• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di tiga desa yaitu: Desa Lama, Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau terletak di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Ketiga desa ini merupakan kawasan yang masih mendapatkan pengaruh salinitas, namun tidak begitu dekat dengan pesisir pantai. Pada umum nya mangrove ditanam secara intensif oleh masyarakat untuk tujuan tertentu, misalnya tambak dan penggunaan komersial lainnya dari tanaman mangrove.

Desa yang menggunakan sistem tekhnologi budidaya tambak semi intensif adalah Desa Paluh Manan karena beberapa petani yang luasan tambaknya hanya 1 ha terbagi kedalam 3 petak yang tidak berdekatan dengan tambak anggota lainnya atau terpisah, kemudian pemasukan dan pengeluaran airnya tidak tergantung dengan pasang surut, serta kedalaman air umumnya 90 cm – 100 cm dan sebagian lainnya yang ada di Desa Paluh Manan menggunakan sistem teknologi budidaya tambak sederhana. Kemudian Desa Lama dan Desa Paluh Kurau termasuk juga kedalam sistem teknologi budidaya tambak sederhana dengan ciri-ciri pengaruh air pasang surut sangat penting untuk budidaya sederhana ini, tetapi bentuk petakan teratur 0,5 – 1 ha, dan produksi yang dicapai umumnya rendah, hal ini sesuai dengan Kusnendar et al, (1999) yang menyatakan bahwa karakter pembagian teknologi terbagi atas 3 diantaranya adalah 1. Tambak sederhana dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran air umumnya tergantung sepenuhnya dengan pasang surut, bentuk petakan tidak teratur, luas petakan tambak antara 0,5 – 5 hektar, kedalaman air umumnya hanya mampu < 70 cm,

produksi yang dicapai umumnya rendah. 2. Tambak semi intensif dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran air tidak tergantung sepenuhnya dengan pasang surut, bentuk petakan teratur , luas petakan tambak antara 0,5 – 1 hektar, kedalaman air umumnya hanya mampu >90 cm, produksi yang dicapai umumnya lebih tinggi dari tambak sederhana dan 3. Tambak intensif dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran air tidak tergantung sepenuhnya dengan pasang surut, bentuk petakan teratur, luas petakan tambak antara 0,3 – 0,5 hektar, kedalaman air umumnya >1,0 m, produksi yang dicapai umumnya tinggi.

Ketiga desa lokasi penelitian ini memiliki kelompok tani masing-masing dalam mengelola tambak silvofishery. Desa Lama tergabung dalam Kelompok Tani Paluh Pandan dengan tambak silvofishery seluas 6 ha terdiri dari 13 anggota. Desa Paluh Manan memiliki kelompok Tani Lestari Hijau yang berjumlah 25 anggota, dan Desa Paluh kurau memiliki Kelompok Tani Serai Mangrove yang berjumlah 14 anggota.

Karekteristik Responden

Umur

setiap desa memiliki jumlah kelompok tani yang berbeda – beda, Desa Lama memiliki Kelompok Tani Paluh Pandan berjumlah 13 orang, Desa Paluh Manan memiliki Kelompok Tani Lestari Hijau berjumlah 25 orang, dan Desa Paluh kurau memiliki Kelompok Tani Serai Mangrove berjumlah 14 orang. Umur responden dikategorikan kedalam empat kelas umur yakni dari umur 20 tahun sebagai umur responden yang termuda hingga umur tertua yakni umur 70 tahun seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

No Kelas Umur Jumlah Persentasi (%) 1 20 – 30 4 7,70 2 31 – 40 13 25 3 41 – 50 27 51,92 4 51 − 60 6 11,54 5 61 − 70 2 3,84 Total 52 100

Tabel 1. Distribusi anggota kelompok tani berdasarkan umur

Anggota kelompok tani dengan umur 41-50 tahun lebih banyak ditemuka n dilapangan. Hal ini berhubungan dengan bahwa umur demikian banyak yang aktif pada kegiatan kelompok tani dan menggantungkan pendapatannya dengan bekerja sebagai petani tambak. Responden dengan usia produktif tersebut merupakan responden yang telah berumah tangga dan sangat aktif secara langsung di tambak wilayah desa tersebut.

Lama Menetap

Lama seseorang menetap pada wilayah tertentu sangat mempengaruhi pengenalannya terhadap lingkungan. Distribusi anggota kelompok tani berdasarkan lama menetap dapat dilihat pada tabel 2.

No Lama Menetap Jumlah Persentasi (%)

1 0 – 10 1 1,92

2 11 – 20 3 5,77

3 21 – 30 12 2,08

4 >31 36 69,23

Total 52 100

Tabel 2. Distribusi anggota kelompok tani berdasarkan lama menetap

Anggota kelompok tani yang menetap di bawah 20 tahun dominan tidak mengetahui mengenai perubahan-perubahan lingkungan tempat tinggalnya. Sementara anggota kelompok tani yang sejak lahir berada dilokasi tersebut maupun yang telah menetap di atas 20 tahun ternyata lebih mengerti mengenai dinamika perubahan lingkungan yang terjadi. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara , hal tersebut terjadi karena kurangnyarasa ingin tahu dari responden terhadap lokasi tempat tinggalnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Abdel (2014) dimana masyarakat yang bertempat tinggal di daerahnya dibawah waktu 20 tahun

dominan kurang mengetahui mengenai perubahan-perubahan lingkungan yang menjadi tempat barunya.

Pendidikan

Tingkat pendidikan anggota kelompok tani di Desa Lama, Desa Paluh Manan, dan Desa Paluh Kurau diklasifikasikan dalam tiga kategori dimulai dari kategori kategori SD, kategori SMP, dan kategori SMA dapat dilihat Tabel 3.

No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentasi (%)

1 SD 29 56

2 SMP 9 17

3 SMA 14 27

Total 52 100

Tabel 3. Tingkat pendidikan anggota kelompok tani masyarakat Desa Lama, Desa Paluh Manan, dan Desa Paluh Kurau. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat Desa Lama, Desa Paluh Manan, dan Desa Paluh Kurau secara umum tergolong rendah. Berbagai faktor penyebab latar belakang rendahnya pendidikan mereka disebabkan oleh rendahnya taraf hidup/perekonomian masyarakat, serta rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan.

Pekerjaan

Masyarakat Kecamatan Hamparan Perak yang merupakan masyarakat peisisir dengan latar belakang perekonomiannya tidak bisa dipisahkan dari produksi perikanan di daerah tersebut. Secara umum perekonomian masyarakatnya ditopang oleh hasil tanaman mangrove dan perikanan. Jenis pekerjaan anggota kelompok tani dapat dilihat pada tabel 4.

No Jenis pekerjaan

Pekerjaan

Pokok Sampingan

Jumlah Presentase Jumlah Presentase

1 Petani 37 71 % 13 46,42 %

2 Nelayan 14 26 % 14 50 %

3 Wiraswasta 1 1,5 % 1 3,57 %

4 peternak 1 1,5 % 1 3,57 %

Total 52 100% 28 100%

Tabel 4. Jenis pekerjaan anggota kelompok tani

Masyarakat dengan pekerjaan pokok paling banyak adalah sebagai petani, dalam hal ini adalah petani yang menggarap ladang dan petani tanaman mangrove. Profesi nelayan hanya dimiliki oleh orang yang memiliki modal cukup besar untuk membeli sebuah perahu lengkap dengan perlengkapan menangkap ikan.

Masyarakat yang melakukan pekerjaan sampingan jauh dari pemanfaatan mangrove, sepeti terlihat pada Tabel 4. Pekerjaan sampingan dilakukan oleh sebagian besar orang. Contoh dari pekerjaan sampingan tersebut adalah dengan berjualan propagul, bibit mangrove dan lain lain. Pekerjaan sampingan yang ditekuni oleh masyarakat desa pada umumnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang mana tidak tercukupi dari hasil pekerjaan pokok. Penghasilan yang rendah mengakibatkan sebagian besar masyarakat harus memiliki pekerjaan sampingan.

Tingkat Pendapatan

Tingkat pendapatan masyarakat pengelola tambak silvofishery dipengaruhi oleh banyak faktor seperti luasan tambak yang dimiliki, sewa lahan, serta pengelolaan untuk tambak, seperti pentingnya menjaga kualitas air agar ikan, kepiting, dan udang terhindar dari penyakit. Distribusi anggota kelompok tani menurut tingkat pendapatan perbulan dapat dilihat pada tabel 5.

No Pendapatan (Rp.)

Jumlah (orang)

Total Desa Lama Desa Paluh

manan Desa Paluh Kurau

1 600.000 − 1.000.000 8 19 9 36

2 1.000.001 − 1.500.000 4 5 4 14

3 1.500.001 − 2.000.000 1 0 1 1

4 2.000.001 − 2.500.000 0 0 0 0

5 ≥2.500.001 0 1 0 1

Tabel 5. Distribusi anggota kelompok tani menurut tingkat pendapatan perbulan

Anggota kelompok tani yang pendapatannya ≤ Rp.1.000.000 karena tambak yang dimiliki luasanya ≤ 1 ha/orang milik pribadi atau seluas ≥ 1 ha. Kemudian pendapatan berkisar ≥Rp.2.500.000 dikarenakan tambak yang dimiliki sangat luas yakni dengan luas 4 ha milik pribadi dan seluas 2 ha merupakan sewa. Kondisi jumlah pendapatan tersebut dikategorikan sangat rendah sesuai dengan Indikator keluarga sejahtera berdasarkan Badan Pusat Statistik Mei tahun 2013 yang menyebutkan apabila pendapatan masyarakat < Rp. 5.000.000 digolongkan pada kesejahteraan rendah.

Silvofishery di Desa Lama, Desa Paluh manan, dan Desa Paluh Kurau

Desa Lama

Tambak silvofishery di desa Lama yang tergabung dalam kelompok tani Paluh Pandan dengan luasan 6 ha terdiri dari 13 anggota. Kelompok tani Paluh pandan terbentuk pada tahun 2005 pada saat itu tambak menggunakan sistem teknologi tambak intensif, tetapi tiga tahun selanjutnya hasil produksi menurun drastis dan bisa dikatakan hancur. Ekosistem alami di kawasan tropika sering kali amat rentan terhadap degradasi oleh kegiatan penebangan, kebakaran, penggembalaan dan budidaya pertanian dan perladangan yang

berlebihan yang menyebabkan vegetasi asli sulit untuk pulih kembali. Seperti pernyataan Kusmana (1999) bahwa Kondisi hutan yang rusak tersebut tidak akan pernah dapat untuk pulih kembali seperti semula.

Kelompok tani Paluh Pandan mendapatkan penyuluhan dari Dinas Perikanan pada tahun 2010, melalui penanaman KBR dari dinas Kehutanan mulai ditanam tanaman mangrove seperti R.mucronata dan R.stylosa sebanyak 400 bibit perpetak dan sekarang ada jenis tanaman mangrove lainnya yang tumbuh seperti A. marina dan Acrostichum aureum, dan ada juga tanaman pertanian yang sengaja yang ditanam disela pematang tambak seperti ubi kayu dan rimbang. Dalam 1 kolam biasanya terdiri dari 3 petak yakni seluas 1ha. Untuk biaya pengeluaran tambak silvofisahery dapat dilihat pada Tabel 6.

No Jenis Bibit Harga/ekor (Rp.) Jumlah (ekor) Total (Rp.)

1 Pembuatan bedeng - 12 100.000 2 Bibit mangrove - 400 50.000 3 Pipa paralon 33.300 6 200.000 4 Upah jaga/pemeliharaan - - 100.000 5 jaring 4 25.000 100.000 6 Ikan nila 200 3000 600.000 7 Udang Windu 75 1.000 75.000 8 Kepiting bakau 2.200 48 105.000 Total 1.330.000

Tabel 6. Biaya operasional untuk kolam dalam jangka waktu 6 bulan

Luasan 6 ha merupakan luasan yang produktif dan ada sekitar luasan 3ha yang jarang digunakan karena lahan tersebut harus disewa dengan membayar 1 kolam seharga Rp.1.500.000/tahun. Biaya pembersihan dan pengolahan lahan dilakukan oleh individu masing-masing pengguna tambak silvofishery.

No Jenis Satuan kg (Rp) Jumlah (Kg) Jumlah Harga (Rp.) 1 Ikan Nila 15.000 325 4.875.000 2 Udang Windu 50.000 23 1.150.000 3 Kepiting Bakau 60.000 19.2 1.152.000

Total 7.177.000

Tabel 7. Hasil produksi untuk 1 kolam dalam jangka 4 bulan

Keuntungan bersih total adalah Rp. 5.847.000 maka untuk setiap bulannya diperoleh Rp. 1.461.750. Jumlah tersebut merupakan hasil pendapatan untuk 3ha. Berarti per ha nya dihitung rata-rata menghasilkan Rp.487.250. Sebagai tambak yang menggunakan pakan alami tentunya jumlah ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Yenny (2007) tentang pelestarian hutan mangrove melalui silvofishery dan pengelolaannya, yaitu sebesar 200kg/ha nya. Dimana seharusnya bisa mencapai 400kg/ha nya.

Berikut adalah model tambak silvofishey di desa Lama dapat dilihat pada Gambar 3. a b d c e f

Keterangan : a. Waduk b. Tambak c. Pipa paralon d. Acrostichum aureum. e. Bedengan f. Mangrove g. Pintu air

Desa ini menggunakan system silvofishery dengan system kao-kao. Dimana sistem kao-kao adalah sistem wanamina dengan kolam di tengah dan hutan mengelilingi kolam (Maryani, 2009). Model kao-kao ini merupakan modifikasi dari Model Empang Parit Tradisional. Pepohonan mangrove ditanam pada daerah yang terpisah dengan empang tempat memelihara ikan/udang, dimana diantara keduanya terdapat pintu air penghubung yang mengatur keluar masuknya air (Sofiawan, 2000)

Desa Paluh Manan

Desa Paluh manan membuka lahan tambak udang secara intensif dan bekerja sama dengan pengusaha pada tahun 1990-2000, tetapi usaha ini beresiko cukup tinggi dan tidak ramah lingkungan. Sejak tahun 2005 kelompok binaan mulai melestarikan tambak dengan menanam mangrove dan juga tanaman kelapa sawit di betengannya. Pada tahun 2007 peserta kelompok mendapatkan pelatihan untuk mengembangkan bibit mangrove dan pada tahun yang sama di Desa ini dibentuk Kelompok Tani Kehutanan Hijau Lestari.

No Jenis biaya Biaya (Rp)

1 Pengolahan Lahan 500.000

2 Pupuk Dan Obat-Obatan 500.00

3 Benur Ikan Nila @1250ekor 250.000

4 Benur Udang Teger @200ekor 125.000

5 Sewa Lahan 500.000

6 Tenaga Kerja 750.000

Total 2.625.000

Tabel 8. Biaya operasional untuk 1 kolam dalam jangka waktu 6 bulan

Lahan Desa Paluh Manan seluas 7 ha diantaranya 4.5 ha milik sendiri dan 2.5 ha lainnya adalah sewa, sewa lahan 1 kolam (1 ha) seharga Rp.1.000.000/tahun. Jenis kepiting tidak dibudidayakan karena mempunyai resiko seperti bolong pada bedengan yang akan menambah biaya pengolahan lahan.

No Jenis

Satuan kg

(Rp) Jumlah (Kg) Jumlah Harga (Rp)

1 Ikan Nila 15.000 150 2.250.000

2 Udang 50.000 50 2.500.000

Total 4.750.000

Tabel 9. Hasil produksi untuk 1 kolam dalam jangka 6 bulan

Hasil rata rata yang diperoleh dari lahan tambak Desa Paluh Manan adalah 44,4 kg per ha nya. Dengan kombinasi antara hutan dengan tambak sebesar 20:80 jumlah ini cukup kecil. Jika dibandingkan dengan penelitian Wibowo (2006) dimana dengan pengembangan sistem wanamina secara lebih tertata dan perbandingan antara hutan dan tambak 80%:20%, diharapkan dapat meningkatkan produksi persatuan luas. Harapan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa hutan di sekitar kolam yang lebih baik akan meningkatkan kesuburan dengan banyaknya detritus, yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap produksi. Di samping itu, hutan yang lebih baik akan menjadi tempat mengasuh anakan (nursery ground) yang cukup bagi udang, melindungi udang dari suhu yang tinggi

daun mangrove yang jatuh diduga mengandung alelopaty yang dapat mengurangi keberadaan penyakit ikan dalam tambak.Hal tersebut juiga sesuai dengan penelitian Yenny (2007) dimana dengan perbandingan kolam dengan hutan 20 : 80 membuktikan hasil panen yang tinggi yaitu sebesar 350 kg lebih per ha nya. Tingkat hidup benur juga cukup tinggi yaitu sekitar 90 %. Jauh dari standart yang telah ditetapkan. Berikut adalah model tambak silvofishey di Desa Paluh Manan dapat dilihat pada Gambar 4.

a b c d e f

Gambar 4. Model tambak yang digunakan di Desa Paluh Manan

Keterangan : a. Jalan desa b. Pipa paralon c. Mangrove

d. Tambak

e. Paluh (aliran sungai) f. Bedengan

g. Kelapa sawit

Tipe tambak di desa ini adalah tipe jalur atau model kao-kao. Pada model ini mangrove ditanam diatas guludan tambak, biasanya ukuran guludan disesuaikan dengan luasan tambak. Keuntungan model ini adalah ruang pemeliharaan ikan cukup lebar, dan intensitas matahari cukup tinggi. Sedangkan kerugiannya adalah pada saat panen harus dilakukan dengan cara menggiring ikan pada satu sudut tambak

Desa Paluh Kurau

Silvofishery yang ada di Desa Paluh Kurau bukan milik pribadi atau pun sewa melainkan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Kelompok Tani Serai Mangrove terbentuk pada tahun 2010 dan dibina oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang dan bibit mangrove ditanam pada areal tambak pada tahun 2010 seluas 10ha oleh biaya kelompok tani sendiri dan tenaga kerjanya gotong royong sesama anggota Kelompok Tani Serai Mangrove. Tambak silvofishery diuraikan dibawah yakni modal operasional yang dikeluarkan dalam jangka waktu 6 bulan. dapat dilihat pada table Tabel 10.

No Jenis Bibit Harga/ekor (Rp.) Jumlah (ekor) Total (Rp.)

1 Pembuatan bedeng - 12 100.000 2 Bibit mangrove - 400 50.000 3 Pipa paralon 33.300 6 200.000 4 Upah jaga/pemeliharaan - - 100.000 5 Jarring 4 25.000 100.000 6 Pakan 10.000 20kg 200.000

Total 4.470.000 Tabel 10. Modal operasional untuk 1 kolam dalam jangka waktu 6 bulan

Dari biaya operasional untuk lahan tambak seluas 10ha tersebut diperoleh hasil produksi dari 1.600 ekor kepiting bakau jenis Scylla trunguebarica diperoleh hasil selama 6bulan yaitu 640 kg. dimana jika dijual dengan harga pasar yaitu Rp.15.000 /kg nya. Sehingga dari jumlah yang diperoleh maka dihasilkan pendapatan sebesar Rp.9.600.000.

Jumlah biaya 1 kolam adalah 9.600.000 - Rp.4.470.000 = Rp.5.130.000. Hasil yang diperoleh dari produksi 1 kolam sangat tinggi, hal ini dipengaruhi dari model silvofishery yaitu sistem silvofishery yang langsung berada di kawasan ekosistem hutan mangrove. Menurut Wibowo (2006) ekosistem hutan mangrove merupakan habitat bagi berbagai macam satwa liar antara lain ikan-ikan yang penting secara ekonomis dan biologis sperti bandeng, belanak dan udang. Dengan kata lain ekosistem mangrove sangat mendukung perikanan. Meskipun usaha perikanan skala kecil dan tradisional ternyata memiliki makna ekonomi yang sangat penting.

Pakan yang digunakan selain berupa pakan alami juga diberikan pakan buatan berupa pelet yang jika di rata-ratakan pakan tersebut mencapai 20 kg untuk sekali siklus panen. Ratio antara jumlah pakan dan produksi persiklus panen atau yang disebut dengan FCR (feed conversion ratio) pada tambak ini adalah 3,2, angka ini merupakan ratio yang tidak diperbolehkan. FCR (feed conversion ratio) merupakan perbandingan antara pakan dan hasil produksi, jadi FCR adalah berapa banyak pakan (kg) yang diberikan untuk menghasilkan 1 kg daging. Seperti dalam penelitian Yenny (2007) bahwa ratio yang diperbolehkan adalah 2. Namun menurut dinas perikanan dan kelautan 2012 bahwa ratio produksi dan pakan yaitu

1,5. Kurangnya vegetasi mangrove pada tambak menyebabkan berkurangnya suplai energy yang masuk ke dalam kolam sehingga pakan kepiting hanya bergantung dari luar lingkungan tambak. Selanjutnya pakan yang diberikan di tambak ini tidaklah sepenuhnya dari asupan pakan tambahan. Bahkan pakan alami adalah pakan yang memenuhi kebutuhan pakan dalam jumlah besar.

a b c d e f

Gambar 5. Model tambak yang digunakan di Desa Paluh Kurau Keterangan :

a. Pintu air b. Mangrove c. Pipa paralon

d. Bedengan

e. Paluh (aliran sungai) f. Tambak

Pada umumnya jarak tanam yang digunakan adalah 5 x 5 m dengan jumlah bibit per hektar 320 batang, menurut Puspita, et al (2005) bentuk tambak silvofishery terdapat 5 macam pola yaitu tipe empang parit tradisonal, tipe komplangan, tipe empang parit terbuka tipe kao-kao serta tipe tasik rejo. Pada desa ini menggunakan tipe empang parit tradisional dengan perbandingan pohon dan tambak yaitu 20 % : 80%.

Perkembangan tanaman pada masing-masing plot dapat berbeda sesuai dengan daya dukung lingkungan dan pola adaptasinya. Pertumbuhan tanaman mangrove pada masing-masing plot dalam empang parit berbeda. Perkembangan ikan pada satu tambak dengan tambak yang lain bisa berbeda sesuai dengan kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan. Perkembangan ikan dapat juga dipengaruhi oleh faktor kesesuaian. Pola silvofishery yang merupakan paduan kegiatan budidaya ini menerapkan tehnik budidaya sederhana. Kegiatan ini dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan dan produktivitas lahan yang berimplikasi terhadap peningkatan pendapat dan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Keberadaan dan dipertahankannya vegetasi bakau dalam silvofishery ini berpengaruh positif terhadap kegiatan perikanan terutama sebagai tempat asuhan (nursery ground) dan tempat makan (feeding ground) ikan dan udang yang masuk sendiri diwaktu pasang dalam kegiatan perikanan yang bersifat tradisional. Ikan, udang dan tanaman bakaunya (sebagai penghasil arang, kayu bakar, bahan

industri penyamak kulit) dapat dipanen kemudian dan secara ekonomis menguntungkan masyarakat sekitarnya.

Eksistensi Hutan Mangrove Terhadap Masyarakat

Melalui penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan kondisi/perspektif secara umum masyarakat sekitar hutan mangrove di berbagai daerah Indonesia yang pantainya memiliki hutan mangrove serta memiliki interaksi dengan hutan mangrove. Sebagaimana disebutkan oleh Alongi (2002) bahwa mangrove dimanfaatkan secara besar dengan cara tradisional maupun cara komersial di seluruh dunia.

No Pertanyaan Kelas umur (Tahun) Total Persentase (%) 21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 1 Mengetahui/ mengenal a. Ya 4 13 27 6 2 52 100 b. Tidak 0 0 0 0 0 0 0 2 Memahami manfaat a. Memahami 4 13 27 6 2 52 100 b. Tidak 0 0 0 0 0 0 0 3 Mengetahui sebagai penyangga ekosistem pantai a. Tahu 4 13 27 6 2 52 100 b. Tidak 0 0 0 0 0 0 0 4 Penting bagi kehidupan a. Sangat penting 1 11 20 3 1 36 69,23 b. Biasa saja 1 1 4 1 0 7 13,46 c. Penting 2 1 3 2 1 9 17,30 d. Tidak penting 0 0 0 0 0 0 0

Tabel 11. Pemahaman/pengetahuan masyarakat terhadap hutan mangrove

Pengetahuan masyarakat sekitar hutan mangrove tentang peranan dan manfaat hutan mangrove terhadap kehidupannya sebenarnya sangat

mempengaruhi kondisi hutan mangrove. Kerusakan ekosistem mangrove sering disebabkan oleh aktivitas manusia yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan mangrove (Brown, 2006). Hal ini dikarenakan akses masyarakat yang tinggi berinteraksi dengan hutan tersebut.

Berdasarkan Tabel 11 Ditunjukkan bahwa persentase pemahaman/ pengetahuan masyarakat terhadap hutan mangrove tergolong sangat baik, hal ini dikarenakan dari responden seluruh nya merupakan anggota kelompok tani yang memanfaatkan mangrove di kehidupan sehari-hari mereka. responden juga memahami jika ekosistem hutan mangrove tersebut berfungsi sebagai penyangga ekosistem pantai. Masyarakat memahami bahwa hutan mampu menahan atau meredam angin kencang yang berasal dari laut, memecah ombak yang menuju darat serta menjaga terjadinya abrasi di wilayah bibir pantai secara alami. Hasil penelitian ini memperlihatkan baiknya pemahaman masyarakat bahwa masyarakat Desa Hamparan Perak merasakan hutan mangrove bermanfaat sebagai sumber penghidupan mereka. Sebagian besar dari responden menjadikan hutan mangrove sebagai mata pencarian utama mereka yang tentunya menjadi penghasilan utama bagi kehidupannya.

Terlihat jelas bahwa lahan mangrove memberikan pengaruh yang sangat besar bagi pendapatan masyarakatnya yang terutama memanfaatkan mangrove dalam pengkombinasian dengan tambak. Oleh karena itu secara langsung responden juga diuntungkam dengan kondisi tambak yang berada di antara mangrove, selain dapat meminimalkan kebutuhan pangan bagi tambak, lahan mangrove juga bisa menjadi tempat perlindungan untuk ekosistem tambak yang dibudidayakan. Pernyataan ini sesuai dengan peneltian Wibowo (2006) yaitu

fungsi dan peran ekosistem hutan mangrove sangat penting sebagai tempat untuk memijah, mengasuh anak, berlindung serta mencari makan bagi berbagai jenis ikan. Oleh karena itu , kelestariannya harus dijaga.

Pengetahuan masyarakat terhadap hutan mangrove tersebut dapat dikategorikan sebagai pengetahuan lokal mengenai peranan hutan mangrove sebagai suatu kesatuan bagi kehidupan mereka, yang diperoleh dari interaksi kehidupan mereka di dalam dan di sekitar hutan mengrove. Para nelayan serta buruh nelayan diketahui sebagai responden yang lebih mengenal ekosistem hutan mangrove. Karena secara langsung mereka menghabiskan keseharian dan berinteraksi dengan ekosistem tersebut untuk mencari kepiting, kayu bakar, serta penebangan kayu/pohon sebagai bahan bangunan maupun dalam pembuatan perahu.

Pengawasan pemerintah seperti dari Dinas Kehutanan Kabupaten melakukan pengawasan yang ketat terkait interaksi dan pemanfaatan hutan mangrove seperti penebangan pohon untuk kontruksi rumah dan kapal/boat serta pancang digunakan untuk mendirikan pondok-pondok sederhana serta untuk kayu bakar dan peralatan menangkap ikan atau kepiting. Eksploitasi sumberdaya alam untuk kebutuhan rumah tangga tidak diberlakukan pengawasan secara resmi sehingga masyarakat diperbolehkan untuk menebang pohon sesuai dengan kebutuhannya (Zorini dkk, 2004).

Dokumen terkait