• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesempurnaan Sterilisasi

Pengamatan terhadap uji kekeruhan diperoleh data bahwa sebanyak 16 (53,33%) contoh dari 30 contoh susu UHT mengalami proses sterilisasi yang tidak sempurna sehingga dapat dikelompokkan sebagai “susu UHT”. Sedangkan sebanyak 14 (46,67%) contoh susu yang diperiksa telah mengalami sterilisasi sempurna, dikelompokkan sebagai “susu Steril” (Tabel 4).

Tabel 4 Hasil pengamatan pada uji kekeruhan

Katagori Jumlah Persentase Kode Contoh

Susu UHT 16 53,33% E1,E2,E3,E4,E8,E9,E10,E11,E18,E19, E20,E21,E22,E27,E28 dan E29 Susu Steril 14 46,67% E5,E6,E7,E12,E13,E14,E15,E16,E17,

E23,E24,E25,E26 dan E30

Hasil pengamatan tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam contoh susu UHT yang diperiksa, tidak seluruhnya mengalami proses UHT. Bylund (1995) menyebutkan bahwa pada industri susu komersial masih dimungkinkan adanya pemanasan dengan suhu yang tidak terkendali dengan baik sehingga suhu yang diterapkan tidak sesuai dengan suhu yang dipersyaratkan. Penerapan suhu yang terlalu tinggi atau rendah dapat menghasilkan susu yang terlalu masak atau masih ditemukan kandungan mikroba hidup pada produk akhir susu. Susu steril yang ditemukan pada penelitian ini dapat dimungkinkan akibat adanya penerapan suhu dan waktu pemanasan yang lebih tinggi dan lama dibandingkan dengan suhu UHT, yaitu 135 oC selama dua detik.

Teknik UHT yang umum diterapkan oleh industri pengolahan susu adalah teknis indirect heating, sedangkan di beberapa negara dipatuhi aturan yang melarang penerapan teknik UHT dengan direct heating untuk menghindari adanya benda asing yang dimungkinkan masuk dan mencemari susu pada proses pengaliran panas secara kontak langsung dengan susu. Pada teknik indirect heating suhu yang diterapkan lebih tinggi daripada suhu pada teknik direct heating. Suhu media pemanas hendaknya lebih tinggi 2-3 oC dari suhu UHT.

Penerapan suhu media pemanas di atas 135±3 oC dari suhu UHT menyebabkan adanya koagulasi protein yang akan menimbulkan endapan pada logam perantara panas (Bylund 1995). Endapan tersebut dapat menghambat aliran panas dari media pemanas ke susu. Kompensasi untuk mendapatkan besaran suhu pada produk susu diperoleh dengan meningkatkan suhu media pemanas, namun koagulasi protein akan terjadi lagi dan meningkatkan endapan yang menempel pada logam perantara panas. Kondisi tidak terkendali seperti di atas mengakibatkan produk akhir susu yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diinginkan.

Produk susu yang mengalami pengolahan dengan suhu UHT mempunyai kandungan nutrisi yang berbeda dengan produk susu yang mengalami pengolahan dengan suhu sterilisasi. Susu UHT tidak banyak mengalami perubahan kandungan lemak, laktosa dan garam mineral. Akan tetapi vitamin larut air sebagian akan hilang. Proses UHT menyebabkan penurunan thiamin 3% dan lisin hingga 0,4 – 0,8% (Bylund 1995) dan bahkan mencapai 5,7% pada susu UHT dengan teknik indirect heating (Saleh 2004). Menurut Gillis (2005), kandungan lisin susu UHT akan menurun hingga 14% setelah penyimpanan selama enam bulan. Penurunan kandungan thiamin pada susu sterilisasi dapat mencapai 20-50% dan lisin hingga 6 – 10%. Kandungan asam folat pada susu UHT juga menurun hingga mencapai 50% pada susu sterilisasi (Gillis 2005; Saleh 2004). Riboflavin merupakan vitamin yang tahan terhadap suhu pemanasan. Namun, pada pemanasan langsung oleh sinar matahari dilaporkan terjadi penurunan kandungan riboflavin hingga 80%. Vitamin C juga peka terhadap suhu pemanasan, khususnya bila terdapat udara dan logam tertentu. Namun, proses pasteurisasi yang dilakukan dengan teknik indirect heating tidak akan menghilangkan kandungan vitamin C pada susu. Kasein merupakan salah satu protein yang relatif stabil pada suhu pemanasan. Pemanasan tinggi pada proses sterilisasi menyebabkan rusaknya protein whey yang terdiri atas α-laktalbumin dan β-lactoglobulin. Kerusakan

protein ini ditandai dengan munculnya hidrogen sulfida yang memberikan rasa “hangus” pada susu (Bylund 1995). Mutu protein selama penyimpanan juga akan rusak akibat reaksi Maillard (”browning reaction”). Ketiadaan jenis protein

  

29

tersebut menjelaskan mengapa pada uji kekeruhan tidak ditemukan gumpalan albumin setelah diberikan amonium sulfat jenuh.

Kerusakan kandungan nutrisi semakin besar pada susu yang mengalami proses sterilisasi. Oleh karena itu, rasa susu UHT lebih baik dan disukai masyarakat dibandingkan dengan rasa susu sterilisasi. Antara susu UHT yang dipanaskan dengan teknik direct dan indirect heating tidak mengakibatkan perubahan nyata terhadap kandungan nutrisi susu (Bylund 1995).

Keberadaan Listeria monocytogenes pada Contoh Susu UHT

Pengamatan pada media selektif oxford mengandung biakan contoh yang telah diperkaya dalam LEB, tidak ditemukan koloni L. monocytogenes setelah masa inkubasi 24 – 48 jam baik pada suhu 35 - 37 oC maupun pada suhu 4 oC. Pengujian ini tidak dilanjutkan ke tahap berikutnya dan hasil ini menunjukkan bahwa L. monocytogenes tidak ditemukan pada 16 contoh ”susu UHT” dan 14 contoh ”susu Steril” impor yang diperiksa. Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Varga (2007) bahwa L. monocytogenes, Salmonella spp dan coliform tidak terlacak pada susu UHT berasal dari pasar Hongaria. Tetapi, pada susu pasteurisasi terlacak coliform (<0.3 MPN/cm3), E. faecalis (<1 cfu/cm3),

S. aureus (<1 cfu/cm3), walaupun tidak ditemukan L. monocytogenes dan

Salmonella spp.

Penelitian Varga (2007) juga diperkuat oleh penelitian Harianja (belum publikasi) yang menggunakan contoh susu UHT yang sama dengan contoh susu pada penelitian ini, yaitu ditemukan pertumbuhan mikroba (total plate count/TPC) dengan presentase kualitatif 68,75% pada “susu UHT” dan 64,28% pada “susu Steril”. Ditemukan juga adanya pertumbuhan coliform , Bacillus cereus dan cendawan akan tetapi tidak ditemukan S. aureus. Jumlah mikroba yang ada pada susu pasteurisasi yang biasanya didominasi spora dan mikroba thermodurik, tergantung dari populasi mikroba awal susu mentah. Mikroba thermodurik tumbuh perlahan pada susu yang didinginkan, sedangkan mikroba psikrotropik Gram negatif sering ditemukan pada pasca pasteurisasi.

Metode pelacakan L. monocytogenes yang digunakan pada penelitian Varga (2007) mengacu pada ISO 11290-1 yang menggunakan dua tahap

pengayaan dalam media half Fraser (HF). Sedangkan pada penelitian ini mengacu metode FDA BAM yang menggunakan satu tahap pengayaan dalam media LEB. Kedua hasil penelitian tersebut di atas memperkuat simpulan Varga (2007) yang menyatakan bahwa mutu higiena produk susu komersial hendaknya diperbaiki walaupun mikroba patogen tidak ditemukan pada contoh produk susu yang diuji. Penelitian Vittori et al. (2008) mendapatkan Bacillus sp (32%) dan

Staphylococcus sp (36%) pada susu kambing yang mengalami proses UHT.

Sedangkan, Clostridium sp. tidak ditemukan pada contoh susu kambing tersebut. Pertumbuhan coliform dan TPC pada susu UHT menunjukkan mutu sanitasi dari proses pengolahan susu UHT, termasuk sanitasi alat-alat dan proses pengolahan serta sanitasi saat pengemasan (Fardiaz 1992). Hasil penelitian Harianja (belum publikasi) tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Tahiri (2005) yang tidak menemukan cemaran coliform, S. aureus, kapang dan kamir serta TPC pada 10 contoh susu UHT berasal dari

industri susu modern di Jordan. Susu mentah dari sapi sehat pada umumnya mengandung mikroorganisme sebanyak 100 – 10.000 sel/ ml dengan rata-rata 500 – 1.000 sel/ml. Bakteri coliform pada susu mentah tidak boleh melebihi dari 100 sel/ ml.

Sumber cemaran L. monocytogenes pada pangan siap saji, susu dan produknya dapat ditemukan pada rantai proses pengolahan, termasuk bahan susu mentah, lingkungan, peralatan, alat pengemas, proses pengemasan, sampah, hewan pengganggu hingga karyawan yang terlibat (FSAI 2005; Lovett dan Twedt 2004; Weshthoff 1981).

Kemasan yang digunakan pada contoh susu UHT pada penelitian ini adalah karton yang dilapisi bagian luar dan dalamnya dengan plastik polyethylene, tanpa noda dan dalam keadaan tertutup dengan kondisi baik. Kemasan pada produk susu UHT sebaiknya memenuhi persyaratan yang disesuaikan dengan prinsip tujuannya, yaitu mempemudah penyaluran dan memelihara higiena produk susu; melindungi aroma dan kandungan nutrisi produk susu; mengurangi pembusukan produk susu dan sebagai bahan informasi kepada konsumen. Produk susu cair cenderung mudah rusak dibandingkan dengan susu bubuk. Oleh karena itu, dibutuhkan kemasan yang bersih, sucihama dan tanpa noda. Polyethylene

  

31

merupakan sejenis plastik yang dapat melindungi produk susu dari benturan mekanis, masuknya oksigen dan cahaya matahari yang dapat merusak vitamin riboflavin (Bylund 1995). Kondisi kemasan pada contoh susu UHT yang sesuai dengan syarat kemasan akan memperkecil kemungkinan adanya cemaran

L. monocytogenes melalui kemasan.

WHO (2008) menyebutkan bahwa gangguan kesehatan yang disebabkan meminum susu pasteurisasi dikarenakan oleh kegagalan penerapan proses pemanasan untuk membunuh sel vegetatif mikroba. Beberapa penyimpangan pada susu UHT dapat terjadi karena adanya cemaran bakteri atau zat kimia pada bahan susu mentah serta adanya proses pengolahan yang tidak dilakukan dengan benar (Tekinsen et al. 2007). Bylund (1995) menyebutkan bahwa penerapan waktu dan suhu pemanasan yang tepat merupakan faktor penting yang harus diperhatikan untuk mendapatkan produk susu dengan mutu mikrobiologik dan aspek mutu keseluruhan sesuai dengan yang dipersyaratkan. L. monocytogenes

yang tidak ditemukan pada contoh susu UHT dalam penelitian ini dapat dimungkinkan akibat suhu dan waktu pemanasan yang diterapkan oleh industri asal contoh susu telah mampu membunuh bakteri tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fardiaz (1985) yang menyatakan bahwa L. monocytogenes merupakan bakteri yang tahan dan tidak akan mati dengan pemanasan pada suhu 80 oC selama lima menit, atau suhu 100 oC selama 15 detik. Oleh karena itu pemanasan susu dengan suhu 135 oC selama dua detik pada proses UHT dapat membunuh bakteri tersebut.

Pada penelitian ini tidak dilakukan pengujian keberadaan

L. monocytogenes pada bahan susu mentah dan proses pengolahan serta tidak diketahui status higiena lingkungan, peralatan, alat pengemas maupun karyawan yang terlibat dalam industri pengolahan asal contoh susu yang diuji. Ketidakberadaan L. monocytogenes pada contoh susu yang diperiksa dapat diasumsikan bahwa bahan susu mentah, lingkungan, peralatan dan alat pengemas yang digunakan tidak tercemar L. monocytogenes. Status higiena karyawan yang terlibat dalam industri pengolahan susu diasumsikan telah diterapkan dengan baik.

Pertumbuhan L. monocytogenes pada media laboratorium maupun pangan didukung oleh faktor-faktor intrinsik maupun ekstrinsik media maupun bakteri

tersebut. L. monocytogenes dalam pertumbuhannya membutuhkan kondisi pH antara 4,39 – 9,4; suhu -1,5–45 oC; aw minimum 0,90 dan nutrisi esensial seperti asam amino (isoleusin, leusin, glutamat, valin, methionin, arginin, sistein, histidin dan triptofan) serta biotin, riboflavin dan thiamin HCl (Lovett et al. 1990; Premaratne et al. 1991; Welshimer 1963). Susu UHT dengan kandungan nutrisi protein dan vitamin yang telah berkurang, masih dapat dimungkinkan menjadi media pertumbuhan bagi L. monocytogenes. Pada studi yang dilakukan oleh Walker et al. (1990) penanaman L. monocytogenes pada susu UHT menghasilkan pertumbuhan bakteri dengan fase lambat (lag phase) 3 - 13 hari pada suhu 0 oC dan 1 -2 hari pada suhu 5 oC, sedangkan waktu generasi yang dibutuhkan adalah 62-77 jam pada suhu 0 oC dan 19-20 jam pada suhu 5 oC.

Media LEB yang digunakan pada penelitian ini merupakan media pertumbuhan yang baik untuk L. monocytogenes karena mengandung tryptone soya broth, yeast extract, potassium di-hydrogen orthophosphate dan disodium

hydrogen orthophosphate dengan pH 7,3±0,2. Penghambatan tumbuhnya

mikroba selain L. monocytogenes juga disikapi dengan penambahan imbuhan yang mengandung nalidixic acid, cycloheximide dan acriflavine hydrochloride

pada LEB. Pada penelitian ini, L. monocytogenes yang diduga keberadaannya dalam contoh susu UHT tidak dapat tumbuh pada media pengayaan LEB. Hal ini dapat diakibatkan oleh jenis media pengayaan yang dimungkinkan tidak sesuai bagi pertumbuhan galur bakteri tertentu. Suhu inkubasi juga merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pertumbuhan L. monocytogenes pada media pengayaan tertentu.

Kerusakan sublethal sel L. monocytogenes yang dimungkinkan terjadi akibat adanya pengolahan susu dengan suhu pemanasan yang tidak benar juga

merupakan faktor yang perlu mendapat perhatian dalam menumbuhkan

L. monocytogenes pada media pengayaan. Penyembuhan sel yang rusak sublethal dipengaruhi oleh galur, jumlah sel awal, waktu inkubasi dan tatacara pengayaan (Sallam dan Donnelly 1992).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Harvey dan Gilmour (1992), ditemukan satu galur L. monocytogenes yang diisolasi dari 176 contoh susu mentah dan produk susu di Irlandia dan dapat ditumbuhkan pada media

  

33

pengayaan TPB (Oxoid CM 283) yang diinkubasi selama satu, dua, empat dan enam hari pada suhu 4 oC. Sebanyak 14 galur dapat ditumbuhkan pada media

enrichment broth (EB) yang diinkubasi dan diamati pada suhu 30 oC selama 1-7 hari. Media EB yang digunakan dalam penelitian tersebut mengandung tryptone

soya broth (Oxoid CM 129) yang mendapatkan imbuhan 0-6% yeast extract

(Oxoid L21), 10 mg acriflavine HCL/l, 40 mg nalidixic acid/l dan 50 mg

cycloheximide/l. Jenis galur yang teridentifikasi dalam penelitian yang dilakukan oleh Harvey dan Gilmour (1992) tidak disebutkan secara spesifik.

Dilaporkan oleh Jersek et al. (2005) bahwa L. monocytogenes terlacak langsung oleh metode polymerase chain reaction (PCR) dari contoh paha ayam yang diinokulasi dengan sel L. monocytogenes 102cfu, 103cfu dan 104cfu yang diperkaya dalam media universal preenrichment broth (UPB) selama 24 jam pada suhu 30 oC. Contoh diambil langsung dari media pengayaan tanpa dilakukan isolasi pada media selektif terlebih dahulu. Contoh mengandung cemaran buatan

L. monocytogenes yang diperkaya dengan media pengayaan HF, buffered

phosphate water (BPW) dan TSBye yang digunakan sebagai pembanding dapat

terlacak oleh metode PCR setelah diisolasi pada media selektif. Disimpulkan oleh Jersek et al. (2005) bahwa media pengayaan yang tidak selektif, dalam penelitian tersebut adalah media UPB, dapat dianjurkan sebagai media pengayaan yang efektif untuk L. monocytogenes dengan keuntungan waktu yang digunakan lebih singkat dan dapat menyembuhkan kembali sel L. monocytogenes yang mengalami kerusakan sublethal secara cepat.

Listeriosis telah dilaporkan terjadi baik di negara maju maupun negara

berkembang. Beberapa negara menetapkan baku untuk mengendalikan

L. monocytogenes berdasarkan hasil penilaian resiko masing-masing negara. New Zealand dan Amerika Serikat adalah negara yang mensyaratkan pangan yang beredar bebas Listeria (zero tolerance). Sedangkan Australia, Canada, Denmark,

France, Germany dan Netherlands menetapkan batas jumlah cemaran

L. monocytogenes pada angka <100 cfu/g (Lake et al. 2002). Indonesia menetapkan baku melalui Standar Nasional Indonesia (SNI)-01-3950-1998) tentang susu UHT dengan spesifikasi persyaratan mutu, termasuk di dalamnya batas jumlah cemaran mikroba. Jumlah batas cemaran yang diperbolehkan ada

pada susu UHT adalah 0 koloni/ml. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa susu UHT impor relatif aman L. monocytogenes, walaupun tidak aman terhadap bakteri lain akibat jumlah cemaran yang melebihi batas yang ditentukan.

Kejadian listeriosis pada manusia maupun prevalensi pada susu UHT di Indonesia belum tercatat. Data yang ada hanya bersifat terbatas untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan belum sepenuhnya diterapkan ke masyarakat. Menurut WHO (2002), pengaruh internasional foodborne diseases

sangat sulit diperkirakan. Sekitar 2,1 miliar anak-anak per tahun di negara berkembang meninggal akibat diare. Pangan dan air diduga merupakan media penyebaran penyakit ini. Walaupun prevalensi listeriosis relatif kecil, namun secara potensial merupakan penyakit fatal. Menurut Doyle et al. (2001), 1.000 sel L. monocytogenes akan menyebabkan gejala klinis serupa flu serta diikuti dengan diare dan demam ringan. Gejala klinis tersebut hampir mirip dengan gejala klinis foodborne disease lain, sehingga kasus listeriosis di Indonesia belum dapat tercatat dengan baik. Pengetahuan tentang penyakit ini juga masih didominasi oleh kelompok masyarakat tertentu.

Era globalisasi dan perdagangan bebas antar negara menuntut Indonesia selalu waspada terhadap kemungkinan masuknya penyakit melalui media pembawa. Pada kenyataannya pengujian L. monocytogenes belum diterapkan pada pangan yang dilalulintaskan dari/menuju wilayah Republik Indonesia maupun pangan yang diedarkan di dalam negeri. Adanya beberapa negara lain

yang telah menetapkan peraturan perundangan untuk pengendalian

L. monocytogenes seyogyanya menjadi pemicu bagi Pemerintah Indonesia untuk menetapkan kebijakan dalam pengendalian penyakit ini. Penetapan kebijakan dalam rangka pengendalian penyakit ini dapat diawali dengan melakukan penilaian resiko L. monocytogenes pada pangan siap saji impor yang beredar di Indonesia. Rocourt et al. (2003) dalam studinya melakukan penilaian resiko terhadap L. monocytogenes pada pangan siap saji dengan pendekatan FAO/WHO.

Melalui analisis resiko tersebut, penilaian resiko terhadap peluang pencemaran

L. monocytogenes pada pangan siap saji dapat diperkirakan dan diadaptasikan pada pangan dalam negeri. Diharapkan hasil penilaian resiko tersebut dapat diterapkan pula dalam menjamin keamanan pangan siap saji yang dilalulintaskan

  

35

melalui perdagangan internasional. Hasil penilaian resiko tersebut kemudian

disesuaikan CAC dengan melengkapi resiko pangan siap saji tercemar

L. monocytogenes sebagai berikut: (1) perkiraan resiko pada kelompok manusia yang rentan (usia lanjut, bayi, wanita hamil dan individu dengan kekebalan

rendah) dalam populasi tertentu; (2) perkiraan resiko tumbuhnya

L. monocytogenes pada pangan yang mendukung pertumbuhan dan pangan yang

tidak mendukung pertumbuhan L. monocytogenes pada kondisi penyimpanan dan (3) perkiraan bila pangan tercemar oleh 0 cfu/ 25 g hingga 1.000 cfu/g/ml atau tidak melebihi batas jumlah cemaran. Hasil penilaian resiko terhadap peluang masuknya L. monocytogenes pada pangan siap saji akan memberikan manfaat dalam menentukan kebijakan keamanan susu UHT maupun produk pangan siap saji lain, tindakan sanitasi dan penetapan baku keamanan pangan di Indonesia.

Tidak ditemukannya L. monocytogenes pada contoh susu UHT yang diuji bukan berarti tidak adanya kemungkinan bakteri ini berada dalam contoh tersebut. Hal ini berkaitan dengan karakteristik L. monocytogenes yang tahan terhadap panas, bersifat intraseluler dan dapat mengalami kerusakan sublethal Penelitian ini merupakan penelitian awal yang menjadi pemicu untuk mewaspadai susu UHT impor maupun produk pangan impor lain. Penelitian ini masih banyak kekurangannya dan perlu disempurnakan dengan dilakukannya pelacakan

L. monocytogenes pada susu UHT yang diimpor dari beberapa negara dengan

penetapan batas jumlah cemaran L. monocytogenes yang berbeda. Penelitian keberadaan L. monocytogenes pada produk susu maupun pangan impor lain bermanfaat untuk menentukan peringkat terhadap pangan impor yang beresiko tercemar.

Pengujian L. monocytogenes pada susu UHT memiliki nilai strategik yang tinggi bila dihubungkan dengan resiko yang diakibatkan oleh mikroba tersebut pada manusia dan jumlah impor susu UHT yang cukup besar di Indonesia. Menurut Scott et al. (2000), perkiraan biaya yang dikeluarkan setiap tahun oleh New Zealand untuk listeriosis invasif sebesar NZ$ 818.000 atau 1,5% dari total biaya penyakit infeksi intestinal lainnya. Perkiraan biaya tersebut termasuk biaya pengobatan, perawatan di rumah sakit, hilangnya nilai produktivitas kerja dan kematian.

Dokumen terkait