• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada 25 pasar tradisional yang terletak di Kota Medan. Adapun batas atas Kecamatan Medan Kota merupakan Kecamatan Medan Timur, batas kanan adalah Kecamatan Medan Area, batas kiri adalah Kecamatan Medan Maimun, batas bawah adalah Kecamatan Medan Amplas dan pertengahan adalah Kecamatan Medan Barat.

Proses pengambilan data untuk penelitian ini dilakukan dari bulan September sampai November 2015. Sampel penelitian yaitu sayuran selada sebanyak 125 sampel yang didapat dari pedagang sayuran di pasar tradisional di Kota Medan dengan metode cluster sampling.

5.1.2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan dilakukan dengan membawa sampel yang diambil dari setiap pasar ke Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara untuk diperiksa kemudian setiap sampel dibagi menjadi selada bagian luar dan selada bagian dalam. Setiap sampel diperiksa dengan menggunakan teknik sedimentasi (pengendapan) dengan menggunakan larutan NaOH 0,2%. Kemudian dilakukan pemeriksaan secara mikroskopis untuk melihat ada tidaknya STH pada sampel. Berikut hasil pemeriksaan STH pada sampel selada.

Apabila ditinjau dari tempat pengambilan sampel, ditemukan variasi antara STH yang mengkontaminasi sampel. Pada tabel selanjutnya akan ditampilkan frekuensi distribusi STH yang ditemukan pada masing-masing pasar.

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi STH Berdasarkan Pasar Tradisional PASAR STH Total Larva Filariform Larva Rhabditiform Tidak Ada Telur Ascaris lumbricoides

Pasar Medan Timur 2 1 2 0 5

1,60% 0,80% 1,60% 0,00% 4,00%

Pasar Pringgan 0 2 3 0 5

0,00% 1,60% 2,40% 0,00% 4,00%

Pasar Medan Johor 0 3 2 0 5

0,00% 2,40% 1,60% 0,00% 4,00% Pasar Medan Tuntungan 1 2 2 0 5 0,80% 1,60% 1,60% 0,00% 4,00% Pasar Selayang 1 2 1 1 5 0,80% 1,60% 0,80% 0,80% 4,00% Pasar Amplas 1 1 3 0 5 0,80% 0,80% 2,40% 0,00% 4,00% Pasar Pelita 2 0 3 0 5 1,60% 0,00% 2,40% 0,00% 4,00% Pasar Sunggal 0 2 3 0 5 0,00% 1,60% 2,40% 0,00% 4,00% Pasar Helvetia 1 0 4 0 5 0,80% 0,00% 3,20% 0,00% 4,00% Pasar Hindu 1 0 4 0 5 0,80% 0,00% 3,20% 0,00% 4,00% Pasar Petisah 0 1 4 0 5 0,00% 0,80% 3,20% 0,00% 4,00% Pasar Kampung Durian 2 3 0 0 5 1,60% 2,40% 0,00% 0,00% 4,00% Pasar Tj. Rejo 1 1 3 0 5 0,80% 0,80% 2,40% 0,00% 4,00% Pasar Marelan 0 0 5 0 5 0,00% 0,00% 4,00% 0,00% 4,00% Pasar Deli 0 1 4 0 5 0,00% 0,80% 3,20% 0,00% 4,00% Pasar Belawan 0 2 3 0 5

0,00% 1,60% 2,40% 0,00% 4,00%

Pasar Medan Area 1 0 4 0 5

0,80% 0,00% 3,20% 0,00% 4,00% Pasar Labuhan 1 0 4 0 5 0,80% 0,00% 3,20% 0,00% 4,00% Pasar Cemara 0 1 4 0 5 0,00% 0,80% 3,20% 0,00% 4,00% Pasar Kampung Lalang 1 3 1 0 5 0,80% 2,40% 0,80% 0,00% 4,00% Pasar Medan Perjuangan 2 0 3 0 5 1,60% 0,00% 2,40% 0,00% 4,00% Pasar Halat 1 1 3 0 5 0,80% 0,80% 2,40% 0,00% 4,00%

Pasar Pusat Pasar 2 0 3 0 5

1,60% 0,00% 2,40% 0,00% 4,00%

Pasar Muara Takus 3 1 1 0 5

2,40% 0,80% 0,80% 0,00% 4,00%

Pasar Pd. Bulan 0 0 5 0 5

0,00% 0,00% 4,00% 0,00% 4,00%

Dari Tabel 5.1 diketahui bahwa distribusi frekuensi STH hampir merata pada setiap pasar, distribusi telur Ascaris lumbricoides 1 (0,8%) hanya terdapat di Pasar Selayang.

Pemeriksaan distribusi frekuensi kontaminasi STH dilakukan untuk melihat prevalensi STH yang terdapat di pasar tradisional di Kota Medan.

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Kontaminasi STH

Kontaminasi STH F %

Terkontaminasi 51 40,8

Tidak terkontaminasi 74 59,2

Pada tabel 5.2 diketahui bahwa dari 125 sampel selada yang diperiksa terdapat 51 selada yang terkontaminasi STH (40,8%) dan 74 selada tidak ditemukan adanya kontaminasi STH (59,2%).

Jenis STH yang terdapat dalam sampel bervariasi. Dari pemeriksaan yang telah dilakukan di laboratorium parasitologi, berikut dapat dilihat frekuensi distribusi masing-masing STH pada tabel dibawah ini.

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi STH

STH F %

Larva Filariform 23 18,4

Larva Rhabditiform 27 21,6

Telur Ascaris lumbricoides 1 0,8

Total 51 40,8

Dari Tabel 5.3 diketahui bahwa pada sampel penelitian terdapat 1 telur Ascaris lumbricoides (0,8%).

Adapun pemeriksaan sampel selada pada bagian dalam dilakukan untuk melihat bagaimanakah kontaminasi STH antara selada bagian luar dengan selada bagian dalam. Pada tabel berikut dilihat hasil distribusi frekuensi STH pada selada bagian dalam.

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Kontaminasi STH Pada Selada Bagian Dalam

Kontaminasi STH bagian dalam F %

Terkontaminasi 25 20

Tidak terkontaminasi 100 80

Total 125 100

Dari tabel 5.4 terdapat 25 selada bagian dalam yang terkontaminasi STH (20%) dan 100 selada bagian dalam yang tidak terkontaminasi STH (80%).

Pada tabel berikut juga ditampilkan jenis STH yang mengkontaminasi selada bagian dalam.

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi STH Pada Selada Bagian Dalam

STH bagian dalam F %

Larva Filariform 13 10,4

Larva Rhabditiform 12 9,6

Total 25 20.0

Pada tabel 5.5 pada sampel yang sama dengan memeriksa ada tidaknya kontaminasi STH pada bagian dalam, ditemukan 12 larva rhabditiform hookworm (9,6%).

Adapun penghitungan distribusi frekuensi kontaminasi STH yang dinilai pada selada bagian luar dengan bagian dalam untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikan antara kontaminasi STH pada bagian dalam dengan bagian luar. Pada tabel selanjutnya akan ditampilkan frekuensi kontaminasi dari selada bagian luar dan bagian dalam yang diperiksa.

Tabel 5.6 Perbedaan Distribusi Frekuensi Kontaminasi STH Selada Bagian Luar dengan Selada Bagian Dalam

Kontaminasi Selada Luar

Kontaminasi Selada dalam

Total Terkontaminasi Tidak terkontaminasi Terkontaminasi 13 38 51 10,40% 30,40% 40,80% Tidak terkontaminasi 12 62 74 9,60% 49,60% 59,20% Total 25 100 125 20,00% 80,00% 100,00%

Pada Tabel 5.6 diketahui kontaminasi STH pada selada bagian luar sebanyak 51 (40,80%) dan kontaminasi STH pada selada bagian dalam sebanyak 25 (20%). Ditemukan perbedaan yang signifikan antara kontaminasi STH pada selada bagian dalam dengan selada bagian luar.

5.2. Pembahasan

Pada penelitian ini ditemukan distribusi STH merata pada setiap pasar, kemungkinan karena seluruh pasar di Kota Medan mempunyai distributor yang sama atau berasal dari sumber perkebunan selada yang sama. Adapun beberapa pedagang yang dilakukan tanya-jawab sebagian besar menjawab selada berasal dari perkebunan di Brastagi dan hanya sebagian yang menjawab selada yang dijual tersebut berasal dari Sidikalang. Adapun perbedaan STH yang mengkontaminasi sayuran terdapat pada pasar selayang yang ditemukannya telur Ascaris lumbricoides. Hal ini terjadi bisa karna beberapa faktor baik sistem irigasi yang masih menggunakan air yang terkontaminasi ataupun bisa penggunaan tinja sebagai pupuk sayuran.

Pada penelitian ini prevalensi kontaminasi STH pada sayuran selada yang dijual di Pasar Tradisional di Kota Medan mencapai 40,80% dari 125 sampel yang diperiksa. Adapun hal-hal yang menyebabkan masih tingginya kontaminasi oleh STH yaitu dari letak geografis, penggunaan tinja sebagain pupuk, sistem irigasi dengan air yang terkontaminasi oleh STH dan dari letak pertumbuhan selada sendiri. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Karupiah (2011), dengan menggunakan metode sentrifugasi diketahui bahwa prevalensi kontaminasi STH di pasar tradisional sekitar Kota Medan mencapai 85% dari 40 selada yang diperiksa.

Pada penelitian ini didapatkan kontaminasi larva dari hookworm sebesar 40%. Penelitian oleh Idahosa (2011) yang dilakukan di Nigeria juga digambarkan STH yang paling banyak megkontaminasi sayuran adalah hookworm yaitu sebanyak 28,2%, hal ini juga berbanding lurus dengan penelitian yang dilakukan oleh Karupiah (2011) yang dilakukan di Kota Medan menunjukkan kontaminasi STH yang terbanyak adalah larva dari hookworm sebanyak 30% . Beberapa faktor yang menyebabkan tingginya kontaminasi oleh hookworm adalah kelembaban dan temperatur yang sesuai dengan siklus hidup hookworm, suhu optimum untuk perkembangan hookworm adalah 280-320C.

STH banyak ditemukan pada negara-negara beriklim tropis dan subtropis dan pada daerah dengan tingkat hiegenitas dan sanitasi yang rendah. (Bethony et al., 2006). Indonesia sendiri adalah negara tropis, dan masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang memiliki hiegenitas dan sanitasi yang rendah. Hal ini menjadi faktor utama mengapa masih tingginya prevalensi kontaminasi STH . Adapun faktor resiko lain yang menyebabkan masih tingginya kontaminasi STH adalah pemakaian tinja sebagai pupuk untuk sayuran yang dimakan mentah (Supriastuti, 2006). Dalam perrtumbuhannya, selada identik berkontak langsung dengan tanah mengakibatkan transmisi STH lebih mudah terjadi. Bentuk selada yang berlekuk-lekuk juga memungkinkan parasit untuk menempel dan tetap berada dalam selada bahkan setelah pencucian dilakukan.

Pada penelitian ini, dilakukan pemeriksaan kontaminasi STH pada selada bagian dalam. Didapatkan kontaminasi STH sebanyak 20% dari 125 sampel yang diperiksa dan jenis STH yang mengkontaminasi adalah larva filariform dari hookworm 13 (10,4%) dan larva rhabditiform hookworm 12 (9,6%). Belum ada penelitian yang melakukan pemeriksaan selada bagian dalam sebelumnya.

Pada penelitian ini dapat dilihat perbandingan frekuensi distribusi antara selada bagian dalam dan selada bagian luar, terdapat perbedaan jumlah kontaminasi STH sebanyak 26 (20,80%). Dari hasil tersebut terdapat perbedaan antara kontaminasi selada bagian luar dengan kontaminasi selada bagian dalam. Adapun perbedaan mungkin dikarenakan morfologi selada yang berlapis-lapis mengakibatkan bagian dalam kurang terpapar oleh lingkungan luar.

Pada penelitian ini STH yang ditemukan adalah larva hookworm 40% dan telur Ascaris lumbricoides 0,8%, sementara pada penelitian yang dilakukan Eraky et al. (2014) ditemukan Ascaris lumbricoides 0,6% dan tidak ditemukan larva hookworm. Selain itu juga, menurut said (2012) ditemukan telur Ascaris lumbricoides 20,3% dan tidak ditemukan larva hookworm. Dan pada penelitian yang

dilakukan Idahosa (2011) ditemukan 6 ( 2,4%) telur Ascaris lumbricoides, 5 (2,0%) telur Trichuris trichiura dan 70 (28,2%) larva hookworm.

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut:

1. Telur STH yang ditemukan pada penelitian ini adalah telur Ascaris lumbricoides.

2. Larva STH yang ditemukan pada penelitian ini adalah larva filariform dan larva rhabditiform dari Hookworm.

3. Ditemukan kontaminasi STH pada selada bagian luar lebih banyak dari selada bagian dalam.

6.2. Saran

Dari seluruh penelitian yang telah dijalani oleh penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, maka dapat diungkapkan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan dalam penelitia ini, yaitu:

1. Perlu dilakukan promosi kebersihan dan kesehatan untuk meningkatkan lagi sanitasi, hiegine dan kebiasaan masyarakat sehingga dapat memutuskan siklus hidup ataupun penyebaran STH.

2. Kepada konsumen, diharapkan sebelum mengkonsumsi sayuran mentah disarankan untuk mencuci bersih sayuran terlebih dahulu.

3. Menghentikan penggunaan tinja sebagai pupuk untuk sayuran yang dimakan sehari-hari.

4. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi pedoman untuk melakukan penelitian yang lebih lengkap berikutnya.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Soil Transmitted Helminths

Soil Transmitted Helminths adalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan. Kecacingan oleh STH ini ditularkan melalui telur cacing yang dikeluarkan bersamaan dengan tinja orang yang terinfeksi. Di daerah yang tidak memiliki sanitasi yang memadai, telur ini akan mencemari tanah. Empat spesies yang paling umum menginfeksi manusia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) (Wardhana et al., 2014).

2.1.1 Ascaris lumbricoides

A. Hospes, Nama Penyakit dan Habitat

Manusia merupakan satu-satunya hospes A. lumbricoides. Penyakit yang disebabkannya disebut askariasis. Cacing dewasa hidup di dalam lumen usus halus (yeyunum) manusia. Sedangkan larvanya masuk ke dalam pembuluh darah dan bermigrasi melalui paru-paru (Budiawati, 2001).

B. Epidemiologi

Parasit ini ditemukan di seluruh dunia (kosmopolit), 1.27 milyar lebih atau sekitar seperempat dari populasi dunia terinfeksi (Roberts et al., 2005). Parasit ini lebih banyak ditemukan di daerah beriklim tropik dengan kelembaban tinggi, terutama di daerah dengan sanitasi yang buruk merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan telur (Waikagul et al., 2002).

Defekasi yang sembarangan akan mencemari tanah dengan telur yang dapat bertahan hidup selama bulanan bahkan tahunan. Tanah liat, kelembaban yang tinggi dan suhu yang berkisar 25-30OC merupakan hal yang sangat baik untuk berkembangnya telur A. lumbricoides menjadi bentuk infektif. Telur-telur ini tahan

terhadap disinfektan karena lapisan telur nya mengandung ascarosides sehingga pencegahan dan pemberantasan di daerah endemik sulit. Pada suhu yang lebih rendah akan menghambat pertumbuhan telur tetapi menguntungkan lamanya kehidupan. Telur akan rusak oleh sinar matahari langsung dalam 15 jam dan mati pada suhu >40OC (Robert et al., 2005).

Semua golongan umur dapat terinfeksi oleh parasit ini tetapi anak-anak pada golongan umur 5-9 tahun lebih sering terkena infeksi dengan memakan makanan yang kurang bersih ataupun memakan makanan dengan tangan yang terkontaminasi. Sanitasi lingkungan yang buruk seperti kurangnya pemakaian jamban keluarga, tempat pemukiman yang padat dan kotor akan menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja seperti memudahkan terjadinya infeksi parasit ini. Di beberapa daerah yang menggunakan tinja sebagai pupuk, terutama di Asia, Jerman dan beberapa negara Mediteranian, sayuran yang tidak dimasak merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap kontaminasi telur A.lumbricoides, bahkan debu yang tertiup angin dapat membawa telur pada kondisi tertentu (Roberts et al., 2005).

C. Morfologi dan Siklus Hidup

Parasit ini merupakan parasit usus terbesar. Cacing dewasa berbentuk silindris yang mengecil pada kedua ujungnya, berwarna putih susu sampai coklat muda (Waikagul et al., 2002). Cacing jantan mempunyai panjang 15-31 cm dengan diameter 2-4 mm dan mempunyai ekor yang membengkok. Cacing betina mempunyai panjang 20-49 cm dengan diameter 3-6 mm dan mempunyai ekor lurus (Robert et al., 2005). Cacing ini pada mulutnya mempunyai 3 bibir dengan gigi-gigi kecil (dentikel) pada pinggirnya. Bibirnya dapat ditutup dan dipanjangkan untuk memasukkan makanan. Pada hipodermis terdapat sel otot somatik yang besar dan panjang yang berguna untuk mempertahankan posisinya di dalam usus halus manusia. Alat reproduksi dan saluran pencernaan mengapung di dalam rongga badan. Cacing jantan merniliki 2 buah spikulum yang dapat dikeluarkan dari kloaka,

Bagian ini lebih kecil dan dikenal sebagai cincin kopulasi (Copulatrix ring) (Budiawati, 2001).

Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari terdiri dari telur yang dibuahi dan tidak dibuahi. Telur yang dibuahi berbentuk ovoid dan berukuran 60 x 45 μ, bila baru dikeluarkan berisi satu sel tunggal dan tidak infektif. Terdapat 3 tipe telur yang dapat diobservasi yaitu (1) telur yang dibuahi, berbentuk bulat atau oval dengan dinding telur yang kuat dan berwarna coklat keemasan. Ukurannya berkisar antara 55-57 μ panjangnya, dan 30-50 μ lebarnya. Terdiri dari 3 lapis: Bagian luar dilapisi oleh albuminoid, bagian tengah glikogen dan bagian dalam dilapisi oleh lapisan lipoid. (2) Telur yang mengalami dekortikasi yang dibuahi maupun tidak dibuahi, tidak memiliki lapisan albuminoid yang juga berwarna coklat keemasan. (3) Telur yang tidak dibuahi memiliki dinding yang tipis dan berbentuk irregular. Ukurannya berkisar antara 88-95 μ panjangnya dan 44 μ

lebarnya. Dinding telur terdiri dari 2 lapisan: lapisan luar dilapisi oleh albuminoid dan lapisan dalam oleh glikogen. Lapisan albuminoid ini kadang-kadang hilang atau dilepaskan oleh zat kimia sehingga menghasilkan telur tanpa kulit (decorticated) (Waikagul et al., 2002).

Gambar 1.1. Telur Ascaris lumbricoides (CDC, 2014)

Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif tersebut bila tertelan manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti

aliran darah menuju ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2-3 bulan (Wardhana et al., 2014).

Gambar 1.2 Daur hidup Ascaris lumbricoides (CDC, 2014)

D. Patologi dan Gejala Klinik

Infeksi dari cacing A. lumbricoides yang mengandung l0 sampai 20 ekor cacing sering berlalu tanpa diketahui hospes dan baru ditemukan pada pemeriksaan tinja rutin atau bila cacing dewasa keluar sendiri dengan tinja. Patogenesis yang disebabkan infeksi A. lumbricoides dihubungkan dengan respon imun hospes, efek migrasi larva, efek mekanik cacing dewasa, defisiensi gizi akibat keberadaan cacing dewasanya (Budiawati, 2001).

Gejala yang dapat ditimbulkan dipengaruhi oleh beberapa hal. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi diantaranya beratnya infeksi, keadaan umum penderita, daya tahan dan kerentanan penderita terhadap infeksi cacing. Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Migrasi larva ke paru-paru menimbulkan gejala yang disebut "Sindroma Loeffler" berupa demam, eosinofilia, urtikaria dan perubahan pada hati. Iritasi bronkial menyebabkan batuk spasmodik. Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu (Wardhana et al., 2014).

Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa di dalam usus biasanya ringan, seperti : mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak bisa terjadi malabsorpsi sehingga akan memperberat gejala malnutrisi. Cacing dewasa memperoleh makanan dengan merampas sari-sari makanan hospes. Diketahui bahwa 20 ekor cacing dewasa memakan 2 gr hidrat arang dan 0,79 gr protein sehari. Dengan demikian, infeksi berat yang disebabkan beratus-ratus cacing akan merampas sebagian besar makanan hospes sehingga akan menimbulkan gangguan gizi pada anak. Bila cacing mengembara ke saluran empedu, apendiks atau ke bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat, maka diperlukan tindakan operatif (Budiawati, 2001).

E. Diagnosis

Cara menegakkan diagnosis penyakit ini adalah dengan pemeriksaan tinja secara langsung. Kebanyakan diagnosis dibuat untuk mengidentifikasi karakteristik telur dalam tinja atau melihat ada tidaknya cacing dewasa keluar baik melalui mulut atau hidung karena muntah maupun melalui tinja. A. lumbricoides harus dicurigai ketika muncul gejala-gejala klinis seperti diatas. Pada kasus ringan biasanya asimtomatik.

F. Pengobatan

Mebendazole adalah terapi pilihan dan pyrantel pamoate sebagai cadangan. Nitazoxamide untuk pengobatan cryptosporodial diarrhea diperkirakan dapat mengobati beberapa jenis helminthes, termasuk A. lumbricoides.

G. Pencegahan

1. Sanitasi yang baik.

2. Mencuci tangan sebelum makan.

3. Edukasi kepada anak untuk menjauhkan tangan dari mulut pada saat bermain di tanah.

4. Mencuci dengan bersih sayuran yang tidak dimasak (Waikagul et al., 2002).

2.1.2 Trichuris trichiura

A. Hospes, Nama Penyakit dan Habitat

Manusia merupakan hospes utama T. trichiura, akan tetapi cacing tersebut juga pernah dilaporkan di dalam kera dan babi. Penyakit yang disebabkannya disebut trikuriasis. T. trichiura terutama hidup di caecum, akan tetapi dapat juga ditemukan di apendiks dan ileum bagian distal. Pada infeksi berat, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum dan kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejan pada waktu defekasi (Budiawati, 2001).

B. Epidemiologi

Penyebaran cacing ini secara kosmopolit. Lebih banyak ditemukan di daerah panas dan lembab dan dengan sanitasi yang buruk. Parasit ini termasuk yang kedua tersering pada infeksi STH pada negara tropis (Waikagul et al., 2002). Frekuensi di Indonesia tinggi, pada beberapa daerah pedesaan berkisar antara 30-90%. Di Amerika Selatan angka prevalensinya berkisar antara 20-25%. Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah oleh tinja, sehingga pemakaian tinja sebagai

bentuk infektif pada tanah liat, tempat lembab dan teduh dengan suhu optimum 30oc. Tanah yang tercemar dengan telur-telur cacing dari penderita akan menjadi sumber penularan kepada orang lain melalui tangan, makanan dan minuman yang telah terkontaminasi dengan telur yang sudah dalam stadium infektif (Budiawati, 2001).

C. Morfologi dan Siklus Hidup

Cacing ini dikenal sebagai cacing cambuk karena bagian anterior seperti cambuk, tiga perlima dari tubuhnya dilalui oleh esophagus yang sempit. Bagian posteriornya lebih tebal, dua perlima dari tubuhnya berisi usus dan seperangkat alat reproduksi. Panjang cacing jantan 30-45 mm dan cacing betina 35-50 mm. Bagian posterior cacing betina membulat tumpul dan bagian posterior cacing jantan melingkar dengan satu spikulum dan sarung yang retraktil (Waikagul et al., 2002).

Jumlah telur yang dihasilkan setiap hari oleh cacing betina diperkirakan antara 3.000-10.000 butir. Telurnya berukuran 50-54 μ x 22-23 μ berbentuk seperti tempayan dengan tutup yang jernih dan menonjol pada kedua kutub. Kulit bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih. Sel telur yang dibuahi waktu dikeluarkan cacing betina belum membelah. Perkembangan embrio terjadi di luar hospes. larva stadium pertama yang infektif dan belum menetas dibentuk dalam waktu 3-4 minggu dalam lingkungan yang sesuai yakni tanah hangat, basah dan tempat teduh. Telur-telur kurang resisten dibanding telur A. lumbricoides terhadap pengeringan, panas dan dingin (Waikagul et al., 2002). Cacing cambuk tidak membutuhkan hospes perantara untuk tumbuh menjadi bentuk infektif (Wardhana et al., 2014).

Infeksi terjadi bila telur matang tertelan oleh manusia, larva yang keluar dari dinding telur yang sudah dicerna masuk ke dalam usus halus bagian proksimal dan menembus vili usus, menetap disitu selama 3-10 hari dekat kripta lieberkuhn. Setelah menjadi dewasa, cacing turun makin ke bawah ke daerah caecum. Suatu struktur yang menyerupai tombak pada bagian anteriornya yang seperti cambuk tertanam ke dalam mukosa usus hospesnya, tempat cacing itu mengambil makanannya. Sekresi mungkin dapat mencairkan sel-sel mukosa yang berdekatan. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai menjadi dewasa yang menghasilkan telur ialah 30-90 hari, hidupnya mungkin selama beberapa tahun (Budiawati, 2001).

Gambar 2.2 Daur hidup Trichuris trichiura (CDC, 2014)

D. Patologi dan Gejala Klinik

Cacing yang menginfeksi kurang dari 100 jarang menyebabkan infeksi ataupun dapat menyebabkan infeksi tanpa gejala yang khas. Kasus berat terjadi dan pada beberapa keadaan dapat meyebabkan kematian (Roberts et al., 2005).

Kerusakan mekanis pada mukosa dan respon alergi hospes merupakan faktor utama untuk setiap kelainan patologi yang berkaitan dengan infeksi ini dan berhubungan erat dengan jumlah cacing, lamanya infeksi dan umur serta status

usus dan menghisap darah, disamping itu dari tempat perlengketannya dapat terjadi perdarahan sehingga bisa menyebabkan anemia. Anemia yang jelas dapat menyertai infeksi Trichuris trichiura dengan kadar Hb serendah 3 gr per 100 ml darah. Setiap hari seekor cacing menghisap darah sebanyak 0,005 ml. Infeksi ringan biasanya tidak menunjukkan gejala dan ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan tinja. Pada infeksi yang berat timbul keluhan karena iritasi pada mukosa, seperti nyeri perut, sukar untuk buang air besar, mencret, kembung, sering flatus, rasa mual, muntah dan turunnya berat badan. Bahkan pada keadaan berat sering ditemukan malnutrisi, terutama pada anak-anak dan kadang-kadang juga terjadi perforasi dan prolaps rekti (Waikagul et al., 2002).

E. Diagnosis

Diagnosis T.trichiura berdasarkan penemuan telur yang khas seperti tempayan di dalam tinja (Waikagul et al., 2002).

F. Pengobatan

Pengobatan trichuriasis tidak seefektif pengobatan parasit usus lainnya. Bagaimanapun, mebendazole 100 mg perhari selama 3 hari memberikan hasil yang cukup memuaskan, sedangkan pemberian albendazole 400 mg dosis tunggal atau dosis ganda selama 2 sampai 3 hari memberikan hasil yang baik (Waikagul et al, 2002).

G. Pencegahan

Hiegenitas perorangan sangat penting. Dalam komunitas, edukasi kesehatan sangat diperlukan pada beberapa aspek misalnya: sanitasi, buangan limbah, pembuangan tinja manusia yang layak. Pembangunan jamban dan pemakaian yang tepat sangat bermanfaat dalam mengontrol infeksi (Waikagul et al., 2002).

Dokumen terkait