• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil pemeriksaan telur cacing sampel tinja sapi Bali dari Kabupaten Karangasem menunjukkan prevalensi total infeksi Fasciola spp adalah sebesar 18,29%. Sapi yang terinfeksi mengeluarkan telur cacing dalam tinja dengan rata-rata telur tiap gram tinja (TTGT) sebesar 7,03 telur/g (5,50-9,00 telur/g).

Prevalensi infeksi Fasciola spp pada umur lebih dari 12 bulan sebesar 30,61% (21,48%-39,73%). Nilai ini lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan sapi umur kurang dari enam bulan yaitu sebesar 10,58% (4,40%-17,12%) dan umur 6-12 bulan sebesar 10,81% (3,73%-17,88%). Nilai rata-rata telur tiap gram tinja (TTGT) pada umur lebih dari 12 bulan sebesar 9,26 telur/g (6,72-12,76 telur/g). Nilai TTGT ini lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan pada sapi umur kurang dari enam bulan sebesar 3,58 telur/g (2,57-4,77 telur/g) dan umur 6-12 bulan sebesar 5,60 Telur/g (4,07-7,71 telur/g). Nilai TTGT pada sapi umur 6-12 bulan tidak berbeda nyata dibanding sapi yang lebih muda (Tabel 4).

Uji ?² dan resiko relatif (RR), menunjukan terdapat asosiasi (hubungan) antara perbedaan umur terhadap infeksi Fasciola spp dengan nilai resiko relatif sebesar 1,88 (p<0,05). Hal ini berarti menunjukkan sapi Bali pada tingkat umur lebih dari 12 bulan memiliki risiko 1,88 kali lebih tinggi dibandingkan sapi Bali pada tingkat umur kurang dari enam bulan dan umur 6-12 bulan.

Tabel 4. Prevalensi, ?² dan resiko relatif (RR) cacing hati pada sapi Bali pada berbagai tingkat umur

Umur Jumlah Spesimen Total + Rata-rata Prevalens ( %) Jumlah TTGT (rata-rata) ?² RR < 6 bulan 6-12 bulan > 12 bulan 85 9 74 8 98 30 10,58 (4,04-17,12)a 10,81 (3,73-17,88)a 30,61 (21,48-39,73)b 3,58 (2,57-4,77)a 5,60 (4,07-7,71)a 9,26 (6,72-12,76)b 16,102* 1,88 Total 257 47 18,29 7,03 (5,50-9.00)

Huruf superskrip yang berbeda dalam setiap kolom menunjukkan adanya perbedaan nyata (P < 0,05); Tanda (*) menunjukkan adanya asosiasi antar faktor.

22

Tabel 5 menunjukkan hasil pemeriksaan tinja pada jenis kelamin sapi Bali yang berbeda. Nilai prevalensi Fasciola spp pada sapi Bali betina yaitu sebesar 20,23% (14,48%-26,17%), sedangkan pada sapi jantan adalah 13,33% (5,63%-21,02%). Nilai rata-rata TTGT pada sapi Bali jantan yaitu 6,61 telur/g (3,61-12,06 telur/g) dan sapi Bali betina 7,16 telur/g (5,46-9,39 telur/g). Pada prevalensi dan nilai rata-rata TTGT tidak didapatkan perbedaan yang nyata infeksi Fasciola spp untuk sapi Bali pada tingkat jenis kelami n. Uji ?² dan resiko relatif (RR) didapatkan hasil bahwa tidak terdapat asosiasi diantara kedua jenis kelamin sapi tersebut (p>0,05).

Tabel 5. Prevalensi, ?² dan resiko relatif (RR) cacing hati pada tingkat jenis kelamin Jenis Kelamin Jumlah Spesimen Total + Rata-rata tingkat Prevalensi ( %) Jumlah TTGT (rata-rata) ?² RR Betina Jantan 182 182 37 75 10 20,23 (14,48-26,17)a 13,13 (5,63-21,02)a 7,16 (5,46-9,39)a 6,61 (3,62-2,06)a 1,74 1,52 Total 257 47 18,29 7,03 (5,50-9.00)

Huruf superskrip yang sama dalam setiap kolom menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (P> 0,05)

Prevalensi infeksi Fasciola spp pada sapi Bali di lokasi dataran rendah sebesar 19,81% (12,22%-27,39%), sedangkan di dataran tinggi sebesar 17,21% (11,19%-23,24%). Infeksi rata-rata telur tiap gram tinja (TTGT) di lokasi dataran rendah sebesar 6,94 telur/g (4,7-10,06 telur/g), sedangkan di dataran tinggi sebesar 7,11 telur/g (5,08-9,94 telur/g). Tidak didapatkan perbedaan yang nyata dalam prevalensi infeksi dan nilai rata-rata TTGT infeksi Fasciola spp untuk sapi di lokasi dataran rendah dan di dataran tinggi. Hal ini diperkuat dengan uji ?² dan resiko relatif (RR) yang dilakukan untuk mengetahui adanya asosiasi antara tingkat kejadian infeksi Fasciola spp dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian tersebut. Tabel 6 menunjukkan tidak ada asosiasi antara lokasi dataran rendah dan lokasi dataran tinggi (p>0,05).

23

Tabel 6. Prevalensi, ?² dan resiko relatif (RR) cacing hati pada sapi Bali di lokasi dataran rendah dan dataran tinggi

Lokasi JumlahJJumlah Spesimen Total + Rata-rata Tingkat Prevalensi (%) Jumlah TTGT ( Rata-rata) ?² RR Dt.Rendah Dt. Tinggi 106 21 151 26 19.81 (12,23-27,39)ª 17,22 (11,19-23,24)ª 6,94 (4,7-10,06)a 7,11 (5,08-9,94)a 0,28 1,15 Total 257 47 18,29 7,03 (5,50-9.00)

Huruf superskrip yang sama dalam setiap kolom menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (P> 0,05)

4.2. Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi infeksi Fasciola spp pada sapi Bali dari Kabupaten Karangasem, Bali sebesar 18,29%. Angka tersebut jauh lebih rendah dari hasil penelitian Suweta pada tahun 1982 di Kabupaten yang sama yaitu sebesar 30,33%. Perbedaan hasil ini diduga berkaitan dengan kurun waktu penelitian yang berbeda jauh, serta metode diagnosa yang digunakan. Pada penelitian ini prevalensi infeksi dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan jumlah telur cacing hati dalam sampel tinja, sedangkan pada penelitian Suweta didasarkan hasil pemeriksaan postmortem di Rumah Potong Hewan. Prevalensi infeksi pada penelitian terdahulu lebih tinggi karena pemeriksan postmortem dapat mendeteksi keberadaan cacing dewasa maupun cacing muda. Pemeriksaan telur cacing dalam tinja hanya dapat mendeteksi keberadaan cacing setelah mereka melampaui masa prepaten pada saat cacing dewasa mulai menghasilkan telur. Menggunakan metode yang serupa dengan penelitian ini, Lubis (1983) mencatat prevalensi fasciolosis pada sapi potong di Kabupaten Sumedang sebesar 14,04%.

Penelitian ini juga menemukan adanya asosiasi antara faktor umur sapi dengan kejadian infeksi Fasciola spp pada sapi Bali di Kabupaten Karangasem, Bali (Tabel 4). Perbedaan yang nyata pada prevalensi dan derajat infeksi cacing hati antara sapi berumur lebih dari 12 bulan dengan sapi yang lebih muda disebabkan pola pemeliharaan ternak yang berbeda diantara ketiga kelompok umur. Sapi dewasa pada umumnya digunakan untuk mengolah lahan pertanian.

24

Sapi yang sebagian dikandangkan dan digembalakan di sawah mempunyai peluang untuk terinfeksi oleh Fasciola spp relatif tinggi. Disamping itu peternak di Kabupaten Karangasem mempunyai kebiasaan (93,55%) untuk memandikan ternaknya (Artama 2005). Metacercaria berada didalam air atau menempel di bawah batang padi, rumput dan tumbuhan-tumbuhan lain yang berada disekitar sungai. Apabila sapi minum dan makan tanaman tersebut maka sapi akan terinfeksi larva metacercaria (Brown 1979). Menurut Suweta (1982) sapi yang sebagian dikandangkan dan digembalakan di sawah me mpunyai peluang untuk terinfeksi olehcacing hati relatif tinggi.

Tingkat prevalensi infeksi yang relatif rendah pada sapi Bali kurang dari enam bulan dan umur 6-12 bulan, dapat pula dihubungkan dengan kondisi asam lambung yang tidak mampu merusak lapisan luar kista metacecaria. Menurut Dawes (1961) yang diacu dalam Suweta (1982), asam lambung dan enzim pencernaan belum berfungsi secara optimal dalam sapi muda sehingga tidak mampu merusak semua lapisan kista metacercaria. Enzim ini hanya mampu merusak lapisan luarnya saja yang mengakibatkan proses ekskistasi tidak berjalan sempurna.

Pengaruh umur erat kaitannya dengan kurun waktu infestasi terutama di lapangan. Makin tua umur sapi makin tinggi frekuensi infeksinya. Pada sapi muda lebih rendah frekuensinya, hal ini disebabkan relatif sering kandangkan dalam rangka penggemukan (sapi kereman). Selain itu juga frekuensi makan rumput sapi muda masih rendah dibandingkan sapi dewasa, hal ini karena sapi muda masih minum air susu induknya, sehingga kemungkinan untuk terinfekasi larva metacercaria rendah. Seddon (1967), tingkat prevalensi infeksi cacing hati pada sapi di Australia menunjukkan peningkatan sejalan dengan meningkatnya umur sapi.

Dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya asosiasi antara jenis kelamin sapi Bali dengan prevalensi dan derajat infeksi cacing hati. Fenomena ini juga diamati oleh Suweta (1978), yang memperlihatkan bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi kepekaan sapi Bali terhadap infeksi Fasciola. Sebaliknya pada studi lain Suweta (1982) mengamati bahwa sapi jantan memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap infeksi cacing hati dibandingkan sapi betina. Hal tersebut

25

berkaitan dengan hormon. Menurut Dobson (1964; 1965; 1966) yang diacu oleh Suweta (1982), hormon estrogen pada ternak betina memiliki sifat pemacu sel-sel

Reticulo Endotelial System (RES) dalam membentuk antibodi terhadap parasit. Akibatnya ternak betina relatif lebih tahan terhadap berbagai jenis penyakit dan ternak betina juga jarang dipekerjakan terutama dalam kondisi bunting dan menyusui (Suweta 1982).

Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa faktor ketinggian lokasi dari permukaan laut tidak berasosiasi terhadap kejadian infeksi Fasciola spp pada sapi Bali (Tabel 6). Pada penelitian yang dilakukan sekitar 25 tahun yang lalu, Suweta (1982) juga tidak menemukan adanya perbedaan yang nyata antara prevalensi infeksi cacing hati antara berbagai daerah di Bali dengan luasan lahan persawahan yang berbeda. Hal ini mungkin disebabkan kondisi mi kroklimat dan lingkungan di dataran tinggi dan dataran rendah saat pengambilan sampel tinja tidak berbeda nyata (Artama 2005). Waktu pengambilan sampel (Februari dan Maret) termasuk pada musim kemarau yang biasanya berlangsung antara bulan Maret sampai bulan Agustus. Musim hujan di Kabupaten Karangasem biasanya berlangsung selama bulan September sampai bulan Februari.

Musim kemarau dapat mengganggu perjalanan siklus hidup cacing hati (Boray 1985). Di Nigeria dilaporkan bahwa tingkat infeksi cacing hati pada sapi dalam musim hujan lebih tinggi dibandingkan musim kemarau (Seddon 1967). Kondisi tanah yang kering dan atmosfer yang cukup panas menyebabkan tinja cepat mengering, sehingga telur cacing hati menjadi rusak dan mati. Telur

Fasciola spp menetas pada suhu optimum 260C (Kusumamiharja 1992). Cacing hati (Fasciola spp) tidak berkembang biak pada siput dibawah suhu 100C dan hidup pada suhu 10-360C. Sebaliknya, pada suhu 370C membunuh sebagian besar telur dan miracidium (Levine 1990).

Kelangsungan hidup serta penyebaran cacing hati tergantung pada kehadiran siput (Lymnaea rubiginosa) sebagai induk semang antara. Miracidium akan mati apabila tidak menemukan siput, walaupun metacercaria tahan terhadap kondisi kering (Brown 1979). Siput Lymnaea rubiginosa yang biasanya hidup di sawah tidak tahan kekeringan dan akan mati apabila tidak ditemukan tempat yang berair (Kusumamiharja 1992).

26

BAB V

Dokumen terkait