• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Tahap I

Penelitian tahap I dimaksudkan untuk mempelajari proses pengolahan khitosan menjadi CMC. Hasil rendemen yang diperoleh pada pengolahan khitosan larut air ini berkisar antara 91.66 % sampai 98.82 %. Untuk hasil terendah terdapat pada perlakuan suhu 50 oC, sedangkan hasil tertinggi terdapat pada perlakuan suhu 90 oC dengan perlakuan alkalinasi natrium hidroksida 60 % dari khitosan hasil deasetilasi selama 72 jam.

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa viskositas CMC yang dihasilkan sangat bervariasi. Hasil analisis viskositas tertinggi dihasilkan pada perlakuan suhu 70 oC yaitu sebesar 338.33 Cps dan viskositas terendah terdapat pada perlakuan suhu 50 oC adalah sebesar 123.67 Cps. Dari hasil sidik ragam ternyata diperoleh hasil yang berbeda nyata (P<0.05) pada semua perlakuan, dimana perlakuan suhu 50 oC berbeda nyata dengan perlakuan suhu 70 oC dan 90 oC, demikian juga dengan perlakuan suhu 70 oC berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan suhu 90 oC. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi suhu maka viskositas CMC akan semakin menurun (Lampiran 1).

Viskositas CMC tidak menunjukkan kecenderungan yang jelas. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi viskositas seperti lama proses karboksimetilasi, suhu dan konsentrasi NaOH yang digunakan. Pada proses ini biasanya membutuhkan waktu proses yang lebih lama, penggunaan suhu dan konsentrasi NaOH yang tinggi akan berakibat pada menurunnya nilai viskositas CMC yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh proses depolimerisasi (pemutusan rantai polimer) sehingga menghasilkan khitosan dengan rantai yang lebih pendek.

Kelarutan CMC juga menunjukkan tingkat kelarutan yang bervariasi. Tingkat kelarutan CMC berkisar antara 95.08 % sampai 99.84 %. Kelarutan CMC tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu 70 oC, sedangkan hasil terendah dihasilkan pada perlakuan suhu 50 oC. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam ternyata kelarutan diperoleh hasil yang berbeda nyata (P<0.05) antara perlakuan suhu 50 oC dengan perlakuan suhu 70 oC dan 90 oC, sedangkan perlakuan suhu 70 oC tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan perlakuan suhu 90 oC. Hal ini

menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan suhu maka kelarutan CMC akan meningkat, yang berarti bahwa perlakuan suhu karboksimetilasi berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kelarutan CMC (Lampiran 1).

Kalarutan suatu zat juga tergantung pada ukuran partikel dan struktur zat itu sendiri. Kelarutan naik dengan turunnya ukuran partikel sehingga sebelum dilarutkan dalam air, dilakukan penghalusan CMC yang setelah dikeringkan. Gambaran struktur seperti perbandingan gugus polar terhadap gugus nonpolar dari molekul akan mempengaruhi kelarutan zat tersebut. Bila ada gugus polar tambahan dalam molekul maka kelarutan dalam air meningkat seperti pada khitosan yang larut dalam air. Dengan adanya substitusi gugus karboksimetil dari asam-asam monokloroasetat pada struktur khitosan maka terdapat gugus polar tambahan dalam molekul yang menyebabkan CMC dapat larut dalam air.

Hasil viskositas dan kelarutan CMC tertinggi dari perlakuan suhu 70 oC. Hal ini dikarenakan khitosan tersebut mempunyai derajat deasetilasi tertinggi (63.51) sehingga mempunyai gugus amin paling banyak dalam struktur molekulnya. Gugus karboksimetil dari asam monokloroasetat akan menggantikan gugus hidroksil dan gugus amin dari struktur khitosan, sehingga dengan banyaknya gugus amin yang tersedia pada struktur khitosan akan meningkatkan substitusi gugus karboksimetil yang dapat meningkatkan hasil CMC. Dengan meningkatnya substitusi gugus karboksimetil ke gugus hidroksil maupun amin akan menyebabkan CMC yang dihasilkan semakin bersifat polar sehingga meningkatkan kelarutan dalam air. Jika CMC yang larut dalam air semakin banyak maka akan meningkatkan viskositas larutan.

Hasil analisis kadar air berkisar antara 17.12 % sampai 20.76 %. Kadar air tertinggi dihasilkan pada perlakuan suhu 50 oC dan kadar air terendah dihasilkan pada perlakuan suhu 70 oC. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu berpengaruh nyata terhadap kadar air CMC, dimana perlakuan 90 oC berbeda nyata dengan perlakuan suhu 50 oC dan 70 oC. Sedangkan perlakuan suhu 50 oC tidak berbeda nyata dengan perlakuan suhu 70 oC. Hal ini disebabkan oleh kontinuitas proses pengeringan yang tidak stabil, kelembaban yang tinggi dalam ruang penyimpanan dan kemampuan CMC dalam menyerap air juga relatif tinggi (Lampiran 1).

Nilai pH dihasilkan berkisar antara 4.33 sampai 4.57. Untuk nilai pH tertinggi dihasilkan pada perlakuan suhu 90 oC yaitu sebesar 4.49, sedangkan nilai pH terendah dihasilkan pada perlakuan suhu 70 oC sebesar 4.45. Nilai pH pada penelitian ini berada di bawah pH netral, demikian juga dengan penelitian Dwiyitno (2003) yang menghasilkan pH ≤ 4, tidak berbeda jauh dari penelitian sebelumnya. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap pH CMC. Pada penelitian ini juga untuk menghasilkan nilai pH netral sangat sulit dilakukan, karena dengan menambahkan natrium hidroksida akan menyebabkan semua larutan mengendap sehingga sulit dipisahkan dan tidak dapat ditarik dengan isopropil alkohol. Penambahan natrium hidroksida juga berpengaruh terhadap kualitas dan rendemen CMC yang dihasilkan (Lampiran 1).

Derajat deasetilasi merupakan suatu parameter yang sangat penting untuk menentukan mutu CMC. Derajat deasetilasi menunjukkan persentase gugus asetil yang terdapat dalam rendemen CMC. Semakin tinggi nilai derajat deasetilasi, maka gugus asetil yang terdapat dalam rendemen CMC tersebut akan semakin sedikit (Alamsyah 2000).

Derajat deasetilasi produk CMC yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 61.51–63.51 %. Secara umum derajat deasetilasi produk CMC yang dihasilkan masih di bawah standar mutu yang ditetapkan Protan Laboratories yaitu > 70 %. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu tidak berpangaruh nyata (P>0.05) pada semua perlakuan (Lampiran 1).

Penelitian Tahap II

Berdasarkan hasil analisis pada penelitian tahap I yang meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, protein, nitrogen), pH, rendemen, viskositas, kelarutan dan derajat deasetilasi, maka dari ketiga perlakuan suhu 50 oC, 70 oC dan 90 oC ternyata pada perlakuan 70 oC diperoleh hasil yang lebih baik dan lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Maka dari itu penelitian tahap II ini lebih terfokus pada pengolahan CMC hanya dengan satu perlakuan suhu saja, yaitu perlakuan suhu 70 oC dengan waktu deasetilasi khitosan 72 jam, dimana dari perlakuan tersebut diperoleh hasil karakterisasi CMC seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Spesifikasi Khitosan Larut Air

Parameter Spesifikasi Parameter* Spesifikasi* Penampakan Kadar Air (%) Kadar Abu (%) Warna Larutan Derajat Deasetilasi Viskositas (Cps) Kelarutan pH Rendemen (%) Protein (%) Nitrogen (%) Serbuk 18.88 + 0.50 1.07 + 0.09 Jernih 62.95 + 0.15 491.43 + 0.32 99.04 + 0.39 4.62 + 0.03 115.99 + 4.62 19.31 + 0.86 3.09 + 0.28 Penampakan Kadar air Bau Warna Larutan Derajat deasetilasi Derajat substitusi Viskositas (Cps) % ketidaklarutan pH

Kandungan logam berat (ppm) - Serbuk putih/ kuning muda < 15 % Tidak berbau Jernih 70 – 100 0 - 3 10 – 1000 < 1 % 7 – 9 < 10 - * http://www. Greatvistachemical.com/ biochemical/ carboxymethyl chitosan.html.

Penelitian tahap II ini juga bertujuan untuk mengetahui kadar toksisitas yang terkandung dalam CMC yang diaplikasikan pada tikus percobaan. Perlakuan terhadap tikus percobaan dilakukan dengan cara mencampur CMC dengan pakan dan dengan persentase CMC yang berbeda yaitu, perlakuan kontrol, 0.5 %, 1 %, 1.5 %, dan 2 % dari masing-masing jumlah pakan yang akan diberikan.

Setelah melalui masa pemeliharaan selama 21 hari, maka dilakukan analisis hispatologi (hati dan ginjal) dan biokimia darah yang meliputi kadar SGOT, SGPT, Kreatinin dan BUN.

Salah satu pemeriksaan klinis untuk mengetahui adanya kelainan pada hati adalah dengan memeriksa kadar SGOT dan SGPT. Kerusakan hati akut pada anjing mengakibatkan meningkatnya aktifitas SGOT dan SGPT, demikian juga pada kucing yang mengalami peradangan hati yang akut. Tingkat kerusakan hati dapat digambarkan dengan besarnya kadar enzim tersebut dalam serum (Friberg 1992).

Glutamic oxaloacetic aminotransferase (GOT) serum atau asam aspartat transferase (AST), merupakan salah satu enzim yang sering dikaitkan dengan kerusakan atau matinya sel hati. Enzim ini mengkatalis pemindahan bolak balik gugus amino antara asam amino aspartat dengan asam α ketoglutarat (Briefs 1992).

Hati merupakan organ paling banyak mengandung enzim aspartat transferase (AST). Adanya kerusakan pada hati dapat ditunjukkan oleh naiknya

kadar enzim AST serum atau SGOT (Widmann 1985) atau karena adanya kerusakan atau perbaikan jaringan hati, maka hati akan meningkatkan pengeluaran enzim AST (Focus On Hepatitis International 1997).

Hasil analisis kadar SGOT berkisar antara 137.77 U/l–157.33 U/l, dimana terjadi peningkatan pada perlakuan 1% dan menurun pada perlakuan 1.5% dan 2 %. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi persentase CMC yang diberikan akan mengakibatkan kadar SGOT menurun, artinya tidak terjadi kerusakan pada fungsi hati.

Enzim AST (SGOT) tidak spesifik untuk disfungsi hati, karena enzim ini juga ditemukan pada otot rangka, ginjal dan pankreas (Widmann 1985). Disamping AST, enzim juga dihubungkan dengan tingkat kerusakan sel hati adalah Alaninaminotransferase (ALT) atau Glutamat Pyruvic Transferase (GPT). Enzim ALT mengkatalis reaksi pemindahan gugus amino antara L-alanin dan asam α ketoglutarat menjadi piruvat dan glutamat.

Enzim ALT merupakan enzim yang spesifik ada pada hati. Peningkatan kadar enzim ini dalam darah dapat menunjukkan adanya kerusakan pada hati. Dilaporkan bahwa peningkatan SGPT pada anjing dapat terjadi karena adanya penyakit hati, degenerasi lemak pada hati, nekrosis hati dan tumor hati yang berat (Sustriawan 1999).

Berdasarkan hasil analisis kadar SGPT, maka kadar SGPT tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 55.28 U/l dan semakin menurun pada perlakuan lainnya, yang berarti bahwa semakin tinggi konsentrasi CMC yang diberikan akan mengakibatkan kadar SGPT semakin menurun secara nyata (P<0.01) dan hal ini berarti tidak terjadi kerusakan pada hati. Demikian juga bahwa kadar SGPT yang tinggi dapat digunakan sebagai indikator yang tepat untuk menunjukkan tingkat kerusakan hati jika tidak ada penyakit pada organ selain hati.

Hasil pembacaan hispatologi terhadap jaringan hati tikus percobaan terlihat bahwa pada konsentrasi CMC 0.5 % dan 1 % tidak ada perubahan, bahkan terjadi peningkatan jumlah sel kupffer dan bentuk jaringan hati terlihat sama seperti pada kontrol (Gambar 7). Perubahan sel mulai terlihat pada konsentrasi CMC 1.5 % dan 2 % dengan terjadinya degenerasi ringan pada sel

hati dan pertumbuhan sel-sel kupffer menjadi meningkat, yang berfungsi sebagai sel pertahanan atau sebagai imun sistem terhadap bahan (Gambar 8).

Gambar 7 Penampang melintang hati pada perlakuan kontrol (0 %)

Gambar 8 Penampang melintang hati pada perlakuan 1.5 %

Keterangan: A. Sel mengalami degenerasi ringan; B. Sel kupffer meningkat

Dengan semakin tingginya konsentrasi CMC yang masuk ke dalam tubuh, sel pada jaringan hati tidak memperlihatkan perubahan yang lebih berat. Hal ini diperkuat dengan analisis biokimia darah yang menunjukkan tidak adanya pengaruh pemberian CMC terhadap kadar SGOT dan SGPT. Kadar SGOT dan SGPT semakin menurun dengan meningkatnya konsentrasi CMC yang diberikan.

A

B A

A

Nilai SGOT darah tikus pada perlakuan kontrol dan perlakuan lainnya melebihi standar normal. Tingginya nilai SGOT tidak hanya bersumber dari hepatosit, tetapi dapat diperoleh dari sumber yang lain yaitu jantung, ginjal, pankreas, tulang dan otot (Davidson 1981). Hal ini karena SGOT dihasilkan dari pelepasan enzim glutamat oxaloasetat transaminase dalam darah. Oleh karena itu pengukuran SGOT tidak spesifik untuk mengetahui keadaan fungsi hati, walaupun tetap dapat digunakan untuk menilai keadaan hati dan organ lainnya. Selain itu SGOT sangat dipengaruhi oleh organ lain, nilai pengukuran juga sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain cara pengambilan darah, banyak sedikitnya serum darah yang diperoleh dan lama penyimpanan serum darah sebelum diperiksa.

Tabel 3 Hasil rata-rata kadar SGOT dan SGPT dalam darah Kadar dalam darah (U/l)

Perlakuan CMC (%)

Kadar SGOT Kadar SGPT 0 154,27 + 29.38a 55.28 + 6.63a 0.5 145.73 + 12.90a 42.30 + 3.78b 1 157.33 + 14.15a 53.55 + 4.67a 1.5 141.73 + 30.15a 47.31 + 9.14a 2 137.77 + 15.20a 50.49 + 2.59a Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata secara statistik menurut Duncan pada taraf uji 1 %.

Ginjal merupakan bagian utama dari sistem saluran ekskresi yang terdiri dari ginjal kiri dan ginjal kanan serta terletak di rongga perut bagian belakang, di bawah sekat rongga dada (diafragma). Bentuknya seperti kacang merah dan dibagian cekung terdapat pembuluh darah yang masuk ke dalam maupun ke luar ginjal. Di belakang pembuluh darah terletak saluran halus yaitu ureter yang menghubungkan ginjal dengan kantung urin (vesica urinaria) dan dari kantung urin ini, urin keluar lewat saluran uretra (Doxey 1983).

Ginjal terbagi dalam korteks dan medula, dimana di dalam korteks terdapat bagian yang dengan mata telanjang terlihat seperti butiran kasar disebut nefron. Tiap nefron merupakan inti fungsional dari ginjal (sebagian unit filtrasi ginjal) dan terdiri dari glomerulus dan tubulus bagian yang berfungsi sebagai penyaring (OSHA 1999). Semua darah yang akan disaring dan dibersihkan ginjal harus melalui glomerulus dan hasil saringan glomerulus masuk ke dalam tubulus ginjal untuk diolah lebih lanjut dan akhirnya menghasilkan urin. Di dalam ginjal inilah terjadi penyaringan zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh seperti urea,

kreatinin, amonia dan air dapat melewati saringan, sedangkan yang berguna bagi tubuh seperti protein terutama dengan ukuran molekul besar tidak melewati saringan ini, tetap dalam aliran darah (Japaries 1995).

Ginjal termasuk organ tubuh yang sangat rentan terhadap zat racun (toksin). Toksin dalam hal ini logam berat dapat masuk ke dalam darah melalui makanan, udara ataupun terserap melalui kulit. Di ginjal darah akan disaring dan zat yang akan dibuang akan dipekatkan, akibatnya toksinpun menjadi lebih pekat sehingga efek racunnya menjadi lebih nyata (Doxey 1983).

Hasil dari analisis toksisitas dalam ginjal terlihat bahwa pada konsentrasi 0.5 % dan 1 % tidak ada perubahan, sama seperti kontrol, sedangkan pada konsentrasi 1.5 % dan 2 % terjadi pembendungan ringan, artinya terjadi pertumbuhan sel baru yang berfungsi untuk memproteksi sel dari pengaruh bahan yang bersifat toksik.

Kadar kreatinin relatif lebih stabil dibandingkan dengan kadar BUN, karena nilai kreatinin kontrol dan semua perlakuan masih berada dalam kisaran normal (0.2–0.8 mg/dl) biarpun terdapat sedikit peningkatan seperti pada perlakuan 0.5 dan 1 % yaitu sebesar 0.82 dan 0.85 mg/dl. Akan tetapi pada perlakuan selanjutnya 1.5 dan 2 % kembali menurun menjadi 0.57 dan 0.65 mg/dl. Kestabilan ini mengindikasikan bahwa kreatinin tidak berpengaruh oleh asupan pakan, sehingga tidak terpengaruh oleh keberadaan senyawa-senyawa yang diduga bersifat antinutrisi maupun toksik. Menurut Girindra (1998), kadar kreatinin dalam serum sangat mantap, hampir tidak dipengaruhi oleh pakan, umur, sex, senam maupun diet dan peningkatan kreatinin terjadi jika fungsi ginjal terganggu. Secara hispatologi tidak ditemukan perubahan baik pada kontrol maupun perlakuan, walaupun terjadi sedikit kenaikan tetapi tidak mengganggu kestabilan kreatinin serum.

Tabel 4 Hasil rata-rata kadar Kreatinin dan BUN dalam darah Kadar dalam darah (mg/dl) Perlakuan CMC (%) Kreatinin BUN 0 0.76 + 0.16a 25.67 + 4.51a 0.5 0.82 + 0.20a 23.00 + 5.29a 1 0.85 + 0.18a 33.67 + 7.23a 1.5 0.57 + 0.14a 28.00 + 4.36a 2 0.65 + 0.03a 24.67 + 5.51a Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata secara statistic menurut uji Duncan pada taraf uji 1%.

Kadar BUN tertinggi diperoleh sebesar 33.67 mg/dl yaitu pada perlakuan 1 %, lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol yaitu sebesar 25.67 mg/dl dan BUN menurun sesuai dengan semakin tingginya konsentrasi CMC dalam pakan. Kadar BUN di atas normal ini dihasilkan pada semua perlakuan, sehingga tidak terjadi hambatan reaksi pembentukan ureum yang akhirnya menghasilkan ureum di atas standar normal (15–21 mg/dl). Sedangkan pada perlakuan kontrol, tingginya kadar BUN dipengaruhi oleh tingginya persentasi protein dalam pakan.

0 40 80 120 160 0% 0,50% 1% 1,50% 2%

Jumlah CMC dalam Pak an

P a ra m et er D a ra h

Creat inin BUN SGOT SGP T

Gambar 9 Pengaruh CMC terhadap biokimia darah

Dari hasil pembacaan hispatologi jaringan ginjal juga memperlihatkan bahwa dengan makin tingginya konsentrasi CMC yang diberikan tidak mengakibatkan adanya perubahan sel pada jaringan bagian kortex ginjal, artinya tidak ada perubahan seperti halnya pada perlakuan kontrol (Gambar 10), dimana susunan glomerulus dan tubulus masih teratur (Gambar 11).

Gambar 11 Penampang melintang ginjal pada perlakuan 2 % Keterangan: A. Glomerulus; B. Sel mengalami pembendungan ringan; C. Tubulus

Selama perlakuan, tikus tidak memperlihatkan perubahan tingkah laku ataupun tanda-tanda keracunan karena semua terlihat normal. Penimbangan berat badan dilakukan setiap hari selama 21 hari dengan berat badan rata-rata seperti terlihat pada Gambar 12.

100 120 140 160 180 200 220 240 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Hari k e - B e r a t ba da n ( g r ) 0% 0,5% 1% 1,5% 2%

Gambar 12 Grafik rata-rata berat badan tikus yang diberi CMC selama 21 hari

Hasil pengamatan terhadap konsumsi pakan harian terlihat bahwa tingkat konsumsi pakan dari semua tikus terdapat perbedaan pada semua perlakuan. Pakan yang diberi perlakuan persentase CMC hampir semuanya meninggalkan

A B

sisa pakan dalam jumlah yang bervariasi, sehingga tidak semua habis dikonsumsi dalam satu hari dari 20 g pakan per ekor tikus per hari. Perbedaan ini tidak terlepas dari kebiasaan makan tikus, karena setiap tikus mempunyai pola makan yang bervariasi pula. Hal ini berpengaruh kepada berat badan tikus secara keseluruhan kecuali pada perlakuan kontrol (Lampiran 4).

Serat makanan setelah masuk ke usus memiliki sifat dapat mengikat air, sehingga menyebabkan sisa-sisa makanan yang tidak tercerna oleh usus menjadi lebih berat, lebih besar dan lebih lunak, sehingga memungkinkan untuk bergerak melewati usus (saluran pencernaan) lebih cepat dan lebih teratur. Dengan makin pendeknya waktu transit sisa-sisa pencernaan di usus besar, maka komponen- komponen sisa pencernaan tersebut tidak sempat difermentasikan oleh bakteri usus, dan akibat lebih lanjut dapat menghindarkan adanya zat karsinogenik. Peranan lain serat makanan dapat menghindarkan obesitas (kegemukan) karena kandungan kalorinya rendah, dan dapat mengikat lemak dan protein untuk dikeluarkan bersama-sama feses (Aebi et al. 1981).

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Hari Ke- S isa P akan 0 % CMC 0.5 % CMC 1 % CMC 1.5 % CMC 2 % CMC

Gambar 13 Grafik rata-rata sisa pakan harian selama 21 hari

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan yang dicampuri CMC ini tidak menyebabkan kematian pada tikus putih sehingga dikatakan bahwa CMC ini termasuk bahan yang tidak beracun. Untuk pengujian toksisitas yaitu

pemberian pakan dengan persentase CMC 0.5 %, 1 %, 1.5 % dan 2 % sebanyak 20 g per hari per ekor tikus selama 21 hari, cenderung menunjukkan penurunan laju berat badan bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Artinya semakin tinggi persentase CMC yang diberikan, maka pertambahan laju berat badan tikus semakin menurun.

Dari hasil pemeriksaan histologi tidak menunjukkan adanya perubahan atau kerusakan jaringan hati dan ginjal tikus, hanya terjadi degenerasi sel ringan pada jaringan hati dengan tidak terjadinya penyempitan pada vena sentralis dan sel hati tetap utuh. Demikian juga pada jaringan ginjal yaitu dengan tidak terjadinya pembengkakan glomerulus dan tubulus. Pada jaringan ginjal sedikit terjadi pembendungan ringan terhadap sel-sel tubuli ginjal, namun demikian terjadi pula pertumbuhan sel-sel kupffer sebagai sel pertahanan atau imun sistem terhadap bahan yang bersifat toksik, sehingga tidak ditemukan adanya perubahan atau kerusakan yang berarti pada jaringan hati dan ginjal tikus.

Dokumen terkait