Karakteristik Lokasi Penelitian Kecamatan Rancabungur, Desa Pasir Gaok
Kecamatan Rancabungur merupakan wilayah administratif di Kabupaten Bogor. Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur (6,33' LS dan 106,43' BT) mempunyai ketinggian 243 m dpl (di atas permukaan laut). Desa tersebut meru- pakan daerah sentra pertanian di Kecamatan Rancabungur. Mayoritas lahan pertanian adalah lahan sawah sisanya merupakan tegalan. Komoditas pertanian yang banyak ditanam petani adalah padi, jagung, singkong, ubi jalar, cabai dan pepaya.
Lahan pepaya yang digunakan dalam penelitian ini merupakan lahan pepaya milik petani setempat yang memiliki luas lahan 1800 m2 dengan populasi 350 tanaman yang ditanam dengan jarak 250 cm x 150 cm. Pepaya yang ditanam merupakan varietas California dan varietas Bangkok. Lahan pepaya di wilayah Rancabungur berdekatan dengan lahan pertanaman singkong, dan lahan per- tanaman jagung yang ditanam tumpang sari dengan tanaman ubi jalar.
Tanaman singkong di Rancabungur ditanam pada lahan seluas 1400 m2 dengan jarak tanaman 50 cm x 50 cm serta populasi sebanyak 600 tanaman. Tanaman singkong ditanam secara monokultur. Lokasi lahan pertanaman singkong berdekatan dengan lahan pepaya.
Kecamatan Bogor Barat, Kelurahan Bubulak
Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat berada di wilayah administratif Kota Bogor. Kelurahan Bubulak (6,33' LS dan 106,45' BT) mempunyai keting- gian tempat 207 m dpl. Sebagian besar wilayah Kelurahan Bubulak terdiri atas daerah pemukiman, perkantoran dan fasilitas umum. Namun demikian, di wilayah tersebut masih dijumpai lahan pertanian. Lahan pertanian di wilayah tersebut banyak ditanam komoditas palawija, dan sayuran. Komoditas lainnya adalah talas, singkong, ubi jalar, pepaya, jagung, terong dan lidah buaya.
Lahan pepaya yang digunakan dalam penelitian ini memiliki luas lahan sebesar 1400 m2 dengan populasi 180 tanaman. Tanaman pepaya ditanam dengan
22 jarak tanam 200 cm x 100 cm. Pepaya yang ditanam merupakan varietas California dan varietas Bangkok. Tanaman pepaya ditanam secara tumpangsari dengan tanaman talas. Sedangkan lahan yang ditanami singkong memiliki luas lahan 1600 m2 dengan jarak tanam 50 cm x 50 cm serta populasi sebanyak 1000 tanaman. Tanaman singkong ditanam secara monokultur yang berdekatan dengan lahan pertanaman jagung.
Pengamatan Populasi Kutu Putih
Secara umum kelimpahan populasi P. marginatus di dua lokasi setiap ming-
gunya mengalami peningkatan, kecuali pada minggu ketiga dan kelima. Hal ini disebabkan pada pengamatan minggu ketiga dan kelima terjadi hujan yang cukup lebat dan disertai dengan angin. Pada sehari sebelum pengamatan juga terjadi hujan yang cukup ringan. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya populasi P. marginatus pada tanaman. Kelimpahan populasi serangga pada tanaman dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik seperti curah hujan dan hembusan angin. Serangga kecil seperti kutu-kutuan (Hemiptera) rentan terhadap tetesan air hujan dan angin (Steyenoff 2001). Tetesan hujan dan hembusan angin dapat menyebabkan serangga jatuh ke tanah dan tidak dapat kembali ke permukaan daun, sehingga kelimpahan populasi kutu pada daun akan berkurang.
Kelimpahan populasi P. marginatus di dua lokasi memiliki perbedaan (Ta-
bel 1). Populasi kutu putih di Bubulak secara umum lebih tinggi dibandingkan populasi kutu putih di Rancabungur, terutama pada pengamatan ke-1 dan ke-3. Hal ini terjadi karena lahan pertanian di Bubulak kurang terawat. Petani di lokasi tersebut tidak melakukan pembersihan gulma dan tindakan pengendalian lain terhadap OPT yang ada di pertanaman pepaya maupun singkong.
Kelimpahan populasi P. marginatus pada tanaman pepaya lebih banyak
dibandingkan pada tanaman singkong pada semua waktu pengamatan, kecuali pengamatan ke-5 (Tabel 2). Hal ini dikarenakan tanaman pepaya merupakan inang utama dari P. marginatus sedangkan tanaman singkong adalah inang
Tabel 1 Kelimpahan populasi P. margiatus di Rancabungur dan di Bubulak
Lokasi Pengamatan Minggu Ke- * (ekor /daun)
1 2 3 4 5 6
Rancabungur Bubulak
10,4 ± 11,7a 28,1 ± 22,0a 16,4 ± 10,2a 29,1 ± 23,8a 24,2 ± 21,6a 27,4 ± 21,1a 22,7 ± 29,4b 26,9 ± 25,5a 23,4 ± 18,3b 29,4 ± 16,5a 30,8 ± 22,0a 29,8 ± 17,3a
Nilai p 0,0034 0.77 0,012 0,94 0,096 0,50
*Angka selajur yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata α = 5%
Tabel 2 Kelimpahan populasi P. marginatus pada tanaman pepaya dan tanaman singkong
Tanaman Pengamatan Minggu Ke- * (ekor /daun)
1 2 3 4 5 6
Pepaya 24.4 ± 28.3a 38,1 ± 25,4a 28,4 ± 16,2a 37,9 ± 19,6a 30,2 ± 18,1a 36,0 ± 19,6a Singkong 8.6 ± 12.1b 16,9 ± 16,2b 11,33 ± 7,36b 20,6 ± 17,4b 24,8 ± 25,1a 21,1 ± 15,9b
Nilai p 0,0002 0,0000 0,0000 0,0000 0,18 0,0000
*Angka selajur yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata α = 5%
24
Tabel 3 Kelimpahan populasi P. marginatus pada tanaman pepaya di Rancabungur (RB) dan Bubulak (BB)
Tanaman Pengamatan Minggu Ke-* (ekor /daun)
1 2 3 4 5 6
Pepaya (RB) 10,96±9,10a 35,4 ± 23,9a 21,91 ± 9,53a 40,1 ± 22,8a 30,5 ± 21,9a 37,0 ± 21,0a Pepaya (BB) 37,90±34,3b 40,9 ± 26,9a 35,0 ± 18,8b 35,8 ± 15,8a 29,9 ± 13,7a 35,0 ± 18,3a
Nilai p 0,0002 0,41 0,0015 0,40 0,89 0,70
*Angka selajur yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata α = 5%
Tabel 4 Kelimpahan populasi P. marginatus pada tanaman singkong di Rancabungur (RB) dan Bubulak (BB)
*Angka selajur yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata α = 5%
Tanaman Pengamatan Minggu Ke-* (ekor /daun)
1 2 3 4 5 6
Singkong (RB) 9,8 ± 14,0a 20,9 ± 17,5a 10,90 ± 7,58a 18,2 ± 19,6a 17,8 ± 19,7a 17,8 ± 16,6a Singkong (BB) 7,5 ± 10,1a 12,9 ± 14,0b 11,77 ± 7,25a 23,1 ± 14,8a 31,8 ± 28,1b 24,5 ± 14,6a
Nilai p 0,47 0,054 0,65 0,28 0,030 0,098
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh Maharani (2011) bahwa P. marginatus yang hidup pada tanaman pepaya memiliki
keperidian lebih tinggi dibandingkan dengan P. marginatus yang hidup pada
tanaman singkong. Perbedaan kandungan senyawa kimia pada tanaman diduga dapat mempengaruhi perilaku makan serangga dan perilaku kawin serta tingkat reproduksinya.
Kelimpahan populasi P. marginatus pada tanaman pepaya di Bubulak
secara umum lebih tinggi dibandingkan pada pepaya di Rancabungur, terutama pada pengamatan ke-1 dan ke-3 (Tabel 3). Hasil yang relatif sama terjadi pada kelimpahan populasi P. marginatus pada tanaman singkong. Populasi kutu putih
pada tanaman singkong di Bubulak lebih tinggi dibandingkan pada singkong di Rancabungur, terutama pada pengamatan ke-2 dan ke-5 (Tabel 4). Kelimpahan populasi P. marginatus cenderung fluktuatif sepanjang waktu pengamatan.
Kelimpahan populasi kutu putih pada minggu pertama dan minggu ketiga terlihat berbeda nyata hal ini disebabkan pada minggu pertama, sehari sebelum pegamatan terjadi hujan yang cukup lebat di dua lokasi pengamatan. Sedangkan pada pengamatan minggu ketiga terjadi hujan ringan yang berlangsung dari sehari sebelummnya hingga saat pengamatan. Kelimpahan populasi serangga hama dapat disebabkan oleh banyak faktor diantaranya faktor fisik berupa curah hujan, suhu, dan kelembaban. Selain itu juga dapat dipengaruhi oleh umur tanaman.
Kerusakan yang diakibatkan oleh P. marginatus pada tanaman pepaya dan
singkong tidak jauh berbeda. Pada tanaman pepaya serangan kutu putih mengaki- batkan klorosis pada daun, kerdil dan mengerut (keriting). Serangan yang berat dapat mengakibatkan daun dan buah menjadi gugur. Selain itu, P. marginatus
dapat menghasilkan embun madu yang berasosiasi dengan embun jelaga sehingga menutupi permukaan daun dan menghambat terjadinya fotosintesis (Hue et al.
2007).
Data dari BMKG menyebutkan bahwa pada bulan Maret 2011 suhu rata-rata mencapai 25,7 ºC dengan kelembapan rata-rata sebesar 82% dan curah hujan rata- rata sebesar 140 mm/hari. Pada bulan April curah hujan rata-rata di wilayah Bubulak dan Rancabungur mencapai 278 mm/hari dengan suhu rata-rata mencapai 25,8 ºC dan kelembapan udara rata-rata sebesar 84%.
26
Identifikasi Stadia Cendawan Entomophthorales
Cendawan Entomophthorales merupakan patogen obligat yang menginfeksi inang secara spesifik dan memiliki banyak stadia cendawan. Stadia yang dimiliki cendawan Entomophthorales terdiri dari stadia yang dapat bertahan lama dan tidak. Pada saat kondisi yang tidak menguntungkan atau terjadinya ketidakadaan inang, cendawan dapat bertahan lama dengan membentuk stadia resting spores
yang dapat bertahan di permukaan tanah. Stadia yang tidak bertahan lama, konidia, akan diproduksi di atas tubuh inang yang terinfeksi dan dapat disebarkan melalui angin (Hajek 2004).
Steinkraus et al. (1995) mengklasifikasikan kutu putih yang terserang
cendawan Entomophtorales ke dalam enam kategori stadia, yaitu, kategori sehat,
secondary conidia (konidia sekunder), hyphal bodies (badan hifa), primary conidia dan konidiofor, resting spores (spora istirahat), dan kategori saprophytic fungi (cendawan saprofit). Sampel kutu putih yang berhasil dikumpulkan
berjumlah 503 preparat, 253 diantaranya preparat sampel kutu putih yang dikumpulkan dari lokasi Bubulak, dan 250 sisanya merupakan preparat sampel kutu putih yang berasal dari Rancabungur. Berdasarkan hasil identifikasi stadia cendawan yang ditemukan pada sampel kutu putih yang dikoleksi di dua lokasi adalah stadia secondary conidia, prymary conidia, hyphal bodies, dan cendawan
saprofit.
Stadia konidia primer akan menembus tubuh serangga dan menyebabkan tubuh kutu putih menjadi rusak (Gambar 4). Stadia konidia primer terbentuk secara aktif dari bagian konidiofor atau kapilokonidia. Konidia sekunder yang ditemukan menempel pada bagian antena serangga. Hyphal bodies akan
terbentuk di dalam tubuh inang dan akan memenuhi tubuh inang. Serangga yang terinfeksi hyphal bodies akan berada dalam kondisi sekarat. Cendawan saprofitik
akan menginfeksi serangga saat proses infeksi dari cendawan sudah selesai dan serangga yang terinfeksi mati.
Gambar 4 Stadia cendawan Entomophthorales yang ditemukan saat pengamatan (a) Kutu putih sehat, (b) Konidia sekunder yang menempel pada antena kutu putih, (c) dan (d) Konidia primer yang terbentuk di tubuh
kutu tubuh, (e) Hyphal bodies yang berbentuk bulat kecil,
(f) cendawan saprofitik menginfeksi kutu putih yang sudah mati. Stadia resting spores tidak ditemukan pada sampel yang diambil dari dua
lokasi pengamatan. Hal ini dikarenakan stadia resting spores merupakan struktur
bertahan yang dimiliki cendawan Entomophthorales saat tidak ada inang atau saat tidak aktif. Resting spores memiliki struktur yang kuat dengan dinding sel ganda.
Spora tersebutakan berkecambah apabila keadaan lingkungannya memungkinkan dengan tekanan udara atau kelembaban udara yang cukup tinggi (Pell et al. 2001).
Konidia sekunder yang ditemukan pada sampel kutu putih berbetuk bulat telur dengan ujungnya yang meruncing (memiliki papil) (Gambar 5), sedangkan konidia primer berbentuk mirip buah pir. Namun pada konidia primer selalu ditemukan kapiler yang akan membentuk spora sekunder atau capiliconidia. Hyphal bodies yang ditemukan berbentuk bulat kecil dan banyak (Gambar 5).
(a) (b)
(c) (d)
28
Gambar 5 Cendawan Entomophthorales yang menginfeksi kutu putih, (a) dan (b). Kutu Putih yang terserang konidia primer, (c). Konidia sekunder yang menempel pada bagian tubuh kutu putih, (d) Hyphal bodies yang
terbentuk di dalam tubuh kutu putih (hampir mengisi seluruh bagian tubuh).
Berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan di atas, cendawan Entomophthorales yang menginfeksi P. marginatus diduga termasuk dalam genus Neozygites. Cen-
dawan Entomophthorales genus Neozygites memiliki ciri-ciri konidia berbentuk globose atau filiform yang diperpanjang dengan papila diujungnya. Dengan hyphal bodies berbentuk bola atau berbentuk tidak rata, secondary konidia
berbentuk menyerupai biji almond, sedangkan primary conidia berbentuk seperti
bulat telur dan memiliki papila serta capilliconidia dapat terbentuk secara pasif
dari kapiler konidiofor (Humber & Steinkraus 1998).
Cendawan genus Neozygites diketahui dapat menginfeksiserangga-serangga
kecil dari ordo Hemiptera dan Thysanoptera serta beberapa spesies tungau dan Colembola. Beberapa spesies dari Neozygitaceae diketahui hanya menginfeksi kutu daun, diantaranya yaitu Neozigytes fresenii, N. cinarae, dan N. microlophii
(Pell et al. 2001).
Selain itu, juga terdapat N. parvispora yang hanya menginfeksi trips dan N. floridana yang dapat menginfeksi tungau (Pell et al. 2001 ; Humber &
Steinkraus 1998). Speare (1922 dalam Delalibera et al. 1997) melaporkan bahwa N. fumosa menginfeksi Planococcus citri (Risso) (Hemiptera: Pseudococcidae)
yang merupakan hama pada tanaman jeruk di Florida dan Ficus di Lousiana. N.
(a) (b)
fumosa juga telah dilaporkan menginfeksi Phenacoccus sp. pada tanaman Hibiscus di Lousiana dan dilaporkan juga dapat menginfeksi Phenacoccus manihoti pada tanaman singkong di Kongo (Le Rü et al. 1985 da-lam Delalibera et al. 1997). Pada tahun 1994, diketahui bahwa N. fumosa menginfeksi Phenacoccus hereni pada tanaman singkong di Brazil, dengan tingkat infeksi
mencapai 9,3-64,6% (Delalibera et al 1997). Menurut Keller (2007), N. fumosa
merupakan patogen pada beberapa kutu putih dari famili Pseudococciade.
Konidia primer relatif gampang rusak tetapi sangat cepat berkecambah. Konidia sekunder memiliki struktur yang lengket dan terkadang dilapisi oleh lendir yang berguna dalam menginfeksi inang (Pell et al. 2001). Stadia konidia
primer yang memencar akan membentuk tabung kapiler dan akan membentuk konidia sekunder yang kemudian akan menginfeksi inang. Pell et al. (2001)
mengemukakan bahwa konidia primer yang dimiliki genus Neozygites tidak aktif
menginfeksi tetapi selalu memproduksi konidia sekunder yang memiliki bentuk yang berbeda dengan konidia primer serta memiliki kemampuan untuk meng- infeksi inang.
Stadia hyphal bodies yang teridentifikasi memiliki bentuk bulat kecil atau
seperti bola, berjumlah banyak yang mengisi seluruh bagian tubuh kutu putih. Menurut Keller (1987), hyphal bodies merupakan struktur perkembangan vege-
tatif yang dimiliki oleh cendawan Entomophthorales. Stadia ini berkembang di dalam protoplas tubuh serangga.
Hyphal bodies memiliki bentuk yang spesifik yang dapat dijadikan salah
satu ciri penting dalam penggolongan cendawan. Di dalam tubuh inang, beberapa spesies cendawan Entomophthorales berkembang membentuk protoplas dengan dinding sel yang mengandung banyak gula. Bentuk ini dibuat untuk menghindari deteksi dari sistem imun tubuh inang (Baeuvais et al. 1989). Pada spesies jenis
yang lain hyphal bodies dapat berbentuk uniseluler atau membentuk hifa senosit
dan terkadang tidak memiliki fase protoplas (Pell et al. 2001). Tingkat Infeksi Cendawan Entomophthorales
Kutu putih yang terinfeksi cendawan Entomophthorales akan menunjukkan gejala perubahan warna tubuh kutu putih menjadi kehitaman atau kelabu.
30 Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada P. marginatus di Kecamatan
Rancabungur tidak berbeda nyata dengan tingkat infeksi cendawan Ento- mophthorales di Bubulak (Tabel 5). Hasil yang sama juga terjadi pada tingkat infeksi cendawan Entomophthorales terhadap P. marginatus pada tanaman pepaya
dan singkong (Tabel 6). Begitu pula tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada P. marginatus di tanaman pepaya baik di Rancabungur tidak berbeda nyata
dengan kutu putih di tanaman pepaya di Bubulak (Tabel 7). Perbedaan tingkat infeksi hanya terjadi pada kutu putih pada tanaman singkong di dua lokasi (Tabel 8). Perbedaan hasil tersebut tampak pada pengamatan ke-1 dan ke-7.
Kelimpahan populasi kutu yang tinggi biasanya menyebabkan tingkat infeksi yang lebih tinggi. Hal ini terjadi pada populasi kutu putih di Bubulak yang mempunyai kelimpahan lebih tinggi dibandingkan kutu putih di Rancabungur. Perbedaan tingkat infeksi yang terjadi hanya pada tanaman singkong belum dike- tahui faktor penyebabnya. Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales paling tinggi mencapai 54,67% yang terjadi pada kutu putih di tanaman pepaya di Bubulak. Selain itu, tingkat infeksi terendah terjadi pada pengamatan ketujuh, yaitu sebesar 4,67% pada kutu putih di pertanaman singkong di Rancabungur. Hasil penelitian Shylena (2010) mengungkapkan bahwa tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada P. marginatus dapat mencapai 65,94%.
Tabel 5 Persentase (%) tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada P. marginatus di wilayah Rancabungur dan Bubulak
Lokasi Pengamatan Ke- * (%)
1 2 3 4 5 6 7 8
Rancabungur 13,9 ± 13,2a 12,8 ± 10,2a 41,5 ± 13,0a 13,0 ± 15,0a 15,33 ± 9,77a 17,58 ± 9,83a 5,40 ± 7,03a 11,3 ± 12,2a Bubulak 17,8 ± 12,6a 23,9 ± 12,6a 40,3 ± 17,6a 30,3 ± 15,9a 25,7 ± 18,1a 30,00 ± 23,0a 28,3 ± 23,1a 33,7 ± 33,1a
Nilai p 0,61 0,13 0,89 0,083 0,26 0,27 0,67 0,17
*Angka selajur yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata α = 5%
Tabel 6 Persentase (%) tingkat infeksi cendawan Entomophthorales terhadap P. marginatus pada tanaman pepaya dan singkong.
Tanaman Pengamatan Ke- * (%)
1 2 3 4 5 6 7 8
Pepaya 14,0 ± 15,3a 18,3 ± 15,4a 46,3 ± 15,6a 23,7 ± 21,8a 27,0 ± 18,4a 28,6 ± 25,1a 22,7 ± 27,4a 30,1 ± 36,7a Singkong 17,7 ± 10,0a 18,3 ± 10,0a 35,4 ± 12,8a 19,7 ± 13,0a 14,0 ± 6,81a 19,00 ± 5,76a 11,00 ± 8,07a 15,00 ± 7,77a
Nilai p 0,64 1,0 0,22 0,71 0,16 0,40 0,36 0,37
*Angka selajur yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata α = 5%
32
Tabel 7 Persentase (%) tingkat infeksi cendawan Entomophthorales terhadap P. marginatus pada tanaman pepaya di wilayah
Rancabungur (RB) dan Bubulak (BB).
Tanaman Pengamatan Ke- * (%)
1 2 3 4 5 6 7 8
Pepaya (RB) 18,2 ± 19,0a 12,2 ± 12,5a 38,00 ± 18,3a 10,7 ± 16,8a 16,7 ± 13,0a 17,2 ± 15,0a 6,1 ± 10,6a 10,0 ± 17,3a Pepaya (BB) 9,8 ± 13,0a 24,5 ± 18,0a 54,67 ± 8,08a 36,7 ± 20,0a 37,3 ± 18,9a 40,0 ± 31,0a 39,3 ± 30,6a 50,2 ± 43,0a
Nilai p 0,57 0,40 0,29 0,18 0,22 0,37 0,22 0,27
*Angka selajur yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata α = 5%
Tabel 8 Persentase (%) tingkat infeksi cendawan Entomophthorales terhadap P. marginatus pada tanaman singkong di wilayah
Rancabungur (RB) dan Bubulak (BB).
Tanaman Pengamatan Ke- * (%)
1 2 3 4 5 6 7 8
Singkong (RB) 9,52 ± 4,08a 13,3 ± 10,1a 45,01 ± 7,24a 15,3 ± 16,2a 14,00 ± 8,00a 18,0 ± 4,0a 4,67 ± 3,06a 12,67 ± 8,08a Singkong (BB) 25,82 ± 6,01b 23,30 ± 8,66a 25,87 ± 9,12a 24,0 ± 10,4a 14,00 ± 7,21a 20.0 ± 8,0a 17,33 ± 5,77b 17,33 ± 8,33a
Nilai p 0,030 0,29 0,065 0,49 1,00 0,74 0,044 0,54
*Angka selajur yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata α = 5%
Gambar 6 Persentase (%) tingkat infeksi cendawan Entomophthorales terhadap kutu putih P. marginatus pada tanaman singkong (S) dan
pepaya (P) di Rancabungur (RB) dan Bubulak (BB) selama delapan kali pegamatan tahun 2011.
34 Stadia hyphal bodies paling banyak menginfeksi kutu putih dengan tingkat
infeksi mencapai 43,36%. Sedangkan untuk tingkat infeksi secondary conidia
dan primary conidia mencapai 14,67% dan 8%. Cendawan saprofit dapat
menyerang kutu putih yang telah mati dikarenakan infeksi cendawan Ento- mophthorales. Cendawan saprofit akan berkembang pada tubuh serangga yang sudah mati dan mendapat sumber makanan dari serangga mati tersebut. Dari hasil pengamatan, tidak sedikit kutu putih yang ditumbuhi cendawan saprofit. Tingkat serangan cendawan saprofit mencapai 36%. Infeksi cendawan Entomophtorales dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya adalah populasi serangga hama yang menjadi inang cendawan Entomophthorales, kondisi fisik lingkungan seperti kelembaban dan suhu (Pell et al. 2001).
Cendawan Entomophthorales sangat berpotensi sebagai musuh alami bagi beberapa serangga hama karena cendawan ini memiliki kemampuan epizootik (Hajek 2004). Epizootik merupakan keadaan dimana terjadi kejadian penyakit yang meluas dan menyerang hampir disemua level pada suatu populasi serangga hama dalam waktu yang cukup singkat (Tanada & Kaya 1993). Namun sifat obligat yang dimiliki oleh cendawan ini menjadi kendala dalam proses perbanyakan maupun penyebaran. Cendawan ini tidak dapat dikulturkan dalam media buatan. Perbanyakan cendawan Entomophtorales hanya dapat dilakukan pada serangga inang (konservasi).
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperbanyak cendawan Ento- mophthorales adalah dengan membiakkannya pada serangga inang. Serangga yang telah terinfeksi kemudian dikoleksi dan disimpan pada ruangan yang berkadar air dan memiliki kelembapan yang rendah. Hal ini bertujuan untuk mencegah cendawan bersporulasi. Pada saat kondisi tubuh serangga dipenuhi oleh konidia yang siap bersporulasi, serangga siap dilepas ke lapangan. Saat kondisi lingkugan mendukung, maka konidia yang ada dalam tubuh serangga akan bersporulasi dan menginfeksi inang yang baru. Saat populasi serangga inang padat maka akan terjadi peristiwa epizootik.
Kemampuan epizootik cendawan Entomophthorales ditentukan oleh be- berapa faktor, diantaranya yaitu, penyebaran patogen, populasi patogen dan populasi serangga inang (Tanada & Kaya 1993; Tanada & Fuxa 1987). Beberapa
faktor tersebut sangat berkaitan erat dengan faktor biotik dan abiotik lingkungan yang dapat meningkatkan ataupun menurunkan prevalensi suatu penyakit dalam suatu populasi inang. Perilaku antara inang dan patogen dapat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu kemampuan serangga target dalam mendeteksi dan meghindari serangan patogen serta kemampuan penyebaran patogen dalam serangga inang (Baverstock et al. 2009). Pada umumnya, saat populasi serangga tinggi maka
tingkat infeksi cendawan Entomophthorales juga tinggi dan akan terjadi epizootik. Salah satu contoh cendawan Etomophthorales memiliki kemampuan epizootik terhadap tungau dan kutu daun adalah yang berasal dari famili Neozygitaceae. Alasan yang mendasari bahwa cendawan Neozygitaceae efektif dalam menyebabkan epizootik adalah karena cendawan ini dapat berkembang dengan cepat. Kemampuan berkembang dengan cepat ini juga ditambah dengan kemampuan menghasilkan konidia dalam jumlah yang sangat banyak per individu inang walaupun inangnya berukuran kecil. Cendawan ini mampu menghasilkan 3000 konidia primer dalam waktu 3-4 hari per individu inang yang siap menginfeksi inang. Cendawan ini hanya memerlukan waktu 3 hari untuk menginfeksi inangnya kemudian bersporulasi. Selain kemampuan berkembang yang cepat dan dapat menghasilkan konidia dalam jumlah yang sangat banyak, cendawan dari famili Neozygitaceae juga mampu menginfeksi hampir semua fase serangga inang kecuali telur. Hal ini berbeda dengan cendawan dari ordo Entomophthorales lainnya yang umumnya hanya menginfeksi inang pada stadia imago (Pell et al. 2001). Sebagai cendawan obligat, patogen akan memanfaatkan
semaksimal mungkin sumberdaya yang ada pada serangga inang sampai serangga mati. Setelah serangga mati cendawan akan bersporulasi kemudian menginfeksi serangga sehat lainnya.