• Tidak ada hasil yang ditemukan

Avian influenza atau yang umum dikenal sebagai flu burung masih

menjadi masalah bagi dunia peternakan unggas dan masyarakat indonesia. Office

Internationale des Epizootics (OIE) menggolongkan penyakit Avian Influenza

kedalam list A dan disebut sebagai penyakit zoonosis (OIE 2006). Dari diagnosa lapang yang dilakukan oleh pihak pemerintah dan peneliti, tipe virus AI yang ada di Indonesia adalah tipe virus H5N1 yang merupakan salah satu tipe virus High

Pathogenic (Wiyono et al.2004). Avian Influenza mulai mewabah di Indonesia

sejak agustus 2003. Virus ini menyebabkan puluhan juta unggas mati mendadak. Selain itu ditemukan kasus pada babi dan manusia (Soejoedono dan Handharyani 2005). Berbagai upaya penanggulangan dan pencegahan terus dilakukan baik oleh peternak, pemerintah maupun peneliti namun secara umum program ini hanya mampu menekan laju penyebaran, tidak mampu mengatasi wabah AI secara total.

Pada prinsipnya, antigen yang digunakan akan bereaksi spesifik terhadap antibodi yang terdapat dalam darah atau kuning telur. Antigen yang masuk kedalam tubuh akan dikenali oleh tubuh dan merangsang sistem imun untuk membentuk antibodi. Pembentukan antibodi terjadi dalam dua periode yaitu periode induksi (laten) dan periode biosintesis (Bellanti 2007).

Vaksinasi dilakukan dua kali dalam selang waktu empat minggu dengan dosis dan lokasi penyuntikan yang sama serta penggunaan adjuvan pada vaksin. Paparan pertama atau vaksinasi pertama akan membangkitkan respon primer pada tubuh, dan untuk memperoleh titer antibodi yang tinggi diperlukan vaksinasi ulang/booster.

Terdapat berbagai metoda yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan antibodi baik dalam darah maupun dalam kuning telur. Teknik sederhana yang digunakan untuk jenis antigen yang memiliki kemampuan mengaglutinasi sel darah merah adalah uji HA atau HI. Pada penelitian ini menggunakan uji HI (Haemaglutinin Inhibition) yang hasilnya dapat memberi gambaran titer antibodi yang terdapat dalam serum darah dan kuning telur. Reaksi positif pada uji HI ditandai dengan penghambatan aglutinasi sel darah merah karena terdapat antibodi yang menghambat kerja antigen yang memiliki kemampuan mengaglutinasi sel darah merah.

Deteksi dan pengukuran titer antibodi pada penelitian ini menggunakan antigen yang sama pada salah satu antigen permukaan (H5) dan berbeda pada antigen permukaan yang lain (N). Vaksin yang digunakan adalah tipe H5N2 dan diuji dengan antigen H5N1. Hal ini dilakukan karena berdasarkan penelitian dan pengamatan kasus dilapangan, tipe virus yang ditemukan adalah H5N1.

Pengukuran titer antibodi sebelum melakukan vaksinasi ditujukan untuk melihat kemungkinan adanya perlakuan vaksinasi di peternakan sebelum diberlakukan sebagai hewan percobaan dan menghindari terjadinya netralisasi vaksin akibat titer antibodi ayam masih tinggi. Gambaran titer antibodi yang terbentuk pada serum sebelum vaksinasi dan setelah vaksinasi pertama dan kedua tertera dalam tabel berikut.

Tabel 1 Rataan Titer antibodi pada serum dengan uji HI

Waktu Rataan titer yang terbentuk (Log 2) Sebelum vaksinasi 1.67

Setelah vaksinasi ke-I 5.20 Setelah vaksinasi ke-II 7.00

Dari Tabel 1 terlihat bahwa sebelum dilakukan vaksinasi sebagai perlakuan penelitian, terdapat antibodi terhadap virus AI H5 pada sebagian besar ayam. Antibodi yang terbentuk merupakan efek vaksinasi yang dilakukan oleh peternak saat ayam berada dipeternakan. Vaksinasi dengan vaksin heterolog inaktif H5N2 dilakukan setelah titer antibodi yang diperiksa rendah. Hal ini dimaksudkan agar titer antibodi yang terbentuk setelah vaksinasi merupakan antibodi yang diinduksi oleh vaksin inaktif heterolog H5N2.

Rataan Titer Antibodi Serum (Log 2) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 A B C Waktu Ti te r A nt ibodi ( Log 2 ) Series1

Gambar 3 Gambaran grafik Rataan Titer antibodi pada serum (Log 2)

ket; (A) Sebelum vaksinasi, (B) Setelah vaksinasi ke-I, (C) Setelah vaksinasi ke-II

Titer antibodi yang terbentuk setelah vaksinasi pertama atau sesaat sebelum vaksinasi kedua dan setelah vaksinasi kedua, menunjukkan peningkatan titer yang signifikan (Grafik 1). Hal ini menggambarkan bahwa vaksin yang digunakan memiliki kemampuan menginduksi pembentukan antibodi terhadap bahan asing dalam tubuh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Carlender (2002) diacu dalam Rawendra (2005) bahwa ayam memiliki sensitivitas tinggi terhadap protein asing sehingga dalam jumlah sedikit dapat membangkitkan respon pembentukan antibodi. Vaksin inaktif heterolog H5N2 yang digunakan hanya mampu menginduksi pembentukan antibodi protektif 60% pada populasi dengan gambaran titer seperti pada Tabel 1. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jendral Peternakan No. 45/Kpts/PD.610/F/06.06 tanggal 7 Juni 2006 tentang prosedur operasional standar pengendalian penyakit Avian Influenza di Indonesia, titer dan persentase yang dicapai dianggap tidak mampu menginduksi pembentukkan antibodi protektif (≥ 4 log 2 dan ≥70% dari total populasi).

Menurut Carlender (2002) dalam Kurnia (2006), antibodi dalam serum akan diturunkan sebagai maternal antibodi pada hari ke-4 sampai hari ke-7 setelah kemunculan antibodi dalam serum. Apabila ditemukan titer antibodi pada serum ± 27 , maka dapat ditemukan antibodi pada anak ayam dengan titer 24 dengan

vaksin homolog H5N1 (Hartati 2005). Diharapkan, vaksin heterolog inaktif H5N2 yang digunakan memiliki kemampuan yang sama dalam menginduksi pembentukan antibodi. Peningkatan titer antibodi yang terbentuk pada serum dan capaian titer 27 setelah vaksinasi kedua, menjadi dasar untuk koleksi telur. Koleksi telur dilakukan setelah vaksinasi kedua selama 5 minggu. Gambaran titer antibodi yang diinduksi oleh vaksin inaktif H5N2 tertera dalam Tabel 2.

Tabel 2 Data hasil uji HI dari IgY Setelah Vaksinasi ke II Titer IgY dalam Log 2 (Minggu ke-) Ayam 1 2 3 4 5 B11 0 2 4 5 3 B12 3 1 3 1 2 B13 - 2 2 2 # B21 1 2 2 0 0 B22 0 0 2 0 #

Keterangan: (B11, B12, B13, B21, B22 ) Ayam yang divaksin H5N2,

(Minggu ke-1 dst) Minggu setelah vaksinasi ke II, (-)Belum bertelur, (#) Ayam mati

Berdasarkan data hasil uji HI terhadap IgY, menunjukkan bahwa pada minggu awal setelah dilakukan vaksinasi titer antibodi pada telur (IgY) masih rendah, bahkan pada beberapa ayam percobaan belum memiliki antibodi dalam telurnya. Selanjutnya, pada minggu ke-3 dan minggu ke-4 terjadi kenaikan dan penurunan titer antibodi pada sebagian ayam dan terjadi kematian beberapa ayam percobaan.

Dari lima ekor ayam percobaan, terdapat satu ekor ayam dengan kode B11 memiliki titer antibodi yang protektif yaitu diatas 24 dengan uji HI menggunakan virus H5N1 (heterolog) atau setara dengan 26 dengan uji HI menggunakan virus H5N2 (homolog). Namun, vaksin H5N2 yang digunakan tidak mampu membentuk titer antibodi protektif minimal 70% dari total populasi ayam. Vaksin H5N2 yang digunakan hanya mampu membentuk antibodi protektif pada IgY sebanyak 20% dari total populasi ayam percobaan.

Tabel 3 Rataan Titer IgY Setelah Vaksinasi ke II (berdasarkan waktu)

M1 M2 M3 M4 M5

Rataan titer (Log 2) 0.80 1.14 2.60* 1.60 1.00

Keterangan: (M1,M2...dst) Minggu ke 1, 2 dst, (*) Titer tertinggi

Rataan Titer IgY (Log 2)

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 M1 M2 M3 M4 M5 Minggu ke- T ite r (L o g 2 ) Titer

Gambar 4 Rataan Titer IgY Setelah Vaksinasi ke II (berdasarkan waktu)

Rataan titer tertinggi berdasarkan waktu, terbentuk pada minggu ke-3, dan selanjutnya terjadi penurunan secara bertahap. Menurut Indriani et al. 2005, pemberian vaksin inaktif baru merangsang antibodi protektif sedikitnya tiga minggu dan menurun pada minggu kedelapan setelah vaksinasi. Hal ini dapat dijadikan dasar penentuan waktu vaksinasi ulang untuk mempertahankan kadar maternal antibodi yang akan digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup embrio dan menunjang sistem kekebalan anak ayam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ayam yang divaksinasi dengan vaksin heterolog H5N2 menginduksi antibodi dengan titer protektif pada sebagian besar induk (60%) namun tidak mampu melindungi 70% dari total populasi. Selain itu, maternal antibodi yang diturunkan tidak mencapai titer protektif (hanya 20%). Ketidakmampuan vaksin dalam menghasilkan antibodi protektif dapat disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi kandungan antigen, kualitas vaksin, jumlah dosis dan rute vaksinasi. Faktor eksternal meliputi vaksinator, kondisi ayam dan lingkungan (Fadilah 2007, diacu dalam Siti 2007). Tingkat homologi H5N2 yang kurang dari 80% dan perbedaan

stuktur protein dan berat molekul IgY yang diinduksi oleh vaksin inaktif H5N1 dengan H5N2 menjadi salah satu penyebab ketidakmampuan vaksin dalam menginduksi antibodi protektif (Handayani 2008). Selain itu, menurut Tizard (2004), tanggap kebal merupakan respon biologis sehingga dapat menyebabkan variasi tanggap kebal bagi setiap individu. Kekebalan protektif akan terbentuk pada individu dengan tanggap kebal yang baik dan sebaliknya, individu dengan tanggap kebal lemah kurang mampu membentuk titer protektif.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, vaksin inaktif heterolog H5N2 yang disuntikan pada induk ayam hanya mampu menginduksi pembentukan antibodi protektif sebesar 60% pada serum dan 20% pada telur dari total populasi ayam percobaan. Vaksin heterolog H5N2 yang digunakan dalam penelitian ini tidak mampu menginduksi pembentukan antibodi protektif pada induk dan telur sebagai maternal antibodi.

Dokumen terkait