• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Evaluasi Histopatologi Lambung

Secara umum pemberian fraksi asam amino non-protein dan fraksi polifenol Acacia villosa menimbulkan efek patologis pada lambung tikus berupa kongesti, hemorrhagi, deskuamasi epitel dan edema submukosa. Hasil pemeriksaan histopatologi lambung disajikan secara deskriptif pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil evaluasi histopatologi lambung tikus pasca pemberian fraksi asam amino non-protein (AANP) dan fraksi polifenol A. villosa

Perubahan Histopatologi

Kelompok

Kontrol AANP Polifenol

Jumlah Kejadian (%) Derajat Keparahan Jumlah Kejadian (%) Derajat Keparahan Jumlah Kejadian (%) Derajat Keparahan Kongesti 66.67 + 100 ++ 100 + Hemorrhagi 66.67 + 100 + 66.67 + Deskuamasi Epitel 0 - 0 - 16.67 ++ Edema Submukosa 0 - 16.67 + 0 -

Kongesti terjadi pada lapis tunika mukosa dan submukosa. Kejadian kongesti lambung pada kelompok kontrol sebesar 66.67%. Seluruh kelompok AANP dan polifenol mengalami kongesti dengan jumlah kejadian sebesar 100%.

Gambar 13 Kongesti lambung tikus ringan (+) pasca pemberian fraksi AANP A. villosa. Pewarnaan HE, bar 30 µm.

Pada kelompok AANP mengalami kongesti lambung dengan derajat sedang (++), sedangkan kelompok polifenol derajat ringan (+).

Hemorrhagi terjadi pada lapis tunika mukosa dan submukosa lambung. Pada kelompok kontrol terjadi hemorrhagi dengan jumlah kejadian sebesar 66.67% dan derajat ringan (+). Persentase kejadian hemorrhagi pada kelompok AANP lebih tinggi (100%) dibandingkan dengan kelompok polifenol (66.67%), walaupun dengan derajat yang sama yaitu ringan (+).

Pada lambung kelompok kontrol dan kelompok AANP tidak ditemukan deskuamasi epitel, namun ditemukan pada kelompok polifenol sebesar 16.67% dengan derajat sedang (++).

Edema pada lambung terlihat sebagai perluasan lapis submukosa. Pada kelompok AANP ditemukan edema dengan jumlah kejadian sebesar 16.67% dengan derajat ringan (+), sedangkan pada kelompok polifenol tidak ditemukan edema submukosa. Berdasarkan data pada Tabel 2 maka kelompok AANP memiliki kerusakan lamb ung yang lebih berat dibandingkan dengan kelompok polifenol. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi AANP lebih bersifat toksik daripada fraksi polifenol terhadap lambung tikus.

Hasil Evaluasi Histopatologi Usus Halus

Hasil pemeriksaan histopatologi usus halus tikus pasca pemberian fraksi AANP dan fraksi polifenol A. villosa secara umum menunjukkan adanya kongesti, hemorrhagi, deskuamasi epitel, proliferasi sel goblet, akumulasi sel radang dan hiperplasia sel epitel.

Berdasarkan data pada Tabel 3, pada setiap kelompok ditemukan kongesti. Persentase kejadian kongesti usus halus kelompok kontrol sebesar 83.33% dengan derajat ringan (+), pada kelompok AANP sebesar 33.33%, sedangkan pada kelompok polifenol lebih besar yaitu 83.33%. Kedua kelompok perlakuan tersebut mengalami kongesti dengan derajat sedang (++).

Tabel 3 Hasil evaluasi histopatologi usus halus tikus pasca pemberian fraksi asam amino non-protein (AANP) dan fraksi polifenol A. villosa

Perubahan Histopatologi

Kelompok

Kontrol AANP Polifenol

Jumlah Kejadian (%) Derajat Keparahan Jumlah Kejadian (%) Derajat Keparahan Jumlah Kejadian (%) Derajat Keparahan Kongesti 83. 33 + 33. 33 ++ 83.33 ++ Hemorrhagi 50 + 100 + 66.67 + Deskuamasi Epitel 0 - 33.33 ++ 33.33 + Proliferasi Sel Goblet 0 - 50 + 83.33 ++ Akumulasi Sel Radang 0 - 16.67 + 33.33 ++ Hiperplasia Sel Epitel 0 - 33.33 ++ 33.33 +

Hemorrhagi yang terjadi lebih banyak ditemukan pada lapis tunika mukosa yaitu pada vili dan lamina propria dan terjadi pada semua kelompok perlakuan. Persentase kejadian hemorrhagi usus halus pada kelompok kontrol sebesar 50%, kelompok AANP sebesar 100% dan kelompok polifenol sebesar 66.67%. Dengan demikian persentase kejadian pada kelompok AANP lebih besar dibandingkan kelompok polifenol walaupun dengan derajat yang sama yaitu ringan (+).

Persentase kejadian deskuamasi epitel pada kelompok AANP sebesar 33.33% dengan derajat sedang (++), sedangkan kelompok polifenol sebesar 33% dengan derajat ringan (+).

Proliferasi sel goblet pada usus halus kelomp ok perlakuan terlihat pada bagian vili. Kelompok AANP mengalami proliferasi sel goblet sebesar 50% disertai derajat ringan (+), sedangkan pada kelompok polifenol lebih tinggi dari kelompok AANP yaitu 83.33% dengan derajat sedang (++).

Gambar 14 Proliferasi sel Goblet pada usus halus tikus sedang (++) pasca pemberian fraksi polifenol A. villosa. Pewarnaan HE, bar 30 µm.

Pada lapis lamina propria usus halus ditemukan adanya akumulasi sel radang. Persentase kejadian akumulasi sel radang pada kelompok AANP sebesar 16.67% dengan derajat ringan (+), sedangkan pada kelomp ok polifenol lebih besar yaitu 33.33% dengan derajat sedang (++).

Gambar 15 Akumulasi sel radang pada usus halus tikus sedang (++) pasca pemberian fraksi polifenol A. villosa. Pewarnaan HE, bar 30 µm.

Hiperplasia sel epitel usus halus ditemukan pada seluruh kelompok perlakuan. Persentase kejadian hiperplasia sel epitel usus halus pada kelompok AANP dan polifenol sebesar 33.33% dengan derajat yang berbeda.

Gambar 16 Hiperplasia sel epitel usus halus tikus sedang (++) (panah) pasca pemberian fraksi AANP A. villosa. Pewarnaan HE, bar 30µm.

Hiperplasia epitel usus halus kelompok AANP lebih berat yaitu dengan derajat sedang (++), sedangkan polifenol dengan derajat ringan (+). Berdasarkan data pada Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa fraksi AANP dan fraksi polifenol menyebabkan efek toksik yang hampir sama pada usus halus tikus.

Hasil Evaluasi Histopatologi Sekum

Hasil pemeriksaan histopatologi sekum secara umum menunjukkan adanya kongesti, hemorrhagi, proliferasi sel goblet, akumulasi sel radang dan edema submukosa.

Tabel 4 Hasil evaluasi histopatologi sekum tikus pasca pemberian fraksi asam amino non-protein (AANP) dan fraksi polifenol A. villosa

Berdasarkan data pada Tabel 4, kongesti sekum terjadi pada setiap kelompok perlakuan. Persentase kejadian kongesti pada kelompok kontrol sebesar 33.33% dengan derajat ringan, kelompok AANP sebesar 33.33% dengan derajat sedang (++), dan kelompok polifenol sebesar 66.67% dengan derajat ringan (+).

Persentase kejadian kongesti lebih tinggi terjadi pada kelompok polifenol dibandingkan kelompok AANP, namun derajat keparahan lebih tinggi pada kelompok AANP. Hemorrhagi terjadi pada seluruh kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol persentase kejadian sebesar 16.67% dengan derajat ringan (+), kelompok AANP sebesar 50% dengan derajat ringan (+), sedangkan pada kelompok polifenol sebesar 33.33% dengan derajat ringan (+). Kejadian hemorrhagi sekum pada kelompok AANP lebih tinggi dibandingkan kelompok polifenol.

Proliferasi sel goblet ditandai dengan meningkatnya jumlah sel goblet dari normalnya. Proliferasi sel goblet sekum ditemukan pada kelompok fraksi AANP dan fraksi polifenol dengan persentase dan derajat yang sama yaitu 16.67% dan derajat ringan (+).

Persentase kejadian akumulasi sel radang pada kelompok AANP sebesar 16.67%, dan kelompok polifenol sebesar 50% dengan derajat yang sama yaitu sedang (++). Akumulasi sel radang terdapat pada lamina propria.

Perubahan Histopatologi

Kelompok Perlakuan

Kontrol (K) AANP (A) Polifenol

Jumlah Kejadian (%) Derajat Keparahan Jumlah Kejadian (%) Derajat Keparahan Jumlah Kejadian (%) Derajat Keparahan Kongesti 33.33 + 33.33 ++ 66.67 + Hemorrhagi 16.67 + 50 + 33.33 + Proliferasi Sel Goblet 0 - 16. 67 + 16. 67 + Akumulasi Sel Radang 0 - 16.67 ++ 50 ++ Edema Submukosa 33.33 + 83.33 ++ 83.33 ++

Edema pada sekum terjadi pada lapis submukosa yang ditandai dengan adanya peregangan ruang submukosa. Persentase kejadian edema pada kelompok kontrol adalah sebesar 33.33% dengan derajat ringan (+). Kelompok AANP dan polifenol menunjukkan persentase dan derajat keparahan edema yang sama, yaitu 83.33% dengan derajat sedang (++). Berdasarkan data pada Tabel 3 di atas maka dapat disimpulkan bahwa fraksi AANP dan fraksi polifenol memiliki efek toksik yang hampir sama pada sekum tikus.

Kongesti merupakan pembendungan darah di dalam pembuluh darah. Secara mikroskopik terlihat pembuluh kapiler dan vena berdilatasi dan berisi darah (Smith et al. 1972). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan lambung, usus halus dan sekum tikus pasca pemberian fraksi AANP dan fraksi polifenol mengalami kongesti. Hal ini terjadi disebabkan oleh efek toksin AANP dan polifenol A. villosa. Kongesti pada kelompok kontrol dapat terjadi karena tikus yang digunakan bukan SPF (Spesific Pathogenic Free) sehingga dimungkinkan telah terjadi peradangan.

Kongesti pada pemberian AANP dan polifenol diduga disebabkan oleh kegagalan ventrikel jantung dalam memompa darah. Kegagalan jantung disebabkan oleh efek toksik A. villosa yang menyebabkan dege nerasi hingga nekrosa otot jantung (Himmah 2007). Adanya gangguan aliran darah dari jantung menyebabkan pembuluh darah melebar dengan aliran darah yang melambat. Hal ini mengakibatkan darah membendung di jaringan sehingga berkumpul membentuk pembendungan di pembuluh darah. Apabila kongesti terjadi secara kronik menyebabkan peningkatan jaringan fibrosa pada dinding vena (Smith et al. 1972). Kongesti yang berlebihan dapat menimbulkan perdarahan sehingga cairan akan bercampur dengan sel darah merah (Kusumawidjaja 1996).

Hemorrhagi merupakan keluarnya darah dari pembuluh darah, baik keluar tubuh maupun di jaringan atau rongga tubuh (Smith et al. 1972). Hemorrhagi terjadi pada lambung, usus halus dan sekum tikus pasca pemberian fraksi AANP dan fraksi polifenol. Perdarahan juga dialami kelompok kontrol yang diduga disebabkan oleh peradangan maupun infeksi. Hal ini dimungkinkan karena tikus yang digunakan bukan SPF (Spesific Pathogenic Free). Perdarahan lebih banyak ditemukan pada lapis mukosa. Penyebab hemorrhagi diduga disebabkan oleh efek

toksin fraksi AANP dan fraksi polifenol A. villosa. Toksin menyebabkan permeabilitas pembuluh darah meningkat sehingga sel darah keluar dari pembuluh darah (Saleh 1995).

Menurut Sell et al. (1985) tanin terhidrolisis dapat menyebabkan ulserasi hemorrhagi pada mukosa lambung dan duodenum. Berdasarkan penelitian Odenyo et al. (1997), senyawa asam amino non-protein ADAB yang terkandung dalam Lathyrus sp menimbulkan efek hemorrhagi pada submukosa duodenum dan ileum domba. Kehilangan darah secara kronik tidak menunjukkan perdarahan yang masif. Namun perdarahan yang terus berlanjut akan mengakibatkan kekurangan zat besi dan dapat menyebabkan anemia (Smith et al. 1972). Adanya perdarahan pada saluran pencernaan tikus dapat mengakibatkan penyerapan dan aliran nutrisi terhambat.

Deskuamasi epitel merupakan lepasnya lapisan epitel pada mukosa jaringan. Deskuamasi epitel terjadi pada mukosa lambung dan usus halus pasca pemberian fraksi AANP dan fraksi polifenol A. villosa. Adanya deskuamasi epitel lambung dan usus halus diduga disebabkan oleh efek AANP dan tanin yang dapat merusak mukosa lambung dan usus halus. Tanin terhidrolisis seperti yang terkandung dalam A. villosa dapat menimbulkan erosi pada lapis mukosa saluran pencernaan (Sell et al. 1985). Brooker et al. (1999) melaporkan bahwa tanin menyebabkan perubahan pada mukosa usus halus domba yang ditandai dengan rusaknya vili sehingga terbentuk struktur vili yang abnormal. Epitel yang lepas terdiri dari kumpulan sel yang telah mati (nekrosa). Hal ini terjadi karena sel-sel epitel tersebut tidak dapat dipertahankan lagi pada permukaan mukosa lambung dan usus halus.

Gambar 17 Deskuamasi sel epitel usus halus tikus ringan (+) pasca pemberian fraksi polifenol A. villosa. Pewarnaan HE, bar 30 µm.

Edema merupakan pengumpulan cairan abnormal pada kompartemen ekstrasel yang ditandai dengan meningkatnya volume cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler disertai dengan penimbunan cairan di sela-sela jaringan atau rongga serosa (Spector 1993; Soleh 1995). Edema terjadi pada lambung dan sekum tikus pasca pemberian fraksi AANP dan fraksi polifenol A. villosa. Kejadian edema tertinggi ditemukan di sekum tikus. Edema yang terjadi diduga disebabkan efek toksik AANP dan polifenol. Berdasarkan penelitian Himmah (2007), AANP dan polifenol A. villosa dapat menyebabkan kerusakan jantung yang mengakibatkan pemompaan darah tidak sempurna. Akibatnya, terjadi pembendungan atau darah tidak mengalir sehingga permeabilitas kapiler meningkat. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler akan menyebabkan edema pada jaringan.

Gambar 18 Edema pada submukosa sekum tikus sedang (++) (panah) pasca pemberian fraksi AANP A. villosa. Pewarnaan HE, bar 30 µm.

Jaringan yang mengalami edema akan terlihat sebagai ruangan yang meluas dan terisi oleh cairan (Smith et al. 1972). Edema terjadi melalui dua mekanisme yaitu perubahan hidrostatik/onkotik dan perubahan permeabilitas pembuluh darah. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah menyebabkan meningkatnya jumlah cairan ekstrasel (Spector 1993).

Cairan edema dapat berupa transudat dan eksudat. Transudat memiliki kandungan protein rendah, tidak berisi sel dan terlihat melebarnya ruang antar sel atau lumen organ, sedangkan eksudat lebih banyak mengandung protein dan sel radang serta cairan bersifat eosinofilik (Damjanov 2000). Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi cairan edema yang terbentuk adalah transudat karena tidak berisi sel radang dan terbentuk pelebaran ruang submukosa. Cairan transudat terbentuk karena adanya peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga protein mudah lolos ke jaringan melalui celah-celah yang muncul diantara sel-sel endotel. Penyebab utama terbentuknya celah antar endotel adalah kontraksi aktif sel endotel yang disebabkan oleh aksi perantara kimia seperti histamin (Spector 1993).

Salah satu komponen pertahanan usus halus dan usus besar adalah sel goblet, yang menghasilkan mukus dan berfungsi untuk mengeluarkan benda atau

zat asing yang masuk (Ardyanti 2006). Mukus yang disekresikan adalah glikoprotein kompleks yang mengandung 4 sub-unit glikoprotein dengan berat molekul tinggi dan tidak larut dalam air. Mucin akan mengalami dehidrasi membentuk gel dan menjadi selimut mukus yang melindungi epitel usus halus dan usus besar (Setiawati 1992; Ganong 2003). Proliferasi sel goblet ditandai dengan meningkatnya jumlah sel goblet dari normalnya.

Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi ditemukan proliferasi sel goblet di usus halus dan sekum tikus pasca pemberian fraksi AANP dan fraksi polifenol A. villosa (Gambar 14). Adanya proliferasi sel goblet kemungkinan disebabkan oleh aksi usus halus dan sekum untuk mengeluarkan senyawa AANP dan polifenol yang memiliki efek toksik. Respon usus terhadap senyawa toksik yaitu dengan cara memperbanyak sel goblet sehingga dapat menghasilkan banyak mukus yang akhirnya dapat mengencerkan bahan toksik tersebut. Menurut Sell et al. (1985), tanin terhidrolisis seperti yang terkandung dalam A. villosa dapat menyebabkan hipersekresi mucin dari mukosa usus halus.

Peradangan merupakan reaksi terhadap cedera atau kerusakan organ atau jaringan yang melibatkan perubahan sel, humoral dan vaskular (Damjanov 2000). Pertahanan tubuh terhadap benda asing terbagi menjadi dua bentuk yaitu respon humoral dan respon seluler terutama leukosit. Peradangan adalah mekanisme pertahanan melalui kontak antara antigen dengan sel-sel radang. Apabila masih terdapat senyawa iritan pada jaringan maka senyawa tersebut dapat dihancurkan sehingga terjadi perbaikan sel yang telah mengalami kerusakan (Smith et al. 1972).

Salah satu bentuk tanggap adanya peradangan pada suatu jaringan yaitu ditunjukkan dengan terakumulasinya sel radang (Spector 1995). Peradangan pada usus halus dan sekum tikus terlihat dengan adanya akumulasi sel radang di lamina propria. Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi jenis sel radang yang ditemukan adalah sel limfosit, sel plasma dan eosinofil dengan didominasi oleh sel limfosit. Adanya akumulasi sel radang diduga terjadi akibat efek toksik AANP dan polifenol yang mengiritasi mukosa usus halus dan sekum sehingga menimbulkan peradangan. Akibat kerusakan mukosa menyebabkan terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Akibat selanjutnya adalah protein dan

sedikit eritrosit masuk ke dalam jaringan. Leukosit juga masuk ke dalam jaringan dengan jumlah yang lebih banyak daripada keadaan normal.

Hiperplasia terjadi hanya pada jaringan yang mampu melakukan pembelahan sel dan terjadi pada berbagai jaringan dalam berbagai keadaan maupun bersifat fisiologis (Price & Wilson 1995). Hiperplasia sel epitel terjadi pada usus halus tikus pasca pemberian fraksi AANP dan fraksi polifenol A. villosa. Hal ini terlihat dengan adanya penebalan mukosa akibat bertambahnya sel epitel vili (Gambar 16). Adanya rangsangan oleh senyawa toksik menyebabkan respon kompensasi dari mukosa usus halus untuk melindungi mukosa dengan cara memperbanyak sel epitel.

Hiperplasia ditandai dengan pertambahan sel dalam bentuk regenerasi jaringan yang telah mengalami kerusakan (Smith et al. 1972). Menurut penelitian Sell et al. (1985), pemberian tannin Sorghum yang tinggi pada tikus menyebabkan penebalan mukosa duodenum. Penebalan mukosa menimbulkan perubahan pada bentuk vili usus halus.

Dokumen terkait