• Tidak ada hasil yang ditemukan

Parameter kualitas air Waduk PLTA Koto Panjang

Pengamatan terhadap beberapa parameter kualitas air di perairan Waduk PLTA Koto Panjang dilakukan pada kedua stasiun, yaitu stasiun I (Keramba Jaring Apung) dan stasiun II (out let). Hasil dari pengamatan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.

Tabel 2 Nilai rata-rata perperiode parameter kualitas air Waduk PLTA Koto Panjang.

Stasiun Periode Suhu (oC) Kekeruhan (NTU) TSS (mg/l) pH

1 32.4 5.77 22.50 6.30 2 32.8 5.78 20.25 6.45 3 33.0 5.35 20.00 6.78 I 4 32.3 5.74 20.00 6.30 1 33.0 5.51 22.50 6.75 2 32.8 5.51 19.50 6.73 3 32.9 5.43 20.25 6.67 II 4 32.9 4.98 16.75 6.08

Tabel 3 Nilai rata-rata perkedalaman inkubasi parameter kualitas air Waduk PLTA Koto Panjang. Stasiun Kedalaman Secchi Kedalaman (m) Suhu (oC) Kekeruhan (NTU) TSS (mg/l) pH Permukaan 0.2 32.9 4.53 15.75 6.73 ½ Secchi 1.5 32.8 6.26 23.50 6.63 Secchi 3 32.4 5.82 22.00 6.40 I K -1 m 4 32.4 6.02 21.50 6.35 Permukaan 0.2 33.0 4.76 17.75 6.70 ½ Secchi 2 33.0 6.02 22.00 6.55 Secchi 4 32.8 5.57 20.75 6.35 II K -1 m 5 32.8 5.09 18.50 6.63

Catatan : K -1 m adalah kedalaman inkubasi 1 meter di bawah kedalaman Secchi.

Suhu

Hasil pengukuran suhu di perairan Waduk PLTA Koto Panjang untuk setiap periode di kedua stasiun (I dan II) rata-rata berkisar 32.3 – 33.0 oC (Tabel 2).Suhu tertinggi untuk stasiun I terjadi pada periode 3 sebesar 33.0 oC sedangkan di stasiun II terjadi pada periode 1 sebesar 33.0 oC. Tingginya suhu pada periode-periode ini

dikarenakan banyaknya persen cahaya yang masuk ke lokasi penelitian. Untuk periode 1, persen cahaya yang masuk selama 12 jam sebesar 70 % sedangkan pada periode ke 3 persen cahaya yang masuk sebesar 61.67 % (Lampiran 1 ).

Adapun perbedaan suhu tertinggi untuk tiap periode di kedua stasiun (I dan II) dikarenakan kondisi cahaya itu sendiri. Parsons et al. (1984) mengatakan aspek dasar dari cahaya yang penting adalah kuantitas dan kualitasnya. Kedua karakter ini berfluktuasi di perairan, tergantung pada waktu, ruang (perbedaan lokasi dan kedalaman), kondisi cuaca, dan penyebaran sudut datang.

Untuk kedalaman inkubasi di stasiun I rata-rata suhu berkisar 32.4 – 32.9 oC dengan suhu tertinggi terdapat pada permukaan perairan sebesar 32.9 oC dan terendah pada kedalaman Secchi dan kedalaman 1 meter di bawah kedalaman Secchi sebesar 32.4 oC (Tabel 3). Dapat juga ditulis dengan rata-rata suhu di stasiun I berkisar antara 32.4 oC (stasiun I, Secchi dan 1 meter di bawah kedalaman Secchi) – 32.9 oC (stasiun I, permukaan perairan). Sementara itu kondisi yang hampir sama juga terjadi di stasiun II dengan rata-rata suhu berkisar 32.8 – 33 oC dengan suhu tertinggi terdapat pada kedalaman inkubasi permukaan perairan dan kedalaman inkubasi ½ Secchi sebesar 33 oC dan terendah pada kedalaman Secchi dan kedalaman 1 meter di bawah kedalaman Secchi sebesar 32.8 oC (Tabel 3). Dapat juga ditulis dengan rata-rata suhu di stasiun II berkisar 32.8 oC (stasiun II, Secchi dan 1 meter di bawah kedalaman Secchi) – 33 oC (stasiun II, permukaan perairan dan ½ Secchi).

Suhu perairan yang tinggi disebabkan karena pada saat berlangsungnya penelitian adalah musim kemarau. Selain itu didukung dengan cuaca yang cukup cerah. Kondisi ini juga dikarenakan sinar matahari yang diterima kedalaman inkubasi permukaan lebih banyak dibandingkan dengan kedalaman inkubasi lainnya dan akan terus berkurang seiring dengan bertambahnya kedalaman. Parsons et al.

(1984) menyatakan semakin menuju kedalam perairan intensitas cahaya akan semakin berkurang dan merupakan cahaya pembatas sampai pada kedalaman tertentu dimana fotosintesis sama dengan respirasi.

Kekeruhan

Kekeruhan perairan Waduk PLTA Koto Panjang untuk stasiun (I dan II) pada setiap periode rata-rata berkisar 4.98 – 5.78 NTU. Namun secara keseluruhan

konsentrasi kekeruhan yang teramati tidak jauh berbeda atau relatif sama di kedua stasiun (Tabel 2). Diduga karena pada saat penelitian tidak terjadi penambahan unsur hara yang cukup besar seperti terjadinya erosi yang dapat menyebabkan kekeruhan perairan.

Rata-rata konsentrasi kekeruhan pada kedalaman inkubasi untuk stasiun I berkisar antara 4.53 NTU (stasiun I, permukaan perairan) – 6.26 NTU (stasiun I, ½ Secchi) (Tabel 3). Namun nilai ini lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai kekeruhan yang diperoleh PPLH-UNRI (2003) sebesar 23.8 NTU.

Untuk stasiun II rata-rata nilai kekeruhan berkisar antara 4.76 NTU (stasiun II, permukaan perairan) – 6.02 NTU (stasiun II, ½ Secchi). Nilai ini berbanding lurus dengan nilai TSS yang juga ditemukan tinggi pada kedalaman inkubasi ½ Secchi dan rendah pada kedalaman permukaan (Tabel 3). Hal ini didukung oleh Effendi (2003) menjelaskan hubungan antara TSS dan kekeruhan, dimana peningkatan TSS menyebabkan peningkatan kekeruhan.

TSS (

Total Suspended Solid)

Konsentrasi rata-rata TSS untuk tiap periode di kedua stasiun (I dan II) berkisar 16.75 – 22.50 mg/l dengan kisaran rata-rata TSS tertinggi terdapat pada stasiun I berkisar 20.00 mg/l (stasiun I, periode 3 dan 4) – 22.50 mg/l (stasiun I, periode 1) dan terendah pada stasiun II berkisar antara 16.75 mg/l (stasiun II, periode 1) – 22.50 mg/l (stasiun II, periode 4) (Tabel 2). Nilai TSS di kedua stasiun (I dan II) lebih kecil jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan pada perairan yang sama oleh Nur (2005) yang memperoleh konsentrasi TSS adalah 45 mg/l.

Berdasarkan kedalaman inkubasi pada stasiun I, rata-rata TSS berkisar 15.75 mg/l (stasiun I, permukaan perairan) – 23.50 mg/l (stasiun I, ½ Secchi) (Tabel 3). Tingginya konsentrasi TSS pada kedalaman inkubasi ½ Secchi ini disebabkan banyak masukkan bahan organik yang berasal dari Keramba Jaring Apung (KJA). Sisa-sisa pakan ikan yang merupakan bahan organik ini diduga tidak termanfaatkan secara optimal oleh organisme KJA dan akhirnya keluar dari keramba dan melayang-layang di dalam kolom-kolom perairan waduk.

Keberadaan TSS di perairan mempengaruhi intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan. Konsentrasi TSS berbanding terbalik dengan

kecerahan, jika TSS kecil maka kecerahan akan tinggi. Nybakken (1988) peningkatan TSS dapat mengakibatkan berkurangnya kedalaman eufotik menjadi turun. Fardiaz (1992) menambahkan bahwa padatan tersuspensi adalah padatan yang dapat mengakibatkan kekeruhan air, tidak larut dan tidak mudah langsung mengendap. Adapun komponen TSS terdiri dari bahan organik, lumpur, pasir halus, serta jasad-jasad renik.

Untuk stasiun II rata-rata TSS perkedalaman inkubasi berkisar 17.75 mg/l (stasiun II, permukaan perairan) – 22.00 mg/l (stasiun II, ½ Secchi). Secara umum konsentrasi TSS di perairan Waduk PLTA Koto Panjang masih dalam kategori baik. Alabastar dan Llyod (1980. diacu dalam Ameliawati 2003) kadar TSS < 25 mg/l tidak mengganggu kepentingan perikanan.

pH

Nilai pH di kedua stasiun (I dan II) selama periode penelitian relatif sama yaitu berkisar antara 6.08 – 6.78 (Tabel 2). Kisaran nilai ini lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh PPLH-UNRI (2003) yang menemukan nilai pH berkisar 5.5 – 6.8.

Sementara itu, nilai rata-rata pH berdasarkan kedalaman inkubasi untuk stasiun I berkisar antara 6.35 (stasiun I, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) – 6.73 (stasiun I, permukaan perairan). Sementara itu, untuk stasiun II rata-rata pH berkisar antara 6.35 (stasiun II, Secchi) – 6.70 (stasiun II, permukaan perairan) (Tabel 3).

Nilai ini menunjukkan bahwa perairan Waduk PLTA Koto Panjang masih dapat mendukung kehidupan organisme yang ada di dalam perairan tersebut. Odum (1993) nilai pH yang baik untuk pertumbuhan organisme berkisar antara 6 – 9. Selain itu PP No 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan juga menyatakan bahwa pH untuk Kelas III (budidaya ikan air tawar) adalah 6 – 9.

Nitrogen Inorganik Terlarut (DIN)

Pengambilan unsur hara oleh fitoplankton hanya terbatas kepada unsur hara yang dapat larut dan menyebar, sehingga dapat melalui dinding semi-permiabel dan masuk kedalam sel. Banyak nutrien kompleks yang terlarut dan partikel yang tidak dapat dimanfaatkan oleh organisme fitoplankton. Hasil dari pengukuran rata-rata

DIN yang didapat selama penelitian untuk kedua stasiun penelitian menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda. Rata-rata total DIN yang diperoleh dari stasiun I sebesar 1.0417 mg at/N/l lebih besar dibandingkan dengan rata-rata total DIN yang diperoleh pada stasiun II sebesar 0.9206 mg at/N/l (Lampiran 9). Tingginya nilai DIN ini diduga karena adanya sumbangan yang besar dari ammonia (NH3-N) sebagai salah satu unsur penyusun DIN.

Pada umumnya nitrogen diabsorbsi oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat (NO3-N) dan ammonia (NH3-N). Namun pada kejadian ini diduga fitoplankton lebih menyukai NH3-N yang keberadaannya selalu tersedia di setiap lapisan kolom air. Welch (1980) menyatakan fitoplankton lebih banyak menyerap NH3-N dibandingkan dengan NO3-N karena lebih banyak dijumpai di perairan baik dalam kondisi aerobik

maupun anaerobik.

Variasi yang terjadi pada nilai konsentrasi DIN (nitrat, nitrit dan ammonia) di kedua stasiun (I dan II) dikarenakan lokasi tempat stasiun pengamatan yang memiliki karakter yang jauh berbeda. Stasiun I merupakan daerah yang padat kegiatan KJA sehingga selalu mendapat masukkan unsur hara tambahan, sedangkan stasiun II merupakan bagian paling hilir dari Waduk PLTA Koto Panjang yang difungsikan sebagai out let air waduk. Kondisi ini diduga menyebabkan unsur hara yang terdapat pada stasiun II ikut keluar seiring dengan keluarnya air waduk. Hal ini terlihat dari nilai rata-rata total DIN yang jumlah konsentrasinya lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi rata-rata total DIN pada stasiun I (Lampiran 9).

Hal yang sama juga kemungkinan terjadi pada fitoplankton yang diduga ikut hanyut keluar seiring dengan keluarnya air waduk. Keberadaan unsur hara di perairan lebih tepat menggambarkan hubungan kelimpahan fitoplankton di suatu perairan dan biasanya perairan-perairan yang memiliki unsur hara yang tinggi selalu diikuti dengan kelimpahan fitoplankton yang tinggi. Ini terlihat dari nilai kelimpahan fitoplankton pada stasiun I yang lebih tinggi dibandingkan stasiun II (Lampiran 9). Fleming (1975, diacu dalam Nur 2005)menjelaskan terdapat hubungan kualitatif dan kuantitatif antara ketersediaan konsentrasi unsur hara dengan produksi biologi fitoplankton di perairan tawar, dimana peningkatan unsur hara selalu diikuti dengan peningkatan produksi tumbuh fitoplankton.

Tabel 4 Nilai rata-rata unsur hara perperiode dengan kedalaman inkubasi di perairan Waduk PLTA Koto Panjang.

Unsur Hara (mg/l) Stasiun Periode NO3-N NO2-N NH3-N DIN PO4-P 1 0.0275 0.0159 0.1237 0.6684 0.9821 2 0.0892 0.0068 0.0545 0.6019 0.1604 3 0.1571 0.0164 0.1212 1.1797 0.4516 I 4 0.2139 0.0121 0.2186 1.7786 0.6423 1 0.0122 0.0129 0.0873 0.4497 0.6079 2 0.0835 0.0204 0.1003 0.8169 0.1428 3 0.0374 0.0152 0.4115 1.8563 0.1166 II 4 0.0338 0.0079 0.0983 0.5596 0.3617

Untuk distribusi vertikal DIN juga masih terlihat adanya variasi yang cukup tinggi terutama pada unsur ammonia antara stasiun I dengan stasiun II. Tingginya variasi DIN yang didapat selama penelitian diduga karena tingginya pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap perairan waduk dan sekitarnya seperti penebangan hutan, pembukaan lahan pertanian, transportasi air, perikanan budidaya dan tangkap, industri kecil, dan pariwisata. Banyak aktivitas tersebut telah memberikan masukkan unsur hara keperairan dalam jumlah yang cukup besar.

Tabel 5 Nilai rata-rata unsur hara untuk setiap kedalaman inkubasi di perairan Waduk PLTA Koto Panjang.

Unsur Hara (mg/l) Stasiun Kedalaman Secchi Kedalaman (m) NO3-N NO2-N NH3-N PO4-P Permukaan 0.2 0.0857 0.0099 0.0652 0.2213 ½ Secchi 1.5 0.3352 0.0106 0.0973 0.7805 Secchi 3 0.0560 0.0138 0.1071 0.6973 I K-1 m 4 0.0110 0.0169 0.2484 0.5373 Permukaan 0.2 0.0229 0.0086 0.0613 0.3677 ½ Secchi 2 0.1126 0.0142 0.1336 0.1133 Secchi 4 0.0185 0.0146 0.1338 0.2709 II K-1 m 5 0.0122 0.0191 0.3687 0.4772

Catatan : K -1 m adalah kedalaman inkubasi 1 meter di bawah kedalaman Secchi.

Nitrat-Nitrogen (NO3-N)

Nitrat merupakan bentuk nitrogen utama di perairan alami, sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Hasil dari pengamatan nitrat diperoleh rata-rata nilai nitrat pada stasiun I dan II serta untuk masing-masing kedalaman inkubasi

sangat bervariasi. Untuk stasiun I nilai nitrat untuk setiap periode pengamatan cenderung mengalami peningkatan, rata-rata berkisar 0.0275 mg/l (stasiun I, periode 1) – 0.2139 mg/l (stasiun I, periode 4) (Tabel 4). Peningkatan nitrat ini diduga dari banyaknya masukkan bahan organik yang merupakan hasil sisa-sisa pakan ikan yang berasal dari KJA yang ada di sekitar stasiun I.

Nitrat pada umumnya merupakan nitrogen anorganik yang terbanyak di ekosistem perairan. Walaupun demikian, jika dilihat dari jumlah konsentrasi nitrogen dalam bentuk nitrat adalah sangat kecil yaitu sekitar ± 0.3 mg/l pada perairan tidak tercemar oleh limbah organik. Tetapi, pada perairan yang tercemar oleh limbah organik, kandungan nitrat akan meningkat secara nyata.

Untuk distribusi vertikal rata-rata nitrat di setiap kedalaman inkubasi di stasiun I berkisar 0.0110 mg/l (stasiun I, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) – 0.3352 mg/l (stasiun I, ½ Secchi) (Tabel 5; Gambar 5). Tingginya nilai NO3-N pada kedalaman inkubasi ½ Secchi ini diikuti dengan tingginya kelimpahan fitoplankton yang ditemukan pada kedalaman tersebut walaupun tidak setinggi kelimpahan fitoplankton pada permukaan perairan. (Lampiran 9). Pada penelitian sebelumnya di perairan yang sama PPLH-UNRI (2003) membagi perairan menjadi tiga kedalaman yaitu permukaan, pertengahan dan dasar perairan berurutan mendapatkan nilai nitrat sebesar 0.443 mg/l, 0.811 mg/l dan 0.756 mg/l berarti konsentrasi nitrat mengalami penurunan.

Untuk stasiun II rata-rata NO3-N perperiode berkisar 0.0122 mg/l (stasiun II, periode 1) – 0.0835 mg/l (stasiun II, periode 2) (Tabel 4) dimana nilai ini lebih kecil bila dibandingkan pada stasiun I. Diduga karena stasiun II berada di hilir waduk dan letaknya jauh dari aktifitas masyarakat seperti KJA dan lain-lain, akibatnya daerah ini kurang mendapat unsur hara tambahan. Hal ini dikarenakan stasiun II merupakan daerah yang dikhususkan untuk kegiatan PLTA sehingga tidak diperbolehkan untuk kegiatan lainnya. Sementara itu rata-rata nitrat perkedalaman inkubasi di stasiun II berkisar 0.0122 mg/l (stasiun II, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) – 0.1126 mg/l (stasiun II, ½ Secchi) (Tabel 5; Gambar 5).

Vollenweider (1974) mengklasifikasikan kesuburan perairan berdasarkan kandungan nitrat yaitu, 0.0 – 1.0 mg/l dikategorikan sebagai perairan yang kurang subur, 1.0 – 5.0 mg/l di kategorikan sebagai perairan yang kesuburan sedang dan 5.0 – 50 mg/l dikategorikan sebagai perairan dengan kesuburan tinggi. Berdasarkan

klasifikasi ini dapat dinyatakan bahwa perairan Waduk PLTA Koto Panjang merupakan perairan yang kurang subur.

Gambar 5 Pola distribusi vertikal konsentrasi nitrat di perairan Waduk PLTA Koto Panjang.

Nitrit-Nitrogen (NO2-N)

Kandungan nitrit untuk stasiun I selama penelitian rata-rata berkisar 0.0068 mg/l (stasiun I, periode 2) – 0.0164 mg/l ( stasiun I, periode 3) (Tabel 4). Sementara itu berdasarkan kedalaman inkubasi rata-rata nitrit berkisar 0.0099 mg/l (stasiun I, permukaan perairan) – 0.0169 mg/l (stasiun I, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) (Tabel 5; Gambar 6). Ini diduga karena pada kedalaman inkubasi 1 meter di bawah kedalaman Secchi telah terjadi penurunan oksigen terlarut sementara bagian permukaan perairan masih memiliki kandungan oksigen yang sangat tinggi.

Artinya rendahnya kandungan NO2-N pada permukaan perairan berkaitan erat dengan sifat nitrit yang tidak stabil dan merupakan bentuk sementara dalam proses nitrifikasi ammonia, sehingga ada kemungkinan sebahagian NO2-N telah teroksidasi menjadi NO3-N karena kandungan oksigen terlarut yang mendukung proses oksidasi tersebut. Wetzel (1983) menyatakan konsentrasi NO2-N akan lebih rendah pada bagian permukaan perairan dengan kandungan oksigen terlarut tinggi daripada di bagian permukaan perairan lainnya dengan kandungan oksigen terlarut

0 1 2 3 4 5 6 0 0.1 0.2 0.3 0.4 Nitrat (mg NO3-N/l) Ke da la m a n ( m ) Stasiun I Stasiun II

rendah. Sejalan dengan pernyataan di atas Ruttner (1973) menyatakan bahwa distribusi NO2-N sangat berkaitan erat dengan distribusi oksigen di suatu perairan.

Pada stasiun II rata-rata konsentrasi nitrit perperiode berkisar 0.0079 mg/l (stasiun II, periode 4) – 0.0204 mg/l (stasiun II, periode 2) (Tabel 4). Berdasarkan kedalaman inkubasi rata-rata berkisar 0.0086 mg/l (stasiun II, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) – 0.0191 mg/l (stasiun II, permukaan perairan) (Tabel 5; Gambar 6). Sama halnya dengan stasiun I nilai nitrit tertinggi juga terdapat pada kedalaman 5 meter (1 meter di bawah kedalaman Secchi) sebesar 0.0191 mg/l dan terendah pada permukaan perairan (0.2 meter) sebesar 0.0086 mg/l. Namun secara umum berdasarkan kandungan nitrit yang diperoleh di kedua stasiun (I dan II) perairan Waduk PLTA Koto Panjang masih mendukung kehidupan organisme yang ada di dalamnya. Wickins (1976, diacu dalam Ameliawati 2003) kadar nitrit yang aman bagi kehidupan organisme air adalah kecil dari 0.5 mg/l.

Gambar 6 Pola distribusi vertikal konsentrasi nitrit di perairan Waduk PLTA Koto Panjang.

Ammonia-Nitrogen (NH3-N)

Hasil pengamatan ammonia selama penelitian di kedua stasiun (I dan II) untuk setiap periode rata-rata berkisar 0.0545 mg/l (stasiun I, periode 2) – 0.2186 mg/l (stasiun I, periode 4) untuk stasiun I dan 0.0873 mg/l (stasiun II, periode 1) – 0.4115 mg/l (stasiun II, periode 3) untuk stasiun II (Tabel 4). Kisaran nilai ammonia

0 1 2 3 4 5 6 0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 Nitrit (mg NO2-N/l) Ke d a la m a n ( m ) Stasiun I Stasiun II

yang diperoleh ini lebih besar dibandingkan dengan nilai ammonia yang di peroleh Nur (2005)yang mendapatkan konsentrasi ammonia sebesar 0.04 mg/l.

Kondisi ini diduga telah terjadi penumpukan NH3 di dalam perairan karena banyak sisa-sisa pakan dan feses ikan yang berasal dari keramba masuk ke dalam badan air. Akibatnya terjadi penumpukan bahan organik tersebut yang menyebabkan terjadinya proses dekomposisi oleh mikroorganisme sehingga menghasilkan ammonia yang cukup tinggi dan jumlahnya semakin lama semakin meningkat di perairan. Boyd (1982) menyatakan keberadaan ammonia di perairan merupakan hasil proses dekomposisi dari bahan organik yang banyak mengandung senyawa nitrogen oleh mikroba, ekresi organisme, reduksi nitrit oleh bakteri, dan kegiatan pemupukan.

Berdasarkan distribusi ammonia secara vertikal di kedua stasiun penelitian terlihat pola yang sama, dimana konsentrasi ammonia dari permukaan sampai kedalaman perairan menunjukkan jumlah yang semakin tinggi (Gambar 7). Untuk stasiun I konsentrasi ammonia berkisar 0.0652 mg/l (stasiun I, permukaan perairan) – 0.2484 mg/l (stasiun I, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) (Tabel 5). Sejalan dengan stasiun I, pada stasiun II rata-rata ammonia perkedalaman inkubasi berkisar 0.0613 mg/l (stasiun II, permukaan perairan) – 0.3687 mg/l (stasiun II, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) (Tabel 5). Welch (1980) kandungan ammonia akan bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman perairan. Penambahan ammonia dari dasar perairan melalui proses dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri yang selalu menghasilkan ammonia.

Secara umum terlihat kandungan ammonia di kedua stasiun I dan II terutama untuk kedalaman inkubasi 1 meter di bawah kedalaman Secchi sudah melewati konsentrasi maksimal yaitu 0.06 mg/l. Meskipun demikian (Boyd 1982) menyatakan konsentrasi ammonia yang bersifat toksit bagi sebahagian besar biota perairan berkisar 0.6 – 2.0 mg/l. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan perairan Waduk PLTA Koto Panjang masih mendukung kehidupan organisme perairan.

Gambar 7 Pola distribusi vertikal konsentrasi ammonia di perairan Waduk PLTA Koto Panjang.

Fosfor Inorganik Terlarut (DIP) Ortofosfat (PO4-P)

Hasil rata-rata kisaran konsentrasi fosfat yang diperoleh untuk setiap periode di kedua stasiun I dan II menunjukkan nilai yang beragam. Pada stasiun I rata-rata fosfat berkisar 0.1604 mg/l (stasiun I, periode 2) – 0.9821 mg/l (stasiun I, periode 1) (Tabel 4) dengan rata-rata ortofosfat perkedalaman inkubasi berkisar 0.2213 mg/l (stasiun I, permukaan perairan) – 0.7805 mg/l (stasiun I, ½ Secchi) (Tabel 5; Gambar 7). Untuk stasiun II kisaran rata-rata ortofosfat 0.1166 mg/l (stasiun II, periode 3) – 0.6079 mg/l (stasiun II, periode 1) (Tabel 4) dengan rata-rata ortofosfat perkedalaman inkubasi berkisar 0.1133 mg/l (stasiun II, ½ Secchi) – 0.4772 mg/l (stasiun II, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) (Tabel 5; Gambar 8). Konsentrasi ortofosfat ini lebih kecil dibandingkan dengan yang ditemukan PPLH-UNRI (2003) yang membagi waduk menjadi tiga kedalaman yaitu permukaan, pertengahan dan dasar perairan. Nilai tersebut berurutan yaitu 0.600 mg/l, 1.055 mg/l, dan 1.217 mg/l.

Walaupun nilai fosfat yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, namun konsentrasi fosfat masih dalam kategori

0 1 2 3 4 5 6 0 0.1 0.2 0.3 0.4 Ammonia (mg NH3-N/l) Ke d a la m a n ( m ) Stasiun I Stasiun II

cukup tinggi. Klasifikasi fosfat di perairan yaitu 0.00 – 0.02 mg/l adalah perairan dengan kesuburan rendah, konsentrasi berkisar 0.02 – 0.05 mg/l kesuburan sedang, dan konsentrasi 0.05 – 0.20 mg/l kesuburan perairan tinggi dan lebih dari 0.20 mg/l kesuburan sangat tinggi (Poernomo & Hanafi 1982).

Konsentrasi fosfat yang cukup tinggi dikarenakan maraknya aktifitas KJA dan juga disebabkan oleh banyaknya pembukaan lahan baru untuk perkebunan yang dilakukan oleh masyarakat. Pemupukan merupakan salah satu kegiatan pertanian dan perkebunan yang cukup memberikan kontribusi yang nyata terhadap peningkatan konsentrasi fosfat di perairan. Melalui hujan ataupun aliran air permukaan diduga sisa-sisa hasil pemupukan dari daerah pertanian memasuki perairan Waduk PLTA Koto Panjang.

Millero dan Sohn (1991) menguraikan bahwa pertumbuhan semua jenis fitoplankton tergantung konsentrasi ortofosfat, bila konsentrasi ortofosfat dibawah 0.009 mg/l maka perkembangan sel akan terganggu. Sementara itu, untuk pertumbuhan optimal fitoplankton membutuhkan konsentrasi ortofosfat berkisar dari 0.27 – 5.51 mg/l. Maka dapat disimpulkan konsentrasi fosfat di perairan Waduk PLTA Koto Panjang berada pada konsentrasi yang mendukung kehidupan organisme fitoplankton.

Gambar 8 Pola distribusi vertikal konsentrasi ortofosfat di perairan Waduk PLTA Koto Panjang. 0 1 2 3 4 5 6 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 Fosfat (mg PO4-P/l) Ke da la m a n ( m ) Stasiun I Stasiun II

Struktur Komunitas Fitoplankton Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton

Genera fitoplankton yang ditemukan di perairan Waduk PLTA Koto Panjang selama penelitian sebanyak 37 genera yang mewakili 6 kelas, yaitu Chlorophyceae, Cyanophyceae, Bacillariophyceae, Xanthophyceae, Dinophyceae dan Chrysophyceae yang tersebar di seluruh kedalaman inkubasi di kedua stasiun penelitian. Genera fitoplankton dari kelas Chlorophyceae merupakan genera yang paling banyak ditemukan di semua kedalaman inkubasi baik di stasiun I maupun di stasiun II. Jumlah masing-masing genera perkelas secara berturut-turut adalah 16 genera Chlorophyceae, 12 genera Cyanophyceae, 5 genera Bacillariophyceae, 2 genera Xanthophyceae, 1 genera Dinophyceae dan 1 genera Chrysophyceae (Tabel 6; Lampiran 5, 6, 7 dan 8). Tetapi berdasarkan jumlah kelimpahan individu pergenara terbanyak adalah dari kelas Cyanophyceae

Nur (2005) pada lokasi yang sama juga menemukan jumlah kelas yang sama, dengan total 31 genera. Dimana dominasi Cyanophyceae terlihat dengan jelas. Hal yang sama juga didapatkan Baksir (1999) di perairan Waduk Cirata dengan 4 kelas yang terdiri dari 23 genera dengan konsentrasi fosfat di atas 0.066 mg/l sudah terlihat dominasi dari kelas Cyanophyceae.

Tabel 6 Jumlah genera fitoplankton perperiode di perairan Waduk PLTA Koto Panjang.

Kelas Fitoplankton Stasiun Periode Chloro

phyceae Cyano phyceae Bacillario phyceae Xantho phyceae Dino phyceae Chryso phyceae 1 14 12 5 2 1 1 2 16 12 5 2 1 1 3 14 11 5 1 1 1 I 4 15 11 4 2 1 1 1 15 12 5 2 1 1 2 16 11 5 2 1 1 3 14 12 5 1 1 1 II 4 15 11 5 2 1 1

Ankistrodesmus sp, Stigeoclonium sp, Uronema sp, Gonatozygon sp,

Chlorella sp, Crucigenia sp Lobomonas sp, Cosmarium sp, Schroederia sp,

Pediastrum sp dari kelas Chlorophyceae merupakan penyusun utama komunitas fitoplankton di seluruh lokasi penelitian baik di stasiun I dan II. Genera ini menyebar pada seluruh lapisan kolom air dari permukaan (0.2 meter) sampai pada kedalaman 1 meter di bawah kedalaman Secchi (kedalaman inkubasi). Penyusunan komunitas selanjutnya dari kelas Cyanophyceae yaitu genera Oscillatoria sp, Calothrix sp,

Anabaena sp, Microcystis sp, Spirulina sp, Phormidium sp, Dactylococcopsis sp,

Hammatoidea sp, Heterothrix sp. Sedangkan dari kelas Bacillariophyceae adalah

Pinnularia sp, Navicula sp, Diatoma sp. Selanjutnya dari kelas Xanthophyceae yang

diwakili oleh Characiopsis sp dan Tribonema sp. Terakhir, dari kelas Dinophyceae dan Chrysophycea yang masing-masing diwakili oleh satu genera yaitu Peridinium

sp dan Dinobryon sp (Lampiran 5, 6, 7 dan 8). Genera-genera tersebut merupakan genera yang sering ditemukan pada waktu pengamatan. Tetapi, ada juga beberapa genera yang sesekali muncul selama penelitian seperti Dictyosphaerium sp,

Raphidiopsis sp, dan Surirella sp.

Kebanyakan genera fitoplankton yang ditemukan berbentuk filamen dan berkoloni serta jenis yang tidak mempunyai daya gerak, dan pada umumnya dijumpai di perairan tawar. Ruttner (1973) menyatakan komposisi jenis fitoplankton yang umum dijumpai di perairan tawar berasal dari kelas Cyanophyceae, Chlorophyceae, Bacillariophyceae, Dinophyceae, Chrysophyceae, Eugleanophyceae dan Xanthophyceae. Sedangkan untuk kelas Cyanophyceae dan Chlorophyceae merupakan jenis yang paling dominan di perairan tawar tergenang. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Seller & Markland (1987) pada komunitas fitoplankton di perairan yang tergenang (khususnya perairan tawar seperti danau, waduk dan kolam) mempunyai kecenderungan di dominasi oleh genera-genera fitoplankton dari kelas Cyanophyceae dan Chlorophyceae.

Kelimpahan fitoplankton yang ditemukan di kedua stasiun tidak jauh berbeda, dimana secara keseluruhan total kelimpahan fitoplankon tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 289.200 sel/l dibandingkan dengan stasiun II sebesar 204.960 sel/l (Lampiran 9). Sedangkan kelimpahan fitoplankton perperiode dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Nilai rata-rata Kelimpahan (sel/l) perperiode kelas fitoplankton di perairan Waduk PLTA Koto Panjang.

Kelas Fitoplankton Stasiun Periode Chloro

phyceae Cyano phyceae Bacillario phyceae Xantho phyceae Dino phyceae Chryso phyceae 1 3900 19500 313 88 125 38 2 3563 13813 313 88 88 75 3 2150 10813 263 25 50 100 I 4 3475 13013 213 75 38 38 1 2213 9913 263 113 50 100 2 3163 8715 138 113 113 100 3 3255 12225 225 88 50 63 II 4 2400 7638 200 113 50 125

Pada Tabel 7, kelimpahan rata-rata fitoplankton perkelas untuk tiap periode

Dokumen terkait