• Tidak ada hasil yang ditemukan

Purwoceng Botani dan Karakteristik

Purwoceng merupakan tanaman terna setahun, habitus tanaman membentuk roset dengan tangkai daun berada di atas permukaan tanah. Tajuk tanaman menutupi permukaan tanah dengan diameter sekitar 37 cm. Tangkai daun rapat menutupi batang tanaman seolah batang tanaman tidak ada, jumlah tangkai daun sekitar 46 buah per tanaman. Pangkal tangkai daun umumnya berwarna merah kecoklatan, hanya sekitar 2% populasi yang memiliki tangkai daun kehijauan. Rata-rata panjang tangkai daun sekitar 18 cm (Rahardjo et al. 2006).

Klasifikasi botani purwoceng adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta

Anak divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Famili : Apiaceae Marga : Pimpinella

Jenis : Pimpinella pruatjan Molk. Sinonim P. alpina KDS. Purwoceng memiliki daun majemuk berpasangan berhadapan. Bentuk anak daun membulat dengan tepi bergerigi. Warna permukaan atas daun hijau dan permukaan bawah hijau keputihan. Purwoceng memiliki akar tunggang yang membesar membentuk struktur seperti umbi pada tanaman ginseng tapi dengan ukuran yang lebih kecil (Rahardjo et al. 2006).

Purwoceng merupakan tanaman berumah satu namun dapat menyerbuk silang. Tanaman mulai berbunga pada umur 7 bulan dan mencapai 100% berbunga pada umur 9 bulan. Bunga purwoceng merupakan bunga majemuk berbentuk payung. Biji yang telah masak berwarna hitam, berukuran sangat kecil sekitar 0.52 g per 1 000 butir biji (Rahardjo et al. 2006).

Daerah Asal dan Penyebaran

Purwoceng merupakan tumbuhan obat asli Indonesia endemik dataran tinggi pada ketinggian 1 800 – 3 500 m dpl. Pada awalnya purwoceng terdapat di Gunung Pangrango, Papandayan dan Tangkuban Perahu (Jawa Barat), Pegunungan Dieng (Jawa Tengah) dan Gunung Bromo (Jawa Timur) (Burkill

5

1935, Heyne 1987). Namun saat ini purwoceng hanya terdapat di Gunung Gede (Jawa Barat) dan Pegunungan Dieng (Jawa Tengah) dan termasuk ke dalam dua puluh empat tumbuhan langka di Jawa (Pusat Konservasi Tumbuhan 2007).

Rifai (1990) telah menggolongkan purwoceng sebagai salah satu tumbuhan obat langka dengan kategori genting (endangered species). Tanaman ini dikelompokkan sebagai jenis tumbuhan langka dalam kategori genting karena populasinya di alam menurun lebih dari 50% dalam 10 tahun terakhir, terjadi penurunan luas wilayah dan kualitas habitat, tingginya tingkat eksploitasi, luas wilayah keberadaan populasi kurang dari 5 000 m2 karena mengalami fragmen-tasi berat (Mogea et al. 2001 dalam Rostiana et al. 2006). Tumbuhan dalam kategori ini apabila tidak segera dilakukan perlindungan akan mengalami kepunahan.

Daerah pengembangan budidaya purwoceng yang dikenal pada saat ini hanya Dataran Tinggi Dieng, dengan luas areal yang terbatas. Di Dataran Tinggi Dieng purwoceng hanya ditemukan di Desa Sikunang, yaitu di pekarangan rumah petani dengan luas areal pertanaman antara 4 - 200 m2 atau rata-rata 37 m2 per petani (Ermiati et al. 2006).

Keberadaan spesies ini di negara lain tidak diketahui. Namun diketahui spesies kerabat dekatnya yaitu Pimpinella tirupatiensis Bal dan Subr terdapat di India, yang juga merupakan tanaman obat langka endemik dataran tinggi yang akarnya digunakan sebagai afrodisiak (Prakash et al. 2001).

Kandungan Bahan Aktif dan Khasiat

Akar purwoceng diketahui mengandung turunan senyawa kumarin, sterol, alkaloid, saponin (Caropeboka & Lubis 1975, Rostiana et al. 2003), flavonoid, glikosida dan tanin (Rostiana et al. 2003), kelompok furanokumarin seperti bergapten, isobargapten dan sphondin (Sidik et al. 1975), turunan kumarin seperti xanthotoksin, mamersin, 6,8-dimetoksi umbelliferon (Hernani & Rostiana 2004), stigmasterol (Suzery et al 2004, Rahardjo et al. 2006, Rostiana et al. 2007), sitosterol (Rahardjo et al. 2006, Rostiana et al. 2007), dan vitamin E (Rahardjo et al. 2006). Sementara ternanya mengandung stigmasterol dan bergapten (Rahardjo et al. 2006, Rostiana et al. 2007), vitamin E (Rahardjo et al. 2006), saponin, alkaloid, glikosida, kumarin dan triterpenoid-steroid (Rostiana et al. 2003).

6

Bahan aktif sitosterol, stigmasterol, bergapten dan saponin dari tanaman purwoceng telah berhasil diproduksi secara in vitro melalui kultur kalus dan akar rambut dengan menggunakan skualena dan mevalonat sebagai prekursor (Darwati 2007).

Turunan senyawa kumarin digunakan dalam industri obat moderen sebagai analgetika (penghilang rasa sakit ), anti fungi, anti bakteri dan anti kanker (Sidik

et al., 1985 dalam Rostiana et al. 2006). Sedangkan senyawa yang diketahui memberi efek afrodisiak diantaranya adalah turunan steroid, saponin, alkaloid, tanin dan senyawa lain yang dapat melancarkan peredaran darah (Anwar 2001).

Hasil uji farmaklogis pada tikus menunjukkan pemberian ekstrak akar purwoceng meningkatkan motilitas spermatozoa (Juniarto 2004) dan mening-katkan kadar LH (Luteinizing Hormone) dan testoteron (Taufiqqurrachman & Wibowo 2006). Peningkatan kadar testoteron ini disebabkan efek stimulasi ekstrak purwoceng terhadap LH dan konversi fitosterol yang ada pada ekstrak purwoceng menjadi testoteron pada jaringan hewan uji (Taufiqqurrachman & Wibowo 2006). Testoteron merupakan hormon utama yang mempengaruhi perilaku sexual pria. Hasil penelitian menunjukkan beberapa pria menjadi lebih agresif, sensitif dan mampu untuk ereksi apabila kadar serum testoteronnya cukup (Beck, 1993, Morales et al. 1997 dan Van Basten et al. 1997 dalam

Taufiqqurrachman & Wibowo 2006). Testoteron dibentuk dari ester kolesterol di dalam sel Leydig testis, sisanya sekitar 5% dihasilkan oleh kortek adrenal di mana prekursor seperti sterol dari tanaman akan dikonversi menjadi testoteron di dalam jaringan pheripheral (Graner 1996 dalam Taufiqqurrachman & Wibowo 2006).

Mutasi pada Pemuliaan Tanaman

Mutasi didefinisikan sebagai perubahan material genetik yang diwariskan (van Harten 1998; Montelone 1998; Hartl 1994). Sedangkan keseluruhan proses yang menyebabkan timbulnya berbagai macam mutasi disebut mutagenesis. Secara teori, seluruh perubahan yang terjadi pada sekuen DNA akan menimbulkan perubahan kode genetik sehingga disebut mutasi (van Harten 1998; Chahal & Gosal 2006).

Berdasarkan proses terjadinya, mutasi terbagi menjadi dua yaitu mutasi alami/spontan dan mutasi yang diinduksi. Mutasi spontan adalah mutasi yang terjadi tanpa diketahui agen penyebabnya, terjadi secara acak tanpa diketahui

7

kapan akan terjadi (Hartl 1994). Mutasi spontan terjadi sebagai hasil proses alami di dalam sel seperti kesalahan pada saat replikasi DNA atau hasil interaksi dengan mutagen yang terdapat di lingkungan (Montelone 1998). Kesalahan dalam replikasi DNA mencapai 1 per 102 gen yang berreplikasi. Namun karena adanya mekanisme perbaikan, laju mutasi akibat kesalahan replikasi DNA menjadi sekitar 1 per 108 sampai 109 lokus (Micke 1991 dalam van Harten 1998). Mutasi spontan terjadi dengan laju yang sangat rendah dan bervariasi pada setiap organisme. Laju mutasi spontan pada E. coli berkisar antara 10-5 - 10-9 (Hartl 1994), sedangkan pada tanaman Arabidopsis berkisar antara 10-7 - 10-8 pasang basa per generasi (Kovalchuk et al. 2000 dalam Greene et al. 2003).

Mutasi induksi adalah mutasi yang diketahui agen penyebabnya. Bukti pertama yang menunjukkan bahwa agen dari luar dapat meningkatkan laju mutasi diperlihatkan oleh Hermano Muller pada tahun 1927 dengan meng-gunakan sinar X pada Drosophila. Setelah itu berbagai jenis agen fisik dan kimia yang dapat meningkatkan laju terjadinya mutasi ditemukan (Hartl 1994). Mutasi induksi terjadi dengan laju yang lebih tinggi dibandingkan mutasi spontan. Mutagen fisik dan kimia diketahui dapat meningkatkan laju mutasi ratusan sampai ribuan kali dibandingkan mutasi spontan (Broertjes & van Harten 1988; van Harten 1998). Laju mutasi yang optimal untuk kegiatan pemuliaan adalah sekitar 1 per 104 lokus (van Harten 1998).

Pada kegiatan pemuliaan tanaman, mutasi induksi digunakan untuk menginduksi terjadinya mutasi pada lokus yang mengontrol sifat yang penting secara ekonomi atau mengeliminasi gen-gen yang tidak diinginkan dari galur-galur elit (Lippert et al. 1964 dalam Jabeen & Mirza 2004). Mutasi induksi dapat memberikan tambahan keragaman genetik untuk melengkapi pemuliaan tanaman konvensional (Odeigah et al. 1998). Pemanfaatan mutasi secara langsung pada pemuliaan tanaman untuk menambahkan satu atau dua karakter yang mudah diidentifikasi dapat dilakukan tanpa mengubah genotipe dasar dari kultivar yang sudah adaptif. Hal ini menguntungkan karena tidak diperlukan

backcross yang berulang untuk merekonstruksi genotipe dasar dari kultivar tersebut (Chahal & Gosal 2006). Menurut Chahal dan Gosal (2006), situasi ideal untuk melakukan mutasi adalah apabila gen atau alel yang diinginkan tidak terdapat pada plasma nutfah yang dimiliki atau gen tersebut terpaut dekat dengan gen yang tidak diinginkan sehingga rekombinasi melalui persilangan sulit

8

dilakukan. Mutasi juga dilakukan untuk menginduksi dan mengintroduksi alel yang tidak ada di dalam populasi alami.

Mutasi dapat dibedakan berdasarkan beberapa kategori. Yang paling umum adalah pembagian mutasi berdasarkan besarnya sekuen DNA yang berubah yaitu pada tingkat genom, kromosom dan gen (Broertjes & van Harten 1988). Mutasi pada tingkat genom berupa perubahan pada tingkat ploidi atau jumlah kromosom, baik polilpoid maupun aneuploid. Sedangkan mutasi pada tingkat kromosom berupa perubahan pada struktur kromosom yang disebabkan oleh adanya delesi, inversi, duplikasi atau translokasi. Mutasi gen atau disebut juga mutasi titik atau narrow sense mutation atau intragenic mutation adalah perubahan yang terjadi di dalam gen yang diakibatkan oleh adanya perubahan pada sekuen DNA di dalam gen tersebut seperti penambahan atau pengurangan satu atau beberapa pasang basa atau penggantian satu pasang basa oleh yang lainnya (van Harten 1998).

Pada kegiatan pemuliaan, mutasi yang diinginkan adalah mutasi pada tingkat gen dan alelnya atau mutasi titik atau perubahan pada sejumlah kecil segmen kromosom (van Harten 1998), sebab perubahan pada sejumlah besar segmen kromosom sering menimbulkan pengaruh negatif seperti berkurangnya fertilitas pada tanaman (Broertjes & van Harten 1988).

Mutasi titik yang diakibatkan oleh penggantian atau substitusi pasangan basa akan menghasilkan silent mutation (mutasi diam atau mutasi yang tidak kelihatan) apabila penggantian pasangan basa tidak menimbulkan perubahan pada asam amino yang dikodekannya. Perubahan pada asam amino ini akan mengakibatkan perubahan pada struktur dan fungsi protein yang disusunnya. Substitusi basa juga dapat mengubah kodon penyandi asam amino menjadi stop kodon atau disebut nonsense mutation, menghasilkan prematurely shortened protein. Pengaruh dari nonsense mutation bervariasi tergantung seberapa banyak protein terpotong dan seberapa besar pengaruhnya terhadap fungsi protein tersebut. Substitusi basa dapat juga terjadi pada promotor atau daerah regulator dari gen yang mungkin akan mempengaruhi transkripsi dan translasi yang pada akhirnya akan mempengaruhi ekspresi gen (van Harten 1998; Montelone 1998). Substitusi pasangan basa dapat terjadi antara purin dengan purin atau pirimidin dengan pirimidin yang disebut transisi atau antara purin dengan pirimidin atau sebaliknya yang disebut transversi (Hartl 1994; van Harten 1998).

9

Mutasi titik berupa penambahan dan pengurangan satu atau lebih (tapi bukan tiga atau kelipatan tiga) nukletida pada daerah pengkode asam amino

akan mengakibatkan perubahan pada reading frame atau disebut dengan

frameshift mutation. Mutasi tipe ini akan menghasilkan protein yang tidak fungsional atau protein yang berbeda dengan protein semula atau terjadi pemendekan protein akibat terbentuknya stop kodon yang lebih awal (Montelone 1998).

Perubahan fenotipe yang dihasilkan akibat mutasi bervariasi, mulai dari perubahan minor yang hanya terdeteksi dengan metode analisis biokimia sampai perubahan drastis yang terjadi di dalam proses metabolisme yang esensial sehingga menimbulkan kematian sel atau organsime (Hartl 1994).

Induksi Mutasi Secara In Vitro

Mutasi dapat dilakukan secara in vivo maupun in vitro (van Harten 1998). Mutasi yang dikombinasikan dengan teknik kultur in vitro disebut in vitro mutagenesis. Secara teknis, kultur in vitro dapat menghasilkan variasi soma-klonal, variasi ini dapat ditingkatkan dengan menggunakan mutagen (van Harten 1998; Svetleva & Crino 2005; Chahal & Gosal 2006). Pada mutasi in vitro, sebuah sel atau agregat sel dapat diberi perlakuan dengan mutagen kimia atau fisik (Chahal & Gosal 2006).

Terdapat beberapa kelebihan metode induksi mutasi secara in vitro

dibandingkan metode konvensional (in vivo) antara lain 1) mutasi dapat dilaku-kan pada tingkat sel sehingga peluang untuk terjadinya kimera lebih kecil karena mutan yang dihasilkan berasal dari satu sel, 2) laju mutasi lebih tinggi karena masing-masing sel mengalami kontak langsung dengan mutagen, 3) dapat di-lanjutkan dengan seleksi secara in vitro dimana ribuan sel yang merupakan calon tanaman dapat diseleksi pada sekala laboratorium sehingga seleksi terhadap mutan menjadi lebih efesien (Chahal & Gosal 2006). Selain pada kultur sel, mutasi secara in vitro juga dapat dilakukan pada eksplan multiseluler yang ber-ukuran kecil terutama untuk menghindari kimera (van Harten 1998).

Induksi mutasi secara in vitro telah dilakukan pada banyak tanaman untuk mendapatkan berbagai sifat yang diinginkan, baik menggunakan mutagen fisik maupun kimia serta dilanjutkan dengan seleksi secara in vitro maupun tidak. Induksi mutasi secara in vitro antara lain telah dilakukan pada tanaman kentang untuk mendapatkan sifat ketahanan terhadap kadar garam tinggi, suhu tinggi

10

dan Phytophthora infestans (Das et al. 2000; Gosal et al. 2001; Sharabash 2001; Rashed et al. 2001), tanaman tebu untuk mendapatkan sifat ketahanan terhadap kadar garam tinggi, penyakit red rot, genangan dan sifat tidak berbunga (Rashed

et al. 2001; Samad et al. 2001), tanaman bawang putih untuk mendapatkan sifat ketahanan terhadap suhu tinggi (Zhen 2001a), ubi jalar untuk berbagai sifat morfologi (Zhen 2001b), bitter potato untuk perbaikan sifat agronomis (Murillo & Mendoza 2004), apokat untuk peningkatan keragaman genetik (Yenisbar 2005), abaka untuk perbaikan produksi, kualitas serat dan ketahanan terhadap

Fusarium (Purwati 2006) serta anggur untuk perbaikan sifat agronomis dan kualitas buah (Khawale et al. 2007).

EMS sebagai Mutagen

Mutagen adalah agen alami atau buatan manusia yang dapat mengubah struktur atau sekuen DNA. Dikenal tiga jenis mutagen yaitu mutagen fisik, kimia dan biologi. Mutagen kimia mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan mutagen lainnya antara lain 1) sebagian besar mutasi yang terjadi adalah mutasi titik, 2) kerusakan kromosom lebih kecil, dan 3) mutasi terjadi dengan laju yang lebih tinggi (meningkatkan laju mutasi 5 – 10 kali lebih tinggi dibandingkan radiasi) (Broertjes & van Harten 1988; van Harten 1998). Namun demikian mutagen kimia juga mempunyai beberapa kekurangannya di antaranya 1) pene-trasi pada jaringan multiseluler seringkali sulit, 2) rendahnya reproducibility dan 3) mutagen kimia perlu penanganan sangat hati-hati karena bersifat karsinogenik (van Harten 1998). Pada mutagenesis secara in vitro, sulitnya penetrasi muta-gen kimia pada jaringan multiseluler dapat diatasi dengan menggunakan kultur sel atau eksplan multiseluler yang berukuran kecil.

EMS (CH3SO2OC2H5) merupakan jenis mutagen kimia yang paling poten-sial (Chopra 2005), banyak digunakan dan paling efektif (Medina et al. 2005) serta telah digunakan sebagai mutagen pada berbagai jenis organisma mulai dari virus sampai mamalia (Sega 1984). Menurut von Arnim (2005), EMS banyak digunakan sebab toksisitasnya tidak terlalu tinggi (moderate toxicity), memiliki efektivitas yang tinggi untuk menginduksi banyak mutasi (multiple mutations) per genom dan biasanya mutasinya berupa substitusi satu basa.

EMS merupakan senyawa pengalkil. Gugus alkil bereaksi dengan DNA dengan cara mengalkilasi basa purin dan pirimidin. Alkilasi atau etilasi dapat terjadi pada atom O-6 dari basa guanin sehingga berakibat guanin yang

11

seharusnya berpasangan dengan sitosin menjadi berpasangan dengan timin mengakibatkan perubahan kode genetik pada generasi sel berikutnya dari GC menjadi AT (Sega 1984). Hasil penelitian Greene et al. (2003) pada tanaman Arabidopsis menunjukkan 99% mutasi yang terjadi akibat EMS (20 – 40 mM selama 10-20 jam pada biji) adalah perubahan dari GC ke AT dengan 53% perubahan pada G dan 47% perubahan pada C. Intensitas mutasi cukup tinggi yaitu terjadi pada 1/300 kilo basa atau 10 mutasi per gen.

Pada tanaman, EMS umumnya menyebabkan terjadinya mutasi titik, namun dapat juga menyebabkan kehilangan sedikit segmen kromosom atau delesi (Okagaki et al. 1991 dalam Saba & Mirza 2002). Bhat et al. (2007) menemukan beberapa ketidaknormalan perilaku kromosom saat meiosis pada tanaman Vicia faba yang mendapat perlakuan EMS 0.1 – 0.4% (v/v) selama 6 jam pada biji. Menurut Sega (1984), pada organisme tinggkat tinggi, EMS dapat menimbulkan kerusakan pada kromosom meskipun mekanismenya belum jelas, kemungkinan disebabkan terjadinya etilasi pada beberapa protein kromosom. Gaulden (1987) dalam Bhat et al. (2007) menyebutkan bahwa pengaruh langsung mutagen terhadap protein histon mengakibatkan ketidaksempurnaan atau kesalahan pada pelipatan DNA. Namun demikian, secara umum EMS mengakibatkan mutasi titik dan hanya sedikit kerusakan yang ditimbulkan pada

kromosom (Greene et al. 2003). Dengan demikian penggunaan EMS pada

pemuliaan tanaman sangat menguntungkan karena dapat mengubah lokus tertentu tanpa menginduksi sejumlah besar mutasi yang terpaut dekat dengan lokus tersebut (Saba & Mirza 2002).

Beberapa sifat penting telah berhasil diperoleh melalui mutasi induksi menggunakan EMS antara lain pembungaan awal pada springrape (Thurling & Depittayanan 1992), peningkatan hasil dan kandungan vitamin C pada cabe (Pillai & Abraham 1996), toleran salinitas pada krisantemum (Hosain et al. 2006) dan ubi jalar (Luan et al. 2007), toleran herbisida pada tanaman kedelai (Sebastian et al. 1989) dan ketahanan terhadap Xanthomonas oryzae pv oryzae pada padi (Agrawal et al. 2005). Penggunaan eksplan embrio somatik fase globuler dan hati pada mutagenesis in vitro menggunakan EMS antara lain telah dilakukan Purwati (2006) pada tanaman abaka dan berhasil mendapatkan mutan tahan terhadap penyakit layu Fusarium.

12

Cekaman Suhu Tinggi pada Tanaman

Di antara berbagai cekaman lingkungan, cekaman yang diakibatkan oleh suhu merupakan yang paling banyak dihadapi oleh tanaman (Iba 2002). Suhu berubah lebih cepat dibandingkan penyebab cekaman lainnya. Suhu juga ber-variasi secara spasial dan temporal. Setiap jenis tanaman mempunyai suhu optimum masing-masing untuk tumbuh, dan pola penyebarannya di alam ditentukan oleh zone suhu di mana ia bisa hidup. Pada masa yang akan datang, cekaman suhu tinggi akibat pemanasan global akan menjadi ancaman bagi kehidupan hampir seluruh mahluk hidup di bumi termasuk tanaman.

Menurut Levitt (1980) tidak ada batasan kuantitatif untuk cekaman suhu tinggi pada tanaman. Setiap jenis tanaman mempunyai batas toleransi yang spesifik terhadap cekaman suhu. Namun demikian, Levitt (1980) mengemukakan bahwa suhu 15°C di atas suhu optimum untuk pertumbuhan umumnya telah mengakibatkan cekaman suhu tinggi pada tanaman yang mempunyai toleransi paling rendah terhadap suhu tinggi (psychrophiles), pada jenis tanaman lain cekaman suhu tinggi mungkin terjadi pada suhu kurang dari 15°C di atas suhu optimum untuk pertumbuhan. Wahid et al. (2007) juga mengemukakan bahwa cekaman suhu tinggi pada tanaman umumnya terjadi pada suhu 10-15°C di atas suhu optimum untuk pertumbuhan.

Menurut Wahid et al. (2007), akibat langsung dari cekaman suhu tinggi pada tanaman adalah terdenaturasinya protein dan peningkatan fluiditas membran sel. Akibat tidak langsungnya adalah enzim-enzim menjadi tidak aktif, sintesa protein terhambat dan kehilangan integritas membran. Disintegrasi membran dapat menyebabkan terjadinya kebocoran ion dan solut (Levitt 1980). Levitt (1980) juga mengemukakan bahwa pengaruh utama dari cekaman suhu tinggi adalah berkurangnya kandungan ADP dan ATP. Keadaan ini meng-akibatkan terjadinya penghambatan pada pertumbuhan atau kematian pada tanaman. Menurut Wahid et al. (2007) pada tingkat cekaman suhu yang sangat tinggi kerusakan atau bahkan kematian sel dapat terjadi dalam waktu beberapa menit, sedangkan pada cekaman suhu yang tidak terlalu tinggi (sedang), kerusakan atau kematian sel terjadi setelah periode waktu yang cukup lama.

Menurut Zhang et al. (2005), cekaman suhu tinggi dapat mengakibatkan kerusakan yang tidak dapat balik pada PSII dan Rubisco. Hasil penelitian Zhang

13

Kloroplas dan fotosintesa yang terekspresi pada tanaman yang toleran, dibandingkan pada tanaman yang sensitif terhadap suhu tinggi.

Toleransi tanaman terhadap suhu tinggi tampaknya ditentukan oleh tingkat sensitifitas reaksi fotokimia yang berlangsung pada membran tilakoid. Membran tilakoid merupakan membran sel yang paling sensitif terhadap cekaman suhu tinggi. Membran tilakoid lebih sensitif terhadap kerusakan akibat suhu tinggi dibandingkan membran kloroplas (chloroplast envelope), dan membran kloroplas lebih sensitif dibandingkan membran plasma (Levitt 1980). Pusat reaksi, kompleks pigmen antena-protein dan sebagian besar enzim-enzim yang terlibat di dalam transfer elektron merupakan integral membrane protein yang terintegrasi pada membran tilakoid (Taiz & Zeiger 2002). Transfer elektron adalah bagian dari tahapan reaksi terang pada fotosintesis, elektron yang diperoleh dari hasil pemecahan molekul H2O ini diperlukan untuk mereduksi NADP+ menjadi NADPH dan mendorong terjadinya fosforilasi ADP menjadi ATP. Kapasitas transfer elektron oleh PSII lebih sensitif terhadap kerusakan akibat suhu tinggi dibandingkan aktifitas lainnya. Perlakuan suhu tinggi sampai 44°C tidak mempengaruhi transfer elektron oleh PSI, akan tetapi menurunkan transfer elektron oleh PSII sebesar 25% (Levitt 1980). Penyebab perbedaan sensitifitas antara PSI dan PSII terhadap kerusakan akibat suhu tinggi masih belum jelas, namun diduga berkaitan dengan perbedaan tempat berlangsungnya kedua reaksi tersebut dan perbedaan komposisi protein penyusun PSI dan PSII. PSI dan PSII merupakan kompleks multisubunit klorofil-protein yang terintegrasi pada membran tilakoid. PSII berlangsung di dalam lamela grana, sedangkan PSI berlangsung di dalam lamela stroma dan pada tepi lamela grana (Taiz & Zeiger 2002). Menurut Dekker dan Boekema (2005) dalam Mullineaux (2005), kom-posisi protein antara lamela grana dan lamela stroma sangat berbeda.

Menurut Zhang et al. (2005), respon tanaman terhadap suhu tinggi di antaranya adalah penurunan sintesa protein normal dan percepatan transkripsi dan translasi heat shock protein (HSP). Respon ini dapat teramati pada level suhu 5°C di atas suhu optimum untuk pertumbuhan. Hasil penelitian Zhang et al. (2005) menunjukkan pada saat mendapat cekaman suhu tinggi, tanaman yang rentan lebih sering mengekspresikan gen-gen yang berhubungan dengan metabolisme stres seperti gen yang mengontrol sintesa protein yang ber-hubungan dengan senesen. Hal ini menunjukkan tanaman yang rentan

14

berusaha bertahan dengan lebih banyak menggunakan metabolit melalui glikolisis serta perombakan protein dan lipid.

Terdapat perbedaan anatomi dan morfologi antara tanaman Festuca yang toleran dan yang sensitif terhadap suhu tinggi. Tanaman yang toleran mem-punyai ukuran sel yang lebih besar, lebih banyak sel skelenkima dan kolenkima (sel pendukung) di antara jaringan vaskuler dan epidermis dibandingkan varietas yang rentan atau sensitif (Zhang et al. 2005).

Seleksi In Vitro untuk Ketahanan terhadap Suhu Tinggi

Mutagenesis in vitro yang dilanjutkan dengan seleksi secara in vitro untuk katahanan terhadap suhu tinggi telah dilakukan antara lain pada tanaman kentang (Das et al. 2000; Gosal et al. 2001) dan bawang putih (Zhen 2001a). Penelitian-penelitian ini menunjukkan keberhasilan dalam memperoleh mutan toleran suhu tinggi. Induksi mutasi secara in vitro untuk mendapatkan mutan toleran suhu tinggi yang tidak dilanjutkan dengan seleksi secara in vitro

melainkan secara in vivo telah dilakukan pada tanamam nenas (Lokko & Amoatey 2001). Pada tanaman kentang, induksi mutasi dilakukan pada setek satu buku. Seleksi ketahanan terhadap suhu tinggi dilakukan pada populasi M1V3 berdasarkan kemampuan mutan untuk membentuk umbi mikro pada suhu 28ºC, 8ºC lebih tinggi dari suhu optimum untuk pembentukkan umbi mikro yaitu 20ºC. Seleksi juga dilakukan berdasarkan kemampuan daun mempertahankan persistensi klorofil secara in vitro. Mutan yang mampu membentuk umbi mikro

Dokumen terkait