• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Data

Jawa Timur merupakan salah satu Provinsi di pulau Jawa yang berada pada posisi 1110 hingga 114.40 Bujur Timur dan 7.120 hingga 8.480 Lintang Selatan. Secara umum wilayah Jawa Timur dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu Jawa Timur daratan dan Kepulauan Madura. Luas wilayahnya sebesar 46428.57 km2 yang terbagi atas 29 kabupaten dan 9 kota. Kabupaten yang memiliki wilayah terluas adalah Banyuwangi, Malang, Jember, Sumenep dan Tuban (BPS 2008).

Tabel 1 Deskripsi jumlah kematian bayi di Jawa Timur 2008 dan faktor-faktor yang mempengaruhinya

Peubah Jangkauan Minimum Maksimum Nilai Tengah Simpangan Baku

y 361 9 370 115 81.33 X1 3530 256 3786 1846 965.48 X2 2989 111 3100 752 544.47 X3 273000 1705 275000 84922 67949.69 X4 250000 0 250000 56410 56005.85 X5 1167 67 1234 568 284.29 X6 2068 0 2068 350 422.85 X7 26600 603 27204 7062 6239.76 X8 6158 0 6158 418 1141.46 X9 49.22 0 49.22 14 14.85

Pembangunan kesehatan adalah usaha untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. AKB merupakan tolak ukur yang penting untuk mengetahui derajat kesehatan di suatu masyarakat. Pada tahun 2008 dilaporkan terdapat 558934 kelahiran hidup dan 3453 lahir mati (Dinkes 2008). Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah kematian bayi di provinsi Jawa Timur tahun 2008 sebesar 115 kematian per 1000 kelahiran hidup. Jangkauan dan ragam yang cukup besar terhadap jumlah kematian bayi juga dapat dilihat pada Tabel 1. Hal ini mengindikasikan jumlah kematian bayi yang beragam pada tiap

kabupaten/kota di Jawa Timur. Persebaran jumlah kematian bayi dapat dilihat pada Gambar 2. Jumlah kematian bayi yang tinggi di Jawa Timur tahun 2008 terdapat pada kabupaten Jember, Blitar dan Sidoarjo masing-masing sebesar 310, 257 dan 370 kematian bayi.

Gambar 2 Jumlah Kematian Bayi tiap Kabupaten/Kota di Jawa Timur 2008

Gambar 3 merupakan plot kuantil-kuantil normal dan histogram. Plot ini dapat digunakan untuk mengetahui pola sebaran data. Plot antara kuantil dan y(i) menunjukkan sebaran data tidak mengikuti garis lurus dan histogram dari y(i) juga tidak simetris, sehingga berdasarkan plot ini data kematian bayi menunjukkan penyimpangan dari sebaran normal.

(a) (b)

Gambar 3 (a) Plot kuantil-kuantil normal dan (b) histogram data jumlah kematian bayi -2 -1 0 1 2 0 100 200 300 Q Q Kuantil yi yi F reku ensi 0 100 200 300 400 0 2 4 6 8 10 12 14

Penelitian ini melibatkan sembilan faktor yang terkait dengan jumlah kematian bayi. Hubungan antara jumlah kematian bayi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat diketahui dengan menggunakan analisis regresi Poisson, karena jumlah kematian bayi dapat diasumsikan menyebar Poisson. Faktor-faktor yang digunakan dalam pembentukan model memenuhi asumsi tidak ada multikolinieritas. Kriteria yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya kolinieritas antar peubah penjelas dengan menggunakan koefisien korelasi (Pearson Correlation) dan Variance Inflation Factor (VIF).

Gambar 4 Plot matriks sembilan peubah penjelas

Plot matriks dari sembilan peubah penjelas yang terkait dengan jumlah kematian bayi dapat dilihat pada Gambar 4. Plot ini menunjukkan adanya beberapa peubah penjelas yang saling berkorelasi, yaitu terlihat adanya hubungan linier antar peubah. Jumlah sarana kesehatan (X1) berkorelasi dengan jumlah tenaga kesehatan (X2), jumlah keluarga yang anggotanya menjadi buruh tani (X3),

x1

0 2500 0 250000 0 1500 0 5000 500 0 2500

x2

x3

0 250000 0 250000

x4

x5

200 0 1500

x6

x7

0 25000 0 5000

x8

500 0 250000 200 0 25000 0 30 0 30

x9

jumlah sekolah negeri (X5) dan jumlah bayi yang diberi ASI eksklusif (X7). Adapun anggota keluarga buruh tani (X3) umumnya memperoleh pendidikan formal pada sekolah-sekolah negeri (X5), sehingga ada hubungan linier antara X3 dan X5. Adanya korelasi antar peubah penjelas, maka perlu dilakukan pemilihan peubah penjelas. Pemilihan peubah dilakukan secara bertahap, yaitu dimulai dengan mengeluarkan peubah yang memiliki nilai korelasi yang besar dapat dilihat pada Lampiran 3. Peubah yang disisihkan yaitu jumlah sarana kesehatan dan jumlah anggota keluarga yang menjadi buruh tani dengan nilai statistik VIF masing-masing sebesar 36.6 dan 20.3. Sesuai dengan pernyataan Myers (1990) bahwa antar peubah dikatakan saling bebas apabila nilai VIF kurang dari 10. Selanjutnya pemeriksaan multikolinieritas dengan kriteria VIF untuk peubah penjelas yang dipilih dapat dilihat pada Tabel 2. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada multikolinieritas antar peubah penjelas karena nilai statistik VIF kurang dari 10.

Tabel 2 Nilai VIF Peubah Penjelas di Jawa Timur

Peubah X2 X4 X5 X6 X7 X8 X9

VIF 6.019 1.485 4.481 2.452 3.106 3.266 2.112

Model Regresi Binomial Negatif

Data jumlah kematian bayi memiliki nilai ragam sebesar 6614 dan nilai tengah sebesar 114.95 dapat dilihat pada Tabel 1. McCullagh dan Nelder (1989) menyatakan bahwa overdispersi terjadi jika nilai ragam lebih besar dari nilai tengahnya, Var(Y) > E(Y). Overdispersi dalam model mengakibatkan simpangan baku dari parameter dugaan menjadi berbias ke bawah (underestimate) dan efek nyata dari pengaruh peubah penjelas menjadi berbias ke atas (overestimate). Model regresi Poisson jumlah kematian bayi dengan menggunakan tujuh peubah penjelas yang sudah dipilih menunjukkan bahwa semua peubah penjelas secara signifikan berpengaruh terhadap jumlah kematian bayi pada taraf nyata 5% yaitu nilai statistik uji Wald lebih besar dari nilai tabel khi kuadrat sebesar 3.841 dapat dilihat pada Tabel 3.

Semakin bertambah jumlah tenaga kesehatan (X2) justru tidak menurunkan jumlah kematian bayi karena masyarakat Jawa Timur masih

cenderung melakukan persalinan dengan bantuan tenaga non medis (dukun bayi) (X9). Peningkatan jumlah rumah tangga yang mendapatkan ASKESKIN dalam setahun terakhir (X4) dan jumlah sekolah negeri (X5) akan meningkatkan jumlah kematian bayi. Adapun semakin bertambahnya jumlah balita penderita gizi buruk (X6) dan jumlah bayi yang diberi ASI eksklusif (X7) dapat menurunkan jumlah kematian bayi. Penurunan jumlah kematian bayi juga didukung oleh sanitasi lingkungan yang baik. Akan tetapi pada model menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah keluarga yang berada di pemukiman kumuh (X8) dapat menurunkan jumlah kematian bayi.

Tabel 3 Nilai dugaan parameter model regresi Poisson dengan tujuh peubah penjelas

Parameter Nilai dugaan Galat baku Nilai G

β0(intersep) 3.53 4.84 x10-2 5309.16 β2(tenaga kesehatan) 8.3 x10-4 5.77 x10-5 204.49 β4(askeskin) 1.348 x10-6 2.93 x10-7 21.14 β5(sekolah) 1.28 x10-3 1.12 x10-4 131.93 β6(gizi buruk) -5.426 x10-4 5.58 x10-5 94.69 β7(ASI) -2.905 x10-5 4.01 x10-6 52.40 β8(pemukiman) -9.95 x10-4 2.56x10-5 15.08 β9(persalinan) 5.414 x10-3 1.41 x10-3 14.84

Deviance: 756.74; Derajat bebas: 30; Rasio: 25.22 �12= 3.841; �= 5%

Plot antara sisaan terhadap nilai dugaan model ini dapat dilihat pada Gambar 5. Plot ini menunjukkan bahwa keragaman data cenderung mengecil yaitu semakin besar nilai dugaan y maka sisaannya semakin kecil. Pola data cenderung tidak acak atau membentuk pola tertentu (sistematis). Nilai rasio antara devian dan derajat bebasnya sebesar 25.22, yaitu nilai ini lebih besar dari 1. Hal ini mengindikasikan bahwa model regresi Poisson mengalami overdispersi sehingga tidak layak digunakan. Model regresi yang diharapkan dapat mengatasi overdispersi pada kasus ini adalah model regresi binomial negatif.

Pendugaan parameter model regresi binomial negatif dengan menggunakan tujuh peubah penjelas secara bersamaan. Tabel 4 menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah tenaga kesehatan (X2), rumah tangga yang

Gambar 5 Hubungan antara nilai dugaan dan sisaan dari model Poisson

mendapatkan ASKESKIN (X4), jumlah sekolah negeri (X5) dan jumlah keluarga yang berada dipemukiman kumuh (X8) pada tiap kabupaten/kota maka akan meningkatkan jumlah kematian bayi. Persalinan yang dilakukan dengan bantuan tenaga non medis (X9) akan meningkatkan jumlah kematian bayi. Adapun semakin bertambahnya jumlah balita penderita gizi buruk (X6) dan jumlah bayi yang diberi ASI eksklusif (X7) akan menurunkan jumlah kematian bayi.

Tabel 4 Nilai dugaan parameter model regresi binomial negatif dengan tujuh peubah penjelas.

Parameter Nilai dugaan Galat baku Nilai G

β0(intersep) 3.13 0.186000 282.58 β2(tenaga kesehatan) 5.32 x10-4 3.45 x10-4 2.37 β4(askeskin) 3.00 x10-6 1.66 x10-6 3.25 β5(sekolah) 2.10x10-3 5.74 x10-4 13.44 β6(gizi buruk) -6.60 x10-4 2.84 x10-4 5.42 β7(ASI) -3.10 x10-5 2.16 x10-5 2.06 β8(pemukiman) 7.32x10-5 1.22 x10-4 0.36 β9(persalinan) 5.94 x10-3 7.51 x10-3 0.63

Deviance: 39.55; Derajat bebas: 30; Rasio: 1.32; �12= 3.841; �= 5%

Plot antara sisaan terhadap nilai dugaan model ini dapat dilihat pada Gambar 6. Plot ini menunjukkan bahwa keragaman data cenderung tidak besar karena pola data cenderung menyebar di sekitar garis nol. Nilai rasio dispersi dari

50 100 150 200 250 300 350 -0 .5 0 .0 0 .5 1 .0 1 .5 nilai_dugaan si sa a n

model binomial negatif sebesar 1.32 dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai ini mendekati nilai 1 dan jauh lebih kecil dibandingkan dengan rasio dispersi dari model regresi Poisson. Selain itu, nilai simpangan baku binomial negatif (Tabel 4) lebih besar dari nilai simpangan baku Poisson (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa model binomial negatif telah mampu mengatasi overdispersi pada model regresi Poisson.

Gambar 6 Hubungan antara nilai dugaan dan sisaan dari model binomial negatif

Keragaman dan Matriks Pembobot Spasial

Posisi wilayah suatu pengamatan yang saling berdekatan memungkinkan adanya hubungan dengan pengamatan lain yang berdekatan. Perbedaan karakteristik satu wilayah dengan wilayah lainnya menyebabkan terjadi keragaman spasial. Adanya keragaman spasial pada data jumlah kematian bayi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya diuji dengan pengujian Breuch-Pagan

menggunakan persamaan (3). Uji ini diperoleh nilai BP sebesar 14.9394 dan nilai

p diperoleh sebesar 0.0367 pada taraf nyata 5%. Kesimpulan yang diperoleh adanya keragaman spasial antar wilayah, maka perlu membuat matriks pembobot untuk regresi ini.

Pembentukan matriks pembobot diawali dengan penentuan lebar jendela optimum. Pemilihan lebar jendela ini menggunakan kriteria validasi silang pada persamaan (4) dengan teknik Golden Section Search. Teknik ini dilakukan secara iterasi dengan mengevaluasi nilai CV pada interval jarak minimum dan jarak

0 100 200 300 400 500 600 700 -0 .5 0 .0 0 .5 1 .0 Nilai_dugaan S isa an

maksimum. Jarak euclidian antar kabupaten/kota di Jawa Timur menggunakan peubah letak geografis kabupaten/kota di Jawa Timur yang sudah dikonversi ke dalam satuan kilometer menggunakan software Archview dapat dilihat pada Lampiran 4. Jarak kabupaten Pacitan dan Banyuwangi merupakan jarak terjauh antar kabupaten/kota sebesar 348.08 kilometer. Lebar jendela optimum dengan fungsi pembobot kernel adaptif kuadrat ganda untuk setiap kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 5 dengan nilai CV minimum diperoleh sebesar 303266.1.

Tabel 5 Lebar jendela optimum untuk setiap kabupaten/kota di Jawa Timur

Kabupaten/kota Lebar jendela

(kilometer) Kabupaten/kota Lebar jendela (kilometer) Pacitan 285.81 Magetan 259.83 Ponorogo 219.89 Ngawi 249.95 Trenggalek 244.93 Bojonegoro 227.31 Tulungagung 233.57 Tuban 212.27 Blitar 184.46 Lamongan 169.52 Kediri 168.97 Gresik 167.96 Malang 141.82 Bangkalan 159.16 Lumajang 226.24 Sampang 215.28 Jember 248.97 Pamekasan 229.08 Banyuwangi 339.14 Sumenep 256.77

Bondowoso 248.41 Kota Kediri 172.34

Situbondo 254.81 Kota Blitar 175.66

Probolinggo 186.82 Kota Malang 140.33

Pasuruan 171.30 Kota Probolinggo 206.65

Sidoarjo 139.83 Kota Pasuruan 149.01

Mojokerto 147.64 Kota Mojokerto 153.00

Jombang 158.37 Kota Madiun 247.49

Nganjuk 222.29 Kota Surabaya 148.86

Madiun 251.34 Kota Batu 144.05

Matriks pembobot spasial disusun menggunakan fungsi pembobot kernel adaptif kuadrat ganda pada persamaan (4) dengan lebar jendela optimum. Matriks pembobot ini merupakan matriks diagonal dan digunakan untuk menduga parameter koefisien regresi di setiap kabupaten/kota di Jawa Timur. Kabupaten/kota masing-masing memiliki matriks pembobot yang berbeda dapat dilihat pada Lampiran 5, yaitu ada 38 pembobot yang digunakan dalam penelitian

ini. Kabupaten Pacitan dengan lebar jendela optimum sebesar 285.81 kilometer memiliki matriks pembobot �(�1,�1) sebagai berikut :

�(�1,�1) =���� � 1.00, 0.83, 0.96, 0.93, 0.75, 0.64, 0.50, 0.13, 0.06, 0.00, 0.01, 0.00, 0.19, 0.27, 0.38, 0.47, 0.54, 0.78, 0.82, 0.85, 0.78, 0.66, 0.24, 0.40, 0.41, 0.29, 0.04, 0.01, 0.00, 0.66 0.71, 0.49, 0.09, 0.35, 0.47,0.83, 0.33, 0.51 �

Jarak kabupaten Pacitan dengan kabupaten Banyuwangi, kabupaten Situbondo dan kabupaten Sumenep masing-masing sebesar 347.22 kilometer, 285.82 kilometer dan 296.92 kilometer. Jarak ini berada jauh di luar lebar jendela optimum kabupaten Pacitan, sehingga nilai pembobotnya kabupaten ini nol. Sedangkan kabupaten/kota yang berdekatan dengan kabupaten Pacitan memiliki nilai pembobot mendekati satu. Hal yang sama untuk kabupaten/kota lainnya di Jawa Timur.

Regresi Binomial Negatif Terboboti Geografis

Pemodelan selanjutnya menggunakan regresi binomial negatif terboboti geografis dengan menggunakan tujuh peubah penjelas. Keragaman yang cukup besar pada peubah penjelas yang digunakan dalam model dapat dilihat pada Tabel 1. Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kematian bayi di setiap kabupaten/kota di Jawa Timur beragam. Pendugaan parameter koefisien regresi pada model RBNTG menggunakan metode kemungkinan maksimum dengan memasukkan pembobot spasial dalam perhitungannya. Model ini merupakan model nonlinier dan bersifat implisit, sehingga proses pendugaan parameter koefisien regresi menggunakan iterasi numerik Newton-Raphson dengan formula pada Lampiran 1 yang diturunkan dengan software Mapple 11.

Pendugaan parameter koefisien model RBNTG menggunakan hasil pendugaan parameter koefisien regresi binomial negatif sebagai nilai awal dari iterasi Newton-Raphson. Proses iterasi ini dilakukan per kabupaten/kota di Jawa Timur dengan menyusun formula pada Lampiran 1 ke dalam software R dapat dilihat pada Lampiran 2. Matriks pembobot yang digunakan dalam Lampiran 2 disesuaikan dengan kabupaten/kota yang akan diduga parameter koefisien modelnya. Misalnya kabupaten Pacitan menggunakan matriks pembobot

�(�1,�1), kabupaten Ponorogo dengan matriks pembobot �(�2,�2) dan seterusnya sampai kota Batu dengan matriks pembobot �(�38,�38). Nilai dugaan parameter koefisien model sudah konvergen pada iterasi ke-10, yaitu ditentukan ketika selisih dari ��

(t+1)− �

(t)�< 1018. Lampiran 6 merupakan dugaan parameter koefisien regresi binomial negatif terboboti geografis untuk setiap kabupaten/kota di Jawa Timur pada iterasi ke-10.

Tabel 6 Pengelompokan kabupaten/kota di Jawa Timur berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kematian bayi

Kabupaten/kota Peubah yang signifikan Pacitan, Trenggalek,

Tulungagung, Nganjuk, Kota Blitar

X9 : Persalinan yang dilakukan tenaga non medis

Ponorogo, Blitar X2 : Jumlah tenaga kesehatan

X9 : Persalinan yang dilakukan tenaga non medis Kediri, Kota Kediri X2 : Jumlah tenaga kesehatan

X6 : Jumlah balita penderita gizi buruk

X9 : Persalinan yang dilakukan tenaga non medis Malang, Sidoarjo, Kota

Malang, Kota Pasuruan

X2 : Jumlah tenaga kesehatan

X6 : Jumlah balita penderita gizi buruk X7 : Jumlah bayi diberi ASI eksklusif X8 : Jumlah keluarga dipemukiman kumuh Lumajang X2 : Jumlah tenaga kesehatan

X7 : Jumlah bayi diberi ASI eksklusif

X9 : Persalinan yang dilakukan tenaga non medis Jember, Banyuwangi,

Bondowoso, Situbondo

X2 : Jumlah tenaga kesehatan

X4 : Jumlah rumah tangga yang mendapatkan ASKESKIN

X7 : Jumlah bayi diberi ASI eksklusif

X9 : Persalinan yang dilakukan tenaga non medis Probolinggo, Sampang,

Kota Prolinggo

X7 : Jumlah bayi diberi ASI eksklusif Pasuruan X7 : Jumlah bayi diberi ASI eksklusif

X8 : Jumlah keluarga dipemukiman kumuh Mojokerto, Jombang, X2 : Jumlah tenaga kesehatan

X6 : Jumlah balita penderita gizi buruk X8 : Jumlah keluarga dipemukiman kumuh X9 : Persalinan yang dilakukan tenaga non medis Madiun, Magetan, Ngawi,

Bojonegoro

X4 : Jumlah rumah tangga yang mendapatkan ASKESKIN

X9 : Persalinan yang dilakukan tenaga non medis Tuban X2 : Jumlah tenaga kesehatan

Tabel 6 Pengelompokan kabupaten/kota di Jawa Timur berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kematian bayi

Lamongan, Pamekasan, Sumenep

X7 : Jumlah bayi diberi ASI eksklusif

X9 : Persalinan yang dilakukan tenaga non medis Gresik, Bangkalan X2 : Jumlah tenaga kesehatan

X6 : Jumlah balita penderita gizi buruk Kota Madiun X2 : Jumlah tenaga kesehatan

X4 : Jumlah rumah tangga yang mendapatkan ASKESKIN

X9 : Persalinan yang dilakukan tenaga non medis Kota Surabaya X2 : Jumlah tenaga kesehatan

X4 : Jumlah rumah tangga yang mendapatkan ASKESKIN

X6 : Jumlah balita penderita gizi buruk X7 : Jumlah bayi diberi ASI eksklusif X8 : Jumlah keluarga dipemukiman kumuh Kota Batu X6 : Jumlah balita penderita gizi buruk

X7 : Jumlah bayi diberi ASI eksklusif X8 : Jumlah keluarga dipemukiman kumuh X9 : Persalinan yang dilakukan tenaga non medis

Pengujian parameter model untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kematian bayi di setiap kabupaten/kota di Jawa Timur. Peubah yang signifikan berpengaruh terhadap kejadian kematian bayi berbeda-beda tiap kabupaten/kota di Jawa Timur. Signifikansi pengujian parameter model menggunakan uji Wald pada persamaan (3) dengan taraf nyata 5%. Nilai statistik uji Wald (G) pada masing-masing kabupaten/kota dapat dilihat pada Lampiran 7. Lampiran 8 merupakan hasil pengujian parameter model pada masing-masing kabupaten/kota. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kematian bayi pada masing-masing kabupaten/kota cukup beragam, sehingga kabupaten/kota di Jawa Timur dapat dikelompokkan menjadi 16 kelompok dapat dilihat pada Tabel 6. Gambar 7 merupakan peta pengelompokan kabupaten/kota di Jawa Timur berdasarkan peubah yang signifikan mempengaruhi jumlah kematian bayi.

Peningkatan jumlah kematian bayi di Jawa Timur yang disebabkan oleh persalinan yang dilakukan tenaga non medis (dukun bayi) (X9). Peubah X9 signifikan pada kabupaten Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Nganjuk, dan Kota Blitar. Umumnya terjadi pada daerah pinggiran dan perbukitan karena jarak rumah dukun bayi dipandang lebih dekat dibandingkan rumah bersalin karena

sarana transportasi yang susah. Uji signifikansi parameter β9 kabupaten Pacitan diperoleh nilai G sebesar 3293.809 lebih besar dari nilai Khi-kuadrat sebesar 14.067. Nilai ini artinya setiap penambahan satu persen dari jumlah persalinan yang dilakukan dengan bantuan tenaga non medis akan menyebabkan nilai harapan jumlah kematian bayi meningkat sebesar exp(0.005964) = 1.006 kali. Hal yang sama untuk kabupaten Trenggalek, Tulungagung, Nganjuk, dan Kota Blitar bahwa semakin tinggi persalinan yang dilakukan dengan bantuan tenaga non medis akan meningkatkan jumlah kematian bayi.

Gambar 7 Pengelompokan kabupaten/kota di Jawa Timur berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kematian bayi

Kabupaten Ponorogo dan kabupaten Blitar tahun 2008 memiliki jumlah kematian bayi masing-masing sebesar 157 dan 257 kematian (Dinkes 2008). Angka ini termasuk tinggi dibandingkan dengan kabupaten lain disekitarnya dapat dilihat pada Gambar 2. Peubah yang signifikan mempengaruhi jumlah kematian bayi di kabupaten ini adalah jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan (X2) dan persalinan yang dilakukan dengan bantuan tenaga non medis (X9) dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan model yang diperoleh setiap kenaikan satu orang jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan akan meningkatkan jumlah kematian bayi sebesar exp(0.000551) = 1.000551 kali untuk kabupaten Blitar dan exp(0.000512) = 1.000512 kali untuk kabupaten Ponorogo dengan asumsi faktor yang lain dalam model tetap.

Peningkatan satu persen persalinan yang dilakukan dengan bantuan non medis akan meningkatkan jumlah kematian bayi sebesar exp(0.005952) = 1.00597 kali untuk kabupaten Blitar dan exp(0.005954) = 1.005964 untuk kabupaten Ponorogo dengan asumsi faktor yang lain dalam model tetap. Semakin banyak tenaga kesehatan akan mempermudah mendeteksi jumlah kematian bayi pada setiap kabupaten/kota di Jawa Timur.

Program ASKESKIN merupakan salah satu program pemerintah yang bertujuan meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat miskin. Semakin banyak keluarga yang menerima ASKESKIN di suatu kabupaten menunjukkan tingginya tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan erat kaitannya dengan jumlah kematian bayi. Lampiran 8 menunjukkan semakin banyak keluarga yang menerima ASKESKIN dan persalinan yang dilakukan dengan bantuan non medis di Kabupaten Madiun, Magetan, Ngawi dan Bojonegoro akan meningkatkan jumlah kematian bayi.

Pemukiman kumuh adalah lingkungan hunian ditandai banyaknya rumah yang tidak layak huni, banyaknya saluran pembuangan limbah yang macet, bangunan pemukiman penduduk sangat padat, banyak penduduk yang buang air besar tidak pada jamban dan biasanya berada di areal marginal (BPS 2008). Jumlah keluarga yang berada pada pemukiman kumuh di kota Surabaya tergolong tinggi sebesar 6158 keluarga (Podes 2008). Penambahan jumlah keluarga pada pemukiman kumuh, jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan dan jumlah keluarga yang menerima ASKESKIN akan meningkatkan jumlah kematian bayi. Adapun semakin banyak jumlah balita penderita gizi buruk dan pemberian ASI eksklusif dapat menurunkan jumlah kematian bayi. Gizi buruk disebabkan oleh kurangnya asupan gizi yang baik, sehingga berat badan jauh dari ukuran normal dan mudah terserang penyakit. Hal ini juga berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kematian bayi pada kabupaten/kota yang berdekatan. Misalnya kabupaten Sidoarjo dipengaruhi oleh faktor yang sama dengan Surabaya kecuali jumlah keluarga yang menerima ASKESKIN tidak signifikan.

Persentase penduduk miskin di kabupaten Jember tergolong tinggi (BPS 2008). Hal ini ditunjukkan bahwa jumlah kematian bayi di kabupaten Jember pada

tahun 2008 sebesar 310 kematian. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan jumlah kematian berdasarkan model RBNTG (Lampiran 8) adalah penambahan jumlah tenaga kesehatan, jumlah keluarga yang menerima ASKESKIN dan persalinan yang dilakukan dengan bantuan non medis, serta penurunan pemberian ASI eksklusif. ASI meruapakan sumber nutrisi utama bagi bayi hingga usia enam bulan. Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif memiliki harapan untuk meraih kualitas pertumbuhan dan perkembangan yang lebih optimal saat dewasa. Kabupaten Banyuwangi, Bondowoso dan Situbondo dengan lokasi berdekatan

dengan kabupaten Jember memiliki faktor yang mempengaruhi jumlah kematian bayi

yang sama.

Penilaian terhadap model dilakukan berdasarkan nilai devian terkecil. Analisis data kematian bayi di Jawa Timur dengan menggunakan model regresi binomial negatif diperoleh nilai devian sebesar 39.55. Nilai devian model regresi binomial negatif terboboti geografis menggunakan persamaan (6) diperoleh sebesar 20.22. Model RBNTG dengan menggunakan pembobot kernel adaptif kuadrat ganda lebih baik digunakan untuk menganalisis jumlah kematian bayi yang mengalami overdispersi di Jawa Timur karena mempunyai nilai devian terkecil.

Dokumen terkait