• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribusi dan Kelimpahan Populasi C. odorata

Tumbuhan eksotik invasif C. odorata merupakan tumbuhan asli dari Amerika Selatan dan Amerika Tengah yang kemudian menyebar ke Asia Tenggara (Anonim 1991). Hasil pengamatan pada semua lokasi penelitian di Jawa Barat khususnya daerah Bogor, C. odorata cenderung menempati lahan yang terbuka seperti di sisi jalan, tepian sawah yang kondisi tanahnya kering, ladang, dan perkebunan. Selain itu, C. odorata juga dapat tumbuh di bawah tegakan hutan yang terbuka tajuknya, bahkan masih bisa hidup pada daerah yang didominasi oleh batu-batuan. Pada lahan yang dibudidayakan seperti sawah,

ladang, dan hutan tanaman industri, keberadaan C. odorata memiliki status sebagai gulma penting yang merugikan karena populasinya sangat padat sehingga mampu berkompetisi dengan tanaman budidaya dalam memperoleh unsur hara yang dibutuhkan (Tjitrosemito 1998).

Persebaran C. odorata saat ini sudah sangat luas yang dapat tumbuh pada berbagai tipe habitat dengan kelimpahan populasi yang berbeda, namun kelimpahan populasinya cenderung menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu lokasi. Binggeli (1997) melaporkan bahwa C. odorata hanya dapat tumbuh pada ketinggian dibawah 1000 mdpl. Keadaan ini dibuktikan dari hasil survei yang dilakukan di Gunung Bunder, dimana populasi C. odorata hanya ditemukan sampai pada ketinggian 650 mdpl. Pada ketinggian lebih dari 650 mdpl C. odorata tidak dijumpai tetapi lebih didominasi oleh Austroeupatorium inulaefolium (L.) (Asteraceae) dengan kelimpahan populasi yang sangat tinggi. A. inulaefolium merupakan spesies tumbuhan yang secara taksonomi masih memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan C. odorata yang berada dalam satu famili yaitu Asteraceae (McFadyen et al. 2003).

Untuk melihat kelimpahan populasi C. odorata pada berbagai tipe habitat yang berbeda, dipilih empat lokasi yang mewakili habitat perkebunan (Parung Panjang), hutan buatan (Darmaga), ladang dataran rendah (Setu), dan ladang dataran tinggi (Gunung Bunder). Dari hasil observasi yang dilakukan pada empat habitat C. odorata memperlihatkan bahwa kelimpahan populasi C. odorata tertinggi diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang dibandingkan dengan habitat C. odorata lainnya (Gambar 2). Habitat C. odorata di Parung Panjang adalah perkebunan yang merupakan Hutan Tanaman Industri dengan tanaman utama Acacia mangium.

Kelimpahan populasi C. odorata pada empat habitat tersebut meningkat seiring dengan bertambahnya waktu pengambilan sampel yang dilakukan sebanyak tiga kali kecuali pada habitat C. odorata di Darmaga (Gambar 2). Kelimpahan populasi C. odorata antara bulan Agustus 2004 dan Mei 2005 mengalami peningkatan, tetapi bukan berasal dari populasi yang sama. Sedangkan antara bulan Mei 2005 dan Juni 2005 kelimpahan populasi C. odorata

juga mengalami peningkatan yang berasal dari populasi waktu pengamatan sebelumnya. Pada bulan Agustus 2004 kelimpahan populasi C. odorata mencapai titik terendah kemudian meningkat pada bulan Mei 2005 kecuali pada habitat C. odorata di Darmaga dan mencapai puncaknya pada bulan Juni 2005. Menurunnya populasi C. odorata di Darmaga pada bulan Mei 2005 disebabkan karena adanya pemangkasan di habitat tersebut, namun pada bulan berikutnya yaitu Juni 2005 kelimpahan populasi C. odorata kembali mengalami peningkatan.

0 2 4 6 8 10

Agustus 2004 Mei 2005 Juni 2005 Waktu pengamatan Jum la h puc uk/ P. Panjang Darmaga Setu Gn. Bunder m 2

Gambar 2 Kelimpahan populasi C. odorata pada empat lokasi penelitian selama tiga kali pengambilan sampel.

Rendahnya populasi pucuk C. odorata pada bulan Agustus disebabkan karena kondisi iklim yang memasuki musim kemarau sehingga menyebabkan batang C. odorata menjadi kering. Keringnya bagian batang dan daun C. odorata tidak menyebabkan kematiannya, karena walaupun terlihat seperti mati tetapi akar yang berada di dalam tanah tetap hidup. Bulan Mei batang kirinyuh tumbuh kembali sehingga pucuk C. odorata bertambah banyak sampai menjelang waktu berbunga (fase vegetatif). Kemudian pada bulan berikutnya yaitu bulan Juni populasi C. odorata akan tumbuh secara serentak sehingga populasinya meningkat dengan pesat dimana sebagian pucuk telah berubah menjadi bunga (fase generatif) (Tjitrosemito 1999). Keadaan inilah yang menyebabkan kurang

efektifnya lalat puru C. connexa untuk menekan populasi C. odorata karena kelimpahan populasi lalat puru tidak mampu mengimbangi populasi inangnya yang tumbuh dengan populasi yang sangat berlimpah.

Distribusi dan Kelimpahan PopulasiLalat Puru C. connexa

Lalat puru C. connexa mulai dilepas pada tahun 1995 setelah memperoleh surat izin pelepasan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian. Di Jawa Barat ada tiga titik pelepasan lalat puru C. connexa yang dilakukan di Parung Panjang-Jasinga, Bogor pada bulan Desember tahun 1995, Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi pada bulan Mei dan Juni tahun 1996, dan Cagar Alam Pangandaran, Ciamis pada bulan Oktober tahun 1999 (Tjitrosemito 1998; Widayanti et al. 2001). Dalam penelitian ini, pengamatan terhadap distribusi lalat puru C. connexa hanya difokuskan pada titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga (128 mdpl) dan Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi (300 mdpl). Distribusi lalat puru C. connexa berdasarkan lokasi penelitian disajikan pada gambar 3.

Gambar 3 Distribusi lalat puru C. connexa dari titik pelepasan Parung Panjang-Jasinga, Bogor, dan Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi Jawa Barat.

Hasil observasi berdasarkan metode survei keberadaan lalat puru C. connexa, memperlihatkan bahwa setelah 10 tahun dilepas lalat puru C. connexa memiliki kemampuan menyebar cukup jauh dari titik pelepasannya baik dari Parung Panjang-Jasinga, Bogor maupun dari Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi. Secara spesifik, untuk mengetahui keberadaan lalat puru C. connexa pada suatu lokasi berasal dari titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga, Bogor atau dari Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi sulit untuk diketahui secara pasti. Walaupun demikian, keberadaan lalat puru C. connexa tersebut pada suatu lokasi dipastikan berasal dari titik pelepasan yang terdekat.

Keberadaan lalat puru C. connexa di daerah Setu (128 mdpl), Darmaga (170 mdpl), dan Gunung Bunder (650 mdpl) berasal dari titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga, Bogor. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwasanya keberadaan lalat puru C. connexa di daerah Darmaga dan Gunung Bunder juga bisa berasal dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi (Gambar 3). Di Gunung Bunder yang berjarak 35 km dari titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga dan 21 km dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi (Tabel 2), lalat puru C. connexa masih dijumpai walaupun dengan kelimpahan populasi yang sangat rendah. Keberadaan lalat puru C. connexa di Gunung Bunder lebih banyak berasal dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi karena memiliki jarak yang lebih dekat dari titik pelepasan tersebut dibandingkan dari titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga, Bogor.

Di Darmaga yang berjarak relatif hampir sama baik dari titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga, Bogor (31 km) maupun dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi (32 km) (Tabel 2), keberadaan lalat puru C. connexa berasal dari kedua titik pelepasan tersebut. Keberadaan lalat puru C. connexa di daerah Ciawi (443 mdpl) dan Cisarua (962 mdpl) berasal dari titik pelepasan yang terdekat yaitu berasal dari Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi. Begitu juga keberadaan lalat puru C. connexa yang dijumpai di Gunung Salak (700 mdpl) yang merupakan distribusi dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi.

Saat ini lalat puru C. connexa telah mapan dan menyebar secara alami. Adanya barier seperti pegunungan merupakan faktor pembatas terhadap distribusi lalat puru C. connexa. Keadaan ini dibuktikan dengan tidak dijumpainya lalat puru C. connexa tersebut di daerah Cianjur 1 (714 mdpl) dan Cianjur 2 (608 mdpl), serta di Gunung Halimun (650 mdpl), namun keberadaan inangnya C. odorata pada tiga daerah tersebut masih bisa ditemukan. Adanya barier Gunung Halimun bagian selatan merupakan faktor pembatas terhadap distribusi lalat puru C. connexa sehingga tidak ditemukannya lalat puru tersebut di daerah Gunung Halimun. Di daerah Cianjur, lalat puru C. connexa juga tidak dijumpai karena adanya barier berupa Gunung Gede dan Gunung Pangranggo sehingga menyebabkan terbatasnya distribusi lalat puru tersebut.

Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa dipelajari secara spesifik pada 4 lokasi penelitian berdasarkan perbedaan habitat dan ketinggian lokasi penelitian. Empat lokasi tersebut mewakili habitat perkebunan (Parung Panjang), hutan buatan (Darmaga), ladang dataran rendah (Setu), dan ladang dataran tinggi (Gunung Bunder). Hasil observasi berdasarkan metode pengukuran populasi pada empat lokasi penelitian tersebut memperlihatkan bahwa keberadaan C. odorata diikuti juga dengan keberadaan musuh alaminya yaitu lalat puru C. connexa. Lalat puru mampu menyebar secara alami dan beradapatasi pada setiap habitat tetapi memiliki kelimpahan berbeda yang dipengaruhi oleh ketersediaan inangnya, kondisi habitat, dan keberadaan musuh alami.

Berdasarkan hasil survei, kelimpahan populasi lalat puru C. connexa meningkat seiring dengan bertambahnya waktu pengambilan sampel kecuali kelimpahan lalat puru di Gunung Bunder yang relatif hampir sama selama tiga kali pengambilan sampel (Gambar 4). Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa antara bulan Agustus 2004 dan Mei 2005 mengalami peningkatan, tetapi bukan berasal dari populasi yang sama. Sedangkan antara bulan Mei 2005 dan Juni 2005 kelimpahan populasi lalat puru C. connexa juga mengalami peningkatan yang berasal dari populasi waktu pengamatan sebelumnya. Pada bulan Agustus 2004, kelimpahan populasi lalat puru C. connexa di Parung Panjang, Darmaga dan Setu memiliki kelimpahan yang terendah, kemudian meningkat pada bulan Mei 2005

dan mencapai puncaknya pada bulan Juni 2005. Keadaan ini disebabkan karena selama musim kemarau bulan Agustus 2004 kelimpahan populasi C. odorata juga rendah karena batang mengalami kekeringan dan mati sehingga menurunkan kelimpahan populasi lalat puru C. connexa. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tjitrosemito (1999b) yang menyatakan bahwa kelimpahan populasi lalat puru lebih tinggi pada musim hujan (Mei dan Juni) dibandingkan pada waktu musim kemarau (Agustus). Pada musim kemarau, jumlah pucuk C. odorata sebagai inang bagi lalat puru C. connexa kurang memadai sehingga telur yang diletakkan selama musim kemarau tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya. Hal ini mengindikasikan bahwa populasi lalat puru C. connexa sangat dipengaruhi oleh ketersediaan C. odorata sebagai inangnya.

Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa cenderung menurun seiring betambahnya ketinggian suatu tempat. Keadaan ini dibuktikan berdasarkan hasil pengamatan di Gunung Bunder pada ketinggian 650 mdpl yang memperlihatkan rendahnya kelimpahan populasi lalat puru C. connexa selama tiga kali pengambilan sampel (Gambar 4). Hal ini disebabkan karena kelimpahan populasi C. odorata sebagai inang bagi lalat puru juga rendah sehingga mempengaruhi kelimpahan populasi lalat puru tersebut. Selain itu, kondisi habitat di Gunung

0 5 10 15 20 Jum la h pur u/

Agustus 2004 Mei 2005 Juni 2005

m

2

P. Panjang Darmaga Setu Gn. Bunder Lokasi

Gambar 4 Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa pada empat lokasi penelitian selama tiga kali pengambilan sampel.

Bunder berupa pegunungan yang memiliki perbedaan suhu dan kelembaban dengan dataran rendah menyebabkan terbatasnya distribusi lalat puru yang berdampak terhadap rendahnya kelimpahan populasi lalat puru C. connexa di lokasi tersebut.

Terbentuknya puru pada batang dapat mengurangi pertumbuhan batang, produksi biji, dan penyimpanan karbohidrat untuk cadangan makanan (Erasmus et al. 1992). Jika terdapat dalam jumlah banyak, puru batang dapat menghambat pertumbuhan bahkan mematikan inangnya (Ehler et al. 1984 dalam McFadyen et al. 2003). Adanya lalat dalam puru batang C. odorata diharapkan mampu untuk menurunkan populasinya. Berdasarkan pengamatan secara visual di lapangan memperlihatkan bahwa intensitas serangan lalat puru sangat tinggi terhadap setiap batang dan pucuk C. odorata, namun keberadaan puru tersebut tidak mematikan C. odorata. Terbentuknya puru pada batang dan pucuk hanya bisa menghambat pertumbuhan C. odorata saja. Walaupun lalat puru C. connexa tidak mampu menurunkan populasi inangnya secara nyata, C. odorata yang telah terinfestasi oleh puru memiliki produksi biji yang rendah dan proses perkecambahan juga menurun terutama bila seluruh pucuk terinfestasi oleh puru. Fenomena lain yang dijumpai adalah banyaknya C. odorata dengan tinggi kurang dari 100 cm, selain itu terlihat secara umum diameter batang lebih kecil bila dibandingkan dengan diameter batang yang normal. Chenon et al. 2002 melaporkan bahwa tinggi batang C. odorata yang terinfestasi oleh lalat puru C. connexa memiliki kisaran antara 70-85 cm sedangkan panjang batang normal berkisar antara 224-244 cm.

Kekayaan Spesies Tumbuhan di Habitat C. odorata

Dengan menggunakan metode transek yang dikombinasikan dengan metode kuadrat, diharapkan dapat memberikan gambaran keseluruhan spesies tumbuhan yang ditemukan pada setiap habitat C. odorata. Keanekaragaman spesies tumbuhan pada empat habitat C. odorata berdasarkan metode analisis vegetasi dan jumlah plot yang dibuat memperlihatkan bahwa pengambilan contoh spesies tumbuhan sudah dapat menggambarkan keseluruhan spesies tumbuhan yang ada pada masing-masing habitat C. odorata. Hal ini ditunjukkan dengan landainya

kurva akumulasi spesies hasil observasi di lapangan pada keempat habitat C. odorata tersebut (Gambar 5).

Keanekaragaman spesies tumbuhan pada empat habitat C. odorata memperlihatkan bahwa kekayaan spesies (species richness) tertinggi diperoleh di Darmaga dan terendah di Parung Panjang (Gambar 5). Hal ini mengindikasikan bahwa habitat C. odorata di Darmaga memiliki keanekaragaman tumbuhan yang lebih beragam dibandingkan habitat C. odorata di daerah lain. Berdasarkan nilai penduga ACE, jumlah spesies tumbuhan yang dikoleksi tertinggi diperoleh di Darmaga, Gunung Bunder, dan Setu (ACE 100%), sedangkan terendah diperoleh di Parung Panjang (ACE 95.6%) dari total jumlah spesies yang ada.

5 10 15 20 25 30 35 1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45

Jumlah petak contoh

Ju m lah s p e si e s

Darmaga (ACE 100%) Setu (ACE 100%)

Gn. Bunder (ACE 100%) P. Panjang (ACE 95.6)

Gambar 5 Kurva akumulasi spesies tumbuhan pada empat habitat C. odorata.

Hasil analisis vegetasi pada empat habitat C. odorata ditemukan sebanyak 131.132 individu tumbuhan yang termasuk ke dalam 21 famili dan 44 spesies (Tabel 3). Kelimpahan individu (species abudance) tumbuhan terbesar diperoleh dari habitat C. odorata di Gunung Bunder yaitu sebesar 54.554 individu. Kekayaan spesies dan jumlah famili tertinggi di dapat di Darmaga yaitu 26 spesies dan 14 famili. Berdasarkan perhitungan nilai indeks keanekaragaman Shannon dan kemerataan (evenness), spesies tumbuhan tertinggi diperoleh pada habitat C. odorata di Setu masing-masing sebesar 1.26 dan 0.39.

Tabel 3 Jumlah Famili (F), Spesies (S), Individu (N), Indeks Shannon (H’) dan kemerataan (E) tumbuhan pada tiap habitat C. odorata

Lokasi penelitian F S N H' E Parung Panjang 11 15 15.907 0.77 0.28 Setu 13 25 36.048 1.26 0.39 Darmaga 14 26 24.623 0.94 0.29 Gunung Bunder 11 20 54.554 1.16 0.39 Total 21 44 131.132 1.96 0.52

Hasil perhitungan indeks kemiripan Sorensen (Cs) memperlihatkan bahwa antara lokasi Parung Panjang dan Setu memiliki indeks kemiripan tertinggi yaitu 0.65 atau sekitar 65% komposisi spesies tumbuhan yang ditemukan adalah sama. Komposisi spesies tumbuhan antara Parung Panjang dengan Gunung Bunder memiliki indeks kemiripan terendah yaitu 0.40 atau sekitar 40% komposisi spesies tumbuhan yang ditemukan sama pada kedua habitat C. odorata tersebut (Tabel 4).

Tabel 4 Indeks kemiripan Sorensen (Cs) seluruh spesies tumbuhan antar lokasi penelitian pada habitat C. odorata

Lokasi penelitian Parung Panjang Setu Darmaga Gunung Bunder Parung Panjang 1.00

Setu 0.65 1.00

Darmaga 0.44 0.55 1.00

Gunung Bunder 0.40 0.44 0.57 1.00

Habitat C. odorata di Parung Panjang merupakan perkebunan dengan tanaman utama A. mangium, sedangkan Setu merupakan lahan terbuka dengan dominasi M. affine. Tingginya kemiripan komposisi spesies tumbuhan pada kedua habitat tersebut diduga karena memiliki sejarah penggunaan lahan yang sama sebelum Parung Panjang di tanami dengan A. mangium. Selain itu, jarak yang dekat (6 km) dengan ketinggian yang sama (128 mdpl) juga merupakan faktor yang mempengaruhi keberadaan spesies tumbuhan yang ditemukan pada

kedua lokasi tersebut. Kondisi habitat C. odorata di Gunung Bunder yang berbatasan langsung dengan lahan persawahan dan tanaman jagung serta berada pada ketinggian 650 mdpl, diduga menjadi penyebab perbedaan komposisi spesies tumbuhan dengan habitat C. odorata di Parung Panjang.

Berdasarkan hasil analisis pengelompokan menunjukkan bahwa habitat C. odorata di Setu dan Parung Panjang berada dalam satu kelompok, sedangkan kelompok lainnya terdiri dari habitat C. odorata di Gunung Bunder dan Darmaga (Gambar 6). Dengan demikian melalui pendekatan matriks kemiripan dan gambar dendogram maka komunitas tumbuhan pada empat habitat C. odorata dapat dibedakan secara tegas berdasarkan komposisi spesies penyusun pada masing-masing habitat C. odorata tersebut.

Setu Prg. Panjang Gn. Bunder Darmaga 0.30 0.35 0.40 0.45 0.50 0.55 Jarak k e tid a k samaan

Gambar 6 Dendogram pengelompokan spesies tumbuhan pada empat habitat C. odorata.

Implikasi Keberadaan Tumbuhan Eksotik Invasif C. odorata terhadap Keberadaan Tumbuhan Lokal

Indeks nilai penting (INP) spesies tumbuhan pada setiap habitat C .odorata memiliki perbedaan. Kelompok spesies tumbuhan tegak yang memiliki indeks nilai penting tertinggi pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, dan

Darmaga adalah C. odorata dengan nilai penting masing-masing sebesar 47%, 28.20%, dan 49.57%, sedangkan di Gunung Bunder Boreria alata memiliki indeks nilai penting tertinggi yaitu sebesar 73.38% (Tabel 5). Untuk kelompok spesies tumbuhan merambat, indeks nilai penting tertinggi di Parung Panjang dan Setu adalah Cyrtococcum oxyphyllum dengan nilai penting masing-masing sebesar 131.8% dan 89.97%, di Darmaga indeks nilai penting tertinggi adalah Panicum repens sebesar 98.34%, sedangkan di Gunung Bunder adalah Axonopus compressus dengan nilai penting sebesar 72.85% (Tabel 6). Dengan demikian spesies-spesies yang memiliki indeks nilai penting tertinggi merupakan spesies yang mempunyai kemampuan adaptasi dan toleransi yang lebih baik dibandingkan dengan spesies yang lainnya, baik bila dihubungkan dengan pengaruh keberadaan C. odorata maupun dalam kaitannya dengan kompetisi dengan spesies lain sehingga spesies-spesies tumbuhan tersebut mendominasi pada setiap habitat C. odorata tersebut.

Tabel 5 Indeks Nilai Penting (INP) spesies tumbuhan tegak pada empat habitat C. odorata

Lokasi penelitian / INP (%) No. Spesies

P. Panjang Setu Darmaga Gn. Bunder

1 Chromolaena odorata 47.00* 28.20* 49.57* 23.29 2 Boreria leavis 46.18 - 16.26 - 3 Corchorus aestuans 27.56 - - - 4 Ageratum conyzoides - - - 48.28 5 Imperata cylindrica - 25.31 - - 6 Mimosa pudica - - 17.76 - 7 Urena lobata - 25.04 - - 8 Boreria alata - - - 73.38* 9 Spesies lain# 58.96 69.82 95.76 53.49 Total 200 200 200 200 *)

INP tertinggi pada setiap habitat C. odorata #)

Tetracera scandens, Breynia racemosa, Melastoma affine, Lantana camara, Hydrocotyle sibthorpioides, Phyllanthus urinaria, Scleria ciliaris, Clidemia hirta, Stachytarpheta jamaicensis, Solanum involucratum, Mimosa invisa, Pennisetum polystachyon, Panicum maximum, Mimosa pigra, Amaranthus spinosus, Nephrolepis bisserata, Cyclosorus aridus, Bergia capendis, Pityrogramma tartara

Tabel 6 Indeks Nilai Penting (INP) spesies tumbuhan merambat pada empat habitat C. odorata

Lokasi penelitian / INP (%) No. Spesies

P. Panjang Setu Darmaga Gn. Bunder

1 Cyrtococcum oxyphyllum 131.8* 89.97* - - 2 Axonopus compressus 48.60 37.11 19.13 72.85* 3 Lygodium microphyllum 19.55 - - - 4 Operculina turpethum - 28.60 - - 5 Ipomoea triloba - - 20.89 - 6 Panicum repens - - 98.34* - 7 Ischaemum timorense - - - 50.93 8 Rostellularia sundana - - - 18.36 9 Spesies lain 0 44.3 61.6 57.8 Total 200 200 200 200

*) INP tertinggi pada setiap habitat C. odorata

#) Chrysopogon aciculatus, Mikania micrantha, Centrosema pubescen, Widelia trilobata, Eleusine indica, Commelina

diffusa, Setaria palmifolia, Cyperus kyllingia, Eragrostis unioloides

Hasil perhitungan indeks nilai penting untuk spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata di Parung Panjang, Setu, dan Darmaga memperlihatkan bahwa kelimpahan populasi tumbuhan ini mendominasi pada tiga habitat tersebut kecuali di Gunung Buder (Tabel 5). Keadaan ini mengindikasikan bahwa kehadiran spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata pada tiga habitat tersebut telah menyebabkan terjadinya pengambilalihan atau pergantian skala ruang, yaitu tempat atau ruang yang seharusnya ditempati oleh spesies-spesies tumbuhan lokal kemudian diambil alih keberadaannya oleh tumbuhan eksotik invasif C. odorata. Selain itu, kehadiran tumbuhan eksotik invasif C. odorata pada empat lokasi penelitian menyebabkan terjadinya penurunan keanekaragaman spesies tumbuhan yang berada di sekitarnya. Hal ini diperkuat berdasarkan hasil perhitungan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener yang memperlihatkan rendahnya nilai indeks keanekaragaman tumbuhan pada keempat habitat C. odorata tersebut (Tabel 3).

Pada 8 minggu pertama setelah tumbuh dari biji, C. odorata mengalokasikan sebagian besar hasil fotosintesis atau biomassanya untuk pembentukan daun. Setelah 8 minggu pertama, hasil fotosintesis atau biomassanya diarahkan untuk pembentukan batang sehingga C. odorata membentuk tumbuhan yang banyak daunnya dan terlihat rindang, padat serta rapat

jumlah daunnya. Keadaan seperti ini menyebabkan C. odorata bersifat agresif karena akan segera menutupi pertumbuhan kecambah spesies tumbuhan lain yang kurang cepat pertumbuhannya sehingga akan menghambat pertumbuhan kecambah spesies tumbuhan tersebut dan bahkan dapat menyebabkan kematian kecambah (Tjitrosemito 1997).

Keberadaan tumbuhan eksotik invasif C. odorata ini pertumbuhannya akan berkompetisi dengan spesies-spesies tumbuhan lain yang berada dibawahnya baik dari kelompok tumbuhan tegak maupun yang merambat. Apabila C. odorata ini menaungi spesies-spesies tumbuhan yang berada di bawahnya secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama, maka dapat menyebabkan hilangnya spesies-spesies tumbuhan yang berada di bawah naungan C. odorata tersebut (Tjitrosemito 22 Agustus 2006, komunikasi pribadi).

KESIMPULAN

Persebaran spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata di Jawa Barat khususnya daerah Bogor sudah sangat luas. C. odorata dapat tumbuh pada berbagai tipe habitat meliputi habitat perkebunan, hutan buatan, ladang dataran rendah, maupun ladang dataran tinggi dengan kelimpahan yang berbeda. Kelimpahan populasinya cenderung menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu lokasi.

Keberadaan C. odorata diikuti pula dengan keberadaan musuh alaminya yaitu lalat puru C. connexa pada semua lokasi pengamatan, kecuali di Gunung Halimun dan Cianjur. Ada dua titik pelepasan lalat puru C. connexa yaitu di Parung Panjang-Jasinga, Bogor dan Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi. Lalat puru C. connexa saat ini telah mapan keberadaannya dan menyebar secara alami serta memiliki kemampuan persebaran yang cukup jauh baik dari titik pelepasannya di Parung Panjang-Jasinga, Bogor maupun dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi. Lalat puru C. connexa mampu hidup pada berbagai ketinggian tempat yang berbeda, namun kelimpahan populasinya menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu tempat. Adanya barier

berupa pegunungan merupakan faktor pembatas terhadap distribusi lalat puru C. connexa. Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa sangat dipengaruhi oleh ketersediaan inangnya yaitu C. odorata.

Komunitas tumbuhan yang diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder secara keseluruhan terdiri dari 131.132 individu tumbuhan yang termasuk ke dalam 21 famili dan 44 spesies. Tingkat kemiripan komposisi spesies tumbuhan tertinggi terdapat pada habitat C. odorata antara Parung Panjang dan Setu yaitu 65%, sedangkan yang terendah diperoleh pada habitat C. odorata antara Parung Panjang dengan Gunung Bunder sebesar 40%.

Kelimpahan populasi C. odorata pada lokasi penelitian di Parung Panjang, Setu, dan Darmaga mendominasi berdasarkan perhitungan indeks nilai penting kecuali di Gunung Bunder. Implikasi dari keberadaan spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata pada tiga habitat tersebut telah menyebabkan terjadinya pengambilalihan atau pergantian skala ruang, yaitu tempat atau ruang yang seharusnya ditempati oleh spesies-spesies tumbuhan lokal kemudian diambil alih keberadaannya oleh tumbuhan eksotik invasif C. odorata. Selain itu, kehadiran tumbuhan eksotik invasif C. odorata pada empat lokasi penelitian menyebabkan terjadinya penurunan keanekaragaman spesies tumbuhan yang berada di sekitarnya.

TUMBUHAN EKSOTIK INVASIF: STUDI KASUS PADA

Dokumen terkait