• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Ekstraksi

Ekstrak metanol biji srikaya berupa campuran padatan dan minyak yang berwarna cokelat muda sampai cokelat tua. Ekstrak buah sirih hutan berbentuk pasta berwarna cokelat dan ekstrak biji mimba berupa minyak berwarna kuning emas. Hasil ekstrak biji srikaya dari enam lokasi berbeda di Jawa Tengah berkisar dari 16.1% (Cepu–Blora) sampai 32.3% (Kalioso–Sragen), sementara hasil ekstrak biji srikaya dari dua lokasi di Papua, yaitu Arso–Keerom dan Sentani–Jayapura, masing- masing 27.6% dan 26%. Hasil ekstrak metanol buah sirih hutan dan biji mimba masing-masing 11.4% dan 15.7% (Tabel 2).

Tabel 2 Hasil ekstraksi biji srikaya dari delapan lokasi, buah sirih hutan, dan biji mimba dengan pelarut metanol

Bahan tumbuhan Asal bahan Hasil ekstrak (%)

Biji srikaya Jawa Tengah

Cepu, Blora 16.1

Sumber Lawang, Blora 27.2

Gundih, Purwodadi 23.7 Wirosari, Purwodadi 18.7 Gemolong, Sragen 27.5 Kalioso, Sragen 32.3 Papua Arso, Keerom 27.6 Sentani, Jayapura 26.0

Buah sirih hutan Area Kampus IPB Dramaga, Bogor

11.4

Biji mimba Jember, Jawa Timur 15.7

Pengaruh Ekstrak Uji terhadap Mortalitas Larva C. pavonana

 

Perlakuan dengan ekstrak biji srikaya dari enam lokasi di Jawa Tengah dan dua lokasi di Papua mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana yang beragam, tetapi dengan pola perkembangan mortalitas yang lebih kurang serupa. Perlakuan dengan ekstrak srikaya dari Cepu–Blora (Gambar 3A), Gundih–Purwodadi (Gambar 3C), Kalioso–Sragen (Gambar 4A), dan Sumber Lawang–Blora (Gambar 4B) pada konsentrasi tertinggi (628 ppm) mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana ≥ 80% pada 1 hari setelah perlakuan (HSP), sedangkan perlakuan dengan ekstrak srikaya dari Gemolong–Sragen (Gambar 3B) dan Wirosari–Purwodadi (Gambar 4C) pada konsentrasi yang sama mengakibatkan mortalitas serangga uji 50%–60% pada 1 HSP. Sementara itu, perlakuan dengan ekstrak srikaya dari dua lokasi di Papua, yaitu Arso– Keerom (Gambar 5A) dan Sentani–Jayapura (Gambar 5B) pada konsentrasi 628 ppm mengakibatkan mortalitas serangga uji masing-masing sekitar 30% dan 10% pada 1 HSP.

Secara keseluruhan, mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan dengan ekstrak srikaya dari Cepu–Blora, Gundih–Purwodadi, Kalioso–Sragen, dan Sumber Lawang–Blora pada konsentrasi 52–348 ppm berkisar dari sekitar 4% sampai sekitar 70% pada 1 HSP. Perlakuan dengan ekstrak srikaya dari Gemolong–Sragen dan Wirosari–Purwodadi pada konsentrasi 52–348 ppm secara keseluruhan mengakibatkan mortalitas serangga uji dari sekitar 1.33% sampai sekitar 30% pada 1 HSP. Sementara itu, perlakuan dengan ekstrak srikaya dari Arso–Keerom dan Sentani–Jayapura pada konsentrasi 52-348 ppm mengakibatkan mortalitas serangga uji kurang dari 30% pada 1 HSP.

Pada perlakuan dengan ekstrak srikaya dari semua lokasi, mortalitas larva C. pavonana meningkat tajam antara 1 dan 2 HSP dan peningkatan mortalitas masih cukup besar antara 2 dan 3 HSP. Peningkatan mortalitas serangga uji antara 3 dan 4 HSP lebih landai dibandingkan dengan peningkatan mortalitas pada 2 hari sebelumnya, dan setelah 4 HSP hanya terjadi sedikit atau sudah tidak terjadi peningkatan mortalitas (Gambar 3, 4, dan 5). Hal ini menunjukkan bahwa kematian larva C. pavonana lebih banyak terjadi setelah larva tersebut memakan daun

perlakuan (daun perlakuan diberikan pada 2 hari pertama) dibandingkan dengan periode setelah daun perlakuan diganti dengan daun tanpa perlakuan.

Pada 7 HSP, mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan dengan ekstrak srikaya dari semua lokasi meningkat dengan lebih tingginya konsentrasi ekstrak tersebut. Berdasarkan hasil analisis probit, toksisitas ekstrak srikaya yang paling

0 20 40 60 80 100 Mortalitas (%) 0 20 40 60 80 100 0 1 2 3 4 5 6 7 Mortalitas (%) Waktu pengamatan (HSP) 0 20 40 60 80 100 Mortalitas (%) Kontrol 52 ppm 96 ppm 132 ppm 216 ppm 348 ppm 628 ppm

C

B

A

 

Gambar 3 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan ekstrak biji srikaya dari Cepu–Blora (A), Gemolong–Sragen (B), dan Gundih–Purwodadi (C) 0 20 40 60 80 100 Mortalitas (%) Kontrol 52 ppm 96 ppm 132 ppm 216 ppm 348 ppm 628 ppm 0 20 40 60 80 100 Mortalitas (%) 0 20 40 60 80 100 0 1 2 3 4 5 6 7 Mortalitas (%) Waktu pengamatan (HSP)

C

B

A

Gambar 4 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan ekstrak biji srikaya dari Kalioso–Sragen (A), Sumber Lawang–Blora (B), dan Wirosari–Purwodadi (C)

Gambar 5 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan ekstrak biji srikaya dari Arso–Keerom (A) dan Sentani–Jayapura (B)

aktif dari Jawa Tengah, yaitu dari Sumber Lawang–Blora (LC50 27.6 ppm), sekitar tujuh kali lebih tinggi daripada ekstrak srikaya yang toksisitasnya paling lemah, yaitu dari Gemolong–Sragen (LC50 197.5 ppm) (Tabel 3). Sementara itu, ekstrak srikaya dari Arso–Keerom (LC50 106.9 ppm) sekitar 3.5 kali lebih toksik daripada ekstrak srikaya dari Sentani–Jayapura (LC50 374 ppm). Pada taraf LC95, di antara ekstrak srikaya dari Jawa Tengah, ekstrak srikaya dari Cepu–Blora (LC95 160.8 ppm)

0 20 40 60 80 100 Mortalitas (%) Kontrol 52 ppm 96 ppm 132 ppm 216 ppm 348 ppm 628 ppm 0 20 40 60 0 1 2 3 4 5 6 7 Mortalitas (%) Waktu pengamatan (HSP)

B

A

 

memiliki toksisitas paling tinggi dan ekstrak dari Gemolong–Sragen (LC95 555.4 ppm) toksisitasnya juga paling rendah seperti pada taraf LC50. Sementara itu, ekstrak srikaya dari Arso, Keerom (LC95 410.8 ppm) sekitar 14.8 kali lebih toksik daripada ekstrak srikaya dari Sentani, Jayapura (LC95 6067.8 ppm). Besarnya perbedaan antara LC50 dan LC95 serta perbedaan dalam urutan toksisitas pada taraf LC50 dan LC95 di antara ekstrak srikaya yang diuji disebabkan oleh perbedaan dalam kemiringan garis regresi probit (nilai b) (Tabel 3). Namun demikian, bila data toksisitas dari dua lokasi pada setiap kabupatern di Jawa Tengah digabungkan, secara umum ekstrak srikaya dari Blora paling aktif kemudian diikuti oleh ekstrak srikaya dari Purwodadi, dan yang paling lemah adalah ekstrak srikaya dari Sragen, baik pada taraf LC50 maupun LC95.

Ekstrak Buah Sirih Hutan

Berbeda dengan perlakuan dengan ekstrak biji srikaya, mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan dengan ekstrak buah sirih hutan masih rendah pada 1 HSP, kemudian meningkat cukup tajam pada 2 dan 3 HSP, selanjutnya meningkat secara bertahap pada 4-7 HSP. Peningkatan mortalitas serangga uji secara bertahap mencerminkan bahwa buah sirih hutan, selain mengandung komponen yang dapat mematikan dengan segera, tampaknya juga mengandung komponen yang dapat mengganggu perkembangan serangga.

Pada 7 HSP, perlakuan dengan ekstrak buah sirih hutan 2000-3000 ppm mengakibatkan mortalitas larva sebesar 89%-97% dan mortalitas larva pada perlakuan konsentrasi 200-1500 ppm berkisar dari 5% sampai 64% (Gambar 6). Seperti pada perlakuan dengan ekstrak srikaya, mortalitas serangga uji akibat perlakuan dengan ekstrak sirih hutan makin besar dengan lebih tingginya konsentrasi yang diuji. Berdasarkan hasil analisis probit, LC50 ekstrak buah sirih hutan 32.5 kali lebih besar daripada LC50 ekstrak srikaya yang paling aktif (Sumber Lawang–Blora, LC50 27.6 ppm), dan LC95 ekstrak buah sirih hutan sekitar 19.4 kali lebih besar daripada LC95 ekstrak srikaya yang paling aktif (Cepu–Blora, LC95 160.8 ppm). Perbedaan toksisitas antara ekstrak buah sirih hutan dan ekstrak srikaya pada taraf

LC50 dan LC95 disebabkan oleh perbedaan kemiringan garis regresi probit (nilai b) antara ekstrak buah sirih hutan dan ekstrak biji srikaya. Nilai b ekstrak sirih hutan (2.956) berada di antara ekstrak srikaya Sumber Lawang–Blora (1.878) dan ekstrak srikaya Cepu Blora (3.986) (Tabel 3).

Gambar 6 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan ekstrak buah sirih hutan

Campuran Ekstrak Srikayadan Sirih Hutan

Secara umum, pola perkembangan mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan campuran ekstrak biji srikaya Sumber Lawang–Blora dan buah sirih hutan (1:10) merupakan gabungan dari pola perkembangan mortalitas akibat perlakuan dengan ekstrak srikaya dan ekstrak sirih hutan secara terpisah (Gambar 7). Pada 1 HSP, mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan ekstrak campuran 16.5- 114.4 ppm masih rendah, yaitu sekitar 2%–9%. Mortalitas larva meningkat cukup tajam pada 2 dan 3 HSP, sedikit meningkat pada 4 HSP dan mencapai nilai maksimum pada 5 HSP.

Seperti pada perlakuan dengan ekstrak srikaya dan sirih hutan secara terpisah, mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan dengan campuran kedua ekstrak tersebut secara umum juga makin besar dengan lebih tingginya konsentrasi yang diuji (Gambar 7). LC50 campuran ekstrak tersebut (66.3 ppm) lebih mendekati nilai LC50 ekstrak srikaya Sumber Lawang–Blora (27.6 ppm) sedangkan LC95-nya (1686.9 ppm) lebih mendekati nilai LC50 ekstrak sirih hutan (3122.7 ppm). Berdasarkan

0 20 40 60 80 100 0 1 2 3 4 5 6 7 Mortalitas (%) Waktu pengamatan (HSP) Kontrol 200 ppm 600 ppm 1000 ppm 1500 ppm 2000 ppm 2500 ppm 3000 ppm

 

perhitungan indeks kombinasi, campuran ekstrak srikaya dan sirih hutan bersifat sinergistik kuat pada taraf LC50 (IK 0.30) dan

Gambar 7 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan dengan campuran ekstrak biji srikaya dan buah sirih hutan 1:10

antagonistik pada taraf LC95 (IK 1.59). Perbedaan sifat interaksi campuran pada taraf LC50 dan LC95 disebabkan oleh rendahnya nilai b campuran ekstrak (1.170) dibandingkan dengan nilai b ekstrak srikaya Sumber Lawang–Blora (1.878) dan sirih hutan (2.956) secara terpisah (Tabel 3). Akibatnya pada konsentrasi di atas LC50, peningkatan konsentrasi ekstrak campuran akan mengakibatkan peningkatan mortalitas larva yang lebih rendah dibandingkan peningkatan mortalitas larva akibat perlakuan dengan ekstrak srikaya dan sirih hutan secara terpisah.

Lama Perkembangan Larva C. pavonana pada Perlakuan Ekstrak Srikaya

Selain mengakibatkan kematian, perlakuan dengan ekstrak biji srikaya dari semua lokasi juga dapat memperpanjang lama perkembangan larva instar II C. pavonana yang bertahan hidup memasuki instar III dan/atau instar IV. Lama perkembangan larva C. pavonana dari instar II ke III dan dari instar II ke IV pada

0 10 20 30 40 50 60 0 1 2 3 4 5 6 7 Mortalitas (% ) Waktu pengamatan (HSP) Kontrol 16.5 ppm 31.35 ppm 45.65 ppm 64.9 ppm 85.25 ppm 114.4 ppm

perlakuan dengan ekstrak srikaya dari Cepu–Blora pada konsentrasi 52–132 ppm masing-masing lebih panjang 0.7–2 hari dan 1–2.3 hari dibandingkan dengan kontrol, sedangkan pada perlakuan konsentrasi 216–628 ppm tidak ada larva yang mampu berkembang menjadi instar III (Tabel 4). Perpanjangan lama perkembangan dari instar II ke III pada perlakuan dengan ekstrak srikaya dari Sumber Lawang–Blora, Gundih–Purwodadi, Wirosari–Purwodadi, dan Gemolong–Sragen pada konsentrasi 52–348 ppm masing-masing berkisar 0.9–1.9, 1–2, 0.9–2, dan 0–1.3 hari dibandingkan dengan kontrol, sedangkan pada perlakuan konsentrasi 628 ppm tidak ada larva yang mampu berkembang menjadi instar III. Lama perkembangan dari instar II ke IV pada perlakuan dengan ekstrak srikaya dari Sumber Lawang–Blora 52–216 ppm lebih panjang selama 0.7–2.2 hari dibandingkan dengan kontrol, sedangkan pada perlakuan konsentrasi 348 dan 628 ppm tidak ada larva yang mampu berkembang menjadi instar IV. Sementara itu, perpanjangan lama perkembangan dari instar II ke IV pada perlakuan dengan ekstrak srikaya dari Gundih–Purwodadi, Wirosari–Purwodadi, dan Gemolong–Sragen pada konsentrasi 52–348 ppm masing- masing berkisar 1.5–1.8, 0.7–3, dan 0–1.7 hari dibandingkan dengan kontrol. Lama perkembangan larva C. pavonana dari instar II ke III dan dari instar II ke IV pada perlakuan dengan ekstrak srikaya dari Kalioso–Sragen pada konsentrasi 52–628 ppm masing-masing lebih panjang 0.1–2 hari dan 1.4–2.4 hari dibandingkan dengan kontrol, pada perlakuan dengan ekstrak srikaya dari Arso–Keerom lebih panjang 0–2 hari dan 0.1–1 hari, dan pada perlakuan dengan ekstrak srikaya dari Sentani–Jayapura lebih panjang 0–1.9 hari dan 0–1.4 hari (Tabel 4).

Keefektifan Ekstrak Biji Srikayadan Campurannya dengan Bahan Lain pada

Uji Semilapangan

Pada 1 HSP, jumlah larva C. pavonana yang ditemukan kembali pada tanaman caisin yang diberi perlakuan ekstrak srikaya 0.125% nyata lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan campuran ekstrak srikaya 0,125% dan biji mimba 0,15% serta kontrol, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan ekstrak srikaya yang ditambahi optical brightener 0.2% serta dengan campuran ekstrak srikaya dan sirih hutan (Tabel

 

5). Pada 3 HSP, jumlah larva yang ditemukan kembali makin menurun pada semua perlakuan ekstrak dan pada kontrol jumlah larva yang ditemukan kembali hanya 24%. Jumlah larva C. pavonana yang ditemukan kembali pada perlakuan ekstrak srikaya tunggal tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan lain. Rendahnya jumlah larva yang ditemukan kembali pada kontrol mungkin karena tercuci oleh air hujan. Curah hujan saat siang dan sore

Tabel 4 Lama perkembangan larva C. pavonana yang diberi perlakuan dengan ekstrak biji srikayadari lokasi berbeda

Asal biji Konsentrasi (ppm)

Rata-rata lama perkembangan ± SB (hari) a Instar II ke III Instar II ke IV Jawa Tengah Cepu–Blora 628 — b   — b  348 —  —  216 —  —  132 4.9 ± 1.1 ( 9) 6.3 ± 0.5 ( 8) 96 3.9 ± 0.5 (20) 5.8 ± 0.6 (18) 52 3.6 ± 0.7 (45) 5.0 ± 0.5 (44) Kontrol 2.9 ± 0.1 (74) 4.0 ± 0.0 (74) Sumber Lawang– 628 — b   — b  Blora 348 4.0 ± 0.0 ( 3) —  216 3.0 ± 0.0 ( 5) 5.0 ± 0.0 ( 3) 132 3.7 ± 0.5 (13) 6.0 ± 0.9 (11) 96 3.1 ± 0.3 (41) 4.5 ± 1.0 (25) 52 3.2 ± 0.5 (20) 5.2 ± 0.1 (17) Kontrol 2.1 ± 0.3 (73) 3.8 ± 0.4 (73) Gundih– 628 — b   — b  Purwodadi 348 4.0± 0.0 ( 1) 6.0 ± 0.0 ( 1) 216 3.1 ± 0.3 ( 5) 6.0 ± 0.0 ( 5) 132 3.2 ± 0.4 (13) 5.8 ± 0.4 (11) 96 3.6 ± 0.8 (29) 5.9 ± 0.2 (27) 52 3.0 ± 0.2 (42) 5.7 ± 0.5 (36) Kontrol 2.0 ± 0.0 (74) 4.2 ± 0.4 (74) Wirosari– 628 — b   — b  Purwodadi 348 4.0 ± 0.0 ( 1) 7.0 ± 0.0 ( 1) 216 3.0 ± 0.0 ( 7) 6.3 ± 0.5 ( 4) 132 3.0 ± 0.0 (20) 5.6 ± 0.5 ( 7) 96 3.5 ± 0.7 (22) 5.2 ± 0.5 (20) 52 2.9 ± 0.2 (60) 4.7 ± 0.6 (43) Kontrol 2.0 ± 0.0 (75) 4.0 ± 0.0 (75) Gemolong– 628 — b   — b  Sragen 348 4.2 ± 0.4 (13) 6.0 ± 0.8 (13) 216 4.2 ± 0.9 (40) 5.6 ± 0.6 (39) 132 2.7 ± 0.8 (43) 5.0 ± 0.6 (42) 96 2.9 ± 0.4 (68) 4.0 ± 0.1 (67) 52 2.9 ± 0.4 (69) 4.3 ± 0.5 (68) Kontrol 2.9 ± 0.1 (72)  4.3 ± 0.1 (72) 

 

a

SB = simpangan baku. Angka di dalam kurung menunjukkan jumlah larva yang bertahan hidup.

Tabel 4 lanjutan

Asal biji Konsentrasi (ppm)

Rata-rata lama perkembangan ± SB (hari) a Instar II ke III Instar II ke IV Jawa Tengah Kalioso–Sragen 628 5.0 ± 0.0 ( 1) 7.0 ± 0.0 ( 1) 348 5.1 ± 0.4 ( 8) 6.8 ± 0.5 ( 8) 216 5.1 ± 0.5 (11) 6.5 ± 0.5 (11) 132 4.2 ± 0.9 (34) 6.1 ± 0.3 (34) 96 4.5 ± 0.8 (48) 6.1 ± 0.3 (48) 52 3.2 ± 0.5 (57) 6.0 ± 0.6 (57) Kontrol 3.1 ± 0.3 (72) 4.6 ± 0.5 (72) Papua     Arso–Keerom 628 4.0 ± 0.0 ( 1) 6.0 ± 0.0 ( 1) 348 3.9 ± 0.3 (12) 5.9 ± 0.4 (11) 216 2.3 ± 0.5 (24) 5.6 ± 0.5 (10) 132 2.1 ± 0.4 (47) 4.8 ± 0.4 (33) 96 2.0 ± 0.1 (58) 5.3 ± 0.5 (51) 52 2.0 ± 0.1 (63) 5.1 ± 0.4 (61) Kontrol 2.0 ± 0.2 (74) 5.0 ± 0.2 (74) Sentani–Jayapura 628 3.9 ± 1.2 (33) 5.4 ± 1.3 (31) 348 2.5 ± 0.6 (49) 4.8 ± 1.0 (39) 216 2.7 ± 0.5 (38) 4.6 ± 0.9 (32) 132 2.1 ± 0.2 (61) 4.0 ± 0.0 (61) 96 2.0 ± 0.2 (69) 4.0 ± 0.0 (68) 52 2.0 ± 0.0 (63) 4.0 ± 0.1 (63) Kontrol 2.0 ± 0.0 (75) 4.0 ± 0.0 (75) a

SB = simpangan baku. Angka di dalam kurung menunjukkan jumlah larva yang bertahan hidup.

b Tidak ada larva yang mampu berkembang ke instar III dan/atau IV.

hari pada hari pertama dan ketiga setelah perlakuan cukup tinggi (masing-masing 38 dan 37 mm, Gambar 8). Kemungkinan lain, sebagian larva dimangsa oleh predator.

Pada 5 HSP tidak ada larva yang dapat ditemukan kembali pada semua perlakuan ekstrak, sedangkan pada kontrol jumlah larva yang ditemukan kembali hanya 10.7%. Saat siang dan sore hari pada hari kelima setelah perlakuan curah hujan juga cukup tinggi (35 mm, Gambar 8) sehingga dapat mencuci larva yang

 

terdapat pada tanaman. Seperti pada pengamatan 3 HSP, sebagian larva kemungkinan juga dimangsa oleh predator.

Tabel 5 Persentase jumlah larva C. pavonana yang ditemukan kembali pada tanaman caisin yang diberi perlakuan eksrak srikaya dan campurannya dengan bahan lain

Perlakuan ekstrak

Persentase jumlah larva yang ditemukan kembali pada n HSP(%) a

1 3 5

Srikaya 0.125% 21.4b 8.0ab 0b

Srikaya 0.125% +

optical brightener 0.2% 26.7ab 0.0b 0b Srikaya 0.125% +

sirih hutan 0.15% 38.7ab 18.7a 0b

Srikaya 0.125% +

mimba 0.5% 50.7a 6.7ab 0b

Kontrol 73.4a 24.0a 10.7a

a

Jumlah larva instar II yang diinfestasikan 15 ekor per tanaman. Nilai rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan (α = 0.05).

Gambar 8 Data curah hujan di daerah Darmaga Bogor selama berlangsungnya percobaan semilapangan terhadap larva C. pavonana (Stasiun Klimatologi Darmaga-Bogor 2010) 0 10 20 30 40 1 2 3 4 5 6 7 Curah hujan (m m )

Pembahasan Umum

Secara rata-rata, ekstraksi biji srikaya dari dua lokasi di Sragen (Kalioso dan Gemolong) dengan pelarut metanol memberikan hasil ekstrak tertinggi diikuti oleh rata-rata hasil ekstrak srikaya dari dua lokasi di Blora (Sumber Lawang dan Cepu), dan yang paling rendah adalah rata-rata hasil ekstrak dari dua lokasi di Purwodadi (Gundih dan Wirosari). Sementara itu, ekstrak srikaya dari dua lokasi di Blora secara rata-rata paling toksik terhadap larva C. pavonana diikuti rata-rata toksisitas ekstrak srikaya dari dua lokasi di Purwodadi, dan yang rata-rata toksisitasnya paling lemah adalah ekstrak srikaya dari dua lokasi di Sragen.

Urutan tingkat toksisitas ekstrak biji srikaya dari enam lokasi pengambilan sampel biji di Jawa Tengah dan dua lokasi di Papua berbeda dengan urutan hasil ekstrak. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan kandungan senyawa aktif di antara ekstrak biji srikaya yang diuji. Selanjutnya perbedaan senyawa aktif dapat disebabkan oleh perbedaan sifat genetika tanaman (galur tanaman srikaya), umur tanaman, sifat fisiologi biji, kondisi tanah, jenis vegetasi, dan iklim di lokasi tempat tumbuh tanaman (Kaufman et al. (2006). Leatemia dan Isman (

Pemberian daun pakan yang diberi perlakuan ekstrak metanol biji srikaya selama 2 hari mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana yang umumnya mendekati konstan pada 4 HSP sedangkan pada perlakuan dengan ekstrak metanol buah sirih hutan, mortalitas larva meningkat secara bertahap dari 1 sampai 7 HSP. Perbedaan pola perkembangan mortalitas tersebut kemungkinan disebabkan oleh kandungan bahan aktif dari kedua ekstrak yang berbeda dan juga cara kerja bahan aktif tersebut terhadap larva C. pavonana. Biji srikaya mengandung senyawa aktif utama asimisin dan skuamisin yang bekerja sebagai racun respirasi sel dengan menghambat transfer elektron dalam kompleks I dari rantai transfer elektron di dalam mitokondria (Zafra- Polo et al. 1996), sedangkan buah sirih mengandung senyawa aktif utama dilapiol yang dapat menghambat kerja enzim ditoksifikasi senyawa asing (Bernard et al. 1995; Hasyim 2011). Selain itu buah sirih hutan juga mengandung β-sitosterol (Hasyim 2011) yang kemungkinan dapat mempengaruhi perkembangan serangga.

 

Selain mengakibatkan kematian, perlakuan dengan ekstrak biji srikaya dari semua lokasi juga menghambat perkembangan larva C. pavonana dari instar II ke instar IV. Secara visual, daun caisin yang diberi perlakuan ekstrak srikaya lebih sedikit dimakan daripada daun control. Pengaruh penghambatan makan ini dapat berakibat pada penghambatan perkembangan larva. Selain itu, peracunan sel-sel saluran pencernaan serangga uji oleh senyawa aktif srikaya juga dapat memengaruhi penyerapan makanan pada mesenteron dan hal ini selanjutnya juga dapat mengakibatkan penghambatan perkembangan larva uji.

Campuran ekstrak biji srikaya dan buah sirih hutan pada perbandingan konsentrasi 1:10 bersifat sinergistik pada taraf LC50 tetapi antagonistik pada taraf LC95. Sifat sinergistik campuran ekstrak biji srikaya dan ekstrak buah sirih hutan pada taraf LC50 kemungkinan karena pada taraf tersebut senyawa aktif utama dalam buah sirih hutan, yaitu dilapiol yang mengandung gugus metilendioksifenil, dapat menghambat aktivitas enzim sitokom P450 (Scott et al. 2008), sehingga senyawa aktif biji srikaya yang dicampurkan tidak dapat didetoksifikasi oleh enzim tersebut. Sementara itu, pada taraf konsentrasi yang lebih tinggi (LC95), kemungkinan dilapiol dan/atau senyawa lain dalam ekstrak buah sirih hutan merangsang pembentukan enzim sitokom P450 sehingga lebih banyak senyawa aktif srikaya yang dapat diuraikan oleh enzim detoksifikasi tersebut sehingga campuran ekstrak biji srikaya dan buah sirih hutan menjadi antagonistic.

Pada uji semilapangan, pencampuran ekstrak buah sirih hutan 0.15%, ekstrak biji mimba 0.5%, dan optical brightener 0.2% tidak meningkatkan keefektifan ekstrak biji srikaya 0.15%. Pada pengamatan 1 HSP, jumlah larva C. pavonana yang ditemukan kembali pada tanaman kontrol hanya sekitar 73%. Penurunan jumlah larva yang tajam pada tanaman kontrol kemungkinan disebabkan oleh pencucian oleh air hujan karena pada sore hari setelah perlakuan turun hujan yang cukup lebat. Kemungkinan lain, sebagian larva dimangsa oleh predator seperti semut. Dengan demikian, hilangnya larva C. pavonana pada tanaman caisin perlakuan selain disebabkan oleh perlakuan bahan uji juga dapat disebabkan akibat pencucian oleh air hujan. Untuk menentukan persistensi ekstrak uji akibat paparan terhadap cahaya

matahari saja, tanaman uji perlu diberi naungan agar terhindar dari pencucian oleh air hujan.

Ekstrak biji srikaya dari beberapa lokasi memiliki aktivitas yang kuat terhadap larva C. pavonana sementara dari lokasi lain memiliki aktivitas yang lebih rendah. Biji srikaya yang ekstraknya paling aktif dapat dianjurkan untuk ditanam di lokasi lain yang memerlukan. Campuran ekstrak biji srikaya dan ekstrak buah sirih hutan masih perlu diuji pada perbandingan konsentrasi lain untuk mendapatkan campuran yang bersifat sinergistik.

Tanaman srikaya dan sirih hutan mudah tumbuh di berbagai daerah di Indonesia. Insektisida nabati yang memiliki aktivitas tinggi terhadap hama sasaran dan relatif aman terhadap musuh alami hama berpotensi untuk diterapkan dalam sistem pengendalian hama terpadu (PHT). Peluang penggunaan insektisida nabati dalam PHT makin besar bila hama sasaran tidak memiliki musuh alami yang efektif seperti hama kubis C. pavonana. Penggunaan insektisida nabati terhadap hama C, pavonana diharapkan tidak menimbulkan dampak samping yang besar terhadap parasitoid D. semiclausum, musuh alami hama P, xylostella yang menghuni habitat yang sama dengan hama C. pavonana. Dengan demikian, penggunaan insektisida nabati diharapkan dapat membantu keberhasilan penerapan PHT pada tanaman kubis dan sejenisnya.                  

 

Dokumen terkait