortikultura Teh Hutan 7.32±2.78 15.60±6.23** 10.22±1.95** 15.62±5.14** 0.00 8.28 2.90 8.32 0.00 53.08 28.53 53.14 Keterangan: ** = Signifikan pada taraf uji p<0.01

Sumber fluks selain dari kontribusi respirasi akar dan eksudat akar juga dari dekomposisi bahan organik terutama serasah pada lapisan permukaan tanah, pada lokasi hutan serasah lebih bervariasi dengan jumlah yang lebih banyak dibandingkan lokasi lainnya pada lokasi hortikultura ada tambahan bahan organik yang berasal dari pupuk kandang yang diberikan pada awal pengolahan tanah, sedangkan pada lokasi teh yang merupakan tanaman monokultur kontribusi bahan organik berupa serasah tanaman jumlahnya terbatas dan jenis serasah teh berupa sisa pemangkasan ranting dan daun merupakan jenis yang sukar untuk dirombak oleh mikrob, hal ini ditunjukkan Gambar 3 dengan masih terlihatnya sisa jaringan tanaman teh berupa ranting sisa pemangkasan empat tahun sebelumnya.

10

a. Kebun teh b. Hutan

Gambar 3. Serasah yang terdapat di permukaan tanah lokasi kebun teh dan hutan Respirasi akar juga berhubungan dengan pengaruh dari aktivitas mikrob tanah yang memacu perombakan bahan organik dalam menyediakan hara bagi tanaman. Selain itu fluks CO2 dipengaruhi juga oleh ketersediaan unsur hara dari tanah pada masing masing lokasi. Hasil pengukuran menunjukkan Nitrogen pada lahan teh 0.36% > hutan 0.32% > plot bera 0.14% > hortikultura 0.12%, kadar hara Nitrogen dibutuhkan juga oleh tanaman untuk proses pertumbuhannya, semakin cepat pertumbuhan tanaman semakin besar pula respirasi yang dilakukannya.

Sifat Kimia dan Fisika Tanah

Hasil pengukuran sifat fisika dan kimia tanah seperti pada Tabel 3 menunjukkan total nitrogen pada teh dan hutan 1.5 kali lebih banyak dari lokasi bera dan hortikultura, unsur hara nitrogen merupakan sumber nutrisi bagi tanaman dan mikrob. Kandungan C-organik tanah dari tertinggi ke terendah masing-masing teh, hutan, bera kemudian hortikultura. pH tanah pada masing-masing-masing-masing lokasi berkisar antara 5.4-5.5 atau dari setiap lokasi hampir sama.

Sifat fisika tanah Andisol lokasi penelitian seperti kelas tekstur tanah dari masing-masing lokasi termasuk clay loam kecuali lokasi kebun sayur silty clay

ini dimungkinkan karena tanah lokasi kebun hortikultura intensif dilakukan pengolahan tanah sementara batu dan kerikil disingkirkan pada lokasi pertanaman. Perbedaan persentase jumlah pasir debu dan klei pada setiap lokasi karena perbedaan tingkat perkembangan pembentukan tanah yang dipengaruhi oleh manajemen pengelolaan lahan dan vegetasi. Jumlah pori tanah paling rendah di lokasi plot bera dan tertinggi di hutan, porositas tanah berhubungan dengan difusi gas, hal ini ditentukan oleh jumlah pori yang terisi air atau udara.Bobot isi tanah berkisar 0.52-0.72 g cm-3, nilai kerapatan jenis partikel berkisar 2.57-2.75 g cm-3 (Tabel 3).

Pengamatan beberapa sifat kimia dan fisika tanah lokasi penelitian berdasarkan lokasi pengambilan sampel pada lapisan 0-20 cm seperti tabel berikut:

11

Tabel 3. Sifat fisika dan kimia tanah lokasi penelitian

Lokasi Nitrogen (%) C-Organik (%) pH Ukuran partikel (%) Total pori (%) Bobot Isi (g cm-3) Particle Density (g cm-3)

Pasir Debu Klei

Bera 0.14 2.31 5.4 25 42 33 73.11 0.72 2.70

Hortikultura 0.12 1.91 5.4 14 44 42 75.63 0.66 2.75

Teh 0.36 5.81 5.5 34 30 36 75.53 0.52 2.57

Hutan 0.32 5.09 5.5 43 28 29 77.21 0.59 2.69

Hubungan antara Fluks CO2 dengan Faktor Lingkungan

Iklim lokasi penelitian berdasarkan data curah hujan stasiun Gunung Mas dengan klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk iklim tipe A (sangat basah). Curah hujan selama penelitian adalah 2665,5 mm, terendah pada bulan September 2012 yaitu 83 mm dan tertinggi pada bulan Desember 2012 yaitu 527,5 mm (Gambar 4 dan Lampiran 3).

Curah hujan rata-rata sepuluh tahun terakhir (2003-2012) 3429 mm tahun-1, dengan curah hujan minimum 2678 mm tahun-1 dan maksimum 4718 mm tahun-1 (Lampiran 4).

Gambar 4. Curah hujan di lokasi penelitian bulan September 2012 sampai Februari 2013

Suhu tanah (Tabel 4 dan Lampiran 5) berkisar antara 18.3-20.4 oC suhu tanah mempengaruhi kandungan air tanah dan kelembaban tanah serta aktivitas mikrob tanah, rata-rata suhu tanah menunjukkan perbedaan yang signifikan (Tabel 4) antara lokasi hortikultura dan teh dibandingkan dengan lokasi plot bera berdasarkan uji t (p<0.05) kecuali lokasi hutan. Kelembaban tanah (WFPS) (Tabel 4 dan Lampiran 5) rata-rata tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dari semua lokasi. Kelembaban udara pada lokasi hutan > teh > bera > hortikultura karena curah hujan yang tinggi (Lampiran 3) dari lokasi sepanjang waktu pengamatan sehingga air selalu tersedia (Gambar 2).

12

Secara umum rata-rata suhu udara, suhu tanah, kelembaban udara dan

WFPS (Tabel 4) tidak ada perbedaan yang signifikan antar lokasi berdasarkan uji t (p<0.05) suhu tanah lokasi hortikultura > plot bera > teh > hutan, suhu udara lokasi hortikultura > teh > plot bera > hutan suhu udara dan suhu tanah yang tinggi terlihat berbanding terbalik dengan kelembaban udara dan WFPS.

Tabel 4. Rata-rata ± standar deviasi suhu tanah, suhu udara, kelembaban udara dan WFPS. Penggunaan lahan Suhu tanah (oC) Suhu udara (oC) Kelembaban udara (%) WFPS (%) Plot bera Hortikultura Teh Hutan 19.78 ± 1.20 20.42 ± 1.12ns 19.29 ± 0.62ns 18.27 ± 0.44ns 21.41 ± 2.91 22.52 ± 3.52* 21.85 ± 2.71* 19.01 ± 1.30ns 75.70 ± 9.07 73.15 ± 8.12ns 75.66 ± 8.39ns 82.46 ± 4.83* 56.46 ± 10.44 49.51 ± 15.28ns 49.54 ± 11.84ns 73.41 ± 16.36ns Keterangan : * = signifikan, ns = tidak signifikan

Data Tabel 4 dengan menggunakan uji t p<0.05 menunjukkan perbedaan suhu tanah dari semua lokasi kecil sekali. Suhu udara menunjukkan perbedaan signifikan kecuali penggunaan lahan hutan. Kelembaban udara menunjukkan adanya perbedaan signifikan hanya pada hutan, sedangkan ruang pori terisi air dari semua lokasi tidak menunjukkan perbedaan.

Analisis korelasi pengaruh faktor lingkungan terhadap fluks CO2

ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 dan Gambar 5 menunjukkan WFPS berkorelasi negatif pada lokasi plot bera (n = 50) dan teh (n = 100), sedangkan di lokasi hutan (n = 48) dan hortikultura (n = 50) berkorelasi positif terhadap fluks CO2. Hubungan antara fluks CO2 dengan faktor lingkungan seperti suhu tanah, suhu udara, kelembaban udara dan kelembaban tanah ditunjukkan seperti pada Gambar 5, 6, 7, 8 dan 9. Suhu tanah berkorelasi positif terhadap fluks CO2 pada semua lokasi dan signifikan pada lokasi hortikultura dan teh. Perbedaan nilai korelasi

pearson (r) dengan p<0.05 pada lokasi hortikultura (n = 142) > teh (n = 433) > plot bera (n = 145) > hutan (n = 135) begitu juga suhu udara kecuali pada lokasi hutan yang berkorelasi negatif. Kelembaban udara berkorelasi negatif pada lokasi plot bera, hortikultura dan teh, tetapi berkorelasi positif signifikan pada lokasi hutan.

Nilai korelasi yang rendah antara faktor lingkungan dengan fluks CO2

ditunjukkan pada Tabel 5. Hal ini karena hubungan antara faktor lingkungan dengan fluks CO2 adalah pengaruh kembinasi secara bersama-sama. Suhu tanah dan suhu udara meningkat jika kelembaban udara menurun, kelembaban tanah meningkat dan fluks CO2 juga meningkat, sampai pada batas tanah mendekati jenuh dengan air atau WFPS diatas 100%.

13

Tabel 5. Korelasi (r) antara fluks CO2 dengan suhu tanah, suhu udara, kelembaban udara dan WFPS.

Penggunaan lahan Suhu tanah Suhu udara Kelembaban

udara WFPS Plot bera Hortikultura Teh Hutan 0.19ns 0.26* 0.19* 0.03ns 0.22* 0.21* 0.18* -0.10ns -0.22ns -0.14ns -0.11ns 0.07* -0.13ns 0.20ns -0.16ns 0.03*

Keterangan : * = signifikan, ns = tidak signifikan

Jumlah fluks CO2 yang dihasilkan dari permukaan tanah dipengaruhi secara bersama-sama antara suhu tanah, kelembaban tanah dan faktor lain, seperti jenis dan jumlah serasah yang jatuh sebagai sumber bahan organik tanah yang menjadi substrat makanan untuk mikrob.

a. Plot bera b. Hortikultura

c. Teh d. Hutan

Gambar 5. Hubungan antara fluks CO2 dengan WFPS pada penggunaan lahan: a. Plot bera, b. Hortikultura, c. Teh dan d. Hutan

14

Gambar 6. Hubungan antara fluks CO2 dengan suhu tanah, suhu udara dan kelembaban udara pada penggunaan lahan plot bera

15

Gambar 7. Hubungan antara fluks CO2 dengan suhu tanah, suhu udara dan kelembaban udara pada penggunaan lahan hortikultura

16

Gambar 8. Hubungan antara fluks CO2 dengan suhu tanah, suhu udara dan kelembaban udara pada penggunaan lahan teh.

17

Gambar 9. Hubungan antara fluks CO2 dengan suhu tanah, suhu udara dan kelembaban udara pada penggunaan lahan hutan.

18

Variasi temporal dan pola yang hampir sama fluks harian CO2 (Gambar 2, 6, 7, 8 dan 9) pada semua lokasi dengan data berkisar antara 0.60-9.36 g C-CO2

m-2 hari-1, pada lokasi hortikultura terjadi peningkatan fluks pada pengamatan kesembilan kemudian menurun lagi pada pengamatan selanjutnya, disebabkan karena pembersihan gulma dan pengolahan kembali tanah. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh dari manajemen pengelolaan lahan terhadap fluks CO2, secara umum pada penelitian ini pengaruh manajemen dan pengelolaan lahan diabaikan dalam perbandingan rata-rata data secara keseluruhan. Kisaran fluks CO2 harian selama 25 minggu pengamatan pada lahan bera, hortikultura, teh dan hutan masing-masing sebagai berikut 0.60-3.66 g C-CO2 m-2 hari-1, 2.08-9.36 g C-CO2

m-2 hari-1, 1.77-3.93 g C-CO2 m-2 hari-1 dan 1.58-8.07 g C-CO2 m-2 hari-1.

Suhu tanah setiap lokasi variasinya sedikit sekali sedangkan kelembaban tanah (WFPS) lebih bervariasi setiap lokasi, ini lebih dikarenakan perbedaan kandungan air tanah dan kandungan bahan organik tanah. Semakin tinggi bahan organik tanah seperti pada hutan dan teh maka kandungan air juga tinggi, selain itu juga dipengaruhi jenis penggunaan lahan.

Gambar 10. Hubungan fluks CO2 dengan kadar air, kelembaban tanah (WFPS) dan suhu tanah pada lokasi plot bera

Gambar 11. Hubungan fluks CO2 dengan kadar air, kelembaban tanah (WFPS) dan suhu tanah pada lokasi hortikultura

19

Gambar 12. Hubungan fluks CO2 dengan kadar air, kelembaban tanah (WFPS) dan suhu tanah pada lokasi teh

Gambar 13. Hubungan fluks CO2 dengan kadar air, kelembaban tanah (WFPS) dan suhu tanah pada lokasi hutan

Di daerah tropis fluktuasi suhu, kelembaban, dan ketersediaan air sepanjang tahun kecil dan relatif konstan sehingga respirasi tanah sepanjang tahun juga tidak besar variasinya (Davidson et al. 2000). Fluks CO2 lokasi bera lebih rendah dibandingkan dengan lokasi bervegetasi. Menurut Fu et al. (2002) kontribusi vegetasi terhadap fluks CO2 sepanjang tahun bergantung pada jenis tanaman dan tahap pertumbuhan. Jenis vegetasi mempengaruhi tingkat respirasi tanah, dengan mempengaruhi iklim mikro dan kualitas serasah yang jatuh di permukaan tanah.

Korelasi faktor lingkungan terhadap fluks CO2 dari semua lokasi kecil sekali terutama suhu tanah karena kondisi iklim tropis dan curah hujan yang relatif konstan sepanjang tahun, pengaruh faktor lingkungan ini dapat secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi aktivitas mikrob tanah yang membutuhkan kondisi suhu dan kelembaban tanah tertentu menurut Chapin et al. (2011) dekomposisi bahan organik meningkat dengan meningkatnya kelembaban

20

tanah sampai batas tertentu. Pada lokasi hutan persentase air yang mengisi ruang pori tanah (WFPS) atau kelembaban tanah paling tinggi (rata-rata 73.41%), lebih tinggi dari lokasi lainnya sehingga mempercepat proses dekomposisi yang berarti meningkatkan jumlah fluks CO2 hal ini sesuai dengan pendapat Gholz et al.

(2000) bahwa dekomposisi pada hutan tropis lebih tinggi karena kelembaban tinggi, kelembaban berhubungan dengan ketersediaan oksigen bagi mikrob dan difusi gas ke permukaan tanah. Perbedaan vegetasi mempengaruhi iklim mikro seperti suhu udara, kelembaban udara dan curah hujan sehingga menyebabkan terjadinya variasi temporal fluks CO2 (Melling et al. 2005; Toma et al. 2010).

Fluks CO2 dari permukaan tanah berbeda karena pengaruh suhu tanah dan kelembaban tanah yang mempengaruhi aktivitas dan jumlah populasi mikrob tanah yang mendekomposisi bahan organik (Meentemeyer 1978) sedangkan ketersediaan bahan organik tanah dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas serasah, mudah tidaknya terdekomposisi, lingkungan fisik dan komposisi mikrob (Allison 2006; Xu et al. 2012).

Respirasi Tanah, Bahan Organik Tanah dan Mikrob Tanah Pada Gambar 14 terlihat kadar C-organik tanah menurun dengan meningkatnya kedalaman tanah (0-30 cm), rata-rata C-organik lokasi bera, hortikultura, teh dan hutan masing-masing 2.31%, 1.93%, 5.81% dan 5.09% volume. Penurunan respirasi tanah dan kandungan C-organik tanah dengan meningkatnya kedalaman tanah mengikuti pola yang sama, ini menunjukkan hubungan yang erat antara C-organik dengan respirasi tanah, namun pada hortikultura C-organik yang sedikit tapi respirasinya tinggi ini diduga karena perbedaan jenis bahan organik dan tambahan bahan organik dari pupuk kandang, rata-rata respirasi pada kedalaman 0-30 cm lokasi bera, hortikultura, teh dan hutan masing-masing 27.52 mg dm-3 hari-1, 33.70 mg dm-3 hari-1, 35.55 mg dm-3 hari-1 dan 37.97 mg dm-3 hari-1. Semua lokasi pengamatan menunjukkan korelasi positif antara C-organik dengan respirasi tanah.

Gambar 14. Respirasi tanah dan C-organik tanah berdasarkan kedalaman lapisan tanah pada penggunaan lahan plot bera, hortikultura, teh dan hutan.

21

Mikroorganisme yang ada di tanah berperan penting dalam proses dekomposisi bahan organik atau pendaur ulang unsur hara di dalam tanah, salah satunya adalah karbon. Bakteri dan fungi adalah dua dari mikrob yang berperan di dalam tanah baik dalam dekomposisi bahan organik maupun perannya terhadap pertumbuhan tanaman. Fungi aktif pada tahap pertama proses dekomposisi bahan organik, berperanan penting dalam agregasi tanah.

Carbon organik dan respirasi tanah rata-rata menurun dengan meningkatnya kedalaman tanah, hal ini menunjukkan fluks CO2 lebih banyak berasal dari dekomposisi bahan organik lapisan atas (0-20 cm). Pola ini sama dengan hasil penelitian Dube et al. (2009) dan berlaku juga untuk tanah gambut (Djajakirana 2012). Menurunnya dekomposisi bahan organik ini karena semakin dalam tanah, jumlah bahan organiknya semakin menurun dan susah untuk didekomposisi oleh mikrob karena terbatasnya oksigen. Hal ini mengakibatkan mikrob kekurangan substrat. Pada kedalaman lapisan tanah 5-20 cm terdapat banyak akar tanaman dan mikoriza sehingga menjelaskan perbedaan respirasi mikrob tanah pada lapisan tersebut selain itu eksudat akar yang dikeluarkan mempengaruhi jumlah CO2

(Kusyakov 2006; Chapin et al. 2011). Jumlah akar dan jenis perakaran seperti akar serabut dan akar tunjang, juga jumlah akar yang aktif mempengaruhi respirasi akar tanaman tersebut.

Tabel 6. pH tanah dan populasi mikrob berdasarkan kedalaman lapisan tanah pada penggunaan lahan lahan plot bera, hortikultura, teh dan hutan

Penggunaan lahan Kedalaman tanah (cm) pH tanah

Jumlah fungi (CFU gr-1 tanah) Jumlah mikrob (CFU gr-1 tanah) Plot Bera Hortikultura Teh Hutan 0-5 5-10 10-20 20-30 0-5 5-10 10-20 20-30 0-5 5-10 10-20 20-30 0-5 5-10 10-20 20-30 4.5 4.7 4.7 5.0 4.9 4.8 4.9 4.7 5.0 4.9 5.1 5.3 5.7 5.6 5.3 5.6 0.61 x 103 0.18 x 103 0.02 x 103 0.47 x 103 62.98 x 103 435.85 x 103 18.42 x 103 1.03 x 103 14.55 x 103 29.53 x 103 4.96 x 103 1.53 x 103 9.92 x 103 11.07 x 103 9.39 x 103 8.92 x 103 0.33 x 106 0.13 x 106 0.19 x 106 0.18 x 106 13.02 x 106 71.27 x 106 4.40 x 106 129.99 x 106 4.88 x 106 3.74 x 106 2.10 x 106 1.89 x 106 13.15 x 106 36.89 x 106 9.91 x 106 1.14 x 106

22

Total mikrob dari masing-masing lokasi seperti Tabel 6 bervariasi, jumlah pada lokasi hutan dan hortikultura lebih banyak dibandingkan pada lokasi teh sedangkan lokasi plot bera paling sedikit, ini berkaitan dengan keberadaan bahan organik dan faktor lingkungan yang mempengaruhi aktivitas mikrob. Sebaran mikrob dan fungi pada setiap lapisan juga berbeda hal ini juga dikarenakan pengaruh faktor lingkungan seperti kadar air dan suhu tanah selain itu juga dipengaruhi oleh pH tanah dan ketersediaan substrat.

Respirasi tanah yang berbeda karena pengaruh kadar air tanah, suhu tanah dan kelembaban tanah mempengaruhi jumlah dan aktivitas mikrob tanah yang mendekomposisi bahan organik sedangkan ketersediaan bahan organik tanah dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas serasah, mudah tidaknya terdekomposisi, lingkungan fisik dan komposisi mikrob (Xu et al. 2012).

Pengaruh karbon organik tanah terhadap respirasi tanah lebih nyata pada respirasi tanah di laboratorium dibandingkan di lapangan, semakin tinggi bahan organik semakin tinggi respirasi tanah (Gambar 10) sedangkan di lapangan pengaruh vegetasi lebih dominan terhadap fluks CO2 untuk lokasi hutan dan hortikultura sehingga ini membuktikan kalau respirasi akar lebih berpengaruh dibandingkan dengan dekomposisi bahan organik, pada lokasi teh bahan organik yang lebih tinggi tapi tidak menunjukkan fluks juga tinggi untuk pengamatan fluks di lapangan, hal ini karena bahan organik pada lokasi teh berasal dari daun dan pemangkasan ranting teh, yang kandungan lignin dan fenolik tinggi sehingga menghambat akses mikrob pada proses dekomposisi selain itu tanaman teh yang monokultur sehingga serasahnya juga seragam. Pengaruh sistem perakaran dan jenis akar dan jumlah akar juga mempengaruhi pernapasan akar dari setiap jenis vegetasi. Sebaliknya terjadi pada lokasi hortikultura, diduga karena bahan organik pada hortikultura lebih mudah untuk didekomposisi dan pertumbuhan tanaman yang cepat serta sistem perakaran yang lebih baik.

Dokumen terkait