• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persentase Hidup

Persentase stek hidup Buni dihitung dengan membandingkan jumlah stek yang masih hidup (segar, tidak bolong, tidak menghitam, tidak berjamur, bertunas dan termasuk stek yang dorman atau tidak menunjukkan adanya gejala kematian) pada setiap pengamatan yakni 10 HST, 20 HST, 30 HST dan 40 HST dengan jumlah stek yang ditanam pada awal penelitian.

Tabel 1 Persentase hidup stek buni pada pengamatan 0-40 HST

Tabel 1 menunjukkan bahwa persentase hidup stek Buni mengalami penurunan hingga akhir penelitian. Penurunan persentase hidup pada setiap pengamatan dapat dilihat dengan jelas pada gambar 1.

Perlakuan Persentase Hidup 10 HST 20 HST 30HST 40HST N % N % N % N % A0 4/4 100 3/4 75 3/4 75 3/4 75 A1 4/4 100 4/4 100 3/4 75 3/4 75 A2 4/4 100 3/4 75 3/4 75 1/4 25 A3 4/4 100 3/4 75 3/4 75 2/4 50 A4 4/4 100 4/4 100 4/4 100 3/4 75 A5 4/4 100 4/4 100 3/4 75 1/4 25 A6 4/4 100 4/4 100 4/4 100 3/4 75 A7 4/4 100 4/4 100 3/4 75 3/4 75 A8 4/4 100 4/4 100 3/4 75 2/4 50

0 20 40 60 80 100 120 0 HST 10 HST 20 HST 30 HST 40 HST A0 A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8

Gambar 1 Persentase hidup stek buni pada pengamatan 0-40 HST

Penurunan persentase hidup ini diduga dikarenakan ketidakmampuan stek berakar sehingga menyebabkan stek tidak memiliki sumber cadangan makanan yang cukup untuk bertahan, membentuk tunas dan penyerapan air. Hal ini didukung pula dengan kondisi suhu yang cukup tinggi pada pengamatan 30 HST dengan suhu rata-rata 26O C-36O C dan 40 HST dengan suhu rata-rata 26O C-40OC. Suhu yang tinggi akan mempercepat proses fisiologis stek seperti transpirasi dan respirasi.

Proses transpirasi yang berlebihan akan menyebabkan stek kehilangan air, terlebih sistem perakaran stek belum terbentuk sehingga penyerapan air tidak optimal. Hal ini akan membuat stek menjadi kering dan mati. Sementara proses respirasi yang berlebihan akan mengurangi bahkan menghabiskan cadangan makanan yang seharusnya dialokasi untuk pertumbuhan tunas ataupun akar. Jika tidak memiliki cadangan makanan yang cukup untuk bertahan, lama kelamaan stek akan mengalami kematian. Seperti halnya pada penelitian Gunawan (2006) bahwa persentase hidup stek Dadap Merah (Erythrina crystagalli) mengalami penurunan dikarenakan suhu udara yang tinggi pada propagation area yang

mengakibatkan penguapan yang cepat dan juga diduga karena stek mengalami kehabisan cadangan makanan (karbohidrat). Dan Seperti halnya yang dikemukakan oleh Rohiman dan Hardjadi (1973) dalam Gunawan (2006) bahwa ada sebagian jenis tanaman, suhu udara yang rendah umumnya akan mendorong perakaran, sedangkan pada suhu yang tinggi meningkatkan laju transpirasi dan katabolisme gula yang terakumulasi dalam bentuk zat pati.

Pemberian hormon Rootone F dan NAA dengan berbagai konsentrasi tidak berpengaruh nyata terhadap persentase hidup stek Buni pada setiap pengamatan (Lampiran 1). Seperti halnya dengan hasil penelitian Kusuma (2003) bahwa pemberian hormon rootone F (5 gr/100 stek) dan NAA (250 ppm/100stek) tidak berpengaruh nyata terhadap persen tumbuh stek manglid (Magnolia blumei Prantl) dan hasil penelitian Herman dkk. (1998) yang menyatakan bahwa pemberian zat pengatur Rootone F dengan konsentrasi 0 mg, 50 mg, 100 mg dan 150 mg tidak berpengaruh nyata terhadap persen tumbuh stek Ramin (Gonystylus bancanus). Namun, hasil penelitian diatas berbeda dengan hasil penelitian Indarto dan Sumiarsi (1998) yang menyatakan bahwa pemakaian Rootone F dengan dosis 0 mg/stek, 25 mg/stek, 50 mg/stek dan 75 mg/stek berpengaruh nyata terhadap persentase tumbuh stek Macaranga triloba Muell. Arg (termasuk suku Euphorbiace) dan pemakaian dosis 50 mg/stek memiliki persentase tumbuh tertinggi. Perbedaan pengaruh tersebut terjadi karena respon tanaman terhadap pemberian zat pengatur tumbuh berbeda-beda, terlebih dosis yang diberikan berbeda sehingga setiap perlakuan diatas akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap persen hidup stek. Hal serupa dikemukakan oleh Weaver (1972)

zat pengatur tumbuh dapat bersifat menguntungkan atau bahkan merugikan, tergantung pada konsentrasi, keadaan lingkungan dan keadaan tanamannya.

Persentase Stek yang Bertunas

Persentase stek yang bertunas dihitung dengan membandingkan jumlah stek yang bertunas pada setiap pengamatan yakni 10 HST, 20 HST, 30 HST dan 40 HST dengan jumlah stek yang ditanam pada awal penelitian.

Tabel 2 Persentase stek yang bertunas pada pengamatan 0-40 HST

Perlakuan Persentase Tunas 10 HST 20 HST 30HST 40HST N % N % N % N % A0 3/4 75 2/4 50 2/4 50 0/4 0 A1 3/4 75 3/4 75 2/4 50 0/4 0 A2 2/4 50 3/4 75 3/4 75 0/4 0 A3 2/4 50 2/4 50 1/4 25 0/4 0 A4 2/4 50 4/4 100 4/4 100 1/4 25 A5 2/4 50 0/4 0 0/4 0 0/4 0 A6 1/4 25 3/4 75 2/4 50 0/4 0 A7 0/4 0 0/4 0 0/4 0 0/4 0 A8 0/4 0 2/4 50 1/4 25 1/4 25

Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase tunas mengalami peningkatan pada pengamatan 20 HST. Peningkatan persentase tunas ini diduga karena cadangan makanan yang ada pada batang stek masih banyak tersedia sehingga pembentukan tunas sangat baik dan didukung pula dengan kondisi suhu stek yang baik yakni berkisar 24OC-29OC. Namun, pada pengamatan 40 HST persentase tunas mengalami penurunan drastis. Hal ini dikarenakan pada pengamatan 40 HST diduga stek telah kekurangan cadangan makanan sehingga tidak mampu untuk membentuk tunas dan bahkan tidak mampu mempertahankan tunas yang sebelumnya telah terbentuk karena tidak adanya asupan cadangan makanan dari luar dikarenakan belum terbentuk akar. Terlebih kondisi suhu pada pengamatan

40 HST sangat tinggi yakni berkisar 26OC-30OC. Kondisi suhu seperti ini akan meningkatkan proses fisiologis tanaman terutama proses respirasi dimana prosesnya juga membutuhkan cadangan makanan. Seperti halnya dalam penelitian Gunawan (2006) bahwa zat pati (cadangan makanan) yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan stek habis terbuang karena respirasi yang tinggi. Penurunan persentase tunas stek buni pada setiap pengamatan dapat dilihat dengan jelas pada gambar 2.

Penyebab lain persentase stek yang bertunas mengalami penurunan ialah Intensitas cahaya matahari pada saat penelitian terlalu tinggi. Walaupun pengukuran intensitas cahaya tidak dilakukan secara langsung, namun hal ini dapat dilihat dari tunas yang menguning dan kering pada pengamatan 30 HST dan 40 HST, dan juga dapat dilihat dari suhu yang terlalu tinggi. Pemberian sungkup maupun naungan untuk menghindari stek terkena sinar matahari langsung ternyata tidak mampu melindungi stek dari kekeringan.

Pada pengamatan 10 HST perlakuan A0 (Kontrol) dan A1 (Rootone F 25 ppm) memiliki persentase tunas tertinggi yakni 75 %. Pada pengamatan 20 HST dan 30 HST perlakuan A4 (Rootone F 100 ppm) memiliki persentase tertinggi yakni 100 %. Pada pengamatan 40 HST Perlakuan A4 (Rootone F 100 ppm) dan A8 (NAA 2 ppm) memiliki persentase tunas tertinggi yakni 25 %.

0 20 40 60 80 100 120 0 HST 10 HST 20 HST 30 HST 40 HST A0 A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8

Gambar 2 Persentase stek yang bertunas pada pengamatan 0-40 HST Pemberian hormon Rootone F dan NAA dengan berbagai konsentrasi tidak berpengaruh nyata terhadap persentase tunas stek Buni (Lampiran 1). Sama halnya dengan hasil penelitian Kusuma (2003) bahwa pemberian hormon Rootone F (5 gr/100 stek) dan NAA (250 ppm/100stek) tidak berpengaruh nyata terhadap persentase tunas stek manglid (Magnolia blumei Prantl). Namun hasil penelitian diatas berbeda dengan hasil penelitian Huik (2004) bahwa pemberian zat pengatur tumbuh Rootone – F (0 ppm, 100 ppm, 200 ppm dan 300 ppm) memberikan pengaruh sangat nyata terhadap persentase tunas stek batang Jati (Tectona grandis L.F). Pemberian jenis dan dosis hormon yang tepat pada stek akan memberikan respon yang baik bagi pertumbuhan stek terutama pembentukan akar dan tunas. Hal ini berkaitan dengan proses awal terbentuknya akar stek, jika akar sudah terbentuk maka proses pertumbuhan tunas otomatis akan semakin mudah. Sama halnya seperti yang dikemukanan oleh Praswoto dkk. (2006) bahwa stek yang baik ditandai dengan tumbuhnya akar terlebih dahulu. Sebaliknya jika tunas terlebih dahulu terbentuk maka dikhawatirkan akar akan sukar terbentuk karena

cadangan makanan yang terdapat pada stek sedikit karena telah diakumulasi untuk membentuk tunas dan proses respirasi.

Jumlah Tunas

Jumlah tunas dihitung berdasarkan jumlah tunas yang muncul pada setiap pengamatan 10 HST, 20 HST, 30 HST dan 40 HST dan merupakan hasil penjumlahan dari setiap ulangan.

Tabel 3 Jumlah tunas stek buni pada pengamatan 0-40 HST

Perlakuan Jumlah Tunas yang Tumbuh Total

10 HST 20 HST 30HST 40HST A0 5 1 2 0 8 A1 7 0 0 0 7 A2 2 0 3 0 5 A3 3 1 1 0 4 A4 3 4 1 0 8 A5 4 0 0 0 4 A6 1 2 1 0 4 A7 0 1 0 0 1 A8 0 2 0 0 2

Tabel 3 menunjukkan bahwa tunas yang paling banyak tumbuh terjadi pada pengamatan 10 HST , sedangkan pada pengamatan 20 HST dan 30 HST tunas yang tumbuh semakin sedikit. Sementara pada pengamatan 40 HST tunas sudah tidak tumbuh. Penurunan jumlah tunas yang tumbuh pada setiap pengamatan dapat dilihat dengan jelas pada gambar 3. Penurunan jumlah tunas yang terbentuk diduga karena cadangan makanan yang terdapat pada stek semakin sedikit. Tidak terbentuknya akar pada stek merupakan penyebab utama stek tidak mendapat asupan cadangan makanan. Hal ini mengakibatkan stek akan

0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 HST 10 HST 20 HST 30 HST 40 HST A0 A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8

Penyebab lainnya stek kekurangan makanan ialah pengambilan stek untuk penelitian ini dilakukan pada waktu musim berbuah. Hal ini mengakibatkan persediaan cadangan makanan pada batang sedikit karena cadangan makanan yang ada pada pohon terkonsentrasi pada pembentukan buah. Hal ini sejalan dengan Wudianto (2004) yang mengatakan bahwa saat pemotongan stek yang baik yaitu pada saat kelembaban tinggi dan tanaman tidak mengalami pertumbuhan.

Banyaknya stek yang terbentuk pada pengamatan 10 HST didukung dengan keadaan lingkungan yang medukung seperti suhu. Suhu rata-rata pada pengamatan 10 HST 24O C-29O C, kondisi suhu ini sangat sesuai bagi pertumbuhan stek. Sama halnya seperti yang dikemukakan oleh Hartman dkk. (2002) bahwa suhu udara yang baik untuk stek sekitar 21 OC -27OC.

Gambar 3 Jumlah tunas stek buni pada pengamatan 0-40 HST

Perlakuan yang selalu menunjukkan pertumbuhan tunas pada setiap pengamatan (10 HST, 20 HST dan 30 HST) ialah A0 (Kontrol), A3 (Rootone 75 ppm), A4 (Rootone 100 ppm) dan A6 ( NAA 1 ppm). Perlakuan A0 (Kontrol) dan A4 (Rootone F 100 ppm) menghasilkan tunas paling banyak yakni 8 tunas,

sedangkan perlakuan A7 menghasilkan tunas paling sedikit yakni 1 tunas. Pemberian hormon Rootone F dan NAA dengan berbagai konsentrasi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas stek Buni pada setiap pengamatan (Lampiran 1). Berbeda dengan hasil penelitian Kusuma (2003) yang menyatakan bahwa Induksi NAA (250 ppm/100stek) memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah tunas stek Manglid (Magnolia blumei Prantl.) dan hasil penelitian Indarto dan Sumiarsi (1998) yang menyatakan bahwa pemakaian Rootone F dengan dosis 0 mg/stek, 25 mg/stek, 50 mg/stek dan 75 mg/stek berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas stek Macaranga triloba Muell. Arg (termasuk suku Euphorbiace), dan pemakaian dosis 50 mg/stek cenderung lebih baik dalam pembentukan tunas daripada dosis yang lainnya.

Induksi Akar

Pemberian zat pengatur tumbuh baik Rootone F dan NAA tidak memberikan respon terhadap proses terbentuknya akar. Hal ini diduga dosis yang diberikan belum mampu memicu pertumbuhan akar stek Buni. Berbeda dengan stek pada tanaman Macaranga triloba Muell. Arg yang berasal dari suku yang sama yakni Euphorbiace, yang tumbuh sangat baik jika diberikan hormon Rootone F dengan dosis 50 mg/stek (Indarto dan Sumiarsi, 1998).

Peningkatan dosis zat pengatur tumbuh pada stek stek buni perlu dilakukan untuk memicu pertumbuhan akar. Hal ini ditegaskan dengan hasil penelitian Huik (2004) bahwa hormon eksogen Rootone F dengan dosis 200 ppm pada stek batang Jati (Tectona grandis L.F) memberikan respon terbaik dalam

Dokumen terkait