• Tidak ada hasil yang ditemukan

Minimally processed brokoli merupakan serangkaian perlakuan terhadap sayuran brokoli segar untuk menghilangkan bagian-bagian yang tidak dimakan serta melakukan pengecilan ukuran (pemotongan/pengirisan) sehingga mempercepat penyajian. Rendemen dari bagian sayuran yang dapat dimakan dihitung agar diketahui nilai perbandingannya.

Rendemen brokoli dihitung dari berat brokoli utuh dan brokoli yang sudah terolah minimal. Hasil rerata rendemen dari brokoli terolah minimal adalah 63.5% atau hanya 635 g/kg (Lampiran 1). Nilai rendemen tersebut cukup kecil karena hampir setengah bagian dari brokoli utuh tidak dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, penanganan pascapanen tahap selanjutnya sangat penting untuk meminimalkan susut bobot selama penyimpanan. Kemasan yang sesuai dan suhu penyimpanan yang optimum diduga dapat mempertahankan umur simpan brokoli terolah minimal.

Faktor penting yang perlu dilakukan sebelum pengemasan brokoli adalah menghitung nilai laju respirasi brokoli terolah minimal untuk mengetahui suhu penyimpanan yang sesuai agar metabolisme berjalan tetap normal namun dapat memperpanjang umur simpannya. Dalam perhitungan laju respirasi brokoli terolah minimal, dibuat pula model untuk memprediksi laju respirasi brokoli terhadap fungsi suhu.

Pengaruh Suhu Terhadap Laju Respirasi Brokoli Terolah Minimal Pengukuran laju respirasi dilakukan pada lima tingkatan suhu yang berbeda yaitu 0 oC, 5 oC, 10 oC, 15 oC, dan 27 oC (suhu ruang). Pengukuran dilakukan selama tujuh hari, namun khusus untuk suhu 27 oC dan 15 oC berturut-turut hanya dapat bertahan tiga dan enam hari. Hasil pengukuran perubahan laju respirasi dapat dilihat pada Gambar 8 dan 9.

Gambar 8 Laju respirasi (konsumsi O2) pada berbagai suhu penyimpanan 0 50 100 150 200 250 0 1 2 3 4 5 6 7 8 L aj u k o n su m si O2 ( m l/k g .j am )

Waktu pengamatan (hari)

Suhu 0 °C Suhu 5 °C Suhu 10 °C Suhu 15 °C Suhu 27 °C

Gambar 9 Laju respirasi (produksi CO2) pada berbagai suhu penyimpanan Berdasarkan Gambar 8 dan 9, laju respirasi brokoli terolah minimal secara signifikan dipengaruhi oleh suhu penyimpanan. Konsumsi O2 dan produksi CO2 yang lebih kecil terjadi pada penyimpanan suhu rendah dibandingkan dengan suhu yang lebih tinggi. Adapun hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa suhu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap laju respirasi brokoli terolah minimal. Pada suhu 0 oC kisaran laju respirasi yang diukur pada konsumsi O2 rata-rata adalah 21.93 ml/kg.jam dan produksi CO2 adalah 22.93 ml/kg.jam pada hari pertama. Hal sebaliknya terjadi pada suhu yang lebih tinggi (27 oC), brokoli yang disimpan memiliki laju respirasi paling tinggi, berkisar antara 190.99 ml/kg.jam untuk O2 serta 198.17 ml/kg.jam untuk CO2 pada hari pertama penyimpanan.

Perubahan konsentrasi gas didalam stoples selama penyimpanan diakibatkan oleh aktivitas brokoli yang dipengaruhi oleh suhu. Rata-rata laju konsumsi O2 dan produksi CO2 selama penyimpanan secara umum terlihat menurun. Hal ini diduga karena penurunan suhu akan mengakibatkan aktivitas enzim menurun hingga reaksi kimia berlangsung lebih lambat. Tan et al. (2007) menyatakan bahwa pada reaksi biokimia yang banyak melibatkan kerja enzim, kecepatan reaksi dipengaruhi oleh suhu. Jika suhu ditingkatkan (dalam batas tertentu) maka kecepatan reaksi meningkat, sementara jika suhu diturunkan maka reaksi yang berlangsung akan berjalan semakin lambat.

Suhu 15 oC dan 27 oC menunjukkan peningkatan konsumsi O2 dan produksi CO2 berturut-turut pada hari kedua dan ketiga. Hal tersebut menunjukkan bahwa brokoli termasuk pada golongan sayuran klimakterik karena adanya peningkatan respirasi yang mencolok. Makhlouf et al. (1989) mengemukakan bahwa brokoli dapat diklasifikasikan sebagai sayuran klimakterik sejak bunga berubah menjadi kuning sebagai hasil dari peningkatan laju respirasi dan produksi etilen. Proses klimakterik ini terjadi saat brokoli mengalami fase pelayuan (senescene) yang diikuti fase pembusukan (deterioration). Tingginya nilai laju respirasi pada suhu 15 oC dan 27 oC inilah yang mengakibatkan umur simpannya lebih pendek dibanding pada penyimpanan suhu lain.

Pola respirasi pada penyimpanan suhu 0, 5, dan 10 oC menunjukkan laju respirasi yang semakin konstan selama penyimpanan. Kecenderungan konstan ini

0 50 100 150 200 250 0 1 2 3 4 5 6 7 8 L aj u p ro d u k si CO2 ( m l/k g .j am )

Waktu pengamatan (hari)

Suhu 0 °C Suhu 5 °C Suhu 10 °C Suhu 15 °C Suhu 27 °C

20

dapat memberi petunjuk bahwa brokoli yang disimpan pada ketiga suhu tersebut menunjukkan laju respirasi yang seimbang antara konsumsi O2 dan produksi CO2. Dengan pola respirasi yang konstan pada nilai laju respirasi yang rendah, suhu 0, 5 dan 10 oC dapat dijadikan rekomendasi suhu optimum untuk penyimpanan brokoli terolah minimal untuk memperpanjang masa simpan produk.

Intensitas respirasi dianggap sebagai ukuran laju jalannya metabolisme. Oleh karena itu, laju respirasi dapat dijadikan petunjuk yang baik untuk mengetahui daya simpan produk hortikultura setelah dipanen. Komoditas dengan laju respirasi tinggi akan memiliki umur simpan lebih pendek dibanding yang memiliki laju respirasi rendah (Saltveit 1996). Semakin tinggi laju respirasi maka semakin cepat pula perombakan substrat menjadi energi yang mengarah pada kemunduran dari produk tersebut. Brokoli merupakan jenis sayuran yang memiliki tingkat laju respirasi yang sangat tinggi. Pada penelitian ini digunakan produk brokoli terolah minimal yang tentunya memiliki laju respirasi yang jauh lebih tinggi dari produk utuh.

Tabel 3 menunjukkan laju respirasi pada hari kesatu dan ketiga serta nilai Respiratory Quotient (RQ) yang merupakan perbandingan antara konsumsi O2 dan produksi CO2. Nilai RQ dapat digunakan untuk mendeduksi sifat substrat yang digunakan dalam proses respirasi, sejauh mana respirasi telah berlangsung dan sejauh mana proses tersebut bersifat aerobik dan anaerobik. Nilai RQ brokoli terolah minimal yang diamati hampir seluruhnya bernilai satu, hal ini menunjukkan bahwa proses metabolisme berlangsung secara normal menggunakan substrat karbohidrat, protein atau lemak dengan ketersediaan oksigen yang cukup. Kader et al. (1987) mengemukakan bahwa batas untuk proses respirasi normal ditunjukkan dengan nilai RQ antara 0.7 - 1.3. Namun suhu 0 oC pada hari ketiga memiliki nilai RQ rata-rata sebesar 1.5 yang memungkinkan telah terjadi kondisi respirasi anaerobik. Sehingga dalam penelitian ini, suhu 5 oC dan 10 oC merupakan suhu terbaik yang akan digunakan untuk tahap penelitian selanjutnya karena kedua suhu tersebut memiliki nilai laju respirasi rendah dan respirasi berlangsung secara normal.

Tabel 3 Laju respirasi dan nilai Respiratory Quotient (RQ) pada berbagai suhu penyimpanan

Suhu (oC)

Laju respirasi (ml/kg jam)

Hari ke-1 Hari ke-3

Konsumsi O2 Produksi CO2 RQ Konsumsi O2 Produksi CO2 RQ 0 21.9±2.8a 22.9±0.3a 1.0 11.5±0.7a 17.5±1.7a 1.5 5 46.4±12.0b 44.5±4.8ab 1.0 17.9±2.8a 23.1±1.7a 1.3 10 70.3±7.8c 70.2±0.6bc 1.0 44.9±4.2b 51.2a±14.4b 1.1 15 90.7±1.4d 83.3±10.1c 0.9 80.7±4.2c 82.7±24.5b 1.0 27 190.4±9.9e 198.2±24.2d 1.0 175.4±11.3d 190.6±10.7c 1.1 Ket: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada

taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)

Model Arrhenius Laju Respirasi Brokoli Terolah Minimal

Model matematika merupakan suatu model yang memuat konsep-konsep matematika seperti konstanta, variabel, fungsi, persamaan, dan lain-lain. Tujuannya yaitu untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai objek tanpa harus mengganggu keberadaan objek. Mahajan et al. 2001 menyatakan bahwa pengaruh suhu terhadap laju respirasi dicari dengan persamaan Arrhenius yaitu dengan cara melihat regresi hubungan antara suhu dan laju respirasi. Suhu merupakan salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi respirasi dan memiliki pengaruh sangat nyata. Respirasi merupakan reaksi enzimatik dan setiap reaksi yang melibatkan enzim didalamnya tentu akan sangat berhubungan dengan sifat enzim yaitu akan sangat aktif pada suhu tinggi dan akan menurun keaktifannya pada suhu rendah.

Data laju respirasi yang diperoleh digunakan untuk perhitungan model Arrhenius. Nilai Ri diubah menjadi ln Ri (Tabel 4) dihubungkan dengan suhu penyimpanan dalam Kelvin (K) yang diplotkan secara berturut-turut sebagai ordinat dan absis yang ditunjukkan pada Gambar 10.

Tabel 4 Nilai ln R1, ln R2, dan 1/T untuk berbagai suhu penyimpanan Suhu penyimpanan (oC) R1 R2 ln R1 ln R2 1/T 0 21.93 22.93 3.09 3.13 3.66E-03 5 46.35 44.46 3.84 3.79 3.60E-03 10 70.28 70.18 4.25 4.25 3.53E-03 15 90.71 83.33 4.51 4.42 3.47E-03

Gambar 10 Hubungan ln R dengan 1/T

Gambar 10 menunjukkan hubungan antara ln Ri dengan kebalikan suhu absolut, dimana hasil regresi linier ini digunakan untuk mencari nilai Eai dan nilai Roi (faktor preeksponensial). Garis linier yang diperolah untuk menunjukkan koefisien laju respirasi konsumsi O2 dan produksi CO2 terbukti memiliki tingkat

3.09 3.84 4.25 4.51 y = -7378.6x + 30.237 R² = 0.9530 y = -6832x + 28.266 R² = 0.9467 1 2 3 4 5 6

3.45E-03 3.50E-03 3.55E-03 3.60E-03 3.65E-03 3.70E-03

ln

R

Temperatur invers (1/T)

Konsumsi O₂ Produksi CO₂

22

akurasi yang tinggi dengan memperoleh nilai koefisien determinasi (R2) yang tinggi, dimana nilai R2 untuk O2 sebesar 0.9530 dan CO2 sebesar 0.9467.

Slope dari persamaan linier (Gambar 10) merupakan nilai Eai/R sehingga nilai Eai dapat ditentukan, sedangkan ln Roi diperoleh pada saat 1/T = 0. Untuk hasil perhitungan nilai Eai, Roi dan R2 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai Eai, Roi, dan R2 untuk O2 dan CO2 Laju respirasi Eai (kJ/mol) Roi (ml/kg jam) R 2 Konsumsi O2 61.35 1.35E+13 0.9530 Produksi CO2 56.80 1.89E+12 0.9467

Nilai energi aktivasi (Eai) yang diperoleh masih dalam batas normal yang direkomendasikan untuk energi aktivasi sayuran. Exama et al. 1993 mengemukakan bahwa Ea normal untuk sayuran dan buah berkisar antara 29-93 kJ/mol. Hasil yang sama dijelaskan oleh Torrieri et al. (2010) pada tanaman dengan genus yang sama yaitu Brassica rapa var. sylvestris memiliki nilai Ea sebesar 70±8 kJ/mol dan 69±9 kJ/mol berturut-turut untuk O2 dan CO2.

Dari nila Eai dan Roi dibuat persamaan Arrhenius yang selanjutnya digunakan untuk memprediksi laju respirasi pada setiap suhu. Grafik laju respirasi (konsumsi O2 dan produksi CO2) hasil pendugaan (prediksi) dibandingkan dengan nilai laju respirasi hasil perhitungan (observasi). Hasil tersebut digunakan untuk melihat akurasi dari model yang telah dibuat.

Gambar 11 Perubahan nilai laju respirasi (O2 dan CO2) prediksi dan observasi terhadap berbagai suhu penyimpana

Grafik (Gambar 11) menunjukkan bahwa hasil prediksi laju respirasi menggunakan model Arrhenius memiliki tingkat signifikansi yang tinggi. Hal tersebut dibuktikan dengan terlihatnya titik yang hampir berhimpitan antara nilai observasi dan prediksi. Titik yang berhimpitan ini menandakan bahwa nilai laju

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 0 5 10 15 20 25 L aj u r esp ir asi ( m l/k g j am ) Suhu (ºC) Prediksi O₂ Observasi O₂ Prediksi CO₂ Observasi CO₂

respirasi hasil prediksi tidak berbeda jauh dengan nilai yang dihasilkan pada pengukuran langsung (observasi) laju respirasi brokoli terolah minimal.

Pengaruh Plastik Kemasan dan Suhu Penyimpanan Terhadap Komposisi Gas dan Mutu Brokoli Terolah Minimal

Variabel yang diamati dalam percobaan tahap kedua pada penyimpanan brokoli terolah minimal dengan menggunakan jenis kemasan plastik yang berbeda (stretch film, white stretch film dan LDPE) serta suhu penyimpanan yang berbeda (5 oC dan 10 oC) meliputi perubahan konsentrasi O2 maupun CO2 selama dalam kemasan, kadar klorofil, susut bobot, kadar air, dan vitamin C.

Konsentrasi O2 dan CO2 dalam kemasan

Produk yang dikemas merupakan produk yang masih melakukan metabolisme, sehingga dalam proses pengemasan perlu memperhatikan beberapa hal diantaranya yaitu kemasan tidak boleh kedap gas dan dapat memberikan efek atmosfer termodifikasi. Untuk mengetahui efek dari pengemasan terhadap konsentrasi O2 dan CO2 maka dilakukan pengukuran terhadap konsentrasi O2 dan CO2 didalam kemasan dengan alat continuous gas analyzer dan portable oxygen tester. Pengamatan perubahan konsentrasi gas didalam kemasan dilakukan setiap hari pada suhu 5 oC dan 10 oC. Perbandingan perubahan konsentrasi O2 dan CO2 pada berbagai kemasan disajikan pada Gambar 12 dan 13.

Gambar 12 Perubahan konsentrasi O2 dan CO2 pada berbagai kemasan selama penyimpanan suhu 5 oC 0 5 10 15 20 25 0 5 10 15 20 25 Ko n sen trasi g as ( % )

Waktu penyimpanan (hari)

SF 5 O₂ WSF 5 O₂ LDPE 5 O₂ SF 5 CO₂ WSF 5 CO₂ LDPE 5 CO₂

24

Gambar 13 Perubahan konsentrasi O2 dan CO2 pada berbagai kemasan selama penyimpanan suhu 10 oC

Berdasarkan Gambar 12 dan 13, plastik LDPE menunjukkan penurunan konsentrasi O2 hingga mencapai 20.27 % dan kenaikan CO2 sebesar 1.5 % pada suhu 5 oC dan 18.95 % O2 dan 3.61 % CO2 pada suhu 10 oC. Sementara jenis plastik yang lain tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dari kondisi udara normal. Jia et al. (2009) merekomendasikan kondisi atmosfer yang baik untuk memperpanjang umur simpan brokoli terolah minimal pada plastik polietilen yaitu 2% O2 dan 13% CO2. Namun dilihat dari Gambar 12 dan 13 konsentrasi yang diharapkan tidak dapat tercapai. Hasbullah (2010) dalam tulisannya menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan O2 dan CO2 dalam kemasan antara lain adalah faktor produk (varietas, berat, respirasi), faktor bahan pengemas (jenis plastik, ketebalan, luas permukaan, permeabilitas) dan faktor lingkungan (suhu dan kelembaban). Diduga hasil yang berbeda ini diakibatkan karena pengemasan yang dilakukan hanya mendekati desain yang digunakan. Pada penelitian ini digunakan jenis MAP pasif, dimana efek modifikasi atmosfer hanya mengandalkan dari interaksi antara kemasan dan produk yang dikemas. Sementara jenis varietas, berat bahan yang dikemas, dan luas kemasan yang digunakan memang berbeda. Hal tersebut membuktikan bahwa berat bahan yang dikemas, nilai laju respirasi, luas kemasan, ketebalan kemasan dan permeabilitas film sangat mempengaruhi komposisi gas didalam kemasan.

Pengetahuan tentang teknik pengemasan secara modified atmosphere packaging (MAP) menjadi hal penting dalam penanganan produk terolah minimal. Kemungkinan lain yang menjadi penyebab tidak tercapainya konsentrasi O2 dan CO2

yang direkomendasikan adalah adanya kesalahan saat proses pengukuran. Kebocoran gas merupakan kesalahan yang umum terjadi pada pengukuran konsentrasi gas didalam kemasan. Selain itu tingkat ketelitian alat yang digunakan dapat menjadi kendala dalam mendapatkan hasil yang lebih akurat. Namun demikian konsentrasi didalam kemasan masih mendekati kondisi atmosfer normal, sehingga proses fisiologis produk didalam kemasan tidak terganggu.

Pada pengamatan konsentrasi O2 dan CO2 dalam hubungannya dengan permeabilitas plastik kemasan, dimana LDPE memiliki nilai permeabilitas terkecil disusul oleh WSF dan strech film (Lampiran 2). Semakin rendah nilai

0 5 10 15 20 25 0 5 10 15 20 Ko n sen tr asi g as (%)

Waktu penyimpanan (hari)

SF 10 O₂ WSF 10 O₂ LDPE 10 O₂ SF 10 CO₂ WSF 10 CO₂ LDPE 10 CO₂

permeabilitas plastik kemasan, konsentrasi O2 semakin rendah dan CO2 semakin tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa besarnya perembesan gas berbanding lurus dengan nilai permeabilitas, dimana semakin kecil permeabilitas plastik maka perembesannya semakin sedikit; dan sebaliknya semakin tinggi permeabilitasnya, maka perembesan gas semakin besar.

Klorofil

Perubahan tingkat klorofil dalam jaringan sayuran merupakan indeks yang baik bagi penentuan proses penuaan yang terjadi pada sayuran hijau setelah dipanen. Perubahan kadar klorofil brokoli terolah minimal selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 14 dan 15.

Gambar 14 Perubahan kadar klorofil brokoli terolah minimal pada suhu 5oC

Gambar 15 Perubahan kadar klorofil brokoli terolah minimal pada suhu 10oC Hasil pengukuran kadar klorofil menunjukkan bahwa pada awal pengujian, brokoli memiliki kandungan klorofil sebesar 0.73 mg/g. Dari grafik (Gambar 15) menunjukkan penurunan kadar klorofil pada suhu 5 oC di akhir penyimpanan

0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 0 4 8 12 16 20 T otal klorof il ( mg /g )

Waktu penyimpanan (hari)

SF 5 WSF 5 LDPE 5 KONTROL 5 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 0 4 8 12 T ota l klor of il (mg /g )

Waktu penyimpanan (hari)

SF 10 WSF 10

26

berkisar antara 0.48-0.53 mg/g. Sedangkan pada suhu 10 oC hanya berkisar antara 0.25-0.37 mg/g. Sabir (2012) menyatakan batas penerimaan kandungan klorofil untuk brokoli adalah 0.388 mg/g. Sehingga suhu 5 oC terbukti dapat mempertahankan kandungan klorofil hingga akhir penyimpanan (20 hari). Menurut Utama (2007) sayuran hijau yang memiliki warna kuning melewati 10% tidak layak dipasarkan lagi karena sudah tidak segar.

Degradasi klorofil yang lebih cepat pada suhu 10 oC disebabkan oleh laju respirasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu 5 oC. Laju respirasi yang tinggi mengakibatkan aktivitas enzim semakin tinggi termasuk enzim pendegradasi klorofil yaitu enzim klorofilase. Able et al. (2005) menyatakan bahwa tingkat respirasi yang tinggi menyebabkan peningkatan induksi enzim yang terlibat dalam degradasi klorofil yaitu enzim klorofilase. Sementara rendahnya penurunan kandungan pigmen klorofil pada penyimpanan suhu 5 oC diduga karena suhu 5 °C sudah dapat mengurangi aktifitas enzim klorofilase yang merusak klorofil. Pada suhu 5 oC degradasi klorofil berjalan lambat atau sintesis klorofil sebanding dengan lama waktu degradasi kandungan klorofil maksimum. Hansen et al. (2001) menyatakan bahwa penyimpanan pada suhu rendah dapat mengurangi aktifitas enzim klorofilase sebanyak 50%.

Faktor yang berpengaruh dalam pembentukkan warna kuning adalah hormon asam absisat dan etilen. Kedua hormon ini memicu terjadinya penuaan yang menyebabkan hilangnya klorofil, RNA, protein, dan memacu terbentuknya karotenoid. Hilangnya warna hijau merupakan peralihan dari fungsi kloroplas ke kromoplas yang mengandung pigmen karotenoid. Degradasi klorofil menyebabkan pigmen karotenoid yang sebelumnya sudah ada dalam jaringan mendominasi pembentukan warna biru yaitu kuning, kandungan karotenoid, graniol bebas dan asam mevalonat bebas yang merupakan prekursor terbentuknya karoten akan meningkat selama proses pematangan (Syaefullah 2008).

Susut Bobot

Susut bobot yang terjadi pada brokoli terolah minimal akan mereduksi keindahan penampakan dan tingkat penerimaan konsumen yang menimbulkan kerugian secara ekonomis. Susut bobot merupakan salah satu parameter mutu fisik yang menunjukkan tingkat dari kesegaran komoditi sayuran. Semakin tinggi susut bobot, maka sayuran tersebut semakin berkurang kesegarannya. Grafik perubahan susut bobot brokoli terolah minimal selama penyimpanan disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16 Perubahan susut bobot brokoli terolah minimal (suhu 5 oC dan 10 oC) Grafik 16 menunjukkan peningkatan susut bobot pada semua perlakuan selama penyimpanan. Hal ini mengindikasikan telah terjadi pengurangan bahan organik akibat respirasi. Jika dilihat dari persen susut bobot, brokoli yang disimpan pada suhu 10 oC mengalami peningkatan susut bobot lebih tinggi dibandingkan yang disimpan pada suhu 5 oC. Proses respirasi berpengaruh terhadap susut bobot karena menyumbang hilangnya air melalui proses pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu karbondioksida dan H2O (air). Semakin tinggi laju respirasi produk maka semakin besar susut bobot yang terjadi. Laju respirasi brokoli dipengaruhi secara nyata oleh suhu penyimpanan yaitu semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju respirasinya semakin besar (Aminudin 2010).

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7) suhu dan kemasan memberikan pengaruh nyata terhadap persentase susut bobot brokoli terolah minimal selama penyimpanan. Setelah diuji lanjut, perlakuan kontrol atau tidak dikemas terbukti memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap perlakuan yang dikemas. Dari Gambar 16 terlihat bahwa peningkatan susut bobot terbesar terjadi pada brokoli yang tidak dikemas. Selama penyimpanan selain terjadi respirasi juga terjadi transpirasi yaitu penguapan air dari permukaan komoditi hortikultura yang menyebabkan kekeringan dan kelayuan. Kehilangan air akibat penguapan (transpirasi) yang terjadi terus menerus mengakibatkan produk mengalami susut bobot (Winarno 2002). Adanya barier berupa kemasan plastik akan melindungi produk dari proses respirasi dan transpirasi yang lebih cepat. Hasil yang sama dilaporkan oleh Jia et al. (2009) pada brokoli terolah minimal yang tidak dikemas terjadi kehilangan bobot paling tinggi dibanding brokoli yang dikemas plastik.

Susut bobot yang terjadi secara umum disebabkan oleh proses respirasi yang mengubah gula menjadi CO2 dan H2O untuk menghasilkan energi (Wills et al. 1981), serta transpirasi yang dilakukan oleh jaringan tanaman hingga tercapai kadar air kesetimbangan dengan lingkungan. Namun, adanya permeabilitas pada kemasan plastik akan menekan laju keluar masuknya uap air. Permeabilitas plastik akan meningkatkan kelembaban di dalam kemasan. Apabila konsentrasi uap air di dalam kemasan tinggi maka penguapan akan berkurang. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penggunaan kemasan yang dikombinasikan dengan

0 10 20 30 40 50 60 70 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 Su su t b o b o t (%)

Waktu penyimpanan (hari)

SF 5 WSF 5 LDPE 5 Kontrol 5 SF 10 WSF 10 LDPE 10 Kontrol 10

28

penyimpanan suhu rendah dapat mengurangi laju respirasi dan transpirasi sehingga tercapai susut bobot minimal pada produk selama penyimpanan.

Kadar Air

Kehilangan air merupakan penyebab utama kerusakan pada produk hortikultura khususnya sayuran selama penyimpanan. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perlakuan kemasan memberikan pengaruh nyata pada kadar air brokoli yang dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) dengan taraf nyata 5% (Lampiran 8). Pada perlakuan kemasan, hanya perlakuan kontrol (tanpa kemasan) yang memberikan nilai berbeda. Hasil pengukuran kadar air brokoli selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 17 dan 18.

Gambar 17 Perubahan kadar air brokoli terolah minimal pada suhu 5 oC

Gambar 18 Perubahan kadar air brokoli terolah minimal pada suhu 10 oC 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Ka da r air (% )

Waktu penyimpanan (hari)

SF 5 WSF 5 LDPE 5 KONTROL 5 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Ka da r air (% )

Waktu penyimpanan (hari)

SF 10 WSF 10 LDPE 10 KONTROL 10

Pada Gambar 17 dan 18 menunjukkan bahwa kadar air brokoli terolah minimal pada setiap perlakuan mengalami penurunan. Perlakuan kontrol (tidak dikemas) pada setiap suhu penyimpanan menunjukkan penurunan kadar air terbesar. Pada perlakuan kontrol kadar air bahan hanya 77.71% dan 69.95% berturut-turut untuk suhu 5 oC dan 10 oC di akhir penyimpanan. Sedangkan kadar air brokoli yang dikemas berkisar antara 89.8-90.3% dan 88.2-90.5% berturut-turut untuk suhu 5 oC dan 10 oC. Hal tersebut membuktikan adanya peran penting kemasan dalam melindungi kadar air brokoli terolah minimal selama penyimpanan. Proses respirasi dan transpirasi terus berlangsung tanpa adanya penggantian air yang teruapkan menyebabkan sayuran mengering pada kondisi penyimpanan yang terbuka (Kader 2013).

Banyaknya air yang hilang dapat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban relatif dalam ruangan penyimpanan. Bila suhu tinggi dan kelembaban udara semakin rendah, maka transpirasi akan berlangsung lebih cepat yang menyebabkan kelayuan pada produk, penampakan yang kurang menarik, tekstur yang lunak serta penyebab utama terjadinya susut bobot.

Vitamin C

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7) terhadap pengujian vitamin C brokoli terolah minimal menunjukkan bahwa perlakuan suhu memberikan pengaruh nyata terhadap vitamin C brokoli terolah minimal selama penyimpanan meskipun tidak dapat diuji lanjut karena hanya terdapat dua taraf perlakuan. Grafik perubahan kandungan vitamin C pada dua suhu penyimpanan disajikan pada Gambar 19 dan 20.

Dapat dilihat pada gambar 19 dan 20 bahwa kandungan vitamin C brokoli terolah minimal selama penyimpanan sangat fluktuatif. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan sampel yang diuji pada setiap pengukuran, karena pengukuran vitamin C ini menggunakan metode titrasi secara destruktif sehingga sampel yang sama tidak dapat digunakan kembali.

Kedua grafik kadar vitamin C brokoli terolah minimal menunjukkan bahwa suhu 5 oC memiliki nilai yang lebih stabil dibandingkan suhu 10 oC yang mengalami peningkatan kadar vitamin C diakhir penyimpanan. Hal ini diduga karena pada suhu 5 oC vitamin C tidak mudah teroksidasi sehingga kandungannya tetap terjaga. Dijelaskan oleh Safaryani et al. (2007), stabilitas vitamin C biasanya meningkat dengan penurunan suhu penyimpanan, akan tetapi selama pembekuan terjadi kerusakan jaringan yang cukup besar pada bahan yang disimpan, sehingga menyebabkan stabilitas vitamin C menurun.

30

Gambar 19 Perubahan Vitamin C brokoli terolah minimal pada suhu 5 oC

Gambar 20 Perubahan Vitamin C brokoli terolah minimal pada suhu 10 oC

Kecenderungan peningkatan kadar vitamin C pada suhu 10 oC terjadi saat proses pelayuan. Meningkatnya kandungan vitamin C selama fase pelayuan terjadi akibat adanya pembentukan vitamin C yang berasal dari substrat glukosa 6-PO4. Pembentukan vitamin C ini terjadi pada jalur pentose pospat (pentose phosphate pathway) dan melibatkan senyawa intermediet lakton 6-PO4. Peningkatan

Dokumen terkait