• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persentase Mortalitas Larva (%)

Dalam mengamati perilaku predator R. fuscipes untuk mengetahui apakah predator ini efektif dalam mengendalikan ulat pemakan daun kelapa sawit maka perlu diketahui daya mangsanya. Dari hasil sidik ragam menunjukkan bahwa setiap perlakuan berpengaruh nyata terhadap persentase mortalitas larva. Rataan persentase mortalitas larva dapat dilihat pada tabel 2 berikut.

Tabel 2. Rataan presentase mortalitas larva uji (%)

Perlakuan Rataan (%)

P0L1 (Imago R. fuscipes jantan & betina + S. litura instar 2) 53,33 c P0L2 (Imago R. fuscipes jantan & betina + S. litura instar 4) 51,11 d P0L3 (Imago R. fuscipes jantan & betina + S. nitens instar 2) 60,00 b P0L4 (Imago R. fuscipes jantan &betina + S. nitens instar 4) 26,67 f P1L1 (Nimfa instar 4 + S. litura instar 2) 20,00 hi Keterangan: Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang berbeda menunjukkan

berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan.

Dari tabel 2. Menunjukkan hasil pengamatan selama 12 jam yang dimulai pukul 06.00-18.00 WIB. Pengujian terhadap stadia dan jenis kelamin predator berpengaruh nyata terhadap persentase mortalitas larva. Semua pengujian menunjukkan pengaruh yang nyata antar perlakuan dengan persentase tertinggi terdapat pada imago betina + S. litura instar 4 (P3L2) yaitu 64,44 diikuti imago R.

fuscipes jantan & betina + S. nitens instar 2 (P0L3) yaitu 60,00 serta terendah

pada perlakuan nimfa instar 4 + S. nitens instar 4 (P1L4) dan imago jantan + S.

nitens instar 4 (P2L4) menunjukkan nilai yang sama yaitu 4,44%.

Imago R. fuscipes memiliki kemampuan memangsa lebih tinggi dibandingkan stadia nimfa instar 4, sementara investasi terhadap 2 ekor imago menunjukkan mortalitas rata-rata yang lebih tinggi dari semua perlakuan kecuali perlakuan yang diinvestasikan imago betina saja, hal ini diduga karena ukuran tubuh imago betina cenderung lebih besar dibanding jantan sehingga kompetisi antar spesies akan mudah dimenangkan, selain itu betina membutuhkan nutrisi untuk proses menghasilkan telur (keturunan) hal ini juga sesuai dengan laporan Heong et al, (1990) menyatakan bahwa kepik betina memiliki tingkat pemangsaan lebih tinggi dibandingkan dengan kepik jantan. Selanjutnya imago jantan diketahui tidak terlalu banyak mengonsumsi larva pada kurun waktu 12 jam investasi yaitu dengan nilai di bawah 30%. Sama halnya dengan perlakuan nimfa instar 4 persentase mortalitas larva menunjukkan nilai yang rendah yaitu 20%-4,44%.

Berdasarkan pengamatan pada perlakuan imago jantan+betina (P0) diketahui bahwa imago betina lebih aktif memangsa, hal ini juga sebanding pada perlakuan yang diinvestasikan imago betina saja (P3). Jika dilihat berdasarkan mangsa yang diinvestasikan diketahui bahwa predator memiliki tingkat preferensi yang tinggi terhadap S. litura hal ini terjadi karena predator membutuhkan gizi yang banyak setelah sebelumnya dilakukan pelaparan terhadap predator ini.

(Hoddle et al, 2001) melaporkan bahwa dalam beberapa kasus predator melakukan pemangsaan spesifik untuk memperbaiki defisiensi pakan yang

dialami. Untuk lebih jelasnya daya predasi R. fussipes terhadap tingkat mortalitas larva uji disajikan pada gambar berikut:

Gambar 7. Grafik rataan persentase mortalitas larva (%)

L1 (S. litura instar 2), L2 (S. litura instar 4), L3 (S. nitens instar 2), L4 (S.

nitens instar 4), P0 (imago jantan+betina), P1 (nimfa instar 4), P2 (imago jantan), P3 (imago betina).

Berdasarkan gambar 7 diketahui bahwa persentase mortalitas larva tertingggi menunjukkan bahwa larva pada setiap perlakuan L1 (S. litura instar 2) tidak berbeda nyata menurut uji duncan 5% terhadap perlakuan L3 (S. nitens instar 2) yang menunjukkan pemangsaan lebih tinggi serta berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan L4 (S. nitens instar 2), dan L4 (S. nitens instar 4).

Hal ini terjadi karena ukuran S. litura yang lebih kecil dibandingkan dengan S. nitens, serta karena adanya perlawanan dari S. nitens akibat adanya alat sengat yang berada pada bagian caput sedangkan S. litura tidak ada alat sengat khusus yang terdapat pada morfologi tubuhnya. Marwan (2008) melaporkan bahwa semakin besar ukuran tubuh mangsa semakin menurun tingkat pemangsaan predator, Chiu (1979) juga melaporkan bahwa kepik predator lebih menyukai nimfa dengan ukuran kecil yaitu pada fase instar awal dari pada instar akhir atau

47.78

dewasa. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara kemampuan berdasarkan instart predator dan jenis kelamin akan disajikan pada gabar di bawah ini:

Gambar 8. Grafik persentase mortalitas larva uji dilihat berdasarkan stadia predator (%). L1 (S. litura instar 2), L2 (S. litura instar 4), L3 (S.

nitens instar 2), L4 (S. nitens instar 4), P0 (imago jantan+betina), P1 (nimfa instar 4), P2 (imago jantan), P3 (imago betina).

Berdasarkan gambar 8 dapat diketahui bahwa imago jantan+betina (P0) yang diaplikasikan bersamaan memiliki tingkat predasi yang lebih tinggi terhadap instar larva uji, selanjutnya diikuti imango betina (P3) imago imago jantan (P2) dan nimfa instar 4 (P1). Hal tersebut diduga karena imago jantan akan lebih mudah lapar karena sebelumnya terlebih dahulu dilaparkan selama 48 jam yang untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya serta lebih mudah dalam menaklukkan mangsanya, hal ini sesuai dengan laporan Habazar & Yaherwandi (2006) yang menyatakan predator secara umum cenderung berukuran lebih besar dan lebih kuat dibandingkan mangsanya untuk dapat menaklukkan mangsanya, selain itu Hoddle et al, (2001) juga menyatakan bahwa predator memiliki preferensi yang tinggi terhadap mangsa berdasarkan pengalaman memangsanya serta memilih mangsa yang memiliki gizi lebih tinggi.

0

Persentase Mortalitas Larva Uji Dilihat Berdasarkan Stadia Predator (%)

Lama Predator Mencari Mangsa (menit)

Dari hasil sidik ragam diketahui bahwa stadia predator yang diaplikasikan tidak berpengaruh nyata dalam menemukan mangsa pertamanya. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini :

Tabel 3. Rataan lama predator mencari mangsa (menit)

Perlakuan Rataan (menit)

P0L1 (Imago R. fuscipes jantan & betina + S. litura instar 2) 9,72 P0L2 (Imago R. fuscipes jantan & betina + S. litura instar 4) 34,26 P0L3 (Imago R. fuscipes jantan & betina + S. nitens instar 2) 3,70 P0L4 (Imago R. fuscipes jantan &betina + S. nitens instar 4) 19,77 P1L1 (Nimfa instar 4 + S. litura instar 2) 19,44 P1L2 (Nimfa instar 4 + S. litura instar 4) 46,16 P1L3 (Nimfa instar 4 + S. nitens instar 2) 33,75 P1L4 (Nimfa instar 4 + S. nitens instar 4) 51,25

P2L1 (Imago jantan + S. litura instar 2) 12,18

P2L2 (Imago jantan + S. litura instar 4) 48,37

P2L3 (Imago jantan + S. nitens instar 2) 15,93

P2L4 (Imago jantan + S. nitens instar 4) 44,58

P3L1 (Imago betina + S. litura instar 2) 37,50

P3L2 (Imago betina + S. litura instar 4) 8,56

P3L3 (Imago betina + S. nitens instar 2) 14,40

P3L4 (Imago betina + S. nitens instar 4) 43,84

Rataan 27,71

Keterangan: Berdasarkan uji Duncan pada taraf 5% menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa predator membutuhkan waktu rata-rata 27,71 menit dalam menemukan mangsanya sejak pertama kali diintroduksikan. Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa perlakuan imago R. fuscipes jantan & betina + S. nitens instar 2 (P0L3) membutuhkan waktu 3,70 menit merupakan perlakuan tercepat, diikuti dengan imago betina + S. litura instar 4 (P3L2) dengan waktu 8,56 menit serta imago R. fuscipes jantan & betina + S.

litura instar 2 (P0L1) 9,72. Jika dilihat berdasarkan faktor stadia predator

perlakuan imago R. fuscipes jantan & betina terhadap larva instar 2 lebih cepat menemukan mangsa pertamanya.

Berdasarkan perlakuan yang paling lama dalam menemukan mangsanya ditunjukkan pada perlakuan nimfa instar 4 + S. nitens instar 4 (P1L4) selanjutnya imago jantan + S. litura instar 4 (P2L2) yaitu 48,37, dan nimfa instar 4 + S. litura instar 4 (P1L2). Jika dilihat dari faktor stadia predator nimfa instar 4 cenderung lebih lama menemukan mangsanya hal ini karena ukuran mangsanya yang juga lebih besar dari tubuh predator itu sendiri.

Gambar 9. Grafik dwikasta rataan lama predator mencari mangsa (menit) L1 (S. litura instar 2), L2 (S. litura instar 4), L3 (S. nitens instar 2), L4 (S. nitens instar 4), P0 (imago jantan+betina), P1 (nimfa instar 4), P2 (imago jantan), P3

(imago betina).

Berdasarkan grafik diatas diketahui bahwa S. litura instar 4 (L2) lebih cepat ditemukan untuk dimangsa, hal ini dikarenakan S. litura asal daun kelapa sawit memiliki ukuran yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan S. litura asal tanaman hortikultura. Jika dibandingkan ukuran S. litura instar 4 asal kelapa sawit maka akan sama besar dari rata-rata tubuh imago R. fuscipes hal inilah diduga

Grafik Dwikasta Rataan Lama Predator Mencari Mangsa (menit)

karena cairan (pakan) yang dihasilkan akan lebih banyak untuk kebutuhan nutrisinya, sedangkan S. litura instar 2 lebih lama ditemukan hal ini karena pada pengaplikasian larva instar 1 dapat bersembunyi di balik daun kelapa sawit sehingga predator akan sulit menangkapnya.

Pada perlakuan larva S. nitens diketahui bahwa instar 2 lebih mudah ditemukan untuk dimangsa oleh R. fuscipes dengan nilai rata-rata 30,27 menit dan diikuti instar 4 yaitu 25,08 menit. Hal ini berbeda dengan S. litura pada S. nitens instar 2 pada saat aplikasi pergerakannya lebih mobile dan tidak bersembunyi di balik daun sehingga predator akan mudah menemukannya dan menaklukkannya.

Fitriani (2011) menyebutkan bahwa perilaku predator dalam memangsa ditandai dengan pengenalan mangsanya terlebih dahulu dengan cara mengitari calon mangsa tersebut lalu kemudian melakukan proses pemangsaan.

Lama Penanganan Mangsa (menit)

Berdasarkan hasil sidik ragam diketahui bahwa stadia larva yang diaplikasikan berpengaruh nyata terhadap lama predator dalam menangani larva.

Hal ini dapat dilihat dalam tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Rataan lama penanganan mangsa larva uji setiap perlakuan (menit)

Perlakuan L1 L2 L3 L4 Rataan berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan.

Dari tabel 4 menunjukkan bahwa R. fuscipes memangsa larva uji tercepat terdapat pada perlakuan S. nitens instar 4 (L4) yaitu 8,28 menit dan berbeda nyata terdapat S. litura instar 2 yaitu 10,28 menit dan S. nitens instar 2 yaitu 10,59

menit, selanjutnya perlakuan terlama terdapat pada perlakuan S. litura instar 4 (L2) yang berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya. Jika dilihat dari ukuran mangsanya R. fuscipes lebih cepat menangani mangsa S. nitens instar 4 hal ini terjadi karena pada saat melakukan pemangsaan R. fuscipes tidak habis mengisap cairan tubuh larva tersebut, kadangkala ia meninggalkannya untuk kemudian mencari mangsa baru atau mengulangi pengisapan secara berkala.

Berbeda dengan S. litura instar 4 (L2) pada perlakuan ini diketahui bahwa R. fuscipes akan menghabisi cairan tubuh larva sebelum kemudian akan mencari mangsa baru, hal ini sesuai dengan laporan Flinn et al, (1985) yang menyatakan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menangkap dan mengkonsumsi mangsa akan sebanding terhadap ukuran tubuh predator, apabila ukurannya semakin besar maka pemangsaan juga akan semakin lama. Setelah memakan maksa yang ukuran lebih besar, predator akan istirahat sampai kemudian merasa lapar untuk kemudian melakukan pemangsaan kembali. Hagen et al, (1989) melaporkan bahwa beberapa faktor yang dapat mempengaruhi interaksi pemangsa dengan mangsa diantaranya umur, tingkat kelaparan predator serta ukuran tubuh mangsa.

Jika dilihat berdasarkan stadia dan jenis kelamin predator tidak berbeda nyata. Perlakuan predator betina (L3) diketahui lebih cepat menangani mangsanya yaitu 9,32 menit tidak berbeda dengan imango jantan (L2) yaitu 9,70 serta nimfa instar 4 yaitu 10,06 dan imago jantan+betina (P0). Dari hasil tersebut diketahui bahwa imago betina akan lebih cepat dalam penanganan mangsanya, hal ini karena ukuran tubuh lebih besar dan kekuatan dari tungkai betina diketahui lebih kuat dibandingkan jantan dan nimfa instar 4. Wardani dan Candra (2016) melaporkan bahwa R. fuscipes membutuhkan waktu hanya 8 menit dalam

memangsa larva Crocodolomia pavonana serta lebih baik daripada Sychanus sp.

yaitu 23 menit. Jika dibandingkan dengan C. Vavonana maka kemampuan relatif R. fuscipes tergolong baik untuk digunakan sebagai agen pengendali hayati.

Bagian Tubuh Larva yang Ditusuk

Perilaku predator R. fuscipes dalam memangsa S. litura dan S. nitens dimulai dari tahapan pencarian, penemuan, penusukan bagian tubuh larva serta pengisapan cairan tubuh mangsa. R. fuscipes yang baru dilepaskan ke dalam kotak uji tidak langsung menuju mangsa melainkan akan bergeak berkeliling di sekitar area pelepasan dan waktu yang dibutuhkan mulai kepik dilepas hingga menemukan mangsa sangat beragam. Saat pencarian mangsa dilakukan, predator akan terbang mengelilingi area kotak pengujian secara acak, kepik beberapa kali melewatkan mangsa potensialnya untuk kemudian akhirnya melakukan proses pemangsaan. Wheeler (2001) melaporkan perilaku kepik Blepharidopterus provanchery diketahui bahwa kepik ini akan bergerak cepat dan mencari mangsanya secara acak kemudian berhenti di tempat yang sama beberapa kali.

Proses penanganan mangsa dimulai saat R. fuscipes mulai mendekati mangsa, dilakukan secara pelahan-lahan dan setelah mangsa berada dalam jarak jangkauan tungkainya predator ini akan mengusap-usap bagain antenanya.

Pengusapan bagian antena ini diduga sebagai respon komunikasi kimia antara predator dengan mangsa (Fellowes et al, 2005). Pada beberapa pengamatan saat predator ini mengusap bagian antenanya saat mendekati mangsa, mangsa tersebut hanya diam dan tidak menunjukkan reaksi perlawanan hal ini merupakan tanda untuk lanjut ke tahap penangkapan dan perlawanan untuk kemudian dilakukan penusukan stilet oleh predator pada bagian tubuh mangsa.

Untuk mengetahui perilaku pemangsaan R. fuscipes dalam melumpuhkan S.

litura dan S. nitens melalui penusukan atas bagian tubuh larva yang pertama kali ditusuk akan disajikan pada gambar berikut ini.

Gambar 10. Rataan kuantitatif setiap bagian tubuh larva yang ditusuk oleh predator pada setiap perlakuan. C (Caput), Ab (Abdomen), E (Ekor).

Pada saat proses pemangsaan terjadi, setelah tidak ada penolakan dari mangsa, R. fuscipes dengan cepat memasukkan stiletnya pada bagian tubuh mangsa. Berdasarkan gambar 10 diketahui bahwa bagian tubuh mangsa yang paling sering diitusuk adalah abdomen (Ab) dengan nilai rata-rata 4,13 kali, selanjutnya ekor (E) yaitu 4,00 kali dan caput (C) dengan nilai 3,88 kali. Hal ini diketahui karena pada saat pemangsaan pada bagian abdomen atau bagian tengah tubuh larva lebih mudah dilakukan perlawanan sehingga mangsa akan mudah dilumpuhkan, selain itu juga pada bagian ini terdapat cairan yang dibutuhkan R.

fuscipes sebagai pakan. Mawan (2008) juga melaporkan bahwa proses kepik pemangsaan kepik C. Lipidipennis terhadap N. lugens baik nimfa maupun imago biasanya menyerang abdomen terlebih dahulu. Dikarenakan N. lugens adalah

0.00

P0L1 P0L2 P0L3 P0L4 P1L1 P1L2 P1L3 P1L4 P2L1 P2L2 P2L3 P2L4 P3L1 P3L2 P3L3 P3L4

Rataan

Perlakuan

Grafik Bagian Tubuh Larva yang Ditusuk

C Ab E

nimfa maka pada bagian tersebutlah yang mengandung cairan lebih banyak sedangkan pada larva S. litura maupun S. nites hasil rataan menunkkan range nilai yang tidak begitu tinggi hal ini diduga pada semua bagian tubuh akan lebih mudah dihisap cairannya dan memudahkan pemangsaan.

Berdasarkan penelitian ini pada proses pengisapan cairan tubuh mangsa, R.

fuscipes dalam pemangsaannya kadang kala tidak langsung menghabiskan cairan tubuh mangsa tersebut, namun meninggalkannya untuk beberapa saat dan akan mengulangi penghisapan pada interval waktu yang tidak lama. Pada pemangsaan berulang ini bisanya terjadi pada S. nitens dan S. litura instar 4 (L4), selanjutnya jika cairan tubuh pada tubuh mangsa pada bagian abdomen telah habis yang dicirikan dengan mengempisnya bagian tersebut selanjutnya R. fuscipes akan menusukkan stiletnya pada bagian tubuh tubuh lainnya seperti ekor maupun caput.

Uji Kesukaan Predator

Pengujian akan kesukaan predator menggunakan model Y-maze bioassays data kesukaan predator terhadap larva uji yang dilakukan selama 3 hari ditampilkan pada tabel 5 berikut ini :

Tabel 5. Ratan kesukaan R. fuscipes terhadap S. lituda dan S. nitens.

Perlakuan Ulangan I. Hari ke- Ulangan II. Hari ke- Ulangan III. Hari ke-

1 2 3 1 2 3 1 2 3

Keterangan : P0 (R. fuscipes jantan & betina + S. litura), P1 (R. fuscipes instar 4), P2 (R. fuscipes jantan), P3 (R. fuscipes betina), L5 (Larva S. litura sebanyak 15

ekor dan S.nitens instar 2 sebanyak 10 ekor), L6 (Larva S. litura sebanyak 15 ekor dan S.nitens instar 4 sebanyak 10 ekor.

Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa R. fuscipes yang diinfestasikan pada hari 1 memiliki nilai mobilitas terendah yaitu hanya 2 ekor predator yang menemukan mangsanya. Pada hari ke 2 diketahui R. fuscipes yang menemukan mangsanya hanya 4 ekor. Pada hari ke 3 R. fuscipes diketahui lebih agresif dan lebih aktif yaitu menemukan 10 ekor mangsanya. Hal tersebut diduga karena pada hari ketiga R. fuscipes sudah mengenali lingkungannya dan tingkat kelaparan dari R. fuscipes akan semakin tinggi sehingga naluri pemangsaan predator ini akan mencari signal yang dikeluarkan oleh mangsanya.

Messina & hanks (1998), menyebutkan bahwa predator dalam proses menemukan mangsanya pada percobaan penggunaan mangsa uji dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk senyawa volatil atau taktil yang dikeluarkan oleh mangsa dan distribusi spasial mangsa. Semua faktor tersebut dapat mempengaruhi seberapa efektif seekor predator dapat digunakan dalam menekan populasi hama.

Untuk mengetahui ketertarikan R. fuscipes terhadap kedua mangsa uji akan ditampilkan pada gambar 11 di bawah ini :

Gambar 11. Grafik uji kesukaan predator terhadap S. litura dan S. nitens

S. litura S. nitens

0 5 10 15

Mangsa Uji

Kotak uji

Grafik Uji Kesukaan Predator

Jumlah

Berdasarkan gambar 11, R fuscipes lebih menyukai S. nitens dengan nilai 10 kotak uji dimasuki, sedangkan S. litura hanya 6 kotak uji saja. Jika dilihat dari kemampuan memangsa R. fuscipes terhadap kedua lava uji ini, maka R. fuscipes lebih banyak memangsa S. litura. Namun pada percobaan dengan menggunakan Y-maze bioassays diketahui bahwa R. fuscipes memiliki preferensi tinggi terhadap S. nitens. Hal ini diduga karena S. nitens memiliki senyawa kairmon yang lebih tinggi dari pada S. litura, sehingga predator akan menangkap signal dari S. nitens sebagai signal adanya mangsa.

Dalam proses penerimaan mangsa dari uji kesukaan predator ini Dixon dan Payne (1979) dalam Howse (1998) melaporkan bahwa komposisi kimia kutikula mangsa dapat memperngaruhi proses pencarian serta proses menggigit atau mengisap oleh predator dalam penerimaan mangsa. Selanjutnya Howse (1998) juga menjelaskan keputusan untuk melakukan pemangsaan oleh predator bisa didasarkan oleh tindakan agresifitas tanpa memikirkan potensi dan manfaat gizi dari mangsanya. Sehingga pun demikian walaupun sudah diketahui bahwa rataan persentase mortalitas R. fuscipes terhadap S. nites rendah, masih ada kemungkinan memanfaatkan R. fuscipes ini sebagai agen biokontrol ulat pemakan daun kelapa sawit.

Dokumen terkait