HASIL
Pertumbuhan Diameter Koloni Ganoderma sp.
Hasil pengamatan pada agar cawan menunjukkan bahwa pertumbuhan diameter koloni isolat Ganoderma sp. pada media PDA lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan koloni isolat pada media MEA (Gambar 3.1). Pertumbuhan diameter koloni isolat Ganoderma sp. selama 12 hari pada media PDA dan MEA berturut-berturut adalah 89.9 dan 62.3 mm. Secara visual miselia Ganoderma sp. pada kedua media terlihat sama, baik dari segi warna yaitu putih kapas dan dari segi tekstur adalah halus. Miselia pada media PDA lebih tebal dan merata dibandingkan dengan miselia pada MEA.
Gambar 3.1 Pertumbuhan diameter koloni isolat Ganoderma sp. pada cawan Petri pada hari ke-12. A) isolat Ganoderma sp. pada media PDA, B) isolat
Ganoderma sp. pada media MEA
Gambar 3.2 Rata-rata pertumbuhan diameter koloni isolat Ganoderma sp. pada media PDA dan MEA. ‒▲‒Media PDA, ‒♦‒ Media MEA
-10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Diam eter k olo ni is olat Ga n o d erma sp . ( m m ) Waktu (hari) A B
Pertumbuhan diameter koloni isolat Ganoderma sp. pada media PDA lebih cepat dibanding dengan pertumbuhan diameter koloni isolat pada media MEA (Gambar 1.2). Pada media PDA diameter pertumbuhan koloni Ganoderma sp. mampu memenuhi cawan Petri pada hari ke-12, sedang pada media MEA pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. memenuhi cawan Petri pada hari ke-14.
Hasil analisis ragam menunjukkan adanya perbedaan rata-rata pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. isolat pada kedua media. Rata-rata pertumbuhan diameter koloni isolat Ganoderma sp. sebesar 7.09 mm h-1 pada media PDA berbeda nyata dengan pertumbuhan diameter koloniisolat pada media MEA dengan nilai 5.41 mm h-1.
Pertumbuhan Diameter Koloni Trichoderma spp.
Hasil pengamatan pada agar cawan menunjukkan bahwa pertumbuhan ketiga koloni isolat Trichoderma spp. pada masing-masing media memiliki perbedaan secara umum baik dari segi pertumbuhan diameter koloni miselia, warna, tekstur dan ketebalan miselia. Secara umum pertumbuhan diameter koloni yang tercepat pada T. viride adalah di hari kedua pada media PDA, sedangkan pada T. pseudokoningii adalah pada media MEA (Gambar 4.2). Pengamatan visual pertumbuhan T. harzianum pada media PDA terlihat sirkuler, bagian tengah berwarna putih kehijauan dan bagian luar berwarna hijau tua (Gambar 4.1A). Pengamatan visual koloni isolat T. harzianum pada media MEA terlihat sirkuler, dan terdiri dari lapisan warna yang berbeda yaitu bagian dalam berwarna hijau tua, lapisan ke-2 agak transparan, lapisan ke-3 berwarna hijau tua, lapisan ke-4 berwarna putih tipis dan lapisan paling luar berwarna hijau tua (Gambar 4.1B). Koloni isolat T. pseudokoningii pada media PDA tumbuh menyebar, berwarna hijau muda dan berukuran tipis (Gambar 4.1C). Koloni isolat T. pseudokoningii pada media MEA terlihat menyebar, berwarna hijau muda, dan agak tebal (Gambar 4.1D). Koloni isolat T. viride pada media PDA berbentuk kapas tebal, bagian tengah berukuran tipis, dan berwarna putih (Gambar 4.1E), sedangkan koloninya pada media MEA membentuk titik-titik berwarna hijau muda, dan tebal (Gambar 4.1F).
Isolat T. pseudokoningii dan T. harzianum pada media PDA di hari pertama memiliki pertumbuhan diameter yang sama yaitu 13.67 mm, namun untuk isolat T. viride pertumbuhan diameter koloninya lebih besar dari kedua isolat, yaitu 29.50 mm. Pada hari ke-2 terjadi penambahan pertumbuhan diameter koloni pada ketiga isolat yaitu T. pseudokoningii sebesar 9.30 mm, T. harzianum
sebesar 35.50 mm dan T. viride sebesar 40.70 mm. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan isolat T. viride pada hari ke-2 lebih cepat dibandingkan kedua isolat lainnya. Memasuki hari ke-3 terjadi penurunan laju pertumbuhan isolat T. harzianum menjadi 23.90 mm dan T. viride menjadi 18.80 mm, sedangkan T. pseudokoningii meningkat dengan nilai 18.50 mm. Ketiga jenis isolat memenuhi cawan Petri pada hari ke-4 (Gambar 4.2A).
Gambar 4.1 Pertumbuhan diameter koloni isolat Trichoderma spp. pada cawan petri. A) Isolat T. harzianum pada media PDA, B) T. harzianum
pada media MEA, C) isolat T. pseudokoningii pada media PDA, D) isolat T. pseudokoningii pada media MEA, E) isolat T. viride pada media PDA, dan F) isolat T. viride pada media MEA.
Pertumbuhan diameter koloni isolat Trichoderma spp. pada media MEA untuk hari pertama diperoleh hasil pada isolat T. viride sebesar 16.20 mm, T. harzianum sebesar 28 mm dan T. pseudokoningii sebesar 39.2 mm. Pada hari ke-2 terjadi penambahan laju pertumbuhan diameter koloni pada ketiga isolat T. harzianum (29.70 mm), T. viride (34.20 mm) dan T. pseudokoningii (50.80) mm. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan isolat T. pseudokoningii pada hari ke-2 lebih cepat dibanding kedua isolat lainnya. Memasuki hari ke-3 dan ke-4
A C B E D F
0 20 40 60 80 100 1 2 3 4 Diam eter k olo ni is olat (m m )
Waktu pengamatan (hari)
A 0 20 40 60 80 100 1 2 3 4 Diam eter k olo ni is olat (m m )
Waktu pengamatan (hari)
B
terjadi penurunan laju pertumbuhan isolat T. pseudokoningii sampai titik nol yang menghasilkan ukuran diameter yang tetap yaitu 90 mm. Isolat T. harzianum juga mengalami penurunan pada hari ke-3 dan ke-4, sedangkan T. viride mengalami penurunan pada hari ke-4 (Gambar 4.2B).
Gambar 4.2 Rata-rata pertumbuhan diameter koloni isolat Trichoderma spp. A) pertumbuhan diameter koloni isolat Trichoderma spp. pada media PDA, B) pertumbuhan diameter koloni isolat Trichoderma spp. pada media MEA. ‒■‒ T. harzianum, ‒♦‒ T. pseudokoningii, ‒▲‒
T. viride.
Hasil analisis ragam pertumbuhan diameter koloni isolat Trichoderma spp. pada media PDA diperoleh pertumbuhan diameter koloni isolat tertinggi pada T. viride tidak berbeda nyata dengan pertumbuhan diameter koloni isolat pada T. pseudokoningii dan T. harzianum. Sedang pertumbuhan diameter koloni isolat
Trichoderma spp. pada media MEA diperoleh pertumbuhan diameter koloni isolat tertinggi pada T. pseudokoningii yang berbeda nyata dengan pertumbuhan diameter koloni isolat T. viride dan T. harzianum (Tabel 1).
Tabel 1 Pertumbuhan diameter koloni Trichoderma spp. pada media PDA dan MEA.
Media Isolat
T. harzianum T. viride T. pseudokoningii
PDA 25.44b 27.08b 25.45b MEA 27.17b 28.33b 50.83a
aAngka-angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji berganda Duncan).
Penghambatan Trichoderma spp. terhadap Pertumbuhan Ganoderma sp.
Hasil pengamatan penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan diameter koloni isolat Ganoderma sp. menunjukkan bahwa ketiga jenis
Trichoderma dapat menghambat pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp.. Penghambatan ketiga jenis Trichoderma yang digunakan ditandai dengan adanya zona penghambatan (Gambar 5.1). Hal tersebut didukung oleh Achmad (1997)
yang menyatakan bahwa Trichoderma sp. bersifat sebagai antagonis secara in vitro dengan terbentuknya zona penghambatan yang merupakan indikasi awal terlibatnya antibiotik dan antagonisme baik pada media PDA maupun MEA.
Gambar 5.1 Penghambatan pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. oleh
Trichoderma spp. pada media PDA dan MEA. G = Ganoderma sp. Th = T. harzianum, Tv = T. viride, Tp = T. pseudokoningii
Persentase penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. pada media PDA diperoleh rata-rata penghambatan tertinggi pada perlakuan T. harzianum (74.19%), T pseudokoningii
(59.37%), dan T. viride (41.36%) (Gambar 5.2). Persentase penghambatan pada media MEA secara berturut-turut diperoleh rata-rata penghambatan tertinggi yaitu T. harzianum (73.00%), T. pseudokoningii (60.22%), dan T. viride
(51.58%). MEA PDA MEA PDA MEA G G G G Th Th Tv Tp Tp G PDA G Tv
0 10 20 30 40 50 60 70 80 Th Tp Tv P er sent a se peng ha m ba ta n (%) Jenis Trichoderma
Gambar 5.2 Persentase penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp.pada media PDA dan MEA. Th = T. harzianum, Tp = T. pseudokoningii, Tv = T. viride. (■) Media PDA,
( ) Media MEA.
Pengendalian Ganoderma sp. pada Balok Kayu Sengon di Rumah Kaca
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan koloni Ganoderma sp. dan T. harzianum pada substrat balok kayu secara visual terlihat jelas (Gambar 6.1). Pada perlakuan tanah tidak steril tanpa T. harzianum terlihat koloni
Ganoderma sp. berwarna putih terang (Gambar 6.1A). Pada perlakuan tanah tidak steril + T. harzianum telihat sporulasi T. harzianum pada permukaan balok kayu sengon yang berwarna hijau, bila diperhatikan terlihat banyak konidia yang berwarna hijau, dan terlihat koloni Ganoderma sp. berwarna putih dengan luasan yang lebih kecil dibanding dengan perlakuan yang lain (Gambar 6.1B). Perlakuan tanah steril tanpa T. harzianum terlihat koloni Ganoderma sp. yang hampir memenuhi permukaan balok kayu sengon dengan warna putih kapas (Gambar 6.1C). Pada perlakuan tanah steril + T. harzianum terlihat sporulasi T. harzianum
yang berwarna hijau dan koloni Ganoderma sp. pada permukaan balok kayu sengon dengan warna putih (Gambar 6.1D).
Rata-rata nilai pertumbuhan panjang koloni Ganoderma sp. pada balok kayu dapat dilihat pada Gambar 6.2. Penurunan pertumbuhan panjang koloni
Ganoderma sp. saat satu minggu setelah balok kayu dibenam (Xt1) diperoleh nilai penurunan panjang koloni tertinggi sebesar 1.12 cm pada perlakuan tanah steril +
T. harzianum, sedang pada perlakuan tanah steril tanpa T. harzianum terjadi pertambahan panjang koloni sebesar 0.67 cm. Demikian halnya pada saat dua minggu setelah balok kayu di benam (Xt2) pada perlakuan tanah steril + T. harzianum terjadi penurunan panjang koloni sebesar 2.41 cm, sedang pada perlakuan tanah steril tanpa T. harzianum justru terjadi pertambahan panjang koloni Ganoderma sp. sebesar 1.22 cm. Weller (1988) menyatakan bahwa pengendalian hayati sering dipengaruhi oleh faktor biotik maupun abiotik. Hal tersebut diduga diakibatkan oleh kemampuan pengaruh sterilisasi tanah yang mengakibatkan T. harzianum tidak berkompetisi dengan mikroorganisme tanah lain sehingga mampu menghambat pertumbuhan koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu.
0 1 2 3 4 5 6
A0B0 A0B1 A1B0 A1B1
Rat a-ra ta p er tum bu ha n ko lo ni G a n o d erma sp . (c m ) Perlakuan
Gambar 6.1 Pertumbuhan koloni Ganoderma sp. dan sporulasi T. harzianum
pada balok kayu sengon di rumah kaca. A) perlakuan tanah tidak steril tanpa T. harzianum (A0B0), B) perlakuan tanah tidak steril +
T. harzianum (A0B1), C) perlakuan tanah steril tanpa T. harzianum
(A1B0), dan D) perlakuan tanah steril + T. harzianum (A1B1).
Gambar 2.3 Pertumbuhan koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu di rumah kaca. A0B0 = tanah tidak steril tanpa T. harzianum, A0B1= tanah tidak steril dengan T. harzianum, A1B0 = tanah steril tanpa T. harzianum, dan A1B1 = tanah steril dengan T. harzianum. ( ) Xt0,
( ) Xt1, ( ) Xt2. Xt0 = panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu saat dibenam, Xt1 = panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu satu minggu setelah pembenaman, dan Xt2 = panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu dua minggu setelah pembenaman.
B
PEMBAHASAN
Secara visual miselia Ganoderma sp. pada media PDA dan MEA terlihat sama, baik dari segi warna yaitu putih kapas dan dari segi tekstur adalah halus. Miselia Ganoderma sp. pada media PDA lebih tebal dan merata dibandingkan dengan miselia pada media MEA. Pertumbuhan diameter koloni isolat
Ganoderma sp. pada media PDA lebih cepat dibanding dengan pertumbuhan diameter koloni isolat pada media MEA. Perbedaan tersebut diduga terjadi karena kedua jenis media memiliki kandungan nutrisi yang berbeda. Chang dan Miles (1989), menyatakan bahwa cendawan untuk dapat tumbuh membutuhkan beberapa elemen nutrisi dalam jumlah yang spesifik dalam media sesuai dengan spesies dari cendawan tersebut. Media yang banyak digunakan di laboratorium terbuat dari ekstrak bahan alami yang mengandung karbohidrat dan hara lain. Bahan alami yang banyak digunakan untuk menumbuhkan cendawan secara in-vitro adalah ekstrak kentang, tepung jagung, dan malt ekstrak atau kecambah gandum (Agrios 1997).
Media PDA memiliki kandungan nutrisi karbohidrat, air, dan protein yang berasal dari ekstrak kentang, glukosa dan agar. Menurut Achmad (1997) bahwa PDA merupakan media kaya dengan gula sederhana sebagai sumber karbon. Dari setiap 100 g dalam bentuk utuh mengandung protein 1.6 g, serat 0.6 g, fosfor 40 mg, vitamin C 17 mg, vitamin B2 0.01 mg, magnesium 30 mg, kalium 2.47 mg, karbohidrat 22.6 g, lemak 0.1 g, kalsium 10 mg, zat besi 0.1 mg, vitamin B1 0.1 mg, niacin 1.2 mg, dan sodium 11 mg (Al-Weshahy dan Rao 2012). Bagaimanapun juga kandungan beberapa unsur tersebut tersedia di dalam ekstrak kentang sudah barang tentu lebih rendah. Media MEA mengandung nitrogen, karbohidrat, dan sodium klorida. Disamping malt ekstrak juga vitamin yang berbeda jumlahnya dengan ekstrak kentang, baik dalam jenis maupun jumlahnya. Sumber karbon pada PDA berasal dari gula sederhana. Karbohidrat diperlukan untuk pertumbuhan koloni cendawan, pembentukan struktur dan keperluan energi bagi sel cendawan. Dalam ekstrak kentang terkandung senyawa-senyawa asam amino, asam organik, enzim, fenol, solanin dan unsur (Smith 1968).
Nitrogen digunakan oleh cendawan dalam sistesis protein, purine, pirimidin dan komponen kitin pada dinding sel cendawan (Chang dan Miles 1989). Nitrogen dibutuhkan oleh semua organisme untuk mensintesa asam amino dan membentuk protein yang dibutuhkan untuk membentuk protoplasma. Tanpa protein, pertumbuhan tidak dapat terjadi. Cendawan dapat menggunakan nitrogen anorganik untuk pembentukan nitrat, nitrit, ammonia atau nitrogen organik untuk pembentukan asam amino. Tidak semua cendawan menggunakan sumber nitrogen dengan jenis yang sama dan setiap cendawan membutuhkan nitrogen dalam bentuk yang berbeda-beda (Moore 1982).
Seperti telah disebutkan di atas bahwa ekstrak malt dan ekstrak kentang juga mengandung mineral dan vitamin. Mineral berfungsi sebagai aktivator enzim dan vitamin berfungsi sebagai katalisator di dalam sel yaitu sebagai koenzim atau merupakan bagian yang menyusun koenzim (Chang dan Miles 1989; Hadi 1999). Moore (1972) menjelaskan akan pentingnya unsur karbon bagi cendawan karena cendawan membutuhkan unsur karbon dalam jumlah yang besar daripada unsur-unsur esensial yang lain dan karbon merupakan nutrisi yang pokok dan terpenting pada cendawan.
Pertumbuhan serta perkembangan cendawan akan sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Menurut Dhingra dan Sinclair (1985), faktor tersebut di antaranya ialah suhu, cahaya, udara, pH serta nutrisi. Apabila kandungan nutrisi kurang dan kondisi ruang tumbuh sempit maka pertumbuhan Trichoderma spp. akan melambat dan tidak mampu untuk membentuk konodium. Danielson dan Davey (1973), menyatakan bahwa konidia Trichoderma spp. memerlukan nutrisi dari luar agar berkecambah.
Uji penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan koloni isolat
Ganoderma sp. menunjukkan bahwa ketiga jenis Trichoderma spp. yang di uji dapat menghambat pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp.. Penghambatan ketiga jenis Trichoderma yang digunakan terlihat dengan adanya zona penghambatan (Gambar 5.1). Trichoderma sp. bersifat sebagai antagonis secara
in vitro dengan terbentuknya zona penghambatan yang merupakan indikasi awal terlibatnya antibiotik dan antagonisme baik pada media PDA maupun MEA (Achmad 1997). Hasil penelitian yang sama juga dilaporkan oleh Abadi (1987) dan Dharmaputra (1989) yang menyatakan bahwa Trichoderma spp. dapat menghambat pertumbuhan Ganoderma boninense.
Pertumbuhan koloni Trichoderma spp. pada media PDA dan MEA lebih cepat dari pada pertumbuhan koloni Ganoderma sp. sehingga Trichoderma spp. mempunyai kemampuan kompetisi lebih tinggi. Dennis dan Webster (1971) menyatakan bahwa Trichoderma sp. mempunyai daya antagonis yang tinggi dan dapat mengeluarkan racun (mikotoksin) yaitu senyawa yang dapat menghambat bahkan dapat mematikan cendawan lain. Penghambatan pada perlakuan T. harzianum lebih kuat dibanding dengan T. viride, dan T. pseudokoningii. Hal ini didukung oleh Achmad et al. (2010) yang mengemukakan bahwa T.harzianum
lebih kuat menghambat pertumbuhan patogen lodoh secara in vitro pada patogen lodoh Pinus merkusii, mengakibatkan terbentuknya zona hambatan yang lebih besar dan menghasilkan kitinase yang lebih efektif mendegradasi kitin dibanding
T. pseudokoningii. Terbentuknya zona penghambatan antagonisme pada media padat menunjukkan bahwa cendawan antagonis mendifusikan metabolit yang dapat menghambat pertumbuhan cendawan patogen (Achmad 1997). Lebih lanjut Baker dan Scher (1987) menyatakan bahwa pengujian antibiosis melalui pembentukan zona hambatan pada media agar, dapat disebabkan oleh mikroba yang menghasilkan antibiotik yang larut atau tidak larut.
Mekanisme dalam antagonisme antar jasad renik, yaitu antibiosis, kompetisi, dan mikoparasitisme (Baker dan Cook 1974). Terbentuknya zona penghambatan pada media padat merupakan indikasi bekerjanya mekanisme antibiosis. Bekerjanya mekanisme antibiosis tersebut dikuatkan oleh tertekannya pertumbuhan cendawan patogen pada media padat. Terbentuknya penghambatan terhadap pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. diduga karena adanya enzim dan senyawa metabolit yang diproduksi oleh Trichoderma spp. yang mungkin mampu merusak dinding sel Ganoderma sp.. Kerusakan pada dinding sel mengakibatkan rusaknya susunan dan perubahan mekanisme permeabilitas dari mikrosom, lisosom dan dinding sel. Kerusakan pada membran ini memungkinkan ion anorganik yang penting, nukleotida, koenzim dan asam amino berosmosis ke luar sel. Selain itu, kerusakan membran dapat mencegah masuknya bahan-bahan penting ke dalam sel karena membran sitoplasma juga mengendalikan pengangkutan aktif dalam sel (Volk dan Wheeler 1993).
Mekanisme antibiosis dapat melibatkan metabolit beracun (toksin) atau enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh cendawan antagonis. Trichorderma sp. menghasilkan toksin trikhor dermin yang merupakan suatu senyawa sesquiterpen, dermadin yaitu asam berbasa tunggal yang aktif terhadap cendawan dengan kisaran yang luas dan meliputi bakteri gram positif dan gram negatif, serta dua senyawa peptida yang bersifat antifungal sekaligus anti bakterial. Tertekannya pertumbuhan cendawan patogen menunjukkan mekanisme kompetisi dalam antagonisme, dalam hal ini cendawan antagonis lebih kompetitif dalam memanfaatkan ruang tumbuh dan nutrisi. Selama Trichoderma spp. tumbuh aktif menghasilkan sejumlah besar enzim ekstra selular ß (1.3) glukonase, dan kitinase, yang dapat melarutkan dinding sel patogen (Lewis dan Papavizas 1984).
Hasil pengamatan pengendalian Ganoderma sp. pada balok kayu sengon di rumah kaca menunjukkan adanya penekanan pertumbuhan koloni Ganoderma
sp. sebagai akibat perlakuan T. harzianum. Kemampuan T. harzianum dalam menekan pertumbuhan Ganoderma sp. diduga merupakan bentuk dari kemampuannya sebagai kompetitor yang unggul dalam mendapatkan ruang dan nutrisi atau merupakan bentuk dari kemampuannya sebagai antagonis. Hal ini sesuai dengan pendapat Wells (1988) yang menyatakan bahwa T. harzianum dapat tumbuh dengan cepat pada berbagai substrat dan memiliki kemampuan kompetisi yang baik terhadap makanan dan ruang. Pada permukaan balok kayu sengon dengan perlakuan Ganoderma sp. terjadi perubahan warna dari putih menjadi putih kecoklatan. Ini terjadi karena adanya kemampuan Ganoderma sp. menghasilkan enzim hidrolitik terutama selulase sebagai pelapuk (Domsch et al. 1980).
Kemampuan T. harzianum yang secara konsisten melakukan kompetisi tidak terlepas dari kemampuannya dalam merubah strategi berdasarkan kondisi lingkungannya. Dalam kondisi lingkungan yang sesuai T. harzianum mampu menghasilkan konidia yang melimpah dan menyebar dengan cepat sehingga memiliki daya kompetitif yang tinggi. Karena itu T. harzianum diklasifikasikan sebagai ruderal dan oportunis (Williams et al 2003).
Mekanisme interaksi antara T. harzianum dan Ganoderma sp. pada substrat balok kayu terjadi melalui kompetisi terhadap sumber makanan. Kompetisi biasanya terjadi terhadap nutrisi dan ruang atau faktor-faktor pertumbuhan penting lainnya (Achmad. 1997). Selain mekanisme kompetisi, antagonisme yang terjadi pada substrat balok kayu, kemungkinan terjadi melalui mikoparasitisme sekrotrofik (Papavizas 1985). Hasil pengamatan pada substrat balok kayu yang diperlakukan dengan T. harzianum menunjukkan terjadinya sporulasi yang menutupi semua permukaan substrat. Untuk menghancurkan inokulum, maka antagonis yang efektif memarasit patogen, dengan kemampuan saprofitiknya kuat dan beradaptasi dengan baik pada lingkungan fisik tanah tempat antagonis tersebut diinfestasikan (Achmad 1997).
Pertumbuhan Ganoderma sp. pada balok kayu sengon pada perlakuan tanah tidak steril + T. harzianum lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan tanah tidak steril tanpa T. harzianum. Pada balok kayu nampak adanya perubahan warna dari putih menjadi coklat. Hal tersebut diduga adanya pengaruh perlakuan
T. hazianum dan mikroorganisme tanah pada tanah tidak steril yang bekerja sebagai agens antagonis yang mampu menghambat pertumbuhan koloni
perlakuan tanah steril tanpa T. harzianum yang ditandai dengan perubahan warna dari putih menjadi coklat kehitaman. Hal ini diduga pada tanah steril tanpa T. harzianum tidak terjadi kompetisi terhadap nutrisi yang dibutuhkan Ganoderma
sp. dalam pertumbuhannya sehingga Ganoderma sp. mampu menghasilkan enzim hidrolitik terutama selulase sebagai pelapuk (Domsch et al. 1980). Selanjutnya Abadi (1987) menyatakan bahwa G. boninense dapat tumbuh pada tanah steril dan tidak pada tanah tidak steril dalam cawan petri. Kerry dan Bourne (1996) menegaskan bahwa tanah tidak steril berisi mikroba lain yang telah berada sebelumnya dalam hal ini dapat berperan sebagai kompetitor. Pada tanah tidak steril diperkirakan menghadapai kompetisi nutrisi atau mikrohabitat dengan mikroba lain, mengalami predasi oleh protozoa (Hossain dan Alexander 1984) atau lisis karena bakteriofage (Keel et al. 2002; Janowitz 2004) dapat terjadi sehingga mempengaruhi kemampuan antagonis dalam memberikan penekanan terhadap patogen.
Trichoderma spp. adalah salah satu jenis cendawan yang digunakan sebagai pengendali hayati karena terdapat di mana-mana, mudah diisolasi dan dibiakkan, tumbuh dengan cepat pada beberapa macam substrat, mempengaruhi patogen tanaman, jarang bersifat patogenik pada tanaman tingkat tinggi, bereaksi sebagai mikoparasit, bersaing dengan baik dalam hal makanan, tempat dan menghasilkan 24 antibiotik (Wells 1988). Trichoderma sp. dapat digunakan sebagai agen biokontrol melawan beberapa cendawan petogenik tular tanah (Anggraeni 2004). Mekanisme pengendalian T. harzianum bersifat khusus terhadap sasaran, sehingga tidak menimbulkan musnahnya organisme yang bukan sasaran. Darmono (1994) mengemukakan bahwa penggunaan cendawan antagonis sebagai pengendali patogen merupakan salah satu alternatif yang dianggap aman dan dapat memberikan hasil yang cukup memuaskan. Pengendalian hayati terhadap patogen dengan menggunakan mikroorganisme antagonis dalam tanah memiliki harapan yang baik untuk dikembangkan karena pengaruh negatif terhadap lingkungan tidak ada. T. harzianum mempunyai kemampuan untuk
menghasilkan enzim hidrolitik β-1-3 glukanase, kitinase dan selulase. Enzim-enzim inilah yang secara aktif merusak sel-sel cendawan lain yang sebagian besar tersusun dari 1,3 glukan (linamirin) dan kitin sehingga dengan mudah T. harzianum dapat melakukan penetrasi ke dalam hifa cendawan inangnya (Elad et al. 1983). Degradasi kitin T. harzianum dilakukan secara bertahap, dan hal tersebut menunjukkan dihasilkannya kitinase secara terus-menerus (Achmad 1997).