• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Penelitian Induksi Kalus dan Embriogenesis Somatik

Kalus purwoceng berhasil diinduksi dari eksplan daun pada media MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4-D 2 mg/l + pikloram 0.5 mg/l. Inisiaisi kalus mulai terbentuk pada umur 1 minggu. Pada umur 4 minggu hampir seluruh permukaan eksplan telah ditutupi oleh kalus. Kalus yang terbentuk berwarna krem keputihan atau krem muda dengan struktur yang kompak (Gambar 2A dan B). Setelah berumur 6 minggu kalus dipindahkan ke dalam media induksi embriogenesis somatik yaitu media DKW dengan penambahan zat pengatur tumbuh IBA 5 mg/l. Pada umur 6 minggu mulai terbentuk embrio somatik fase globuler dan hati berwarna krem kehijauan (Gambar 2C dan D). Embrio somatik pada fase ini kemudian digunakan sebagai bahan untuk induksi mutasi dengan EMS dilanjutkan dengan seleksi in vitro pada suhu tinggi.

C D

Gambar 2 Kalus yang diinduksi dari eksplan daun pada media MS + 2,4-D 2 mg/l + pikloram 0.5 mg/l umur 4 minggu (A) dan 6 minggu (B) serta embrio somatik fase globuler (C) dan fase hati (D) yang diinduksi pada media DKW + IBA 5 mg/l

A B

19

Keadaan Suhu Ruang Seleksi

Hasil pengukuran suhu harian pada masing-masing ruang seleksi menunjukkan rata-rata suhu siang hari di dalam ruang inkubasi kontrol adalah 17.3 ± 0.5ºC, ruang seleksi I 23.3 ± 2.1ºC dan ruang seleksi II 32.8 ± 1.7ºC. Rata-rata suhu siang pada ruang inkubasi kontrol relatif stabil, sedangkan di dalam ruang seleksi I dan II berfluktuasi seiring dengan perubahan suhu ling-kungan. Pada ruang seleksi I rata-rata suhu pukul 12.00 dan 15.00 lebih tinggi sekitar 0.2ºC dan 1.3ºC dibandingkan rata-rata suhu pukul 09.00. Demikian juga pada ruang seleksi II, rata-rata suhu pukul 12.00 dan 15.00 lebih tinggi sekitar 0.9ºC dan 1ºC dibandingkan rata-rata suhu pada pukul 09.00 (Tabel 1). Peng-gunaan AC yang intensif pada ruang inkubasi kontrol menyebabkan suhu pada ruang tersebut lebih stabil dibandingkan suhu pada ruang seleksi I dan II. Pada ruang seleksi I AC digunakan secara terbatas, sedangkan pada ruang seleksi II tidak dipergunakan AC. Suhu pada ruang inkubasi kontrol merupakan suhu yang selama ini digunakan untuk kultur in vitro purwoceng.

Tabel 1 Rata-rata suhu harian pada masing-masing ruang seleksi

Ruang seleksi Waktu pengukuran

(WIB) Rata-rata suhu (ºC) Kontrol 09.00 17.3 ± 0.5 12.00 17.3 ± 0.5 15.00 17.3 ± 0.6 Rata-rata 17.3 ± 0.5 Ruang I 09.00 22.9 ± 2.0 12.00 23.1 ± 1.7 15.00 24.2 ± 2.2 Rata-rata 23.3 ± 2.1 Ruang II 09.00 32.2 ± 1.4 12.00 33.1 ± 1.6 15.00 33.2 ± 1.8 Rata-rata 32.8 ± 1.7

20

Keadaan Kultur

Sekitar 80% kultur yang diinkubasi pada suhu 32.8 ± 1.7ºC mengalami kontaminasi. Sebagian besar kontaminan berupa bakteri (Gambar 3), hanya sekitar 10% kontaminan berupa cendawan. Kontaminasi yang terjadi pada suhu kontrol dan suhu 23.3 ± 2.1ºC sekitar 10% yang terdiri dari kontaminan bakteri dan cendawan. Meskipun terkontaminasi, kultur pada suhu 32.8 ± 1.7ºC dapat dipertahankan dan diamati sampai akhir seleksi karena perkembangan bakteri relatif lambat, dan setiap bulan selalu dilakukan sub kultur ke dalam media baru.

Gambar 3 Kultur yang mengalami kontaminasi bakteri pada suhu 32.8 ± 1.7ºC

Pengaruh Suhu Seleksi dan EMS terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Eksplan

Indikasi pengaruh fisiologis dari mutagen pada mutagenesis secara in vitro, dapat dilihat berdasarkan pengaruh penghambatannya terhadap pertumbuhan, kemampuan hidup dan kemampuan regenerasi eksplan setelah aplikasi mutagen dibandingkan kontrol tanpa perlakuan mutagen (van Harten 1998; Roux 2004). Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan eksplan cen-derung semakin menurun dengan meningkatnya suhu seleksi dan dosis EMS yang digunakan. Pertumbuhan dan perkembangan eksplan cenderung terham-bat pada suhu 32.8 ± 1.7ºC dan dosis EMS 0.7% selama 2 jam.

Penambahan Bobot Segar Eksplan

Peubah bobot segar eksplan digunakan untuk mengukur pertumbuhan tanaman baik secara in vitro maupun in vivo (van Harten 1998; Roux 2004; Medina et al. 2005). Rata-rata penambahan bobot segar eksplan semakin menurun dengan meningkatnya suhu seleksi. Rata-rata penambahan bobot

21

segar eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol berturut-turut berkisar antara 0.1890 - 0.4892 g, 0.3659 - 1.6139 g dan 2.2859 - 6.1972 g. Pada suhu 23.3 ± 2.1ºC berkisar antara 0.1710 - 0.4429 g, 0.4497 - 1.9279 g dan 1.2287 - 3.5572 g dan pada suhu 32.8 ± 1.7 ºC berkisar antara 0.1393 - 0.4223 g, 0.1420 - 1.9263 g dan 0 - 0.3062 g. Suhu 32.8 ± 1.7ºC menunjukkan rata-rata penam-bahan bobot segar eksplan paling rendah pada umur 1, 2 dan 3 bulan (Gambar 4).

Rata-rata penambahan bobot segar eksplan pada suhu kontrol dan suhu 23.3 ± 2.1ºC cenderung meningkat dengan semakin meningkatnya umur eksplan, sedangkan rata-rata penambahan bobot segar eksplan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC cenderung menurun dengan meningkatnya umur eksplan atau ber-tambah lamanya periode seleksi (Gambar 4). Hal ini menunjukkan suhu 32.8 ± 1.7ºC cenderung memberikan penghambatan terhadap pertumbuhan eksplan, dan penghambatannya semakin besar dengan bertambah lamanya periode seleksi. Menurut Sung et al. (2003), besarnya cekaman yang ditimbulkan oleh suhu berbeda-beda tergantung dari intensitas derajat suhu, laju perubahan suhu dan lamanya periode cekaman. Hasil penelitian Chalupa dan Durzan (1973)

dalam Chalupa (1987) dan Chalupa (1987) menunjukkan suhu memberikan

pengaruh terhadap pertumbuhan kalus tanaman Picea abies dan Pinus

banksiana. Suhu optimum untuk pertumbuhan kalus diperoleh pada suhu 25°C. Suhu di bawah dan di atas suhu optimum menghambat pertumbuhan kalus yang ditandai oleh rata-rata bobot segar dan bobot kering kalus yang lebih rendah dibandingkan pada suhu 25°C.

Pengaruh EMS terhadap rata-rata penambahan bobot segar eksplan pada suhu kontrol nyata pada umur 2 bulan. Rata-rata penambahan bobot segar eksplan cenderung semakin menurun dengan meningkatnya dosis EMS yang digunakan. Rata-rata penambahan bobot segar eksplan umur 2 bulan paling tinggi diperoleh pada perlakuan EMS 0.1% selama 2 jam yaitu 1.6139 g, namun hanya berbeda nyata dengan kontrol aquades selama 2 jam serta EMS 0.3 dan 0.7% selama 2 jam yang berturut-turut menunjukkan penambahan bobot segar 0.5835 g, 0.6383 g dan 0.3659 g. Perlakuan EMS 0.1% selama 2 jam juga cenderung menunjukkan rata-rata penambahan bobot segar eksplan paling tinggi pada umur 1 bulan yaitu 0.4892 g, sedangkan rata-rata penambahan bobot segar eksplan paling tinggi umur 3 bulan ditunjukkan oleh perlakuan EMS 0% selama 1 jam yaitu 6.1972 g, namun pengaruh EMS pada umur 1 dan 3 bulan secara

22

Keterangan : Ka-1 dan Ka-2 = Kontrol aquades selama 1 dan 2 jam E0-1 dan E0-2 = EMS 0% selama 1 dan 2 jam E1-1 dan E1-2 = EMS 0.1% selama 1 dan 2 jam E3-1 dan E3-2 = EMS 0.3% selama 1 dan 2 jam E5-1 dan E5-2 = EMS 0.5% selama 1 dan 2 jam E7-1 dan E7-2 = EMS 0.7% selama 1 dan 2 jam

Gambar 4 Pengaruh suhu seleksi dan EMS terhadap rata-rata penambahan bobot segar eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan. Huruf yang sama pada umur dan suhu seleksi yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Jarak Berganda Duncan pada taraf α = 0.05.

0 0.5 1 1.5 2 (g)

Ka-1 Ka-2 E0-1 E0-2 E1-1 E1-2 E3-1 E3-2 E5-1 E5-2 E7-1 E7-2

32.8±1.7°C23.3±2.1°C 17.3±0.5°C abcd cd abc ab abc a abcd

bcd abcd abcd abcd d b b b a b b b b b b b b 0 1 2 3 4 5 6 7 (g)

Ka-1 Ka-2 E0-1 E0-2 E1-1 E1-2 E3-1 E3-2 E5-1 E5-2 E7-1 E7-2

32.8±1.7°C 23.3±2.1°C17.3±0.5°C 3 bulan 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 (g)

Ka-1 Ka-2 E0-1 E0-2 E1-1 E1-2 E3-1 E3-2 E5-1 E5-2 E7-1 E7-2

32.8±1.7°C23.3±2.1°C 17.3±0.5°C

1 bulan

23

statistik tidak nyata. Perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam cenderung menun-jukkan rata-rata penambahan bobot segar eksplan paling rendah pada umur 1, 2 dan 3 bulan, yaitu berturut-turut 0.1890 g, 0.3659 g, dan 2.3751 g (Gambar 4). Hal ini menunjukkan EMS 0.7% selama 2 jam cenderung memberikan peng-hambatan terhadap pertumbuhan eksplan yang diinkubasi pada suhu kontrol. Pada suhu kontrol, pengaruh tekanan dari suhu seleksi dianggap tidak ada, sehingga pengaruh penghambatan terhadap pertumbuhan eksplan dapat dianggap sebagai pengaruh penghambatan dari EMS secara tunggal.

Rata-rata penambahan bobot segar eksplan pada suhu 23.3 ± 2.1ºC juga cenderung semakin menurun dengan meningkatnya dosis EMS, namun demikian pengaruhnya secara statistik tidak nyata pada umur 1, 2 dan 3 bulan. Perlakuan kontrol aquades, EMS 0 dan 0.1% selama 2 jam cenderung menunjukkan rata-rata penambahan bobot segar eksplan umur 1 bulan lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Demikian juga perlakuan EMS 0% selama 2 jam pada umur 2 bulan dan EMS 0.1% selama 1 dan 2 jam pada umur 3 bulan. Perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam cenderung menunjukkan rata-rata penambahan bobot segar eksplan paling rendah pada umur 1, 2 dan 3 bulan yaitu berturut-turut 0.1710 g, 0.4497 g dan 1.2287 g (Gambar 4).

EMS memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata penambahan bobot segar eksplan umur 2 bulan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC. Rata-rata penambahan bobot segar eksplan umur 2 bulan paling tinggi ditunjukkan oleh perlakuan EMS 0% selama 2 jam yaitu 1.9263 g, berbeda nyata dengan kontrol aquades dan perlakuan EMS lainnya yang berkisar antara 0.1420 – 0.4239 g. Tidak terdapat perbedaan rata-rata penambahan bobot segar yang nyata di antara kontrol aqudes dan perlakuan EMS lainnya (Gambar 4). Pengaruh perlakuan EMS pada umur 1 dan 3 bulan secara statistik tidak nyata, namun demikian perlakuan EMS 0.1 dan 0.3% selama 1 jam cenderung menunjukkan rata-rata penambahan bobot segar eksplan yang lebih tinggi berturut-turut pada umur 1 dan 3 bulan (Gambar 4).

Adanya pengaruh penghambatan dari EMS terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan embrio somatik telah dikemukakan oleh peneliti sebe-lumnya di antaranya Yenisbar (2005) dan Purwati (2006), sedangkan pengaruh dorongan EMS pada dosis rendah terhadap pertumbuhan eksplan embrio somatik apokat antara lain dikemukakan oleh Yenisbar (2005) dan terhadap kemampuan embriogenesis somatik kedelai oleh Van et al. (2008). EMS pada

24

dosis rendah juga dilaporkan mendorong pertumbuhan kalus tanaman buncis (Svetleva & Crino 2005). Menurut van Harten (1998) dosis mutagen merupakan hasil perkalian antara konsentrasi dan lama periode perlakuan. Semakin tinggi konsentrasi dan lama periode perlakuan maka semakin besar dosis mutagen yang diterima oleh tanaman. Semakin tinggi dosis mutagen semakin tinggi efek penghambatannya terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Namun demikian sensitifitas setiap material tanaman terhadap mutagen berbeda-beda tergantung faktor genetik, fisiologis dan kondisi lingkungan pada saat dan setelah aplikasi mutagen. Penghambatan ini diduga disebabkan oleh terjadinya kerusakan DNA pada sel yang diberi perlakuan mutagen (Gichner 2003 dalam

Purwati 2006). Dorongan EMS pada dosis rendah terhadap pertumbuhan eksplan diduga berkaitan dengan pengaruh stres yang ditimbulkan akibat penggunaan EMS (Van et al. 2008). Menurut Pius et al. (1994) dalam Van et al. (2008), EMS merupakan salah satu elemen stres, dan pengaruh dorongannya terhadap daya regenerasi pada kultur jaringan somatik telah dilaporkan sebe-lumnya. Gaj (2002) dalam Van et al. (2008) juga mengemukakan bahwa pe-ngaruh dorongan EMS pada dosis rendah terhadap pertumbuhan eksplan bukan disebabkan oleh pengaruh EMS secara langsung, melainkan diakibatkan oleh pengaruh stres yang ditimbulkan akibat perlakuan EMS.

Penggunaan pelarut bufer natrium fosfat pH 7 0.1M dan DMSO 4% (EMS 0%) cenderung meningkatkan penambahan bobot segar eksplan. Bagaimana larutan bufer natrium fosfat dapat meningkatkan penambahan bobot segar eksplan masih belum jelas, apakah disebabkan NaH2PO4 dan Na2HPO4 yang digunakan sebagai bahan pembuatan bufer menjadi sumber nutrisi tambahan bagi eksplan, atau ada pengaruh lain. Hasil ini berbeda dengan yang diperoleh Wang et al. (2007), di mana kontrol bufer fosfat pH 3 0.1M memberikan penghambatan terhadap kemampuan hidup eksplan kalus jagung. Diduga pH yang rendah pada penelitian Wang et al. bersifat toksik terhadap eksplan. Bufer natrium fosfat digunakan sebagai pelarut untuk mencegah terjadinya hidrolisis pada mutagen. EMS mudah terhidrolisis di dalam air sehingga kehilangan sifat mutagennya, sedangkan DMSO berfungsi sebagai agen pembawa yang mem-bantu meningkatkan penetrasi mutagen ke dalam jaringan multiseluler (van Harten 1998).

Penghambatan terhadap pertumbuhan atau penambahan bobot segar eksplan pada suhu 23.3 ± 2.1ºC dan 32.8 ± 1.7ºC tidak dapat dilihat sebagai

25

hasil dari pengaruh penghambatan EMS secara tunggal, melainkan ada penga-ruh tekanan dari suhu seleksi. Oleh karena itu eksplan yang menunjukkan rata-rata penambahan bobot segar yang tinggi pada suhu 23.3 ± 2.1ºC dan 32.8 ± 1.7ºC menunjukkan adanya kemampuan dari eksplan untuk mengatasi tekanan suhu seleksi sehingga mampu tumbuh lebih baik.

Persentase Eksplan Membentuk Tunas

Menurut Roux (2004), peubah persentase eksplan membentuk tunas digunakan untuk mengukur kemampuan regenerasi eksplan. Rata-rata persentase eksplan membentuk tunas semakin menurun dengan meningkatnya suhu seleksi. Rata-rata persentase eksplan membentuk tunas umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol berturut-turut berkisar antara 0 – 66.7%, 33.3 – 83.3% dan 91.7 – 100%. Pada suhu 23.3 ± 2.1ºC berkisar antara 0 – 66.7%, 33.3 – 100% dan 50 – 100% dan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC berkisar antara 0 – 33.3% pada umur 1 bulan serta 0 – 50% pada umur 2 dan 3 bulan. Suhu 32.8 ± 1.7ºC cenderung memberikan penghambatan terhadap pembentukan tunas dengan rata-rata persentase eksplan membentuk tunas umur 1, 2 dan 3 bulan lebih rendah dibandingkan pada suhu kontrol dan suhu 23.3 ± 2.1ºC. Rata-rata persentase eksplan membentuk tunas pada suhu kontrol dan suhu 23.3 ± 2.1ºC cenderung meningkat dengan semakin meningkatnya umur eksplan, sedangkan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC cenderung meningkat pada umur 2 bulan dan tidak terjadi peningkatan pada umur 3 bulan (Gambar 5). Hasil penelitian Arnold dan Erikson dalam Chalupa (1987) menunjukkan induksi tunas adventif pada embrio tanaman Picea abies dipengaruhi oleh suhu. Pembentukan tunas terhambat pada suhu 15°C dan pada suhu 30°C embrio mati. Persentase embrio mem-bentuk tunas paling tinggi diperoleh pada perlakuan suhu 20 dan 25°C.

Pengaruh EMS terhadap persentase eksplan membentuk tunas umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol tidak nyata, namun demikian rata-rata persentase eksplan membentuk tunas umur 1 dan 2 bulan cenderung menurun dengan meningkatnya dosis EMS. Rata-rata persentase eksplan membentuk tunas paling tinggi umur 1 bulan ditunjukkan oleh kontrol aquades selama 1 jam yaitu 66.7%, dan pada umur 2 bulan ditunjukkan oleh kontrol aquades serta EMS 0 dan 0.1% selama 1 jam sebesar 83.3%. Perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam cenderung menunjukkan rata-rata persentase eksplan membentuk tunas paling rendah pada umur 1 dan 2 bulan yaitu 0 dan 33.3%. Pengaruh penghambatan

26

Keterangan : Ka-1 dan Ka-2 = Kontrol aquades selama 1 dan 2 jam E0-1 dan E0-2 = EMS 0% selama 1 dan 2 jam E1-1 dan E1-2 = EMS 0.1% selama 1 dan 2 jam E3-1 dan E3-2 = EMS 0.3% selama 1 dan 2 jam E5-1 dan E5-2 = EMS 0.5% selama 1 dan 2 jam E7-1 dan E7-2 = EMS 0.7% selama 1 dan 2 jam

Gambar 5 Pengaruh suhu seleksi dan EMS terhadap rata-rata persentase eksplan membentuk tunas umur 1, 2 dan 3 bulan. Huruf yang sama pada umur dan suhu seleksi yang sama tidak berbeda nyata

berdasarkan uji Jarak Berganda Duncan pada taraf α = 0.05.

0 20 40 60 80 100 (%)

Ka-1 Ka-2 E0-1 E0-2 E1-1 E1-2 E3-1 E3-2 E5-1 E5-2 E7-1 E7-2

32.8±1.7°C23.3±2.1°C 17.3±0.5°C 0 20 40 60 80 100 (%)

Ka-1 Ka-2 E0-1 E0-2 E1-1 E1-2 E3-1 E3-2 E5-1 E5-2 E7-1 E7-2

32.8±1.7°C23.3±2.1°C 17.3±0.5°C ab ab bc abc c abc ab abc abc a abc c 2 bulan 0 20 40 60 80 (%)

Ka-1 Ka-2 E0-1 E0-2 E1-1 E1-2 E3-1 E3-2 E5-1 E5-2 E7-1 E7-2

32.8±1.7°C23.3±2.1°C 17.3±0.5°C a ab cd abc bcd abcd cd abcd abcd a ab d 1 bulan 3 bulan

27

dari EMS tidak tampak pada umur 3 bulan, di mana rata-rata persentase eksplan membentuk tunas pada semua perlakuan mencapai 91.7 atau 100% (Gambar 5). Adanya pengaruh penghambatan dari EMS terhadap kemampuan eksplan embrio somatik membentuk tunas antara lain dikemukakan oleh Purwati (2006),

sedangkan Khawale et al. (2007) melaporkan adanya penghambatan EMS

terhadap pembentukan tunas pada setek mikro anggur, di mana persentase eksplan membentuk tunas semakin menurun dengan meningkatnya dosis EMS yang digunakan.

Pengaruh EMS terhadap rata-rata persentase eksplan membentuk tunas umur 1 dan 2 bulan pada suhu 23.3 ± 2.1ºC secara statistik nyata. Rata-rata persentase eksplan membentuk tunas umur 1 bulan paling tinggi ditunjukkan oleh perlakuan kontrol aquades selama 1 jam dan EMS 0.5% selama 2 jam yaitu 66.7%, namun perbedaanya hanya nyata dengan perlakuan EMS 0, 0.1 dan 0.3% selama 1 jam serta EMS 0.7% selama 2 jam yang menunjukkan rata-rata persentase eksplan membentuk tunas antara 0 – 16.7%. Rata-rata persentase eksplan membentuk tunas umur 2 bulan paling tinggi juga ditunjukkan oleh perlakuan EMS 0.5% selama 2 jam yaitu 100% yang berbeda nyata dengan perlakuan EMS 0 dan 0.1% selama 1 jam serta EMS 0.7% selama 2 jam, namun tidak berbeda nyata dengan kontrol aquades dan sebagian besar perlakuan EMS lainnya. Rata-rata persentase eksplan membentuk tunas paling rendah umur 1 dan 2 bulan ditunjukkan oleh perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam yaitu 0 dan 33.3%. Perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam juga cenderung menunjukkan rata-rata persentase eksplan membentuk tunas paling rendah pada umur 3 bulan yaitu 50%, namun pengaruh EMS pada umur 3 bulan secara statistik tidak nyata (Gambar 5).

Pengaruh EMS terhadap rata-rata persentase eksplan membentuk tunas umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC secara statistik tidak nyata. Namun demikian perlakuan EMS 0, 0.3 dan 0.7% selama 1 jam cenderung menunjukkan rata-rata persentase eksplan membentuk tunas umur 1 bulan lebih tinggi yaitu 33.3%, dibandingkan perlakuan lainnya yang berkisar antara 0 – 16.7%. Perlakuan EMS 0.3 dan 0.7% selama 1 jam juga cenderung menun-jukkan rata-rata persentase eksplan membentuk tunas lebih tinggi pada umur 2 dan 3 bulan yaitu 50%. Tidak ada tunas yang terbentuk pada perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam yang diinkubasi pada suhu 32.8 ± 1.7ºC, baik pada umur 1, 2 maupun 3 bulan (Gambar 5). Cekaman dari suhu seleksi ditambah dengan

28

pengaruh penghambatan yang besar dari tingginya dosis EMS yang digunakan diduga menjadi penyebab tidak adanya eksplan yang membentuk tunas pada perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam yang diinkubasi pada suhu 32.8 ± 1.7ºC.

Gambar 6 memperlihatkan eksplan yang telah membentuk tunas umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol, 23.3 ± 2.1ºC dan 32.8 ± 1.7ºC. Tunas yang terbentuk umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol dan suhu 23.3 ± 2.1ºC menunjukkan penampilan yang vigor dan berwarna hijau. Tunas umur 2 dan 3 bulan yang terbentuk pada suhu 32.8 ± 1.7ºC menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang terhambat dengan penampilan tunas yang tidak vigor dan berwarna hijau pucat. Hal ini disebabkan cekaman suhu tinggi pada perlakuan suhu 32.8 ± 1.7ºC memberikan penghambatan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tunas.

A B C

Gambar 6 Eksplan membentuk tunas umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol (atas), 23.3 ± 2.1ºC (tengah) dan 32.8 ± 1.7ºC (bawah).

29

Jumlah Tunas Per Eksplan

Peubah jumlah tunas per eksplan digunakan untuk mengukur laju multi-plikasi eksplan (Roux 2004). Rata-rata jumlah tunas per eksplan cenderung menurun dengan meningkatnya suhu seleksi. Rata-rata jumlah tunas per eks-plan umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol berturut-turut berkisar antara 0 – 1.8, 0.6 – 5.3 dan 6.2 – 16.0. Pada suhu 23.3 ± 2.1ºC berkisar antara 0 – 1.5, 0.8 – 6.5 dan 2.2 – 12.9 dan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC berkisar antara 0 – 1.2, 0 – 1.8 dan 0 – 2.0. Suhu 32.8 ± 1.7ºC cenderung memberikan penghambatan terhadap pembentukan tunas yang ditunjukkan oleh rata-rata jumlah tunas per eksplan yang lebih rendah dibandingkan pada suhu kontrol dan suhu 23.3 ± 2.1ºC, baik pada umur 1, 2 maupun 3 bulan. Rata-rata jumlah tunas per eksplan semakin meningkat dengan meningkatnya umur eksplan baik pada suhu kontrol, suhu 23.3 ± 2.1ºC maupun suhu 32.8 ± 1.7ºC, namun peningkatan yang terjadi pada suhu 32.8 ± 1.7ºC lebih sedikit dibandingkan pada suhu kontrol dan suhu 23.3 ± 2.1ºC (Gambar 7).

Pengaruh EMS terhadap rata-rata jumlah tunas per eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu kontrol secara statistik tidak nyata, namun demikian rata-rata jumlah tunas per eksplan cenderung menurun dengan meningkatnya dosis EMS. Rata-rata jumlah tunas paling tinggi umur 1 bulan ditunjukkan oleh perlakuan kontrol aquades selama 1 jam yaitu 1.8 tunas. Rata-rata jumlah tunas paling tinggi umur 2 dan 3 bulan ditunjukkan oleh perlakuan EMS 0.1% selama 2 jam dan 0.3% selama 1 jam yaitu berturut-turut 5.3 dan 5.2 tunas pada umur 2 bulan serta 16 dan 15.9 tunas pada umur 3 bulan. Perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam cenderung menunjukkan rata-rata jumlah tunas yang paling rendah pada umur 1, 2 dan 3 bulan yaitu 0.0, 0.6 dan 6.2 (Gambar 7). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Purwati (2006) pada eksplan embrio somatik dua klon abaka yang menunjukkan rata-rata jumlah tunas per eksplan pada perlakuan EMS lebih rendah dibandingkan kontrol, dan rata-rata jumlah tunas per eksplan semakin menurun dengan semakin meningkatnya dosis EMS.

Pengaruh EMS terhadap rata-rata jumlah tunas per eksplan umur 1 bulan pada suhu 23.3 ± 2.1ºC secara statistik nyata. Rata-rata jumlah tunas pada perlakuan EMS cenderung lebih sedikit dibandingkan pada perlakuan kontrol aquades. Rata-rata jumlah tunas paling tinggi umur 1 bulan ditunjukkan oleh perlakuan kontrol aquades selama 2 jam yaitu 1.5, namun hanya berbeda nyata dengan perlakuan EMS 0, 0.1 dan 0.3% selama 1 jam serta EMS 0.7% selama

30

Keterangan : Ka-1 dan Ka-2 = Kontrol aquades selama 1 dan 2 jam E0-1 dan E0-2 = EMS 0% selama 1 dan 2 jam

E1-1 dan E1-2 = EMS 0.1% selama 1 dan 2 jam E3-1 dan E3-2 = EMS 0.3% selama 1 dan 2 jam E5-1 dan E5-2 = EMS 0.5% selama 1 dan 2 jam E7-1 dan E7-2 = EMS 0.7% selama 1 dan 2 jam

Gambar 7 Pengaruh suhu seleksi dan EMS terhadap rata-rata jumlah tunas per eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan. Huruf yang sama pada umur dan suhu seleksi yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Jarak Berganda Duncan pada taraf α = 0.05.

0 0.5 1 1.5 2

Ka-1 Ka-2 E0-1 E0-2 E1-1 E1-2 E3-1 E3-2 E5-1 E5-2 E7-1 E7-2

32.8±1.7°C23.3±2.1°C 17.3±0.5°C ab a cd abcd bcd abcd bcd abcd abcd abc abc d 1 bulan 0 2 4 6 8

Ka-1 Ka-2 E0-1 E0-2 E1-1 E1-2 E3-1 E3-2 E5-1 E5-2 E7-1 E7-2

32.8±1.7°C23.3±2.1°C 17.3±0.5°C 0 5 10 15 20

Ka-1 Ka-2 E0-1 E0-2 E1-1 E1-2 E3-1 E3-2 E5-1 E5-2 E7-1 E7-2

32.8±1.7°C23.3±2.1°C 17.3±0.5°C

3 bulan 2 bulan

31

2 jam yang menunjukkan rata-rata jumlah tunas per eksplan antara 0 – 0.2 (Gambar 7). Perlakuan EMS juga cenderung menunjukkan rata-rata jumlah tunas per eksplan yang lebih sedikit pada umur 2 dan 3 bulan dibandingkan kontrol aquades, namun pengaruhnya secara statistik tidak nyata. Perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam secara konsisten menunjukkan rata-rata jumlah tunas per eksplan yang paling sedikit pada umur 1, 2 dan 3 bulan, yaitu berturut-turut 0, 0.8 dan 2.2 tunas (Gambar 7).

Pengaruh EMS terhadap rata-rata jumlah tunas per eksplan umur 1, 2 dan 3 bulan pada suhu 32.8 ± 1.7ºC tidak nyata, namun perlakuan EMS 0.7% selama 1 jam cenderung menunjukkan rata-rata jumlah tunas umur 1 dan 2 bulan lebih banyak dibandingkan perlakuan lainnya yaitu 1.2 dan 1.8 tunas, sedangkan perlakuan EMS 0% selama 2 jam cenderung menunjukkan rata-rata jumlah tunas lebih banyak pada umur 3 bulan yaitu 2.0 tunas. Tidak ada tunas yang terbentuk pada perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam yang diinkubasi pada suhu 32.8 ± 1.7ºC, baik pada umur 1, 2 maupun 3 bulan (Gambar 7). Cekaman dari suhu seleksi ditambah dengan pengaruh penghambatan yang besar dari tingginya dosis EMS yang digunakan diduga menjadi penyebab tidak adanya eksplan yang membentuk tunas pada perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam yang diinkubasi pada suhu 32.8 ± 1.7ºC.

Gambar 8 memperlihatkan perbandingan jumlah tunas umur 3 bulan yang terbentuk pada perlakuan kontrol aquades dan EMS 0.7% selama 2 jam yang diinkubasi pada suhu kontrol dan 23.3 ± 2.1ºC. Perlakuan EMS 0.7% selama 2 jam menunjukkan jumlah tunas yang lebih sedikit dibandingkan kontrol aquades baik pada suhu kontrol maupun 23.3 ± 2.1ºC. Hal ini menunjukkan adanya pe-ngaruh penghambatan dari perlakuan EMS 0.7% selama 2 terhadap kemam-puan eksplan membentuk tunas dibandingkan kontrol aquades.

Sebagian tunas umur 3 bulan yang terbentuk pada suhu kontrol dan suhu 23.3 ± 2.1ºC telah membentuk akar (Gambar 9), sedangkan tunas umur 3 bulan yang terbentuk pada suhu 32.8 ± 1.7ºC tidak berakar. Pengaruh cekaman suhu tinggi pada perlakuan suhu 32.8 ± 1.7ºC diduga memberikan penghambatan terhadap pembentukan akar. Menurut Chalupa (1987), induksi akar secara in

Dokumen terkait