• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada ekosistem PHBM, ekosistem hutan dan ekosistem tanpa tegakan seperti dijelaskan pada Lampiran 1, 2 dan 3, didapatkan secara ringkas Indeks Nilai Penting (INP) setiap jenis vegetasi (Tabel 1).

Tabel 1. Indeks Nilai Penting hasil analisis vegetasi di lokasi penelitian tahun 2010

Ekosistem Fase Jumlah

Jenis Jenis dominan

INP (%)

Hutan

Pohon 7 Altingia excelsa Noronha 104.58

Tiang 5 Piper aduncum L. 80.81

Pancang 10 Agathis dammara L.C.Richard 91.00

Tumbuhan

bawah 25 Oplismenus composites (L.) P. Beauv. 41.18

PHBM

Pohon 1 Agathis dammara L.C.Richard 300.00

Tiang 1 Agathis dammara L.C.Richard 300.00

Pancang - - -

Tumbuhan

bawah 21 Oplismenus composites (L.) P. Beauv. 36.64

Tanpa Tegakan Pohon - - - Tiang - - - Pancang - - - Tumbuhan

bawah 20 Ageratum conyzoides L. 49.97

Hasil analisis vegetasi pada tingkat pohon pada ekosistem PHBM, menunjukan bahwa nilai INP terbesar ditemukan pada pohon Agathis dammara L.C.Richard (damar) dengan nilai INP sebesar 300%. Pada ekosistem hutan, nilai INP tertinggi ditemukan pada pohon Altingia excelsa Noronha (Rasamala) dengan nilai INP sebesar 104.58%. Hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis ini memiliki peran paling besar di masing-masing ekosistem. Hal ini menjadi latar belakang untuk menggunakan kedua pohon tersebut sebagai subjek pengukuran parameter konservasi tanah dan air khususnya pada pengukuran aliran batang dan curah tajuk.

Untuk tingkat tumbuhan bawah, pada ekosistem PHBM terdapat 21 jenis tumbuhan bawah dimana Oplismenus composites (L.) P. Beauv merupakan jenis dominan dengan INP sebesar 36.64 %, pada ekosistem hutan lindung terdapat 25 jenis tumbuhan bawah dimana Oplismenus composites (L.) P. Beauv merupakan

jenis dominan dengan nilai INP sebesar 41.18 %, dan untuk ekosistem tanpa tegakan pohon terdapat 20 jenis tumbuhan bawah dimana Ageratum conyzoides L. merupakan jenis dominan dengan INP sebesar 49.97 %.

Dalam pengelolaan konservasi tanah dan air, keberadaan suatu jenis tumbuhan dan tipe vegetasi pada suatu lahan dapat menjadi tolok ukur kondisi lingkungan dan produktifitas dari lahan tersebut. Selain itu, keberadaan tumbuhan bawah juga sangat penting untuk diperhatikan. Tumbuhan bawah merupakan komunitas tumbuhan yang menyusun stratifikasi bawah dekat permukaan tanah. Tumbuhan ini umumnya berupa rumput, herba, semak atau perdu rendah. Jenis- jenis vegetasi ini ada yang bersifat annual, biannual, atau perennial dengan bentuk hidup soliter, berumpun, tegak, menjalar atau mamanjat (Athtorick 2005). Tumbuhan bawah berfungsi sebagai pelindung tanah dari energi kinetik butir-butir hujan dan pelindung dari daya perusak aliran permukaan sehingga dapat mencegah erosi, menambah bahan organik, memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah serta meningkatkan produktifitas tanah. Unsur hara yang terdapat pada lahan yang tidak bervegetasi apalagi berada pada daerah yang curam, akan mudah tercuci oleh air hujan sehingga produktifitasnya menurun. Vegetasi dari tingkat pohon hingga tumbuhan bawah pada kawasan seperti ini dapat berfungsi sebagai pelindung tanah terhadap pukulan air hujan secara langsung dan mematahkan energi kinetiknya melalui intersepsi tajuk dan pengurangan laju aliran permukaan (surface run off) (Arsyad 2006).

Selain melindungi tanah dari pukulan air hujan, tumbuhan bawah juga merupakan sumber bahan organik. Tanah yang banyak mengandung bahan organik mempunyai lapisan humus yang tebal serta memiliki kemampuan yang tinggi untuk menyerap air, mengurangi laju aliran permukaan serta mengurangi erosi (Woo & Luk 1990). Bahan organik juga merangsang kegiatan mikroorganisme dalam menciptakan struktur tanah yang baik. Oleh karena itu, berkurangnya vegetasi pada suatu kawasan, akan beresiko menyebabkan bencana banjir dan longsor (Varis & Vakkilainen 2001; Sidle et al. 2004).

20

Identifikasi Model Arsitektur Pohon

Seperti telah dijelaskan dimuka, Agathis dammara L.C.Richard dan Altingia excelsa Noronha merupakan vegetasi fase pohon yang dominan pada masing-masing ekosistem. Hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis ini memiliki peran paling besar di masing-masing ekosistem. Terkait dengan perannya dalam konservasi tanah dan air, untuk tumbuhan jenis pohon perlu diperhatikan model arsitektur pohonnya agar tumbuhan tersebut betul-betul dapat membagi jatuhnya butiran air hujan menjadi curah tajuk dan aliran batang, sehingga energi kinetik butiran air hujan tersebut banyak berkurang.

Berdasarkan kunci identifikasi model arsitektur pohon yang telah dikembangkan oleh Setiadi (1998), Agathis dammara L.C.Richardpada ekosistem PHBM memiliki batang monopodial, pertumbuhan ritmik dan percabangan plagiotrophik. Oleh karena itu, model arsitektur Agathis dammara L.C.Richard adalah model Massart, selain itu pada ekosistem PHBM juga ditanami Coffea arabica L yang sengaja ditanam sebagai sumber tanaman yang memiliki fungsi ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan. Coffea arabica L ini memiliki batang monopodial, percabangan ortrothtopik, namun pertumbuhannya tidak ritmik. Oleh karena itu, Coffea arabica L termasuk kedalam model arsitektur pohon Roux. Sedangkan Altingia excelsa Noronha sebagai vegetasi dominan pada ekosistem kontrol, memiliki batang monopodial, pertumbuhan ritmik serta percabangan yang ortrothropik. Oleh karena itu, model arsitektur Altingia excelsa Noronha adalah model Rauh.

Parameter Konservasi Tanah dan Air

Pengamatan parameter konservasi tanah dan air dilakukan selama 4 (empat) bulan (Oktober 2010 – Januari 2011) sebanyak 30 kali pengamatan (Lampiran 4).

Curah Hujan

Selama ± 4 (empat) bulan (Oktober 2010 - Januari 2011) di lokasi penelitian telah terjadi 30 kali hari hujan dengan tinggi curah hujan yang bervariasi. Curah hujan yang dicatat adalah curah hujan yang telah mampu menjenuhkan batang, tajuk, serta tanah sehingga pada setiap kejadian hujan yang

tercatat dapat dilakukan pengamatan juga terhadap aliran batang, curah tajuk, aliran permukaan serta erosinya. Tinggi curah hujan paling rendah adalah sebesar 14.52 mm, curah hujan paling tinggi sebesar 73.70 mm dan total curah hujan yang tertampung selama penelitian berlangsung (30 kali pengamatan) adalah sebesar 981.60 mm.

Curahan Tajuk

Pengukuran curahan tajuk dilakukan sebanyak 30 kali pada kejadian dan curah hujan yang sama. Seperti telah dijelaskan dimuka, pohon yang diukur curahan tajuk dan aliran batangnya dipilih berdasarkan nilai INP dan penutupan tajuk terbesar.

Berdasarkan pada data Lampiran 4, Model arsitektur Massart pada ekosistem PHBM mentransformasikan jumlah curah hujan menjadi curahan tajuk sebesar 515.87 mm (52.55%), sedangkan model Rauh pada ekosistem hutan mentransformasikan jumlah curah hujan menjadi curahan tajuk sebesar 817.70 mm (83.30%). Tajuk pada pohon model Massart dapat menghilangkan curah hujan lebih besar dibandingkan dengan tajuk pohon model Rauh. Hal ini disebabkan oleh tebalnya strata tajuk pohon model Massart (Agathis dammara L.C Richard), sehingga curah hujan akan melalui banyak strata tajuk terlebih dahulu sebelum menyentuh tanah. Kejadian semacam ini disebut dengan intersepsi. Curahan tajuk ini dipengaruhi oleh luas tajuk, ketebalan tajuk, morfologi daun, curah hujan serta kecepatan angin (Suharto 2007).

Aliran Batang

Berdasarkan pada data Lampiran 4, nilai aliran batang pada kedua model arsitektur pohon memperlihatkan hasil yang sebaliknya. Nilai aliran batang pada model arsitektur Massart di ekosistem PHBM lebih besar dari pada nilai aliran batang pada model arsitektur Rauh di ekosistem hutan. Model Massart mentransformasikan jumlah curah hujan menjadi aliran batang sebesar 17.88 mm (1.82%), sedangkan model Rauh, mampu mentransformasikan jumlah curah hujan menjadi aliran batang sebesar 0.95 mm (0.097%).

Perbedaan nilai aliran batang ini dipengaruhi oleh pola percabangan dari kedua tegakan tersebut. Pola percabangan pada model arsitektur Massart ini bersifat plagiotrophik dan muncul di sepanjang batang utama secara merata. Hal

22

ini menyebabkan tajuk dan percabangan tidak berkumpul dan bergerombol di sekitar puncak pohon dan memberikan ruang yang relatif terbuka di sekitar batang. Akibatnya, apabila hujan turun, air hujan akan leluasa secara langsung menerpa batang pohon kemudian mengalir menjadi aliran batang (Aththorick 2000). Namun pada model arsitektur Rauh di ekosistem hutan, percabangannya relatif lebih sedikit serta tajuknya banyak menggerombol di puncak sehingga air hujan secara langsung tidak bisa menerpa batang utama secara langsung.

Aliran Permukaan

Berdasarkan pada data Lampiran 4, Model arsitektur Massart (Agathis dammara L.C.Richard) pada ekosistem PHBM mentransformasikan total curah hujan menjadi aliran permukaan sebesar 45.50 mm (4.64%). Hal ini diakibatkan oleh tidak terdapatnya perbedaan variasi tumbuhan bawah yang signifikan terhadap tumbuhan bawah yang ada pada ekosistem tanpa tegakan sesuai dengan keterangan pada Tabel 1, sehingga kemampuan tanah menyerap air tidak optimal. Keadaan ini disebabkan oleh aktifitas pemangkasan tumbuhan bawah yang biasa dilakukan warga untuk merawat tanaman kopi di sekitar pohon model Massart. Gambar 8 juga memperlihatkan penutupan tajuk pohon pada ekosistem PHBM belum terjadi secara sempurna. Hal ini terkait dengan usia dari pohon Agathis dammara L.C.Richard yang relative masih muda (± 13 tahun) (ketua LMDH 4 Januari 2011, komunikasi pribadi), sehingga curah hujan masih mampu menerpa tanah secara langsung tanpa mengenai tajuk atau batang pohon terlebih dahulu.

Nilai aliran permukaan model Rauh pada ekosistem hutan menunjukkan nilai yang jauh lebih kecil. Hal ini disebabkan oleh jumlah dan kerapatan tumbuhan bawah yang lebih tinggi serta penutupan vegetasi yang lebih tinggi, sehingga kemampuan tanah disekitar pohon model Rauh dalam menyerap tanah lebih tinggi.

Erosi

Berdasarkan pada data Lampiran 4, akumulasi nilai erosi pada model Rauh di ekosistem hutan lebih kecil dibandingkan dengan akumulasi nilai erosi pada model Massart di ekosistem PHBM, serta akumulasi nilai erosi pada model Massart di ekosistem PHBM lebih kecil daripada akumulasi nilai erosi pada ekosistem tanpa tegakan. Model arsitektur pohon Massart (Agathis dammara

L.C.Richard) telah efekif menahan laju erosi pada ekosistem PHBM sebesar 88.29% terhadap laju erosi pada ekosistem tanpa tegakan. Hal ini membuktikan bahwa penutupan lahan oleh tanaman yang lebih rapat / lebih baik akan mengurangi hilangnya tanah oleh erosi secara signifikan (Zhou et al. 2008). Dengan demikian, keberadaan vegetasi pada suatu lahan merupakan faktor kunci dalam mencegah erosi (Zhang 2006).

Hubungan antar Parameter Konservasi Tanah dan Air

Garis pada grafik yang dibuat berdasarkan perhitungan AKU (Gambar 9), menghubungkan kelima parameter konservasi tanah dan air dengan membentuk sudut lancip kearah positif terhadap komponen utama pertama. Semakin kecil sudut yang dibentuk, maka semakin erat hubungan antar parameter yang dimaksud. Kondisi ini menunjukkan bahwa curah hujan, aliran batang, curahan tajuk, aliran permukaan serta erosi memiliki korelasi yang positif satu dengan yang lainnya baik itu pada model Massart di ekosistem PHBM ataupun pada ekosistem kontrol (model Rauh di ekosistem hutan dan ekosistem tanpa tegakan). Hal ini mengandung pengertian bahwa meningkatnya nilai salah satu parameter konservasi tanah dan air akan mempengaruhi peningkatan nilai parameter konservasi tanah dan air yang lainnya.

Berdasarkan sudut yang dibentuk (Gambar 9A dan 9B), terlihat bahwa aliran batang memiliki hubungan yang paling erat dengan kejadian erosi pada model Massart di ekosistem PHBM dan model Rauh di ekosistem hutan dengan nilai korelasi secara berturut-turut sebesar 0.99 dan 0.97 (Tabel 2A dan 2B). Hal ini dikarenakan pada kedua ekosistem tersebut, aliran batang merupakan parameter yang tidak memiliki penghambat yang besar, sehingga peluang pertambahan nilai aliran batang dalam menyebabkan pertambahan nilai erosi lebih besar. Pada ekosistem tanpa tegakan, curah hujan merupakan parameter konservasi yang memiliki hubungan yang paling erat dengan kejadian erosi dengan nilai korelasi sebesar 0.97 (Tabel 2C). Hal ini juga disebabkan oleh curah hujan pada ekosisten tanpa tegakan tidak memiliki penghambat, sehingga peluang pertambahan nilai curah hujan dalam menyebabkan pertambahan nilai erosi lebih besar.

24 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 - 0.1 - 0.2 0.75 0.50 0.25 0.00 - 0.25 - 0.50 First Component S e c o n d C o m p o n e n t Er o si A P C T A B CH (A) 0. 5 0.4 0. 3 0. 2 0. 1 0.0 - 0.1 - 0.2 0.50 0.25 0.00 - 0.25 - 0.50 - 0.75 First Component S e c o n d C o m p o n e n t Er o si A P C T A B CH (B) 0.6 0.5 0. 4 0.3 0.2 0. 1 0.0 - 0. 1 - 0.2 1.00 0.75 0.50 0.25 0.00 - 0.25 - 0.50 First Component S e c o n d C o m p o n e n t er o si A P CH (C)

Gambar 9. Interaksi parameter konservasi tanah dan air. A. model Massart di ekosistem PHBM; B. Model Rauh di ekosistem hutan lindung; C. ekosistem tanpa tegakan.CH: Curah Hujan, AB: Aliran Batang, CT: Curahan Tajuk, AP: Aliran Permukaan

Tabel 2. Matriks korelasi antar parameter konservasi tanah dan air. (A) Ekosistem PHBM; (B) ekosistem Hutan Lindung; (C) ekosistem

tanpa tegakan. (A) CH AB CT AP AB 93.97 - - - CT 97.03 83.39 - - AP 85.71 64.28 95.63 - EROSI 97.81 99.03 90.63 74.31 (B) CH AB CT AP AB 96.59 - - - CT 88.29 74.31 - - AP 100 96.59 88.29 - EROSI 87.88 97.03 56.64 87.88 (C) CH AP AP 80.90 - EROSI 97.44 66.91

Keterangan: CH: Curah hujan, AB: Aliran batang, CT: curahan tajuk, AP: Aliran Permukaan

Dokumen terkait