• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor yang Berpengaruh dalam Keberhasilan Amplifikasi

Jumlah sampel darah sapi perah FH yang digunakan untuk identifikasi gen ASS sebanyak 676. Keberhasilan amplifikasi gen ASS sebesar 97.63% (660 sampel). Jumlah sampel yang tidak teramplifikasi pada gen ASS sebanyak 16 (2.37%). Sampel tersebut berasal dari BPTU Baturraden sebanyak sepuluh (1.48%) koleksi tahun 2002. Enam sampel (0.89%) lainnya berasal dari peternakan rakyat Pondok Rangon koleksi tahun 2004. Jumlah sampel yang digunakan untuk identifikasi gen UMPS sebanyak 483. Sampel yang digunakan untuk identifikasi gen UMPS telah teramplifikasi seluruhnya (100%).

Isolasi DNA merupakan salah satu langkah awal yang mempengaruhi keberhasilan amplifikasi DNA. Keberhasilan amplifikasi DNA juga ditentukan oleh konsentrasi DNA sampel, taq polimerase, deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), ion Mg, dan primer (Sambrook & Russell 2001). Pada penelitian ini, kemungkinan ada dua faktor yang menyebabkan 16 sampel DNA tidak teramplifikasi. Kemungkinan yang pertama adalah sampel DNA sering keluar- masuk dari ruang penyimpanan. Sampel yang sering keluar-masuk dari ruang penyimpanan dapat menyebabkan kerusakan DNA (Dessauer et al. 1996). Perubahan suhu yang cukup ekstrim dapat menyebabkan fragmen DNA putus. Perubahan suhu tersebut ditunjukkan oleh perbedaan suhu ruang penyimpanan (- 20 °C) dengan suhu di luar ruang penyimpanan (± 25 °C). Menurut Viljoen et al. (2005) salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan amplifikasi adalah kualitas dan keutuhan DNA. Kemungkinan yang kedua adalah kontaminasi sampel oleh NaCl. Konsentrasi NaCl lebih dari 50 mM dalam sampel dapat menghambat aktivitas taq polimerase dalam proses pengikatan nukleotida baru (Innis et al. 1988). Taq polimerase mempunyai kemampuan polimerisasi DNA yang sangat tinggi, tetapi tidak mempunyai aktivitas eksonuklease dari arah 3’ke arah 5’. Taq polimerase mempunyai pH paling aktif yaitu 9 dan suhu sekitar 75 °C-80 °C. Jika aktivitas taq polimerase terhambat, maka tidak ada proses pengikatan nukleotida baru pada utas yang sedang disintesis.

Amplifikasi gen ASS dan gen UMPS

Amplifikasi gen ASS

Berdasarkan penanda 100 pb, ukuran produk PCR hasil amplifikasi gen ASS dengan menggunakan metode PCR-RFLP adalah sepanjang 176 pb (Gambar 1). Panjang produk PCR gen ASS yang diperoleh mengacu pada Dennis et al. (1989). Produk PCR tersebut dipotong dengan enzim Ava II menghasilkan dua fragmen DNA untuk individu normal (CC) dan tiga fragmen DNA untuk individu karier. Panjang masing-masing fragmen DNA individu normal tersebut yaitu 98 pb dan 78 pb (Gambar 2). Pada individu karier sitrulinemia atau heterozigot (Cc) panjang masing-masing fragmen DNA tersebut sebesar 176 pb, 98 pb dan 78 pb (Gambar.1). Panjang fragmen DNA hasil pemotongan enzim Ava II berdasarkan Patel et al. (2006).

Gambar 1 Fragmen DNA produk PCR dan hasil pemotongan enzim Ava II gen ASS ekson 5 kromosom 11 sapi perah FH pada gel poliakrilamid 6%. M: penanda 100 pb, Pr: produk PCR (176.pb), Cc: individu karier sitrulinemia (176 pb, 98 pb dan 78.pb).

Gambar 2 Fragmen DNA hasil pemotongan enzim Ava II gen ASS ekson 5 kromosom 11 sapi perah FH pada gel poliakrilamid 6%. M: penanda 100 pb, CC: individu normal homozigot (98 pb dan 78 pb).

Gambar 3 Sebagian urutan basa nukleotida gen ASS Bos taurus (nomor akses

GenBank BC102474). Deret nukleotida yang bergaris bawah adalah situs penempelan primer dengan ukuran produk PCR sepanjang 176.pb (Dennis et al. 1989). Anak panah merupakan titik pemotongan enzim Ava II (g↓gacc).

Primer yang digunakan untuk amplifikasi gen ASS terdiri atas primer

forward dan primer reverse mengacu pada Dennis et al. (1989). Primer tersebut mengapit basa nukleotida gen ASS. Secara teori panjang pasang basa nukleotida mulai dari forward sampai reverse dapat diukur berdasarkan urutan basa nukleotida gen ASS pada GenBank nomor akses BC102474 (Gambar 3). Panjang pasang basa nukleotida yang diapit oleh primer forward dan reverse disebut dengan produk PCR gen ASS. Produk PCR gen ASS selanjutnya dipotong dengan enzim Ava II (Patel et al. 2006). Enzim Ava II mengenali situs ggacc dan memotong antara g dengan g. Enzim Ava II memotong produk PCR diantara nukleotida ke 78 dan 79 dari primer forward pada alel normal gen ASS. Alel normal (C) gen ASS memiliki satu situs pemotongan, sehingga menghasilkan dua

98 pb 78 pb

100 pb CC CC CC M

fragmen DNA. Alel mutan (c) tidak memiliki situs pemotongan sehingga fragmen DNA tidak terpotong. Pada individu sapi perah FH bergenotipe normal homozigot terdapat dua fragmen DNA. Pada individu sapi perah FH bergenotipe heterozigot atau karier terbentuk tiga fragmen DNA.

Amplifikasi gen UMPS

Berdasarkan penanda 100 pb, ukuran produk PCR hasil amplifikasi gen UMPS dengan menggunakan metode PCR-RFLP adalah sepanjang 108 pb (Gambar 4). Panjang produk PCR gen ASS yang diperoleh mengacu pada Schwenger et al. (2006). Produk PCR dipotong dengan enzim Ava I menghasilkan tiga fragmen DNA pada individu normal. Tiga fragmen DNA pada individu normal (DD) tersebut masing-masing berukuran 53 pb, 36 pb dan 19 pb. (Gambar 5). Panjang fragmen DNA hasil pemotongan enzim Ava II berdasarkan Rahimi et al. (2006).

Gambar 4. Fragmen DNA produk PCR gen UMPS ekson 5 kromosom 1 sapi perah FH pada gel poliakrilamid 6%. M: penanda 100 pb; Pr: produk PCR sebesar 108 pb.

Primer yang digunakan untuk amplifikasi gen UMPS terdiri atas primer

forward dan primer reverse mengacu pada Schwenger et al. (2006). Primer tersebut mengapit basa nukleotida gen UMPS. Secara teori panjang pasang basa nukleotida mulai dari forward sampai reverse dapat diukur berdasarkan urutan basa nukleotida gen UMPS pada GenBank nomor akses X65125 (Gambar 6). Panjang pasang basa nukleotida yang diapit oleh primer forward dan reverse

disebut dengan produk PCR gen UMPS. Produk PCR gen UMPS selanjutnya dipotong dengan enzim Ava I (Rahimi et al. 2006). Enzim Ava I digunakan untuk

Pr Pr M

200 pb

100 pb 108 pb

memotong produk PCR karena dapat mengenali situs pemotongan pada alel normal. Alel normal (D) memiliki dua situs pemotongan sehingga menghasilkan tiga fragmen DNA. Pada alel mutan terjadi mutasi sitosin (c) menjadi timin (t) di runutan basa nukleotida ke 1283 (Gambar 6). Tempat mutasi tersebut tidak dikenali oleh enzim Ava I. Adanya mutasi tersebut mengakibatkan alel mutan hanya mempunyai satu situs pemotongan enzim Ava I. Fragmen DNA yang terbentuk pada alel mutan sebanyak dua fragmen setelah dipotong dengan Ava I.

Gambar 5. Fragmen DNA hasil pemotongan enzim Ava I gen UMPS ekson 5 kromosom 1 sapi perah FH pada gel poliakrilamid 6 %. M: penanda 100 pb; DD: individu normal homozigot (53 pb, 36 pb dan 19 pb).

Gambar 6. Sebagian urutan basa nukleotida gen UMPS Bos taurus (nomor akses

GenBank X65125). Deret nukleotida yang bergaris bawah adalah situs penempelan primer dengan ukuran produk PCR sepanjang 108 pb (Schwenger et al. 2006). Anak panah merupakan titik pemotongan enzim Ava I (c↓ycgrg; y = c/t; r = a/g).

Identifikasi Genotipe Berdasarkan Gen ASS dan Gen UMPS

Identifikasi Genotipe Gen ASS

Sampel yang teramplifikasi untuk identifikasi gen ASS di pusat pembibitan sapi perah pemerintah adalah sebanyak 294. Sampel yang teramplifikasi untuk identifikasi mutasi gen ASS di peternakan sapi perah rakyat adalah sebanyak 366 (Tabel.3). Pada pusat pembibitan sapi perah pemerintah tidak ditemukan sapi karier sitrulinemia. Satu individu karier sitrulinemia ditemukan di peternakan rakyat Pondok Rangon. Sampel tersebut dikoleksi pada tahun 2004. Dengan demikian frekuensi sapi karier sitrulinemia di peternakan rakyat Pondok Rangon sebesar 3.85%. Hasil perhitungan berdasarkan rumus Nei (1987) menunjukkan bahwa pada populasi peternakan rakyat Pondok Rangon frekuensi alel normal (C) sebesar 0.98 dan alel mutan (c) sebesar 0.02. Jika dihitung dari keseluruhan populasi sapi FH di peternakan sapi perah rakyat, maka frekuensi sapi karier sitrulinemia sebesar 0.28%. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus Nei (1987) pada populasi sapi FH di peternakan rakyat frekuensi alel normal (C) sebesar 0.99 dan alel mutan (c) sebesar 0.01. Jadi total frekuensi sapi karier sitrulinemia dari seluruh lokasi yang diuji sebesar 0.15%. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus Nei (1987) diperoleh frekuensi alel normal (C) sebesar 0.99 dan alel mutan (c) sebesar 0.01 (Tabel 3).

Hasil identifikasi menunjukkan bahwa pada pusat pembibitan sapi perah pemerintah bebas sitrulinemia. Hasil tersebut mempunyai arti penting dalam program IB khususnya bagi pejantan di BBIB dan BIB. Pejantan di BBIB dan BIB memproduksi semen yang sebagian besar didistribusikan ke peternakan rakyat. Jika pejantan dari dua balai tersebut terdapat karier (heterozigot), maka sifat karier akan cepat menyebar ke peternakan rakyat. Dari hal tersebut individu bergenotipe resesif dapat muncul pada generasi berikutnya. Pejantan di BBIB dan BIB yang bebas dari kelainan genetik sitrulinemia dapat menghindarkan munculnya sapi resesif homozigot.

Satu sapi karier sitrulinemia di peternakan rakyat kemungkinan berasal dari sapi betina impor atau keturunan dari sapi betina impor sebelum tahun 2004. Selama tahun 1979-1990 pemerintah Indonesia mengimpor sapi perah FH dara sekitar 100.000 ekor (Ibrahim et al. 1992). Kemungkinan sapi karier berasal dari

betina impor atau dari sapi betina impor didukung dengan tidak ditemukannya sapi karier di pusat pembibitan sapi perah pemerintah. Hal lain yang mendukung adalah frekuensi alel mutan pada peternakan sapi perah rakyat yang kecil.

Tabel 3 Hasil identifikasi genotipe; frekuensi karier serta frekuensi alel normal dan alel mutan gen ASS pada sapi perah FH

Lokasi n ni Genotipe CC Cc Frekuens i Cc (%) Frekuensi alel normal (C) mutan (c) Pusat Pembibitan Pemerintah:

BBIB Singosari 32 32 32 0 0 1 0 BIB Lembang 30 30 30 0 0 1 0 BPTU Baturraden 97 87 87 0 0 1 0 BPPT-SP Cikole 88 88 88 0 0 1 0 BET Cipelang 57 57 57 0 0 1 0 Jumlah 304 294 294 0 0 1 0 Peternakan Rakyat: FAPET IPB 17 17 17 0 0 1 0 Boyolali 49 49 49 0 0 1 0 Ngantang 47 47 47 0 0 1 0 KPSBU Cilumber 98 98 98 0 0 1 0

KPSBU Pasar Kemis 95 95 95 0 0 1 0

Pondok Rangon 32 26 25 1 3.85 0.98 0.02

Lembang 34 34 34 0 0 1 0

Jumlah 372 366 365 1 0.28 0.99 0.01

Jumlah Total 676 660 659 1 0.15 0.99 0.01

n = jumlah total sampel

ni = jumlah sampel teramplifikasi

Satu sapi karier sitrulinemia di peternakan rakyat memberi pengaruh yang kecil terhadap penyebaran kelainan ini di masa mendatang. Peluang yang mungkin muncul dari kejadian tersebut adalah munculnya sapi bergenotipe karier dan normal. Peluang masing-masing genotipe (karier dan normal) berdasarkan hukum dominan-resesif Mendel adalah 50%. Jika semua perkawinan dilakukan dengan IB terutama semen dari BBIB dan BIB yang bebas kelainan sitrulinemia, maka peluang munculnya sapi resesif adalah nol.

Kejadian kelainan genetik sitrulinemia di Australia menurut Healy (1996) cukup tinggi. Frekuensi karier sitrulinemia di Australia sebesar 13.3% dari 98 sapi perah FH yang diuji. Penyebaran karier sitrulinemia dari Australia ke Indonesia mempunyai peluang yang cukup besar. Meskipun demikian, pada penelitian ini tidak ditemukan karier sitrulinemia di pusat pembibitan. Pejantan di BBIB dan

BIB bebas kelainan genetik sitrulinemia. Hal ini kemungkinan disebabkan telah dilakukan identifikasi molekuler pada sapi yang akan masuk ke program IB di Australia (Healy 1996). Dengan demikian sapi yang masuk ke Indonesia adalah sapi yang bebas dari kelainan sitrulinemia.

Kejadian kelainan genetik sitrulinemia telah diidentifikasi di beberapa negara, diantaranya di Amerika (Robinson et al. 1993) dan Australia (Healy et al.

1996). Kelainan genetik tersebut sebagian besar disebarkan oleh pejantan unggul. Dengan demikian, perlu pernyataan bebas kelainan genetik sitrulinemia. Hal ini untuk memastikan pejantan yang digunakan sumber IB benar-benar memiliki sifat unggul baik secara morfologis maupun genetis.

Identifikasi Genotipe Gen UMPS

Sampel yang telah teramplifikasi untuk identifikasi gen UMPS di pusat pembibitan pemerintah sebanyak 177. Sampel yang telah teramplifikasi untuk identifikasi gen UMPS di peternakan sapi perah rakyat sebanyak 306 (Tabel 4). Hasil identifikasi gen UMPS didapatkan bahwa seluruh sampel bergenotipe normal homozigot (Tabel 4). Hal ini berarti bahwa pusat pembibitan sapi perah pemerintah dan peternakan sapi perah rakyat bebas terhadap kelainan DUMPS. Tabel 4 Hasil identifikasi genotipe; frekuensi karier serta frekuensi alel normal

dan alel mutan gen UMPS pada sapi perah FH

Lokasi n ni Genotipe DD Dd Frekuen si Dd (%) Frekuensi alel norma l (D) mutan (d) Pusat Pembibitan Pemerintah:

BBIB Singosari 32 32 32 0 0 1 0 BPPT-SP Cikole 88 88 88 0 0 1 0 BET Cipelang 57 57 57 0 0 1 0 Jumlah 177 177 177 0 0 1 0 Peternakan Rakyat: FAPET IPB 17 17 17 0 0 1 0 Boyolali 49 49 49 0 0 1 0 Ngantang 47 47 47 0 0 1 0 KPSBU Cilumber 98 98 98 0 0 1 0

KPSBU Pasar Kemis 95 95 95 0 0 1 0

Jumlah 306 306 306 0 0 1 0

Jumlah Total 483 483 483 0 0 1 0

n = jumlah total sampel

Dampak dari bebasnya pusat pembibitan dan peternakan rakyat dari kelainan DUMPS adalah tidak ada sapi dengan genotipe resesif homozigot. Namun demikian identifikasi tetap diperlukan untuk menjamin sapi bebas dari kelainan DUMPS. Identifikasi tersebut terutama dilakukan pada pejantan di BBIB dan BIB.

Sifat bebas terhadap kelainan genetik DUMPS pada sapi perah FH belum dicantumkan dalam sertifikat sebelum tahun 2000. Hal ini disebabkan secara morfologis kelainan genetik DUMPS tidak dapat dilihat. Sapi penderita DUMPS mengalami kematian pasca natal dan sapi karier tampak normal.

Pada penelitian ini tidak ditemukan sapi karier DUMPS. Beberapa negara seperti India (Patel et al. 2006), Chekoslovakia (Čitek et al. 2006), Rumania (Vătăşescu et al. 2006), Iran (Rahimi et al. 2006) dan Turki (Akyuz dan Ertugrul 2008) yang telah melakukan identifikasi juga tidak menemukan sapi karier DUMPS pada sapi perah FH mereka. Tidak ditemukannya sapi karier DUMPS menunjukkan bahwa kelainan genetik DUMPS kemungkinan hanya terjadi dari hasil perkawinan yang spesifik (Patel et al. 2006). Perkawinan tersebut terjadi antara sapi normal homozigot dengan heterozigot.

Kejadian kelainan genetik DUMPS seperti di Amerika (Shanks et al. 1989) dan Taiwan (Lin et al. 2001), sebagian besar disebarkan oleh pejantan unggul. Dengan demikian, perlu pernyataan bebas kelainan genetik DUMPS. Hal ini untuk memastikan pejantan yang digunakan sumber IB benar-benar memiliki sifat unggul baik secara morfologis maupun genetis.

Dokumen terkait