• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada penelitian ini direncanakan data didapat dari 60 pasien Puskesmas Tanah Sareal bulan September 2010 yang memiliki bayi usia 1 bulan, dengan pembagian 30 bayi untuk masing-masing kelompok. Hasil penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1. Hasil Pengukuran pH Feses Kelompok ASI

Statistik Nilai pH

Median 6

Dari penelitian yang dilakukan, setelah data diuji normalitas diketahui bahwa sebaran data yang diperoleh tidak normal [Asymp. Sig. (2-tailed) < 0.05], oleh sebab itu untuk menggambarkan rata-rata pH feses pada bayi yang mengkonsumsi ASI digunakan nilai median, yaitu sebesar 6, hasil ini mendekati serupa dengan penelitian terdahulu yaitu rata-rata pH feses bayi yang mengkonsumsi ASI adalah sebesar 5,74 (Balmer dan Wharton, 1989). Hal serupa juga dikemukakan pada jurnal lain, bahwa pH feses bayi yang diberi ASI akan cenderung asam (Boehm G., et.al, 2004).

Hasil pH yang asam pada feses bayi usia 1 bulan tersebut disebabkan oleh aktifitas metabolisme prebiotik (dalam hal ini oligosakarida) oleh bakteri normal pada saluran cerna (Balmer dan Wharton, 1989). Kondisi pH yang cenderung asam diharapkan dapat menekan kolonisasi dari bakteri patogen seperti E. Coli

(Schell, 2002), begitu juga yang diungkapkan oleh penelitian Balmer dan Wharton (1989), presentase koloni bakteri lain selain bifidobacter pada feses bayi yang minum ASI memang menjadi sangat minimal.

Tabel 4.2. Sebaran pH Feses untuk Kelompok ASI

Nilai pH Jumlah Persentase (%)

5 14 46,7

6 13 43,3

7 3 10

TOTAL 30 100

Dari penelitian, pada kelompok bayi yang mengkonsumsi ASI pH feses 5 sejumlah 14 bayi (46,7%), pH feses 6 sejumlah 13 bayi (43,3%), pH feses 7 sejumlah 7 bayi (10%). Namun tidak terdapat data yang menyatakan jumlah pada masing-masing nominal pH pada penelitian sebelumnya, sehingga tidak dapat dilakukan perbandingan.

Keadaan demikian dapat dikaitkan kembali dengan penelitian Balmer dan Wharton (1989) mengenai jumlah koloni flora normal saluran cerna seperti

bifidobacter yang mendominasi dibandingkan bekteri lain, lalu stafilokokus pada feses bayi yang diberi ASI. Sebagaimana yang diungkapkan oleh sumber lainnya bahwa kedua jenis bakteri ini menghasilkan asam laktat di akhir proses metabolisme karbohidrat (Brooks, 2005).

Tabel 4.3. Hasil Pengukuran pH Feses Kelompok Susu formula

Statistik Nilai pH

Median 7

Dari penelitian yang dilakukan, setelah data diuji normalitas diketahui bahwa sebaran data yang diperoleh tidak normal [Asymp. Sig. (2-tailed) < 0.05], oleh sebab itu untuk menggambarkan rata-rata pH feses pada bayi yang mengkonsumsi susu formula digunakan nilai median, yaitu sebesar 7, hasil ini mendekati serupa dengan penelitian terdahulu yaitu rata-rata pH feses bayi yang mengkonsumsi susu formula adalah sebesar 7,07 (Balmer dan Wharton, 1989).

Hasil penelitian ini berbeda dengan yang diutarakan oleh Boehm (2004) bahwa pH feses bayi yang diberi susu formula khususnya yang mengandung FOS/GOS akan menjadi asam sebagaimana pH feses bayi yang diberi ASI.

20

Tabel 4.4. Sebaran pH Feses untuk Kelompok Susu Formula

Nilai pH Jumlah Persentase (%)

6 3 10

7 13 43,3

8 10 33,3

9 4 13,3

TOTAL 30 100

Dari penelitian yang dilakukan, pada kelompok bayi yang mengkonsumsi susu formula pH feses 6 sejumlah 3 bayi (10%), pH feses 7 sejumlah 13 bayi (43,3%), pH feses 8 sejumlah 10 bayi (33,3%), dan pH feses 9 sejumlah 4 bayi (13,3%). Namun tidak terdapat data yang menyatakan jumlah pada nominal masing-masing pH pada penelitian sebelumnya, sehingga tidak dapat dilakukan perbandingan.

Dari penelitian sebelumnya, jumlah bakteri yang terstimulasi

pertumbuhannya sangat minimal, termasuk untuk jenis bifidobacter dan

stafilokokus (Balmer dan Wharton, 1989).

Tabel 4.5. Sebaran pH Feses Dilihat dari Kandungan FOS dan GOS pada Kelompok Susu Formula

Kandungan pH <7 pH ≥7 TOTAL

FOS/GOS 2 27 29

FOS dan GOS 1 0 1

TOTAL 3 27 30

Dari penelitian yang dilakukan pada kelompok susu formula, didapatkan bahwa 29 dari 30 susu yang dikonsumsi oleh sampel mengandung FOS/GOS sedangkan sisanya, yaitu 1 sampel, didapatkan bahwa susu yang dikonsumsi mengandung gabungan dari FOS dan GOS.

Pada kelompok sampel yang mengkonsumsi susu mengandung FOS/GOS, sejumlah 2 bayi memiliki pH feses <7 sedangkan 27 bayi lainnya memiliki pH

feses ≥7, sedangkan untuk susu formula yang mengandung FOS dan GOS

Bervariasinya pH feses ini dapat dikaitkan oleh kandungan FOS dan GOS pada setiap susu yang berbeda-beda. Tercatat bahwa untuk FOS sendiri sebesar 600mg-3450mg/100g dan untuk GOS tercatat sebesar 5300mg/100g. Walaupun tidak dikatakan berapa jumlah minimum yang harus terkandung agar memberikan efek serupa dengan ASI, jika dibandingkan dengan oligosakarida yang terdapat pada ASI yakni sebesar 10-12gram per liternya, justru memberikan pengaruh yang lebih nyata terhadap pH feses sehingga terbukti bahwa memang ASI menjadi lebih baik dibandingkan dengan susu formula sekalipun yang mengandung FOS/GOS.

Tabel 4.6. Hubungan Konsumsi ASI terhadap pH Feses

Jenis susu pH Total OR (95% CI) P value

ASI <7 27

81.000 0.000

≥7 3

Susu formula <7 3

≥7 27

Dari data yang diperoleh, tergambar bahwa pH feses pada bayi yang diberi ASI memiliki pH yang lebih rendah, yakni <7 dengan jumlah 27 bayi, dibandingkan dengan pH feses bayi yang diberi susu formula justru cenderung lebih tinggi yakni ≥7 dengan jumlah 27 bayi, hal serupa diungkapk an penelitian sebelumnya, yaitu rata-rata untuk pH feses bayi yang diberi ASI akan lebih asam dibandingkan dengan yang diberi susu formula, yang pada keadaan tersebut

jumlah koloni bifidobacter pada kelompok bayi yang mengkonsumsi ASI lebih

mendominasi dibandingkan yang diberi susu formula (Balmer dan Wharton,

1989) dan keberadaan bifidobacter terkait dengan penurunan jumlah penyakit

klinik (Boehm, 2004).

Berdasarkan dari data yang diperoleh, konsumsi ASI memiliki hubungan bermakna secara statistik terhadap kondisi pH feses bayi usia 1 bulan yang lebih asam, dimana nilai P = 0,000 (< 0,05).

22

Berdasarkan dari data yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa bayi yang mengkonsumsi ASI memiliki peluang lebih besar dalam mengalami kondisi pH feses yang lebih asam, ini terlihat dari odds ratio = 81.000 yang berarti peluang bayi yang mengkonsumsi ASI memiliki pH lebih asam adalah 81 kali bila dibandingkan dengan bayi yang mengkonsumsi susu formula. Namun perlu kembali dipahami bahwa hal tersebut dipengaruhi kembali oleh banyak faktor seperti volume ASI (bukan kualitas ASI) yang diberikan kepada bayi dimana hal tersebut dipengaruhi oleh asupan nutrisi semasa ibu tersebut menyusui (PERINASIA, 2007).

Berikut ini adalah jawaban responden kelompok susu formula terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan penggunaan susu formula: 0 5 10 15 20 25 30

alasan menggunakan susu formula

susu formula dapat disamakan dengan ASI ASI tidak keluar

lain-lain

tidak menjawab

Diagram 4.1. Sebaran Alasan Menggunakan Susu Formula

Terlihat bahwa alasan penggunaan susu formula dari responden adalah memiliki masalah dengan produksi ASI mereka, yaitu sejumlah 12 orang (40%), lalu sejumlah 9 orang (30%) merasa susu formula dapat disamakan dengan ASI, kemudian lain-lain sejumlah 5 orang (16,7%) dan yang terakhir sejumlah 4 responden tidak memberikan jawaban atas pertanyaan ini.

9

12

Masalah produksi ASI sendiri sebenarnya dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya persiapan dan teknik dari menyusui (PERINASIA, 2007). Persiapan menyusui sendiri meliputi persiapan psikologis sejak masa kehamilan, dimana kondisi tersebut kembali dipengaruhi oleh banyak hal diantaranya dukungan dari tenaga medis, pengalaman menyusui sebelumnya, serta dukungan dari pihak lain seperti keluarga, kerabat dan teman (PERINASIA, 2007). Sedangkan teknik menyusui sendiri meliputi posisi ibu dan cara pelekatan bayi dalam menyusui yang beragam dan dapat disesuaikan oleh kondisi ibu dan bayi, misalnya, hal tersebut tentu akan berbeda ketika seorang ibu menyusui seorang bayi dengan ibu yang menyusui bayi kembar (PERINASIA, 2007).

Faktor lain yang mempengaruhi produksi ASI adalah masalah status gizi ibu. Dapat dikatakan pula, bahwa produksi ASI tidak semata-mata dipengaruhi oleh makanan dalam diit ibu, tetapi juga oleh cadangan di dalam tubuh (PERINASIA, 2007).

Secara fisiologis, produksi ASI sendiri dipengaruhi oleh rangsangan mekanoreseptor di puting payudara yang dilakukan oleh bayi saat menghisap puting (Sherwood, 2001). Rangsangan ini akan menstimulus dua bagian hipofisis, yaitu bagian anterior dimana selanjutnya akan menstimulus hormon prolaktin yang berguna untuk meningkatkan sekresi susu, serta bagian posterior dimana selanjutnya akan menstimulus hormon oksitosin yang berguna untuk penyemprotan susu (Sherwood, 2001).

24

Responden yang menjawab bahwa susu formula dapat disamakan dengan ASI beralasan bahwa bayi mereka tidak puas dengan ASI saja dan hanya dengan susu formula bayi mereka merasa puas, padahal konsumsi ASI saja sangat disarankan untuk bayi usia 0-6 bulan dengan jumlah sesuka bayi dan tanpa ada jam pemberian (PERINASIA, 2007). Hal lain yang mempengaruhi kondisi ini adalah pengaruh iklan susu formula sehingga menimbulkan kekeliruan opini masyarakat (PERINASIA, 2007).

Sementara responden yang menjawab lain-lain terbentur karena pekerjaan mereka diluar sebagai ibu rumah tangga, sehingga memilih susu formula sebagai pengganti ASI. Untuk ibu bekerja, cara pemberian ASI yang disarankan adalah dengan memeras ASI, sehingga ibu dapat memperoleh ASI yang ditinggalkan di rumah untuk bayi mereka (PERINASIA, 2007).

0 5 10 15 20 25 30

keunggulan susu formula

kandungan susu

harga lebih murah dibandingkan merek lain lain-lain

Diagram 4.2. Sebaran Keunggulan Susu Formula yang Dikonsumsi

Terlihat bahwa keunggulan dari susu formula yang dikonsumsi menurut jawaban dari responden adalah karena harga susu yang mereka pakai lebih murah dibandingkan dengan merek susu formula lainnya yakni sejumlah 15 orang (50%) berkata demikian, selanjutnya sejumlah 8 orang (26,7%) menjawab kandungan susu formula yang mereka gunakan diunggulkan oleh produsen susu formula tersebut, sebagaimana yang tercantum pada kemasan susu, sedangkan sisanya yaitu sejumlah 7 orang (23,3%) menjawab lain-lain, dengan tidak memberikan jawaban.

8

15

0 5 10 15 20 25 30 Prebiotik FOS/GOS

tahu dan benar hanya pernah dengar tidak tahu

Diagram 4.3. Sebaran Jawaban Mengenai Prebiotik dan FOS/GOS

Dari pertanyaan mengenai prebiotik dan FOS/GOS diketahui bahwa tidak terdapat satupun responden yang tahu dan menyebutkan benar mengenai keduanya. Sejumlah 20 (66,7%) responden pernah mendengar prebiotik dan 10 (33,3%) responden lainnya mengaku tidak tahu, sedangkan hanya sejumlah 11 (36,7%) responden pernah mendengar FOS/GOS dan 19 (63,3%) responden lainnya mengaku tidak tahu.

Diketahui bahwa, responden yang mayoritas adalah ibu rumah tangga pada penelitian ini memang tidak mengetahui secara pasti dan benar mengenai prebiotik maupun FOS/GOS, namun mereka yang pernah mendengar memang mengetahui hal tersebut dari kemasan susu dan iklan-iklan produk susu ditelevisi, dimana produsen lebih mengiklankan prebiotik dan probiotik (flora normal saluran cerna) dibandingkan dengan spesifik FOS/GOS.

0 0

20

10 11

26 BAB 5

Dokumen terkait