Analisis Procrustes
Sebelum dilakukan analisis procrustes terlebih dahulu dilakukan Penskalaan Dimensi Ganda (PDG) untuk data jarak dan PDG untuk data indikator kerawanan pangan. Hasil masing-masing tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
PDG Gugus Data Jarak
Berdasarkan hasil PDG Gugus Data Jarak (Tabel 3) diperoleh nilai STRESS untuk melihat tingkat kesesuaian antara konfigurasi daerah berdasarkan jarak terhadap ukuran ketakmiripannya dan nilai nilai R2 untuk melihat proporsi keragaman jarak (distance) yang dapat dijelaskan oleh perbedaan (disparities).
Tabel 3 Penskalaan Dimensi Ganda Berdasarkan Jarak
Nilai STRESS Nilai R2
Konfigurasi
Jarak
lurus Jarak
Kilometer Jarak
lurus Jarak Kilometer Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara 0.0584 0.0613 0.9793 0.9776 Kabupaten di Provinsi Jawa Timur 0.0354 0.1208 0.9945 0.9405
Nilai STRESS untuk gugus data jarak garis lurus antar ibukota kabupaten di provinsi Sumatera Utara dan Jawa Timur masing-masing sebesar 5.84% dan 3.54%. Hasil PDG ini memiliki tingkat kesesuaian yang lebih baik dari pada PDG menggunakan jarak kilometer. Nilai STRESS jarak lurus tersebut mengindikasikan bahwa penskalaan konfigurasi memiliki tingkat kesesuaian yang cukup baik di provinsi Sumatera Utara dan Jawa Timur. Hal ini dapat ditelusuri melalui diagram pencar kesesuaian linear gugus data jarak yang ditampilkan pada Gambar 3, 4, 5 dan 6.
Disparities
Gambar 3 Diagram Pencar PDG Jarak Lurus Antar Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara
Gambar 4 Diagram Pencar PDG Jarak Kilometer Antar Kabupaten di
Gambar 5 Diagram Pencar PDG Jarak Lurus Antar Kabupaten di Provinsi Jawa Timur
Gambar 6 Diagram Pencar PDG Jarak Kilometer Antar Kabupaten di Provinsi Jawa Timur
PDG Gugus Data Indikator Kerawanan Pangan
Tabel 4 menunjukkan nilai STRESS dari kedua konfigurasi daerah berdasarkan indikator kerawanan pangan masing-masing 19.77% dan 23.65 %.
Mengacu pada studi empirik Kruskal (1976), angka tersebut mengindikasikan bahwa tingkat kesesuaian penskalaan pada ketiga konfigurasi tersebut tidak cukup baik, artinya indikator kerawanan pangan tidak dapat dicerminkan secara baik oleh jarak antar daerah.
Tabel 4 Penskalaan Dimensi Ganda Berdasarkan Indikator Kerawanan Pangan Nilai
Konfigurasi
STRESS R2
Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara 0.1977 0.7983 Kabupaten di Provinsi Jawa Timur 0.2365 0.7403
Ditinjau dari penskalaan data melalui hubungan linier, proporsi keragaman jarak (distance) yang dapat dijelaskan oleh perbedaan (disparities), masing-masing sebesar 78.83% dan 74.03%. Hubungan linier tersebut diperlihatkan melalui diagram pencar Gambar 7 dan 8. Kedua diagram pencar tersebut tidak membentuk garis lurus, tetapi hanya membentuk pola yang linier.
D ispa r itie s
Gambar 7 Diagram Pencar PDG Indikator Kerawanan Pangan di Provinsi Sumut
Gambar 8 Diagram Pencar PDG Indikator Kerawanan Pangan di Provinsi Jatim
Jika dua konfigurasi pada Gambar 9 dan 10 dibandingkan, maka terjadi pergeseran kelompok kabupaten. Berdasarkan PDG Jarak, Kabupaten Labuhan Batu, Dairi dan Tapanuli Utara berada pada kuadran yang berbeda, tetapi berdasarkan PDG indikator kerawanan pangan ketiga kabupaten tersebut berada pada kuadran yang sama. Indikator kerawanan pangan yang membuat tiga Kabupaten tersebut mirip adalah Persentase kepala rumah tangga yang tidak tamat pendidikan dasar, Persentase desa yang tidak memiliki akses jalan, Angka harapan hidup waktu lahir, dan Tingkat kematian bayi.
D im e n s io n 1
Gambar 9 Konfigurasi Daerah di Provinsi
Sumut berdasarkan PDG Jarak Lurus Gambar10 Konfigurasi Daerah di Provinsi Sumut berdasarkan PDG IKP
Fenomena yang sama juga terjadi di Provinsi Jawa Timur (Gambar 11 dan 12), berdasarkan PDG Jarak dan kondisi geografis, Kabupaten Banyuwangi, Bojonegoro dan Lamongan pada kuadaran/gerombol yang berbeda, tetapi berdasarkan PDG indikator kerawanan pangan ketiga kabupaten tersebut berada pada gerombolan yang sama. Indikator kerawanan pangan yang mirip pada tiga Kabupaten tersebut adalah Produksi Padi (tinggi), Persentase balita kurang gizi (sedang), dan Persentase perempuan buta huruf (sedang).
Gambar 11 Konfigurasi Daerah di Provinsi
Jawa Timur berdasarkan PDG Jarak Gambar 12 Konfigurasi Daerah di Provinsi Jatim berdasarkan PDG Indikator Kerawanan Pangan
Mengingat konfigurasi daerah berdasarkan jarak merupakan konfigurasi yang serupa dengan sebaran geografis daerah, maka konfigurasi tersebut ditetapkan sebagai target. Di sisi lain, konfigurasi daerah berdasarkan indikator kerawanan pangan ditetapkan sebagai sasaran yang ditransformasikan agar diperoleh kesesuaian yang optimal.
Berdasarkan data titik koordinat daerah yang disajikan pada Lampiran 2a dan 2 b, maka dibuat: a) koordinat titik, yaitu dimensi 1 dan 2 pada konfigurasi daerah berdasarkan jarak ditetapkan matriks data yang dijadikan sebagai target dalam penyesuaian; sedangkan b) dimensi 1 dan 2 pada konfigurasi daerah berdasarkan indikator kerawanan pangan.
Setelah melalui tiga tahap penyesuaian pada analisis procrustes, maka diperoleh hasil penyesuaian konfigurasi daerah berdasarkan indikator kerawanan pangan terhadap konfigurasi daerah berdasarkan jarak. Tabel 5 menunjukkan tingkat kesesuaian dari dua konfigurasi yang dibandingkan diukur melalui nilai R2.
Tabel 5 Nilai R2 Hasil Analisis Procrustes
Nilai R2 Sumatera Utara Jawa Timur
Jarak lurus 0.577040 0.36241
Jarak kilometer 0.502583 0.34447
Tingkat kesesuaian dari dua konfigurasi yang dibandingkan dapat diukur melalui nilai R2. Hasil penyesuaian konfigurasi menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian konfigurasi kabupaten berdasarkan indikator kerawanan pangan dan jarak garis lurus di Provinsi Sumatera Utara dan Jawa Timur, yaitu sebesar 57.704% dan 36.241%. Artinya, proporsi keragaman indikator kerawanan pangan yang dapat dijelaskan menurut jarak lurus antar kabupaten di kedua provinsi tersebut, masing-masing sebesar 50.2583% dan 34.447%. Penyesuaian ini lebih baik dari pada menggunakan jarak kilometer masing-masing 50.258% dan 34.447%.
Besarnya kontribusi yang disumbangkan oleh masing-masing kabupaten terhadap kuadrat sisaan (Tabel 6 dan 7), menunjukkan bahwa kabupaten Deli Serdang dan Sidoarjo masing-masing memberikan kontribusi terbesar untuk provinsi Sumatera Utara dan Jawa Timur, artinya kedua kabupaten tersebut adalah yang paling memberikan makna pada indikator kerawanan pangan. Hal ini ditunjukkan bahwa Kabupaten Deli Serdang menghasilkan produksi padi, ubi kayu dan ubi jalar tertinggi, Persentase Penduduk Miskin terendah, dan Persentase Penutupan Hutan terhadap Luas Wilayah terendah.
Tabel 6 Nilai Kuadrat Beda Antara PDG Jarak dan PDG Indikator Kerawanan Pangan Di Provinsi Sumatera Utara
No Kabupaten Beda Kuadrat beda
1 Asahan -0.9203 0.8469 2 Dairi 0.065 0.0043 3 Deli serdang 1.0688 1.1423 4 Karo -0.2154 0.0464 5 Labuhan Batu -0.6059 0.3671 6 Langkat -0.6618 0.4380 7 Simalungun 0.3118 0.0972 8 Tapanuli selatan 0.2467 0.0608 9 Tapanuli tengah 0.3069 0.0942 10 Tapanuli utara 0.4037 0.1630
Tabel 7 Nilai Kuadrat Beda antara PDG Jarak dan PDG Indikator Kerawanan Pangan di Provinsi Jawa Timur
No Kab Beda Kuadrat
beda No Kab Beda Kuadrat
beda
1 Banyuwangi -0.4959 0.2459 14 Mojokerto -0.7748 0.6004 2 Blitar 0.5231 0.2736 15 Nganjuk 1.0760 1.1578 3 Bojonegoro 1.1986 1.4366 16 Ngawi 1.6567 2.7455 4 Bondowoso -1.4097 1.9872 17 Pacitan 0.7036 0.4950 5 Gresik -1.0015 1.0030 18 Pasuruan -0.4103 0.1683 6 Jember -0.4803 0.2307 19 Ponorogo 0.7608 0.5789 7 Jombang 0.4023 0.1619 20 Probolinggo -0.7806 0.6094 8 Kediri 0.2656 0.0706 21 Sidoarjo -1.7055 2.9087 9 Lamongan 0.4312 0.1860 22 Situbondo -1.6962 2.8772 10 Lumajang -0.9257 0.8568 23 Trenggalek 0.2847 0.0811 11 Madiun 1.4929 2.2289 24 Tuban -0.2333 0.0544 12 Magetan 0.9619 0.9253 25 Tulungagung 0.5838 0.3408 13 Malang -0.4277 0.1829
Kabupaten Sidoarjo ditinjau dari Indikator kerawanan pangan merupakan Kabupaten yang terendah dalam hal : 1) Persentase kepala rumah tangga yang bekerja kurang dari 15 jam per minggu, 2) Persentase kepala rumah tangga yang tidak tamat pendidikan dasar; 3) Persentase rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas listrik, 4) Persentase desa yang tidak memiliki akses jalan, dan 5) Persentase perempuan buta huruf.
Analisis Spatial Autocorrelation
Ada 3 kelompok analisis spatial autocorrelation yang dilakukan yaitu spatial autocorrelation : 1) antar kabupaten, 2) kabupaten sentra pangan terhadap kabupaten lainnya; 3) ibukota provinsi terhadap kabupaten lainnya.
Pola Spasial antar Kabupaten
Dua cara yang dapat digunakan untuk melihat pola spasial (spatial autocorrelation) adalah melalui autocorrelogram dan Indeks Moran. Pada proses spatial autocorrelation - autocorrelogram, langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan interval jarak antar lokasi sampel (kabupaten) yang berdekatan.
Kemudian autokorelasi dihitung antar pasangan kabupaten yang telah dikelompokkan menurut jarak yang dibuat, dan menyajikannya dalam bentuk autocorrelogram. Pola spasial pada autocorrelogram dapat dijadikan sebagai indikasi awal ada tidaknya spatial autocorrelation indikator kerawanan pangan antar daerah.
Pola yang sistematis mengindikasikan adanya spatial autocorrelation, yang mencerminkan bahwa indikator kerawanan pangan di suatu daerah dipengaruhi oleh daerah-daerah lain yang berdekatan di sekitarnya.. Bila dihasilkan pola acak, mengindikasikan bahwa tidak terdapat spatial autocorrelation. Nilai spatial autocorrelation positif menunjukkan bahwa indikator kerawanan pangan disuatu daerah ada kemiripan dengan daerah-daerah yang berdekatan di sekitarnya, sedangkan nilai spatial autocorrelation negatif menunjukkan tidak adanya kemiripan indikator kerawanan pangan antar daerah yang berdekatan. Pola spasial masing-masing indikator kerawanan pangan antar daerah di provinsi Sumatera Utara dan Jawa Timur yang divisualisasikan dalam bentuk autocorrelogram selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3a dan 3b.
Sebagian besar autocorrelogram indikator kerawanan pangan di provinsi Sumatera Utara memiliki pola yang tidak sistematis. Hal ini ditunjukkan oleh grafik yang turun naik tidak beraturan, hanya tiga (3) indikator kerawanan pangan yang memiliki pola yang agak sistematis. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak
indikator kerawanan pangan yang tidak memiliki spatial autocorrelation. Artinya, bahwa sebagian besar nilai peubah indikator kerawanan pangan di Sumatera Utara tidak terlalu dipengaruhi oleh nilai peubah indikator kerawanan pangan di kabupaten yang berdekatan.
Pola spasial indikator kerawanan pangan di Provinsi Jawa Timur cukup banyak yang sistematis (10 indikator kerawanan pangan), mengindikasikan bahwa cukup banyak indikator kerawanan pangan yang memiliki spatial autocorrelation.
Atau dapat dijelaskan bahwa sebagian besar nilai peubah indikator kerawanan pangan di Jawa Timur dipengaruhi oleh nilai peubah indikator kerawanan pangan di kabupaten yang berdekatan.
Identifikasi melalui autocorrelogram untuk menduga bahwa suatu indikator kerawanan pangan yang memiliki spatial autocorrelation perlu diuji. Pengujian ini untuk membuktikan adanya spatial autocorrelation. Salah satu alat uji standar untuk mengukur spatial autocorrelation yaitu Indeks Moran. Uji signifikansi terhadap Indeks Moran dilambangkan dengan nilai Z(I). Hipotesis yang akan diuji yaitu : H0 = 0 : Tidak terdapat spatial autocorrelation antar daerah; H1a > 0 : Terdapat spatial autocorrelation positif artinya kabupaten yang berdekatan mempunyai indikator kerawanan pangan yang mirip; H1b < 0 : Terdapat spatial autocorrelation negatif artinya kabupaten yang berdekatan mempunyai indikator kerawanan pangan yang tidak mirip.
Mengacu pada hubungan spasial antar daerah mengikuti Queen’s Move, dilakukan pengujian hipotesis dengan dua metoda pembobotan yang berbeda.
Pembobotan tersebut adalah : a) Pembobotan dengan nilai 1, apabila suatu daerah letaknya saling berdekatan dengan daerah lain, dan sebaliknya pembobotan dengan nilai 0 apabila letaknya tidak berdekatan; b) Pembobotan dengan nilai 1, apabila suatu daerah letaknya saling berdekatan dengan daerah yang serta terdapat akses jalan raya yang menghubungkan kedua daerah secara langsung, dan pembobotan dengan nilai 0 apabila sebaliknya. Akses jalan raya utama menjadi pertimbangan, karena berdasarkan kondisi jalan di Indonesia sebagian terhalang oleh sungai, pegunungan atau perbukitan, sehingga perlu dikaji pengaruh jalan raya terhadap pola spasial indikator kerawanan pangan antar daerah.
Hasil uji Indeks Moran dengan menggunakan taraf nyata 5% pada dua metode pembobotan yang berbeda menghasilkan keputusan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa faktor jalan raya tidak berpengaruh terhadap hubungan spasial indikator kerawanan pangan antar kabupaten di Sumatera Utara dan Jawa Timur. Hasil uji signifikansi spatial autocorrelation indikator kerawanan pangan di Sumatera Utara dan Jawa Timur disajikan pada Tabel 8 dan 9.
Tabel 8 Hasil Uji Signifikansi Spatial Autocorrelation Indikator Kerawanan Pangan di Sumatera Utara
Tanpa mempertimbangkan jalan raya Mempertimbangkan jalan raya No Indikator
I E(I) S(I) Z(I) Ztbl I E(I) S(I) Z(I) Ztbl 1 Padi -0.18 -0.08 0.21 -0,48 1.96 -0.02 -0.08 0.22 0.30 1.96 2 Jagung 0.26 -0.08 0.21 1,66 1.96 0.21 -0.08 0.22 1.33 1.96 3 Ubi Jalar -0.12 -0.08 0.21 -0.19 1.96 -0.06 -0.08 0.22 0.12 1.96 4 %Pddk Miskin 0.52 -0.08 0.21 2.89 1.96 0.35 -0.08 0.22 1.20 1.96 5 %RT<15 0.10 -0.08 0.21 0.86 1.96 0.17 -0.08 0.22 1.17 1.96 6 %TdkTmtSD -0.05 -0.08 0.21 0.18 1.96 0.10 -0.08 0.22 0.83 1.96 7 %TnpListrik 0.37 -0.08 0.21 2.19 1.96 0.39 -0.08 0.22 2.18 1.96 8 %TnpJalan 0.66 -0.08 0.21 3.54 1.96 0.68 -0.08 0.22 3.51 1.96 9 PDRB -0.14 -0.08 0.21 -0.25 1.96 0.01 -0.08 0.22 0.45 1.96 10 >5Km Puskes 0.11 -0.08 0.21 0.91 1.96 0.06 -0.08 0.22 0.64 1.96 11 TnpAirBrsh 0.22 -0.08 0.21 1.45 1.96 0.29 -0.08 0.22 1.71 1.96 12 Hrpn Hdp 0.21 -0.08 0.21 1.42 1.96 0.31 -0.08 0.22 1.79 1.96 13 BayiKrgGz -0.11 -0.08 0.21 -0.13 1.96 -0.14 -0.08 0.22 -0.27 1.96 14 Kmtian Bayi 0.25 -0.08 0.21 1.58 1.96 0.31 -0.08 0.22 1.80 1.96 15 Bt Hrf -0.14 -0.08 0.21 -0.27 1.96 -0.07 -0.08 0.22 0.08 1.96 16 FlukCrhHjn -0.18 -0.08 0.21 -0.47 1.96 -0.06 -0.08 0.22 0.08 1.96 17 %PntupnHjn 0.30 -0.08 0.21 1.85 1.96 0.,29 -0.08 0.22 1.71 1.96 18 LuasPanen -0.06 -0.08 0.21 0.11 1.96 -0.09 -0.08 0.22 -0.03 1.96
Tabel 9 Hasil Uji Signifikansi Spatial Autocorrelation Indikator Kerawanan Pangan di Jawa Timur
Tanpa mempertimbangkan jalan raya Mempertimbangkan jalan raya NO Indikator
I E(I) S(I) Z(I) Ztbl I E(I) S(I) Z(I) Ztbl 1 Padi 0.21 -0.04 0. 13 1.90 1.96 0,24 -0.04 0.15 1,86 1.96 2 Jagung -0.01 -0.04 0. 13 0.24 1.96 -0.01 -0.04 0.15 0.27 1.96 3 Ubi Jalar 0.40 -0.04 0. 13 3.36 1.96 0.39 -0.04 0.15 2.87 1.96 4 %Pddk Miskin 0.32 -0.04 0. 13 2.72 1.96 0.33 -0.04 0.15 2.46 1.96 5 %RT<15 0.28 -0.04 0. 13 2.48 1.96 0.36 -0.04 0.15 2.72 1.96 6 %TdkTmtSD 0.66 -0.04 0. 13 5.31 1.96 0.65 -0.04 0.15 4.68 1.96 7 %TnpListrik 0.26 -0.04 0. 13 2.25 1.96 0.32 -0.04 0.15 2.41 1.96 8 %TnpJalan 0.11 -0.04 0. 13 1.17 1.96 0.20 -0.04 0.15 1.60 1.96 9 PDRB 0.15 -0.04 0. 13 1.46 1.96 0.13 -0.04 0.15 1.14 1.96 10 >5Km Puskes 0.12 -0.04 0. 13 1.20 1.96 0.10 -0.04 0.15 0.96 1.96 11 TnpAirBrsh 0.35 -0.04 0. 13 2.98 1.96 0.35 -0.04 0.15 2.66 1.96 12 Hrpn Hdp 0.44 -0.04 0. 13 3.67 1.96 0.44 -0.04 0.15 3.27 1.96 13 BayiKrgGz 0.40 -0.04 0. 13 3.34 1.96 0.35 -0.04 0.15 2.62 1.96 14 Kmtian Bayi 0.69 -0.04 0. 13 5.58 1.96 0.70 -0.04 0.15 4.96 1.96 15 Bt Hrf 0.57 -0.04 0. 13 4,64 1.96 0.62 -0.04 0.15 4.46 1.96 16 FlukCrhHjn 0.09 -0.04 0. 13 1.02 1.96 0.05 -0.04 0.15 0.64 1.96 17 %PntupnHjn 0.22 -0.04 0. 13 1.96 1.96 0.25 -0.04 0.15 1.95 1.96 18 LuasPanen 0.05 -0.04 0. 13 0.70 1.96 0.18 -0.04 0.15 1.47 1.96
Secara keseluruhan hasil pengujian hipotesis, menunjukkan bahwa di Provinsi Sumatera Utara hanya 3 indikator kerawanan pangan yang berautokorelasi secara spasial positif. Indikator tersebut adalah Persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, Persentase rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas listrik, dan Persentase desa tanpa akses jalan, ketiganya merupakan indikator dari aspek Akses terhadap Pangan dan Pendapatan.
Persentase rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas listrik, dan Persentase desa tanpa akses jalan merupakan cerminan akses ke infrastruktur dasar. Daerah yang terhubung dengan baik oleh jalan akan menerima dukungan infrastruktur lain yang memperkuat mata pencaharian. Demikian juga akses terhadap listrik merupakan indikator yang baik untuk kesejahteraan ekonomi dan peluang mata pencaharian yang lebih tinggi dari suatu daerah. Akses terhadap infrastruktur akan berdampak pada tingkat kemiskinan suatu daerah.
Jika dilihat dari ketiga autocorrelogram indikator kerawanan pangan yang memiliki spatial autocorrelation tersebut (Lampiran 3), pola spasial indikator kerawanan pangan cukup sistematis. Jika jarak antar kabupaten kurang dari 50 km
memiliki nilai spatial autocorrelation positif sedangkan lebih dari 50 km bernilai spatial autocorrelation negatif. Sebagai contoh RT tanpa fasilitas listrik, indikator tersebut mirip pada jarak antar kabupaten 0-50 km, kemudian tidak mirip pada jarak 50 – 125 km, mirip lagi pada jarak 125 – 225 km, dan kembali tidak mirip pada jarak di atas 225 km.
Gambar 13 Autocorrelogram Rumah Tangga Tanpa Fasilitas Listrik (%) di Propinsi Sumatera Utara
Adanya spatial autocorrelation positif juga dapat dilihat dari Moran’s scatterplot-nya (Gambar 14), terutama pada kemiringan garis yang positif dan pencaran titik yang menyebar di kuadran HH dan kuadran LL. Pencaran titik-titik pada Moran’s scatterplot merupakan kabupaten untuk suatu indikator tertentu, sebagian besar daerah berada di kuadran I (HH) dan III (LL).
Zstd(% Pddk Miskin)
Gambar 14 Pencaran daerah di Provinsi Sumatera Utara dari Moran’s scatterplot berdasarkan Penduduk Miskin, RT Tanpa Listrik, dan Desa Tanpa jalan
Posisi pencaran titik pengamatan menentukan pola peta tematiknya.
Gambar 15 menunjukkan kelompok kabupaten yang memiliki pengamatan tinggi yang dikelilingi oleh daerah yang juga memiliki pengamatan tinggi (HH) untuk
indikator Persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan. Daerah yang mempunyai nilai yang mirip tersebut adalah kabupaten Dairi, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal. Kelompok kabupaten yang memiliki pengamatan rendah yang dikelilingi oleh daerah yang juga memiliki pengamatan rendah (LL) adalah Kabupaten Deli Serdang, Asahan dan Simalungun.
Gambar 15 Kemiripan Daerah di Provinsi Sumatera Utara dari Moran’s scatterplot berdasarkanPersentase Penduduk yang Hidup Dibawah Garis Kemiskinan
Mengacu pada Range Indikator Individu yang digunakan pada Peta Kerawanan Pangan Indonesia (Tabel 1), dilakukan modifikasi dengan pengurangan jumlah range dari 6 menjadi 3 kategori. Kategori dari masing-masing range adalah • 25 % : tinggi, 15 – 25% : sedang, < 15% : rendah. Tabel 10 dan Gambar 16 memperlihatkan nilai kelompok daerah yang mirip tersebut dan penggolongan Penduduk yang Hidup Dibawah Garis Kemiskinan.
Tabel 10 Pengelompokkan Kemiripan Daerah di Sumatera Utara berdasarkan Penduduk Yang Hidup Dibawah Garis Kemiskinan (%)
Kelompok Kabupaten HH Kelompok Kabupaten LL
Kabupaten Penduduk
Miskin Kategori Kabupaten Penduduk
Miskin Kategori
Tapanuli Utara 20.97 sedang Deli Serdang 8.3 rendah
Dairi 23.07 sedang Asahan 14.61 rendah
Mandailing natal 23.08 sedang Simalalungun 18.99 sedang
Tapanuli Selatan 24.76 sedang
Tapanuli Tengah 31.50 tinggi
Penduduk Miskin
= Daerah bernilai tinggi dikelilingi daerah bernilai tinggi = Daerah bernilai rendah dikelilingi daerah bernilai rendah = Daerah bernilai rendah dikelilingi daerah bernilai tinggi = Daerah bernilai tinggi dikelilingi daerah bernilai rendah
Gambar 16 Kerawanan Pangan Berdasarkan Indikator Individual Penduduk yang Hidup Dibawah Garis Kemiskinan
Berdasarkan indikator Persentase Rumah Tangga Tanpa Listrik (Gambar 17), memperlihatkan kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal berada pada kelompok kabupaten yang memiliki pengamatan tinggi yang dikelilingi oleh daerah yang juga memiliki pengamatan tinggi (HH).
Kelompok kabupaten yang memiliki pengamatan rendah yang dikelilingi oleh daerah yang juga memiliki pengamatan rendah (LL) adalah kabupaten Langkat, Karo, Deli Serdang, Toba Samosir, Simalungun dan Asahan.
Gambar 17 Kemiripan Daerah di Sumatera Utara dari Moran’s scatterplot Berdasarkan RT Tanpa FasilitasListrik
Sama seperti indikator sebelumnya, pada Persentase Rumah Tangga Tanpa Listrik juga dilakukan modifikasi range. Kategori dari masing-masing range adalah • 40 % : tinggi, 20 – 40% : sedang, < 20% : rendah. Tabel 11 dan Gambar 18 memperlihatkan nilai untuk dua kelompok daerah yang mirip tersebut dan penggolongan tingkat persentase Persentase Rumah Tangga Tanpa Listrik.
Tabel 11 Pengelompokkan Kemiripan Daerah di Sumatera Utaraberdasarkan Rumah Tangga Tanpa Listrik (%)
Kelompok Kabupaten HH Kelompok Kabupaten LL
Kabupaten RT Tanpa
Listrik (%) Kategori Kabupaten RT Tanpa
Listrik (%) Kategori
Tapanuli Tengah 23.63 sedang Karo 4.77 rendah
Tapanuli Selatan 25.67 sedang Simalungun 6.47 rendah
Mandailing Natal 49.77 tinggi Deli Serdang 6.62 rendah
Tobasa 8.19 rendah
Langkat 10.07 rendah
Asahan 13.01 rendah
Gambar 18 Kerawanan Pangan Berdasarkan Indikator Individual Persentase Rumah Tangga Tanpa Listrik
Berdasarkan indikator Persentase desa tanpa akses jalan (Gambar 19) ada enam kabupaten yang mirip, yang termasuk pada kelompok kabupaten yang memiliki pengamatan tinggi yang dikelilingi oleh daerah yang juga memiliki pengamatan tinggi (HH). Daerah tersebut adalah kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal. Kelompok kabupaten yang memiliki pengamatan rendah yang dikelilingi oleh daerah yang juga memiliki pengamatan rendah (LL) adalah Kabupaten Langkat, Karo, Deli Serdang, Toba Samosir, Simalungun dan Asahan.
Gambar 19 Kemiripan Daerah di Propinsi Sumatera Utara dari Berdasarkan Persentase Desa Tanpa Akses Jalan
Seperti pada indikator Penduduk yang Hidup Dibawah Garis Kemiskinan, maka pada indikator Desa Tanpa Akses Jalan dilakukan juga modifikasi dengan melakukan pengurangan jumlah range dari 6 menjadi 3 kategori. Kategori dari masing-masing range adalah • 25 % : tinggi, 15 – 25% : sedang, < 15% : rendah.
Tabel 12 dan Gambar 20 memperlihatkan nilai untuk masing-masing kelompok daerah yang mirip tersebut dan penggolongan tingkat persentase Desa Tanpa Akses Jalan.
Tabel 12 Pengelompokkan Kemiripan di Sumatera UtaraDaerah berdasarkan Desa Tanpa Jalan (%)
Kelompok Kabupaten HH Kelompok Kabupaten LL
Kabupaten Desa Tanpa
Jalan Kategori Kabupaten Desa Tanpa
Jalan Kategori
Tapteng 11.2 sedang Langkat 2.8 rendah
Tapsel 14.0 sedang Karo 3.1 rendah
Man-Nat 19.8 sedang Deli Serdang 3.8 rendah
Tobasa 4.1 rendah
Simalungun 4.8 rendah
Asahan 9.1 rendah
Dari ketiga indikator kerawanan pangan yang memiliki spatial autocorrelation dan peta tematik yang dihasilkan, kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal selalu berada pada gerombol sama yang mencerminkan akses terhadap pangan dan pendapatan yang rendah. Kenyataan ini sama dengan apa yang dihasilkan oleh Peta Kerawanan Pangan, bahwa kabupaten Mandailing Natal berada pada kondisi rawan, dan kabupaten Tapanuli Selatan pada kondisi agak rawan. Dan dari penelitian ini bisa melihat penyebab kerawanan pangan tersebut, yaitu akibat kemiskinan dan terbatasnya akses ke Gambar 20 Kerawanan Pangan Berdasarkan Indikator Individual Desa Tanpa Akses Jalan
infrastuktur dasar. Penanggulangan masalah ini dapat diatasi bersama-sama oleh Pemda dari kabupaten –kabupaten yang berautokorelasi spasial tersebut diatas.
Berbeda dengan kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, di Provinsi Jawa Timur cukup banyak Indikator Kerawanan Pangan (10 indikator) yang berautokorelasi secara spasial yaitu : 1) Aspek Produksi (Produksi ubi jalar); 2) Aspek Akses terhadap Pangan dan Pendapatan (4 indikator yaitu : Persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, Persentase kepala rumah tangga yang bekerja kurang dari 15 jam per minggu, Persentase kepala rumah tangga yang tidak tamat pendidikan dasar, Persentase rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas listrik); 3) Aspek Pemanfaatan/Penyerapan Pangan (5 indikator yaitu Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih, Angka harapan hidup, Persentase balita kurang gizi, Tingkat kematian bayi, dan Persentase perempuan buta huruf ).
Beberapa indikator kerawanan pangan dari dimensi kedua (Akses terhadap Pangan dan Pendapatan) yang memiliki spatial autocorrelation antar kabupaten di Provinsi Jawa Timur, antara lain Persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, angka harapan hidup dan angka kematian bayi dapat diartikan bahwa penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, angka harapan hidup dan angka kematian bayi pada setiap kabupaten di Provinsi Jawa Timur dipengaruhi oleh kabupaten lain disekitarnya yang berdekatan. Nilai Z-score sebesar 2.718; 3.674 dan 5,583 menunjukkan bahwa Persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, Angka harapan hidup dan Angka kematian bayi tersebut memiliki spatial autocorrelation positif, artinya kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang berdekatan memiliki Persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, Angka harapan hidup dan Angka kematian bayi yang relatif mirip.
Salah satu autocorrelogram indikator kerawanan pangan yang berautokorelasi spasial positif ditampilkan pada Gambar 21. Autocorrelogram tersebut memperlihatkan bahwa Angka harapan hidup antar kabupaten di Jawa Timur mirip pada jarak 0-125 km, dan tidak mirip pada jarak diatas 125 km.
-0.6
Gambar 21 Autocorrelogram Indikator “Angka Harapan Hidup” Antar Kab.
di Jawa Timur
Spatial autocorrelation positif ini juga ditunjukkan oleh hasil Moran’s scatterplot secara lengkap pada Lampiran 4. Sebagai contoh, tiga Moran’s scatterplot indikator kerawanan pangan yang mencerminkan dimensi akses pangan dan pendapatan ditampilkan pada Gambar 22, yang memperlihatkan bahwa sebagian besar daerah berada di kuadran I (HH) dan III (LL).
Zstd(% Pddk Miskin)
Gambar 22 Pencaran Daerah di Propinsi Jawa Timur berdasarkan Moran’s scatterplot indikator Penduduk Miskin , KK Tidak Tamat SD, RT Tanpa Listrik
Berdasarkan Moran’s scatterplot indikator Persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, Tidak tamat SD, RT tanpa listrik tersebut dihasilkan peta tematik. Peta tematik Persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan (Gambar 23) memperlihatkan bahwa enam kabupaten yang berdekatan (Nganjuk, Jombang, Ngawi, Lamongan, Bojonegoro, Tuban) merupakan kelompok kabupaten yang memiliki pengamatan tinggi yang dikelilingi oleh daerah yang juga memiliki pengamatan tinggi (HH). Terdapat juga sembilan kabupaten lain yang berdekatan : Sidoarjo, Tulungagung, Mojokerto,
Blitar, Malang, Kediri, Lumanjang, Nganjuk, dan Pasuruan, yang merupakan kelompok kabupaten yang memiliki pengamatan rendah yang dikelilingi oleh daerah yang juga memiliki pengamatan rendah (LL).
Gambar 23 Kemiripan Daerah di Provinsi Jawa Timur dari Moran’s scatterplot berdasarkanPersentase Penduduk yang Hidup Dibawah Garis Kemiskinan
Gambar 23 Kemiripan Daerah di Provinsi Jawa Timur dari Moran’s scatterplot berdasarkanPersentase Penduduk yang Hidup Dibawah Garis Kemiskinan