• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Proteksi

Antibodi maternal pada saat DOC umur 1 hari memperlihatkan hasil yang seragam. Antibodi maternal merupakan kekebalan yang diturunkan oleh induk kepada keturunannya sebagai bekal awal masa perkembangan. Hasil koefisien variasi yang hanya 13.3% menunjukkan keseragaman antibodi yang baik, karena koefisien variasi yang kecil (dibawah 35%) menunjukkan masing-masing individu seragam dan variasinya kecil. Selain itu menunjukkan bahwa kekebalan yang didapat dari induk juga baik dan seragam. Vaksinasi rutin pada induk dilakukan guna menjaga titer antibodi berada dalam tahap protektif (Liang et al. 2002). Kekebalan maternal 35.2 (GMT) yang didapatkan dalam penelitian ini, masih cukup baik dan protektif.

Mayoritas DOC komersial di Indonesia mempunyai titer antibodi dengan uji HI terhadap ND dari induk umumnya berkisar antara 20-25 (Rahaju dkk 1991). Titer antibodi induk yang bersirkulasi dalam darah DOC tersebut sangat bergantung kepada tiga faktor utama, yaitu status kekebalan induk (parent stock), kondisi umum DOC sendiri serta manajemen pemeliharaan. Pada kasus stress hebat, maka absorbsi antibodi induk dalam sisa kuning telur menjadi tidak optimal. Penanganan brooding yang kurang baik akan menyebabkan terjadi persistensi kuning telur akibat penyerapan yang kurang sempurna sehingga menyebabkan antibodi induk yang terdapat pada sisa kuning telur tidak akan terserap sempurna. Jika DOC tidak divaksinasi setelah menetas, maka titer antibodi dari induk akan berangsur-angsur menurun dan mendekati titer nol pada saat ayam berumur 14-21 hari tergantung status kekebalan ayam tersebut. Waktu paruh titer antibodi terhadap ND pada ayam kurang lebih 4.5 hari (Brown et al. 1999). Ini berarti setiap 4.5 hari titer antibodi yang ada akan turun menjadi separuhnya. Titer antibodi induk yang cukup selama minggu pertama akan memberikan proteksi terhadap kasus ND di lapangan.

Pada umur 18 hari hasil titer menunjukkan bahwa kelompok kontrol yang tidak divaksinasi (K1 dan K2) mempunyai kadar titer yang rendah, sedangkan pada kelompok perlakuan yang divaksinasi (P1 dan P2) titer meningkat. Antibodi yang terukur lebih merupakan reaksi dari vaksin aktif yang diberikan mampu menggertak kekebalan lokal di

glandulla harderian mata dan sekitar mulut dan hidung yang menyebabkan pembentukan antibodi dengan cepat (Rauw et al. 2010). Aplikasi vaksinasi menurut Loke (2005), sangat menentukan penurunan titer antibodi pasca boosting. Vaksinasi yang diberikan secara tetes

mata akan menggertak kekebalan lokal untuk memproduksi antibodi di saluran respirasi bagian atas dan organ pencernakan serta mencegah infeksi pada permukaan mukosa dan mereduksi replikasi virus pada bagian tersebut, sedangkan secara parenteral akan mengiduksi kekebalan humoral, produksi antibodi lokal dan sedikit atau tanpa adanya respon seluler (Rauw et al. 2010). Vaksin killed mulai bekerja setelah 18 hari ketika antibodi yang dihasilkan oleh vaksin aktif mulai menurun, kemudian diganti dengan pelepasan secara perlahan lahan vaksin in aktif akibat material vaksin yang terlarut dalam oil adjuvant.

Pada Tabel 3, teramati kadar titer antibodi antara kelompok perlakuan (P1 dan P2) sebelum dilakukan uji tantang yaitu pada pemeriksaaaan titer 22 hari, hasilnya tidak berbeda signifikan. Hal ini diakibatkan belum ada perbedaan perlakuan antar kelompok tersebut. Perbedaan terlihat pasca uji tantang umur 25 hari, dimana pada pemeriksaan titer antibodi antara kelompok P1 dan P2 hasilnya berbeda signifikan. Kelompok P1 pada umur 25 hari dilakukan uji tantang dan pada pemeriksaan titer antibodi umur 28 hari mempunyai kadar yang lebih tinggi dibanding P2.

Pemeriksaan 3 hari pasca uji tantang (umur 28 hari) titer kelompok P1yang ditantang dengan virus velogenik ND jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok P2. Hal ini karena inisiasi antigen virus tantang mampu memberikan respon yang dapat menggertak pembentukan antibodi yang lebih tinggi dan terbaca pada pemeriksaan uji HI (Roy &Venugopalan 1999). Menurut Shafqat (1996), titer tertinggi akan didapatkan 3-5 mingu pasca vaksinasi, dimana makrofag-makrofag yang ada akan bekerja menangkap antigen virus tantang.

Kadar titer humoral pada pemeriksaan HI test kelompok P1 mulai menurun bila dibandingkan dengan P2 pada 5 hari pasca uji tantang. Turunnya kadar titer 5 hari pasca uji tantang kelompok P1 kemungkinan karena turunnya antibodi humoral akibat multiplikasi virus tantang dan dibawa secara sistemik ke semua organ (Brown 1999), sedangkan kelompok P2 lebih tinggi menunjukkan penyerapan material vaksin yang lebih lambat akibat tidak adanya virus tantang. Vaksin inaktif yang terlarut dalam emulsi dengan minyak mineral yang diberikan secara intra muscular ataupun sub cutan akan menginduksi kekebalan humoral dan sedikit atau tanpa respon seluler (Rauw et al. 2010). Pemeriksaan antibodi humoral kelompok P1 pada 7 hari pasca uji tantang didapatkan titer yang turun hingga mencapai 18, begitu pula dengan kelompok P2 yang titer antibodinya juga menurun (12). Hal ini menunjukkan pada pengujian dengan HI test model aplikasi vaksinasi yang digunakan mempunyai masa rawan setelah umur 32 hari, dimana titer antibodi sangat rendah dan rentan terinfeksi virus ND lapangan. Unggas dikatakan protektif menurut Henning et al.

(2008), bila titer HI di atas log 23 dan ini akan melindungi unggas dari infeksi NDV dan bila titer HI di atas log 21 dinyatakan sebagai seropositif.

Vaksinasi pada umur 4 hari menurut Shafqat (1996) sangat penting mengingat beberapa alasan antara lain :

a. Kekebalan permukaan (surface immunity) sistem pernafasan pada saat menetas tidak ada, padahal saluran pernafasan pada ayam menjadi pintu masuk (port d’ entry) virus ND ke dalam jaringan tubuh yang lain

b. Proses pembentukan antibodi terhadap ND yang aktif dan cukup memerlukan waktu beberapa hari. Sebagai contoh untuk vaksin ND aktif antara 1-2 minggu pasca vaksinasi, sedangkan vaksin in aktif memerlukan waktu 2-4 minggu pasca vaksinasi.

c. Maternal antibody yang masih beredar dalam jaringan tubuh ayam, sehingga apabila diberikan vaksinasi sedini mungkin akan menyebabkan reaksi pasca vaksinasi yang lebih ringan dan perkembangan organ tubuh serta pertumbuhan ayam tidak terganggu.

Pada pengujian ELISA (Tabel 3) pola titer antibodi hampir sama dengan uji HI sampai pemeriksaan 3 hari pasca uji tantang dimana didapatkan data kelompok Kontrol (K1 dan K2) memiliki titer yang rendah selama pemeriksaan. Kelompok P1 mempunyai hasil yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok P2 yang tidak dilakukan uji tantang pada pemeriksaan 3 dan 7 hari pasca uji tantang. Hal ini memberikan gambaran bahwa antigen virus tantang juga ikut menggertak peningkatan antibodi kelompok ayam perlakuan. Kelompok P2 pada 5 hari pasca uji tantang mempunyai kadar antibodi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan P1. Hal ini bisa disebabkan karena aktifitas sistem imun dan makrofag pada kelompok P2 tidak terganggu oleh adanya infeksi dan memberi gambaran pelepasan partikel vaksin secara pelan-pelan akibat adjuvant minyak (Panshin et al. 2002).

Perbedaan pola terlihat pada Gambar 3, dimana pemeriksaan titer antibodi umur 30 dan 32 hari pada pengujian dengan HI test berbeda dengan hasil titer antibodi pada pengujian dengan metode ELISA. Pada pengujian HI test teramati titer antibodi menurun drastis setelah 30 hari, akan tetapi pada pemeriksaan ELISA titer antibodi justeru meningkat. Hal ini menurut Tiwari et al. (2003) kemungkinan disebabkan sensitivitas yang tinggi pada pengujian ELISA yang dapat mengamplifikasi beberapa komponen protein yang mirip sehingga terbaca positif (positif palsu). Menurut Tiwari et al. (2003), pemeriksaan titer antibodi terhadap ND, metode HI lebih baik dibandingkan ELISA karena respon antibodi pada pengujian HI lebih spesifik terhadap protein HN. Variabilitas NDV berkaitan bukan

hanya dengan glikoprotein eksternal tetapi juga glikoprotein internal. Kejadian mutasi secara spontan lebih bertanggung jawab dalam perubahan variasi antigenik NDV dibanding tekanan imunologi (Panshin et al, 1997). Berbeda dengan hal itu, menurut Henning et al. (2008), uji ELISA memberikan gambaran hasil yang lebih mendekati kenyataan, karena sifat uji ini yang lebih spesifik dan bersifat mikromolekuler atas dasar ikatan antigen-antibodi dan diukur derajat warnanya dengan intensitas warna kromogen.

Gambar 3 Grafik perbandingan pola titer antibodi pada pengujian dengan metoda HI dan ELISA

Keseragaman titer masing-masing individu yang diperiksa sangatlah penting untuk menghasilkan respon yang seragam. Beberapa faktor yang dapat membuat penyimpangan hasil titer antara lain efikasi strain vaksin yang dipilih, faktor penghambat seperti tingginya maternal antibodi dan kemampuan vaksin aktif ND untuk menghasilkan stress serta infeksi sekunder (Shafqat 1996). Uji ELISA terhadap ND sangat jarang diaplikasikan baik di lapangan maupun di laboratorium. Pemeriksaan titer antibodi dalam penelitian ini dilakukan dengan dua metode pengujian untuk melihat pola hasil titer antibodi masing- masing metode.

Guna menentukan konsentrasi antigen atau antibodi dapat digunakan metoda Bradford, dimana dilakukan elektroforesis selama 15 menit, kemudian dipanaskan dan dibaca pada spectrophotometer pada panjang gelombang (λ) 595. Kombinasi karakterisasi antigenik dengan analisa phylogenetic akan memberi gambaran banyaknya strainvirus ND velogenik (Tsai et al. 2004). Antibodi poliklonal yang didapat, diukur konsentrasinya dengan

spectrophotometer dan dihasilkan rataannya yang kemudian dengan rumus tabel linear didapatkan angka konsentrasi sebesar 60.1 mg/ml. Hal ini dipandang sudah cukup tinggi untuk segera dilakukan pemanenan serum sesegera mungkin. Pada pemeriksaan berat molekul protein antigen virus tantang yang digunakan didapatkan hasil berat molekul antara 70-75 kDa (Gambar 4). Hal ini bermakna bahwa antigen virus yang dipakai dan diperiksa dalam pengujian ini adalah benar-benar virus ND dan mempunyai tingkat kemurnian yang baik.

Gambar 4 Hasil karakterisasi protein dengan SDS PAGE dan Western Blot. Berat molekul pada SDS PAGE dan Western blot menunjukkan angka kisaran 70-75 kDa (panah hitam) dan konsentrasi 60.1 mg/ml.

Fenomena munculnya kasus ND di beberapa daerah, menimbulkan spekulasi apakah memang vaksin ND strain La Sota sudah tidak cocok lagi dengan strain lapangan yang ada di Indonesia. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini terlihat bahwa ayam yang divaksin dengan vaksin strain La Sota masih mampu dan protektif memberikan kekebalan terhadap ayam broiler sebagai obyek penelitian. Hal ini terlihat dari hasil titer antibodi di atas standard baik pada pengujian HI maupun ELISA. Virus ND yang menyerang di seluruh dunia masih tergolong ke dalam satu serotipe yaitu Paramyxovirus tipe I (PMV-1), dimana penggolongan ini didasarkan pada kesamaan antigenik pada uji HI (Henning et al. 2008).

Pendapat yang lain tentang wacana penggunaan strain velogenik lokal sebagai seed

vaksin dengan asumsi bahwa vaksin semakin efektif apabila strain yang digunakan homolog dengan strain virus lapangan yang ada. Hal ini tidaklah salah, akan tetapi perlu diperhatikan tentang aturan yang tertuang dalam panduan OIE (Office International de Epizooties)bahwa hanya strain virus ND lentogenik dan mesogenik saja yang boleh digunakan sebagai vaksin aktif, karena apabila strain velogenik dipakai sebagai vaksin dikhawatirkan sifat virulensinya masih tinggi sehingga malah akan membahayakan bagi ayam dan lingkungan. Solusinya

M M

adalah penggunaan strain velogenik lokal sebagai strain vaksin inaktif (killed-vaccine). Hal ini masih dapat diijinkan sesuai aturan OIE.

Pada pemeriksaan laboratorium, titer antibodi dengan uji HI mulai menurun 5 hari pasca infeksi, sehingga perlu diperhatikan masa rawan apabila ayam pedaging tersebut akan dibesarkan, mengingat titer antibodi mulai menurun dan beresiko tinggi terserang ND dari lapangan. Selain itu perlu ada penelitian lebih lanjut untuk mengukur luasan shedding virus tantang tersebut secara rinci pada ayam yang diaplikasikan vaksin. Sangat mungkin ayam tidak menunjukkan tanda-tanda klinis ataupun kematian tetapi shedding virus terus berjalan, dan virus tetap mengalami replikasi di dalam tubuh ayam tersebut, sehingga ayam tersebut bertindak sebagai seeder. Hal ini menjadi penting apabila diimplementasikan di kandang- kandang maupun sifat penularan virus ND yang mayoritas melalui aerosol.

Pertumbuhan Berat Badan, Feed Intake dan Feed Conversion Rate

Perbedaan bobot badan antar kelompok perlakuan seperti tertera dalam tabel 4 menggambarkan bahwa pada minggu pertama dan kedua antar kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. DOC yang dipakai adalah DOC platinum jantan dengan berat awal minimal 40 gram. Aplikasi vaksinasi yang baik dan tidak menimbulkan stress pada ayam perlakuan bisa juga dilihat dari data tersebut. Setelah pemeliharaan 21 hari mulai terlihat berbeda signifikan kelompok P2 mempunyai bobot rata-rata yang lebih tinggi bila dibandingkan kelompok yang lain dan hal ini berlanjut hingga akhir panen.

Bobot badan kelompok K2 pada 28 hari paling rendah dan berbeda signifikan dibanding kelompok yang lain karena ayam mulai sakit pasca uji tantang dengan virus lapang. Menurut Kuiken et al. (1999) salah satu efek klinis dari infeksi NDV adalah menyebabkan anorexia dan usus kosong tidak berisi makanan, akibatnya pertumbuhan bobot juga terganggu. Ayam kelompok P1 yang divaksinasi dan ditantang, bobot badannya lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang divaksinasi dan tidak ditantang. Kelompok kontrol yang tidak divaksinasi dan tidak ditantang (K1) mempunyai bobot akhir yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang divaksinasi dan tidak ditantang (P2). Hal ini menunjukkan vaksin yang dimasukkan pada umur 4 hari memberikan reaksi positif terhadap sistem pertahanan tubuh, karena ayam memiliki tingkat proteksi yang lebih baik, sehingga tidak terlalu terpengaruh oleh tantangan virus sejenis dari luar.

Asupan pakan (feed intake) dan konversi pakan untuk dirubah menjadi daging sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan ayam. Asupan pakan yang tinggi belum tentu akan

dikonversikan menjadi daging apabila kondisi metabolisme dalam tubuh ayam terganggu. Dari data yang ada terlihat asupan pakan hingga minggu ke-3 semua kelompok relatif tidak berbeda signifikan. Asupan pakan masing-masing kelompok mulai berbeda signifikan setelah umur 28 hari. Kelompok K2 dengan asupan pakan hanya 2.01 kg/ekor hingga umur 28 hari karena kondisi kesehatan yang kurang maka pertumbuhan dan asupan pakannya menjadi menurun, akibatnya FCR menjadi tinggi. Hal ini sesuai dengan pengamatan Gohm et al.

(2000) dimana pada ayam yang terkena ND mulai 3 hari pasca infeksi ditemukan gejala klinis seperti depresi dan diare. Setelah dilakukan bedah bangkai teramati adanya fokus hemoragi

di mukosa proventrikulus dan usus halus (duodenum dan jejunum) serta usus kosong tidak berisi makanan. Berbeda dengan kelompok P2 dimana dengan asupan pakan rataan 2.15 kg/ekor mampu menghasilkan pertambahan bobot badan harian yang tinggi sehingga FCR yang dihasilkan menjadi efisien. Program vaksinasi yang diberikan pada kelompok P2 terbukti signifikan mampu memberikan perbaikan konversi pakan yang dimakan ayam guna menjadi daging.

Perubahan Klinis

Pada pengamatan gejala klinis yang diamati adalah ayam kelompok ayam K2 (tidak divaksinasi, ditantang) dan P1 (Kelompok ayam yang divaksinasi dan ditantang). Terlihat pada tabel bahwa pada kelompok K2 mulai hari ketiga pasca infeksi teramati gejala klinis berupa ngantuk, lesu, bulu kusam serta diare kehijauan. Pada hari keempat selain gejala tersebut juga nafsu makan mulai menurun serta mulai timbul kematian hingga hari ke-7 pasca uji tantang (Tabel 5).

Tabel 5 Pengamatan Gejala Klinis yang muncul per hari pasca uji tantang tiap kelompok (*)

Jumlah Ayam Dalam Kelompok Hari

ke-

Nafsu makan turun

Lesu, mengantuk dan bulu

kusam Diare kehijauan Mati

K2 P1 K2 P1 K2 P1 K2 P1 3 - 4 - 6 - - - 4 10 - 10 - 10 - 4 - 5 7 - 7 - 7 - 4 - 6 1 - 1 - 1 - 6 - 7 1 - 1 - 1 - 1 -

* Jumlah ekor ayam dalam kelompok yang menunjukkan gejala klinis pasca uji tantang K2 : Kelompok yang dilakukan uji tantang tanpa vaksinasi

Menurut Oladele et al. (2008), gejala klinis biasanya muncul setelah 3-4 hari pasca infeksi antara lain demam, anorexia, anemia, diare, dehidrasi, paralisa alat gerak (kaki dan sayap), kejang-kejang dan berakhir kematian. Menurutnya anemia terjadi karena lisisnya sel darah merah (eritrosit) dan hemoragi pada dinding usus dan proventrikulus akibat replikasi virus ND dan kematian mulai terlihat 4 hari pasca infeksi dan puncaknya pada hari ke-7. Hal ini sesuai dengan kondisi yang ada dimana pada hari ke-7 pasca uji tantang semua ayam kelompok K2 sudah mati. Selain itu terdapat juga perubahan antara lain : hiperemi dan oedema konjungtiva, depresi dan sianosis pada bagian pial (Gohm et al. 2010). Virus strain velogenik menurut Alexander (1991), mampu menyebabkan morbiditas dan mortalitas hingga 100% pada ayam yang tidak divaksinasi. Unggas yang divaksinasi cenderung memiliki infeksi yang lebih ringan. Menurut King (2008), bahwa masa inkubasi ND rata- rata 5-6 hari tergantung dosis virus, spesies inang, umur, status imunitas serta stress fisiologi. Menurutnya 2-3 hari pasca uji tantang unggas akan terlihat depresi, diare kehijauan dan daerah kepala yang menghitam.

Hari kelima pasca infeksi beberapa unggas mulai mati serta timbul gejala syaraf. Gejala syaraf pada percobaan ini tidak muncul selain dikarenakan strain virus yang dipakai sebagai uji tantang adalah tipe VVND dan menurut King (2008) gejala syaraf merupakan kompensasi pertahanan terhadap infeksi dalam waktu yang lama. Perbedaan gejala klinis antara velogenicviscerotropic ND (VVND) dan velogenic neurotropic ND (VNND) adalah pada VVND menghasilkan bentuk klinis yang bersifat akut dengan ditandai depresi, dan kematian 5 hari pasca infeksi. Sedangkan pada VNND menghasilkan gejala khusus paresis dan paralisa.Kelompok P1 tidak ditemukan gejala klinis tersebut. Hal ini menunjukkan secara umum bahwa vaksinasi terbukti protektif secara klinis melindungi ayam dari serangan virus tantang. Hanya perlu dilakukan pengamatan lebih jauh tentang besaran dan luasan

shedding virus yang diinfeksikan ke dalam tubuh ayam tersebut (Miller 2008).

Di Mesir, ND yang didiagnosa selama 2005 awalnya menunjukkan tanda tanda klinis depresi, diare kehijauan, paresis dan kematian 2-3 hari pasca infeksi. Gejala lain yang muncul antara lain konjungtivitis, unggas berdiri dengan sayap menggantung (Abdel-Moneim et al. 2006). Perbedaan utama infeksi strain lain menurut Brown (1999), unggas yang diinokulasi dengan isolat mesogenik dan lentogenik tidak menunjukkan gejala klinis yang menciri. Sedangkan pada unggas yang diinfeksi dengan isolat velogenik NDV akan muncul gejala klinis berupa inkoordinasi gerak, depresi, diare hijau keputihan, head shaking, penurunan nafsu makan dan berakhir kematian (Aldous 2008).

Virus tantang yang digunakan dalam penelitian ini adalah virus strain velogenik ND yang diisolasi dari lapangan di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat. Saat itu, terjadi wabah ND pada ayam pedaging di daerah tersebut. Setelah dilakukan isolasi dan pemurnian maka didapatkan isolat murni lapangan, yang selanjutnya diidentifikasi guna mengetahui tipe virus baik secara genotipe maupun patotipe. Patotipe NDV juga dapat dilakukan dengan menggunakan fluorogenic probes PCR (Aldous et al. 2001). Dari pemeriksaan lanjutan didapatkan virus VND/Tasik/M13/2009 termasuk tipe velogenik dan golongan genotipe VII. Menurut Liang (2002) patogenitas isolat bisa diukur dengan beberapa parameter antara lain :

a. Mean Death Time (MDT) pada telur SPF bertunas umur 9-11 hari b. Intra Cerebral Pathogenicity Index (ICPI) pada ayam SPF umur 1 hari

c. Intra Venous Pathogenicity Index (IVPI) pada ayam umur 6 minggu dengan masa observasi selama 7-8 hari

Tabel 6 Pembagian virus ND berdasar Patotipe

Patotipe ICPI IVPI MDT(hours) Plaqueformation

Velogenik 1.5 - 2.0 2.0 - 3.0 < 60 Yes Mesogenik 1.0 - 1.5 0.0 - 0.5 60 - 90 Yes Lentogenik 0.2 - 0.5 0.0 > 90 No Asimptomatik 0.0 - 0.2 0.0 > 90 No

Sumber : OIE 2009

Menurut Alexander (1991), infeksi strain velogenik bersifat fatal dengan tanda-tanda klinis berupa lesu, tremor, paresis, bulu kusam, konjungtiva mata kemerahan dengan edema sebagai gejala awal. Edema di sekitar mata akan terlihat jelas 2-3 hari pasca infeksi, tidak disertai perubahan pada jengger dan pial (seperti HPAI). Sebuah cincin gelap kadang terbentuk di sekitar mata, diakibatkan sianosis dan sirkulasi darah yang buruk pada jaringan edema. Beberapa unggas terlihat diare, putih kehijauan disertai gangguan pernafasan hingga berujung kematian. Diare kehijauan gelap biasanya ditemukan 2-3 hari pasca infeksi. Unggas yang mampu bertahan selama 2 minggu sejak terinfeksi biasanya akan hidup, tetapi mengalami kerusakan neurologis yang permanen. Strain velogenik memilki MDT kurang dari 60 jam, IVPI 2.0-3.0 dan, ICPI 1.5-2.0 (Tabel 6).

Gambar 5 Gejala klinis ayam kelompok K2 terlihat lesu, mengantuk, nafsu makan menurun, bulu kusam (A) serta diare kehijauan (B).

Perubahan Patologi Anatomi dan Histopatologi

Perubahan patologi anatomi pada ayam kelompok K2 dimulai pada 3 hari pasca uji tantang dimana pada organ proventrikulus terlihat lapisan epithel yang mudah terkelupas, hiperemi, hemoragi di dalam kelenjar dan produksi mukus berlebih. Mohammadamin dan Qubin (2011) pernah melakukan hal serupa dan didapatkan perubahan pada proventrikulus antara lain : pemendekan papillae dan infiltrasi limfosit yang meluas di mukosa. Pada usus halus terlihat hiperemi, vaskularisasi meningkat, ceca tonsil bengkak dan terjadi perdarahan. Hal ini bisa terjadi akibat suhu tubuh yang sangat tinggi akibat viremia akan menyebabkan rusaknya struktur pembuluh darah sehingga sel darah akan keluar dari pembuluh darah. Anemia terjadi karena replikasi virus yang menyebabkan lisisnya eritrosit dan kejadian hemoragi pada dinding usus dan mukosa proventrikulus (Cheville et al. 1972). Pada organ otak tidak ditemukan perubahan.

Pada ayam kelompok P1 hanya ditemukan perubahan hiperemi pada usus halus saja, sedang organ proventrikulus dan otak tidak mengalami perubahan. Walaupun kelompok P1 dilakukan vaksinasi tapi tetap ada perubahan lesion walaupun lesionya jauh lebih ringan bila dibandingkan dengan kelompok yang tidak divaksinasi. Menurut Alexander, seorang virolog Inggris mengatakan bahwa virus ND yang ganas (virulen) tetap dapat menginfeksi dan melakukan perbanyakan serta diekskresikan dari ayam yang mempunyai status kekebalan terhadap ND yang baik.

Selama masa inkubasi di daerah limfoid usus terjadi kerusakan yang sifatnya masif termasuk pada caeca tonsil dimana jaringan limfoid akan diganti dengan fibrin dan

karyorrectic debris dan juga ulserasi pada epithel usus (Brown et al. 1999). Kelompok K1 dan P2 yang tidak dilakukan uji tantang tidak mengalami perubahan di semua organ. Sedangkan pada usus perubahannya terjadi pemendekan dan penggabungan villi-villi usus. Sesuai dengan pendapat King (2008), bahwa dalam infeksi VVND sering diketemukan lesi

Dokumen terkait