• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sampel susu yang digunakan adalah sampel susu kuartir yang berasal dari Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) yang berlokasi di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Total sampel yang digunakan berjumlah 205 sampel yang berasal dari 54 ekor sapi.

Tingkat Kejadian Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Kecamatan Cibungbulang berdasarkan Uji Mastitis IPB-1 dan Metode Breed

Menurut data International Dairy Federation (IDF) (1999) bahwa sapi yang menderita mastitis subklinis memiliki jumlah sel somatis lebih dari 400 000 sel/ml ditemukan bakteri patogen, serta berada pada laktasi normal. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 62 (30.24%) sampel mengandung jumlah sel somatis kurang dari 400 000 sel/ml dan 143 (69.76%) sampel mengandung jumlah sel somatis lebih dari 400 000 sel/ml.

Berdasarkan hasil penelitian menggunakan uji mastitis IPB-1 diperoleh 76 (37.07%) sampel memberikan reaksi negatif mastitis subklinis dan 129 (62.93%) sampel memberikan reaksi positif dengan perincian 52 (25.37%) sampel memberikan reaksi positif satu (1+), 30 (14.63%) sampel memberikan reaksi posistif dua (2+) dan 47 (22.93%) sampel memberikan reaksi positif tiga (3+). Tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dapat dihubungkan dengan metode Breed berdasarkan pada pengelompokkan batas jumlah sel somatis. Hubungan jumlah tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dan jumlah sel somatis dapat ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis (Breed) (n=205)

Tingkat reaksi IPB-1 Breed

- 76 40 000 – 4 633 333

+ 52 160 000 – 4 120 000

++ 30 560 000 – 11 840 000

Jum lah se l so m at is

Tabel 6 Nilai minimum, kuartil satu, dua, tiga, dan nilai maksimum dari jumlah sel somatis yang dihubungkan dengan tingkat reaksi uji mastitis IPB-1

IPB-1 Sel somatis/ml

Minimum Q1 Q2 Q3 Maksimum

- 40 000 120 000 200 000 410 000 4 633 333

+ 160 000 520 000 720 000 1 010 000 4 120 000

++ 560 000 1 126 666 5 1 840 000 2 766 000 11 840 000 +++ 1 080 000 2 160 000 3 640 000 5 260 000 34 400 000

Pada Tabel 6 terlihat hubungan antara uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis yang dihitung menggunakan metode Breed. Pada hasil uji mastitis IPB-1 negatif (-) diperoleh nilai kuartil kedua sebesar 200 000, sedangkan pada positif satu (1+), positif dua (2+), dan positif tiga (3+) diperoleh nilai kuartil kedua masing-masing sebesar 720 000, 1 840 000, dan 3 640 000. Peningkatan nilai kuartil kedua menandakan bahwa peningkatan reaksi pada uji mastitis IPB-1 diikuti dengan peningkatan jumlah sel somatis. Dari grafik boxplot dapat dilihat bahwa tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 berbanding lurus terhadap jumlah sel

somatis yang dihitung menggunakan metode Breed (Gambar 1).

Gambar 2

Hubungan antara tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis metode Breed.

Tabel 7 Hubungan antara tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis

Metode Breed Pemeriksaan menggunakan uji mastitis IPB-1 Jumlah sel somatis (x1

000) - + ++ +++ 0-250 45 2 0 0 251-500 21 9 0 0 501-750 6 18 1 0 751-1 000 2 10 3 0 1 001-5 000 2 13 22 33 >5 000 0 0 4 14 jumlah 76 52 30 47

Hubungan antara tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis metode Breed ditunjukkan pada Tabel 7 dengan pengelompokkan batas jumlah sel somatis mengacu pada Sudarwanto (1998). Hasil uji mastitis IPB-1 yang

menunjukkan reaksi negatif (-) terdapat pada rentang jumlah sel somatis 0-250 000 sebanyak 45 (59.21%) sampel dan 21 (27.63%) sampel berada pada

rentang 251 000-500 000, hal ini menunjukkan bahwa uji mastitis IPB-1 dapat memberikan hasil reaksi negatif (-) pada sapi yang tidak menderita mastitis subklinis. Berdasarkan IDF (1999) jumlah sel somatis kurang dari 400 000 sel/ml maka susu tersebut bukan berasal dari sapi yang menderita mastitis subklinis. Pada reaksi positif satu (1+) diperoleh hasil 18 (34.62%) sampel berada pada rentang nilai 501 000-750 000. Pada reaksi positif dua (2+) dan positif tiga (3+) diperoleh hasil 22 (73.33%) sampel dan 33 (70.21%) sampel berada pada rentang nilai 1 001 000-5 000 000. Hasil reaksi positif dua (2+) dan positif tiga (3+) berada pada rentang nilai yang sama, tetapi pada reaksi positif tiga (3+) masih ditemukan 14 (29.79%) sampel pada rentang >5 000 000. Hal ini memperlihatkan bahwa uji mastitis IPB-1 dapat mendiagnosa mastitis subklinis dengan tingkat jumlah sel somatis hingga >5 000 000.

Uji mastitis IPB-1 merupakan uji semi kuantitatif, karena semakin tinggi intensitas reaksi yang dihasilkan menggunakan pereaksi IPB-1 diikuti dengan peningkatan jumlah sel somatis pada susu yang berasal dari sapi yang menderita mastitis subklinis. Reagen uji mastitis IPB-1 akan berikatan dengan inti DNA dari sel somatis sehingga terbentuk masa kental, masa yang terbentuk semakin

kental maka makin tinggi tingkat reaksinya dan makin tinggi jumlah sel somatis dalam susu (Sudarwanto 1993).

Sensitivitas dan Spesifisitas Uji Mastitis IPB-1 terhadap Jumlah Sel Somatis Menggunakan Metode Breed

Pengukuran sensitivitas dan spesifisitas uji mastitis IPB-1 sampel susu dilakukan dengan membandingkan hasil uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis (Breed) sebagai uji baku (golden standard). Berdasarkan Tabel 8, sebanyak 129 (62.9%) sampel berasal dari kuartir sapi yang menderita mastitis subklinis dan 76 (37.1%) sampel memperlihatkan reaksi negatif (-) dengan menggunakan uji mastitis IPB-1. Perhitungan jumlah sel somatis secara langsung menggunakan metode Breed (golden standard) diperoleh 143 (69.8%) sampel berasal dari sapi yang menderita mastitis subklinis dan 62 (30.2%) sampel memperlihatkan hasil reaksi negatif (-).

Tabel 8 Penentuan mastitis subklinis berdasarkan uji mastitis IPB-1 dan jumlah sel somatis (n=205)

IPB-1 Jumlah sel somatis (JSS) Jumlah + (≥4× sel/ml) - (≤4× sel/ml)

+ 122 (59.5%) 7 (3.4%) 129 (62.9%)

- 21 (10.24%) 55 (26.8%) 76 (37.1%)

Jumlah 143 (69.8%) 62 (30.2%) 205 (100%) = 101.587(signifikan pada tingkat kepercayaan 95%)

Sensitivitas = 85.31% Spesifisitas = 88.71%

Predictive value :

Positif Uji = 11.29% Negatif Uji = 14.69%

Measure of agreement Kappa = 0.696

Uji mastitis IPB-1 menunjukkan hasil pengujian yang hampir sama dengan jumlah sel somatis (Breed) yang bisa dilihat dari nilai sensitivitasnya yang tinggi, yaitu sebesar 85.31% dan nilai spesifisitasnya sebesar 88.71%. Uji sensitivitas menunjukkan kemampuan uji mastitis IPB-1 untuk memperlihatkan hasil positif pada sapi yang menderita mastitis subklinis. Uji mastitis IPB-1 yang makin sensitif maka mampu mendeteksi mastitis subklinis meskipun jumlah sel somatis masih sangat rendah dalam susu. Uji spesifisitas menunjukkan kemampuan uji mastitis IPB-1 untuk memperlihatkan hasil yang negatif pada sapi yang tidak

menderita mastitis subklinis. Semakin spesifik suatu uji maka uji tersebut hanya mampu mendeteksi agen tertentu saja.

Uji Kappa merupakan uji untuk menilai reliabilitas atau kesesuaian berdasarkan pada skala kategorikal. Hasil uji Kappa menunjukkan nilai 0.696, yang artinya uji mastitis IPB-1 dan jumlah sel somatis (metode Breed) memiliki kesesuaian yang baik diantara kedua uji tersebut. Fleiss (1981), yang diacu dalam Goldstein (2011) memberi nilai Kappa sebagai berikut: > 0.75 berarti ada kesesuaian yang sangat baik (excellent), 0.4-0.75 berarti ada kesesuaian yang baik (fair to good), < 0.4 berarti kesesuaian yang jelek (poor).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudarwanto dan Sudarnika (2008b) diperoleh nilai sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 91.7% dan 96.8% serta nilai uji Kappa sebesar 0.874. Hasil nilai uji yang berbeda terkait dengan jumlah sampel yang diuji dan teknik pengujian yang berbeda. Semua uji kualitatif merupakan uji yang dilakukan langsung di kandang, sementara pada penelitian ini pengujian susu dilakukan di laboratorium dan dengan kondisi susu sampel relatif dingin. Kondisi susu sampel yang relatif dingin mengakibatkan penggumpalan lemak susu sehingga akan mempengaruhi dalam pemeriksaan.

Kondisi Peternakan Sapi Perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) berdasarkan Hasil Kuisioner

Kejadian mastitis subklinis pada peternakan sapi perah dapat disebabkan karena kondisi sanitasi kandang dan tata laksana pemerahan yang dijalankan oleh peternak masih kurang baik. Berdasarkan hasil kuisioner seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9 diperoleh 42.86% peternak yang membersihkan kandangnya sebanyak tiga kali sehari, sisanya 57.13% membersihkan kandangnya dua kali sehari.

Tabel 9 Kondisi sanitasi peternakan sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) berdasarkan hasil kuisioner

No Variabel Deskripsi Hasil Deskripsi (%) 1. Frekuensi pembersihan kandang (hari) 2x

3x

57.13 42.86 2. Jarak pembuangan limbah dari kandang <15 meter 100

Tingkat kejadian mastitis subklinis pada peternakan dengan kandang yang sering dibersihkan akan lebih kecil, dibandingkan dengan kandang yang jarang dibersihkan. Tempat pembuangan limbah juga berperan terhadap terjadinya mastitis subklinis. Seluruh responden membuang limbah tidak jauh dari kandang peternakannya (<15 meter). Jarak yang terlalu dekat antara tempat pembuangan limbah dengan kandang akan menyebabkan lingkungan kandang kotor, menimbulkan pencemaran lingkungan kandang, hal ini akan menyebabkan bakteri tumbuh subur dan bermigrasi ke kandang sehingga setiap saat dapat menimbulkan kejadian mastitis subklinis. Tumpukan limbah peternakan akibat kondisi saluran pembuangan yang tidak baik/tidak lancar akan menyebabkan gangguan terhadap lingkungan antara lain berupa bau busuk dan berkembangnya serangga (Sudarwanto 1999)

Kejadian mastitis subklinis yang tinggi pada peternakan sapi perah dapat disebabkan karena manajemen pemerahan yang kurang baik. Kejadian mastitis subklinis di KUNAK yang berhubungan dengan manajemen pemerahan ditunjukkan pada Tabel 10.

Tabel 10 Manajemen pemerahan sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) berdasarkan hasil kuisioner

No Variabel Deskripsi Hasil Deskripsi

(%) 1. Periode pemandian sapi (hari) 2x sebelum diperah 100 2. Pembersihan ambing sebelum diperah Tanpa dilap

dilap

14.28 85.72

3. Teat dipping setelah pemerahan Ya

Tidak

57.14 42.86

4. Tekhnik pemerahan Strip hand

Whole hand

28.57 71.43 5. Penggunaan pelicin pada saat

memerah

Ya Tidak

100 0

Seluruh responden (100%) memandikan sapinya dua kali sehari sebelum diperah. Kebiasaan memandikan sapi dua kali sehari akan merangsang produksi susu. Sapi yang dimandikan dua kali sehari akan menghasilkan susu lebih banyak dari yang dimandikan satu kali atau yang tidak dimandikan sama sekali (Sudarwanto 1999). Sebanyak 85.72% peternak membersihkan ambing dengan cara dilap sebelum diperah dan 14.28% tanpa dilap. Sapi sebelum dan setelah

diperah putingnya dibersihkan akan berpengaruh terhadap kejadian mastitis subklinis dibandingkan dengan yang tidak dibersihkan. Bakteri ditularkan ke dalam puting yang sehat melalui tangan pemerah, mesin, lap, lantai kandang, baju pemerah, kulit dan rambut sapi, ember dan sebagainya (Sutarti et al. 2003). Ambing dapat dibersihkan menggunakan larutan NaClO dengan konsentrasi 1.5 - 2ppm dan pada konsentrasi ini susu tidak terkontaminsasi bau dari larutan. Tindakan pembersihan dapat dilakukan dengan cara teat dipping setelah pemerahan. Sudarwanto (1988), yang diacu dalam Sudarwanto (1999) menjelaskan bahwa penggunaan desinfektan melalui pencelupan puting setelah pemerahan memiliki tingkat efektivitas tinggi untuk menekan jumlah bakteri dalam susu. Membersihkan ambing sebelum pemerahan, pemeriksaan pancaran sekresi pertama, membersihkan puting sebelum pemerahan dan melakukan terapi kering kandang merupakan usaha dalam mengendalikan mastitis subklinis selain dengan melakukan teat dipping (Sudarwanto 1999).

Seluruh responden memerah dengan tangan, sebanyak 71.43% peternak menggunakan metode whole hand dan 28.57% peternak menggunakan metode strip hand. Teknik pemerahan whole hand dapat menghasilkan susu lebih banyak, mengurangi pencemaran mikroorganisme, dan mengurangi perlukaan puting. Perlukaan puting merupakan predisposisi terjadinya mastitis (Sudarwanto 1998).

Seluruh responden (100%) menggunakan bahan pelicin (vaseline) pada saat memerah. Penggunaan vaselin sebagai alat pelicin dan digunakan secara bersama-sama untuk semua sapi pada peternakan merupakan faktor predisposisi munculnya mastitis subklinis. Hidayat et al. (2002), yang diacu dalam Akilah (2008) menjelaskan selama pemerahan jangan menggunakan vaselin karena vaselin akan menutupi permukaan puting, bila terus menerus menggunakan pelicin (vaselin), penularan penyakit sulit dihindari.

Dokumen terkait