• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Analisis Sifat Tanah yang Mudah Berubah pada Beberapa Penggunaan Lahan

Kemasaman Tanah, Nitrogen Total, Fosfat Tersedia dan Kalium Tukar Tanah

Nilai kemasaman tanah, nitrogen total, fosfat tersedia, kalium tukar, magnesium tukar, kalsium tukar dan kerapatan lindak tanah pada beberapa penggunaan lahan di kawasan hulu DAS Padang dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Kemasaman tanah pada beberapa penggunaan lahan tersebut termasuk dalam kriteria masam (4,16-5,28), nilai tertinggi yakni pada lahan hutan dan terendah pada lahan semak. Nitrogen total tanah termasuk dalam kriteria rendah dengan nilai tertinggi pada kebun campuran yakni 0,21 % dan terendah pada lahan hutan dan semak-semak yakni 0,17 %. Fosfat tersedia tanah termasuk kriteria sangat rendah (< 8 ppm ), nilai tertinggi pada lahan hutan yakni 3,03 ppm dan terendah pada kebun campuran 2,36 ppm. Adapun kalium tukar tanah termasuk kriteria sedang hingga sangat tinggi, dengan nilai tertinggi pada lahan hutan yakni 2,463 me/100 g dan terendah pada lahan semak-semak yakni 0,532 me/100 g.

Tabel 3. Rataan pH, Karbon Organik, Nitrogen Total, Fosfat Tersedia, Kalium Tukar, Magnesium Tukar Kalsium Tukar dan Kerapatan Lindak Tanah pada Beberapa Penggunaaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang Penggunaan Lahan pH Nitrogen total (%) Fosfat tersedia (me/100 g) Kalium (me/100 g) Mg Tukar (me/100 g) Kalsium (me/100 g) Kerapatan Lindak (g/cm3) Hutan 5,28m 0,17r 3,03sr 2,436st 0,609r 0,208sr 1,113 Kebun Sawit (30 tahun) 4,27sm 0,20r 2,76sr 0,573s 0,560r 0,192sr 1,410 Kebun Sawit (4 tahun) 4,34sm 0,20r 2,54sr 0,650t 0,533r 0,148sr 1,633 Kebun Campuran 5,03m 0,21s 2,36sr 0,689t 0,537r 0,199sr 1,403 Semak-semak 4,16sm 0,17r 2,37sr 0,532s 0,543r 0,182sr 1,600

Keterangan: m = masam; sm = sangat masam; r = rendah; s = sedang; sr = sangat sedang; t = tinggi; st = sangat tinggi

Kandungan Magnesium, Kalsium Tukar dan Kerapatan Lindak Tanah

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa magnesium tukar tanah termasuk kriteria rendah dengan kisaran 0,40 – 1,00 me/100 g, dengan nilai tertinggi pada lahan hutan yakni 0,609 me/100 g dan terendah pada kebun sawit umur 4 tahun yakni 0,533 me/100 g. Kandungan kalsium tukar tanah termasuk kriteria sangat rendah (< 2 me/100 g), dengan nilai tertinggi pada lahan hutan yakni 0,208 me/ 100 g dan terendah pada kebun sawit umur 4 tahun yakni 0,148 me/100 g. Adapun kerapatan lindak tanah tertinggi pada kebun sawit umur 4 tahun yakni 1,63 g/cm3 dan terendah pada lahan semak yakni 1,11 g/cm3.

Analisis Sifat Tanah Bawaan, Sulit Berubah dan Sifat Fisika Tanah Pendukung pada Beberapa Penggunaan Lahan

Tekstur Tanah

Tekstur tanah merupakan sifat bawaan (inherent) yang tidak dapat berubah. Komposisi fraksi pasir, debu, liat dan tekstur tanah pada beberapa penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Persentase Fraksi Pasir, Debu, Liat dan Tekstur Tanah

Penggunaan Lahan Pasir Debu Liat Tekstur

Hutan 70 14 16 Lempung Berpasir

Kebun Campuran 62 14 24 Lempung Liat Berpasir

Kelapa sawit (30 Tahun) 53 14 33 Lempung Liat Berpasir Kelapa sawit (4 Tahun) 53 18 29 Lempung Liat Berpasir

Semak-Semak 43 21 36 Lempung Berliat

Pada lahan hutan fraksi pasir tanah cukup tinggi sebesar 70% dan terendah pada lahan semak yakni 43 %. Fraksi debu tertinggi pada lahan semak sebesar 21 % dan terendah pada lahan hutan. Sedangkan fraksi liat tertinggi juga pada lahan semak yakni 36 % dan terendah pada lahan hutan 16 %. Semakin terbuka lahan menunjukkan semakin meningkatnya fraksi liat. Secara visual di lapangan dapat dilihat bahwa pada permukaan tanah hutan banyak ditemukan batuan yang belum hancur dan pasir yang menutupi permukaan tanah bercampur dengan bahan organik sangat halus.

Kandungan Karbon Organik, Bahan Organik Tanah dan Rasio C/N

Kandungan karbon Organik, Bahan Organik C/N, permeabilitas, kerapatan lindak, porositas tanah dan respirasi spesifik tanah pada beberapa penggunaan

Tabel 6. Rataan Karbon Organik, Bahan Organik C/N, Permeabilitas, Kerapatan Lindak, Porositas Tanah dan Respirasi Spesifik Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hulu DAS Padang

Penggunaan Lahan Karbon Organik (%) Bahan Organik (%) C/N Permeabilitas (cm/jam) Porositas (%) Respirasi Spesifik (kg/hari) Hutan 1,77r 3,04r 10,41r 1,230al 60,337 0,627 Kebun Sawit (30 tahun) 2,05s 3,53s 10,25r 1,817al 53,208 0,713 Kebun Sawit (4 tahun) 2,06s 3,55s 10,30r 4,847c 61,635 0,997 Kebun Campuran 2,06s 3,33r 9,19r 1,483al 52,953 0,310 Semak-semak 0,82sr 1,14sr 4,82sr 1,527al 43,346 0,970 Keterangan: sr = sangat rendah; r = rendah; s = sedang; c = cukup; al = agak lambat

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa kandungan karbon organik tanah tertinggi pada kebun sawit umur 4 tahun yakni 2,06 % dan terendah pada lahan semak yakni 0,82 %. Demikian juga dengan bahan organik tanah, tertinggi pada kebun sawit 4 tahun yakni yakni 3,55 dan terendah pada lahan semak yakni 1,14 %. Kandungan karbon organik pada semua penggunaan lahan termasuk kriteria sangat rendah hingga sedang. Adapun rasio C/N tertinggi pada lahan hutan yakni 10,41, dan terendah pada lahan semak yakni 4,82 %.

Permeabilitas, Porositas dan Respirasi Spesifik Tanah

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa permeabilitas tanah termasuk kriteria agak lambat hingga cukup. Permeabilitas tertinggi pada kebun sawit umur 4 tahun yakni sebesar 4,487 cm/jam (cukup) sedangkan permeabilitas tanah terendah pada lahan hutan sebesar 1,23 cm/jam (agak lambat). Porositas tanah tertinggi yakni kebun sawit 4 tahun (61,64 %) dan terendah pada lahan semak (43,35 %). Adapun respirasi spesifik tanah tertinggi pada lahan kelapa sawit umur 4 tahun yakni 0,997 kg/hari dan terendah pada kebun campuran yakni 0,31 kg/hari.

Pembahasan

Tekstur tanah pada kebun sawit, kebun campuran dan semak termasuk dalam kelas tekstur yang sama yakni halus menurut USDA. Tekstur tanah pada lahan hutan termasuk lempung berpasir yang termasuk dalam kriteria tekstur agak kasar (Hillel, 1982) dengan fraksi pasir sebesar 70 %. Tingginya kandungan pasir ditandai dengan banyaknya ditemukan batuan pada permukaan tanah hutan. Pada kedalaman 0-10 cm banyak dijumpai pasir halus bercampur bahan oganik halus. Ketinggian dan keadaan lahan hutan yang berbukit mempengaruhi jumlah fraksi pasir yang tinggi. Bahan induk vulkanik yang merupakan batuan induk di kawasan hulu DAS Padang ini mengandung SiO2 yang tinggi karena tersusun atas batuan felsik dan intermediate yang merupakan batuan asam. Silika oksida yang tinggi menyumbangkan kandungan pasir yang tinggi terutama bila belum mengalami pencucian. Pada kebun campuran fraksi pasir mendekati jumlah fraksi pasir pada lahan hutan. Hal ini dapat dilihat pada perbedaan ketinggian lahan hutan dan kebun campuran yang tidak besar, dan kedua penggunaan lahan ini sangat dipengaruhi oleh bahan induk. Pada lahan semak-semak fraksi pasir semakin berkurang sedangkan fraksi liat meningkat dan bertekstur lempung. Lahan semak berada pada ketinggian terendah diatas permukaan laut telah mengalami limpasan tanah dan air dari lahan yang lebih tinggi saat hujan. Pembalikan tanah melalui pengolahan tanah, proses penghancuran yang lebih lanjut mengurangi fraksi pasir tanah di lahan semak. Kebun sawit memiliki tekstur yang sama yakni lempung liat berpasir. Tidak terdapat perbedaan fraksi pasir, debu dan liat pada kedua penggunaan lahan tersebut.

Nilai pH tanah di kawasan hulu DAS Padang termasuk kriteria masam, hal ini disebabkan bahan induk di kawasan Gunung Simbolon yang termasuk vulkanik, sistem lahan tuff vulkanik masam, mengandung batuan felsik dan intermediate. Batuan felsik merupakan batuan beku asam dengan susunan batuan granit dan rhyolit yang memiliki kadar SiO2 > 62 %. Sedangkan batuan intermediate disusun oleh batuan andesit dan darit dengan kandungan SiO2 berkisar 52 – 63 %. Namun pada lahan semak, nilai pH tanah bernilai sangat masam. Hal ini juga diduda karena tekstur tanah pada lahan semak yang didominasi fraksi liat yang tentunya mengandung unsur Al dan Fe yang dapat memasamkan tanah karena mengikat unsur hara N, P, K dan Ca. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rosmakam dan Yuwono (2002) menyatakan bahwa tanah yang mengandung ion Al3+ dan Fe3+ menyebabkan tanah menjadi sangat masam.

Kandungan nitrogen total tanah termasuk kriteria rendah pada seluruh penggunaan lahan, namun bernilai paling tinggi pada kebun sawit umur 4 tahun telah mengalami pemberaan beberapa bulan sebelum ditanam kembali untuk mengembalikan hara didalam tanah. Tinggi rendahnya kandungan nitrogen total tanah ini dipengaruhi oleh jenis dan sifat bahan organik yang diberikan terutama tingkat dekomposisinya. Dengan semakin lanjut dekomposisi suatu bahan organik maka semakin banyak pula nitrogen organik yang mengalami mineralisasi sehingga akumulasi nitrogen di dalam tanah semakin besar jumlahnya. Pengurangan N dari tanah dapat dikarenakan nitrogen terangkut keluar dari lahan dalam bentuk hasil tanaman. Menurut Pitar et al., (2005) terdapat hubungan yang nyata secara statistik pada beberapa penggunaan lahan di daerah aliran sungai terhadap konsentrasi ammonium, fosfat dan nitrogen pada permukaan air pada

tingkat kepercayaan 99 %. Keadaan ini juga dapat disebabkan karena pengaruh pemupukan dan keberadaan tanaman leguminosa pada lahan kelapa sawit 4 tahun yang mengakibatkan terjadinya fiksasi N dari udara sehingga tanah lebih banyak mengandung unsur nitrogen. Hanafiah (2005) menyatakan bahwa unsur N dalam tanah berasal dari hasil dekomposisi bahan organik sisa-sisa tanaman maupun binatang, pemupukan (terutama urea dan amonium nitrat) dan air hujan.

Kandungan fosfat tersedia dan kalsium tukar meskipun sangat rendah, bernilai tinggi pada lahan hutan dan semakin menurun dengan penggunaan lahan baik untuk kebun sawit, campuran maupun semak-semak sesuai bahan induk tanah yang berasal dari batuan asam. Hal ini dapat dipastikan karena pada tanah masam kandungan fosfat dan kalsium sangat rendah. Hasil penelitian Monde (2008) di DAS Nopu Sulteng menunjukkan kadar fosfat tersedia menurun dan sangat rendah setelah alih fungsi lahan hutan menjadi lahan kakao yang ditanam secara monokultur berumur > 10 tahun.

Sumber kalium di dalam tanah adalah mineral primer felspar, mika dan leusit (Hardjowigeno, 1982). Ketiganya merupakan penyusun batuan malihan (Poerwowidodo, 1992). Kalium terdapat dalam tanah dalam bentuk yang dapat dipertukarkan terjerap oleh koloid liat atau humus. Liat yang rendah dan bahan organik yang rendah pada tiap penggunaan lahan tidak memungkinkan untuk menjerap ion kalium dalam jumlah besar. Kalium tukar terdapat dalam jumlah yang sangat tinggi pada lahan hutan. Banyaknya batuan yang ditemukan pada permukaan tanah lahan hutan menunjukkan pelapukan batuan belum intensif. Hal ini dapat diterima karena permukaan tanah hutan lebih sedikit mendapatkan paparan sinar matahari karena adanya tutupan tajuk tanaman yang cukup rapat.

Tidak adanya perbedaan yang besar pada siang dan malam hari, perbedaan kelembaban dan kekeringan mengurangi proses pelapukan. Dengan semakin terbukanya lahan maka kandungan kalium menurun. Hal ini disebabkan telah terjadi pencucian hingga lapisan tanah yang lebih dalam yang mengakibatkan kalium hilang dari tanah.

Kandungan magnesium tukar sangat rendah pada seluruh pengguanan lahan. Hal ini juga dipengaruhi pH tanah yang masam. Kation magnesium bersumber dari mineral dolomit, biotit dan augit yang merupakan penyusun batuan malihan (Poerwowidodo, 1992) dan termasuk kelompok marbel, bukan penyusun batuan beku. Fraksi liat yang rendah pada tiap penggunaan lahan menunjukkan rendahnya kandungan mineral di dalam tanah baik mineral primer maupun sekunder. Hal ini menandakan tanah mengandung kation K dan Mg yang rendah. Hasil penelitian Monde (2008) di DAS Nopu Sulteng menunjukkan bahwa berkurangnya kadar Ca dan Mg pada lahan yang ditanami kacang tanah, jagung dan vanili karena lahan tersebut telah mengalami pencucian dan erosi yang cukup besar. Lahan vanili sebelumnya ditanami tanaman semusim sehingga diduga telah banyak banyak kehilangan kalsium baik oleh erosi, aliran, permukaan maupun karena terangkut hasil panen.

Kerapatan lindak adalah perbandingan massa pada tanah dengan volume total tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan lindak pada lahan hutan berkisar 1,113 g/cm3 (tekstur lempung berpasir). Sedangkan kebun sawit dan kebun campuran memiliki kerapatan lindak 1,41 – 1,60 g/cm3 (lempung liat berpasir). Hal ini sesuai dengan pernyataaan Hillel (1982) bahwa tanah lempung dan berliat memiliki kerapatan lindak 1,6 g/cm3 sedangkan tanah

berpasir memiliki kerapatan lindak 1,1 g/cm3. Hal ini didukung hampir seimbangnya fraksi pasir, liat dan debu. Tanah hutan memiliki pori-pori tanah yang banyak yang didominasi oleh fraksi pasir yang dalam keadaan lembab akan mudah mengembang. Sedangkan, pada lahan kebun campuran, kebun sawit dan semak-semak, didominasi oleh fraksi liat yang menyebabkan tanah menjadi padat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hardjowigeno (2007) yang menyatakan bahwa makin padat suatu tanah makin tinggi kerapatan lindak, yang berarti makin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman.

Melalui pendekatan sifat tanah yang mudah berubah, indikator penurunan kualitas tanah sudah dapat dilihat dengan rendahnya kandungan nitrogen total, fosfat tersedia, magnesium dan kalsium tukar tanah pada beberapa penggunaan

lahan. Penurunan semakin besar dengan semakin terbukanya lahan (semak-semak). Adanya penurunan disebabkan proses dekomposisi bahan organik yang semakin meningkat dengan terbukanya lahan. Penurunan tajuk penutup lahan menyebabkan hara dalam tanah semakin mudah tercuci oleh air yang jatuh dipermukaan tanah. Penurunan kerapatan lindak tanah akibat pengolahan tanah di lahan kebun memudahkan air meresap dan berinfiltrasi kelapisan tanah lebih dalam. Adapun unsur kalium cenderung mudah tercuci, meskipun dilakukan pemupukan kalium di lahan kebun sawit. Secara umum sifat tanah yang mudah berubah yakni pH, fosfat, kalium, magnesium dan kalsium tanah pada suatu lahan sangat dipengaruhi oleh sifat tanah bawaan (inherent) yakni tekstur tanah dan batuan induk.

Porositas tanah dikatakan cukup baik pada kandungan fraksi pasir, liat dan debu yang hampir seimbang. Pada tingkat kerapatan lindak < 1 g/cm3 tanah lebih mudah diolah untuk penggunaan pertanian yang baru. Mengingat bahan organik pada lahan semak merupakan yang terendah, perlu dilakukan pemberian pupuk organik bila ingin mengelola lahan semak menjadi lahan pertanian. Peningkatan kerapatan lindak pada kebun campuran akibat meningkatnya kepadatan tanah yang disebabkan meningkatnya frekuensi kunjungan pekerja kebun campuran dalam mengawasi kebun. Sesuai dengan hasil penelitian Al Dariah (2004) di kawasan hutan lindung Kecamatan Sumberjaya Lampung Barat menunjukkan bahwa akibat alih fungsi lahan hutan menjadi lahan kopi terjadi pemulihan beberapa sifat fisika tanah untuk tanah dengan tingkat resistensi relatif rendah. Hal ini dapat dilihat dari adanya penurunan berat isi tanah dan perbaikan porositas

tanah. Setelah tanaman kopi berumur dewasa, berat isi mencapai angka < 80 g/cm3 untuk tanah dengan resistensi tinggi sedangkan pada tanah dengan

resistensi rendah berat isi tanah bertahan pada kisaran > 1 g/cm3 . Demikian juga dengan ruang pori total, setelah tanaman kopi berumur dewasa ruang pori total tanah dengan resisten rendah masih < 65 %. Pada penelitian ini alih fungsi lahan telah mengakibatkan tanah memiliki resistensi rendah, dengan porositas < 65 %. Demikian juga halnya dengan kerapatan lindak tanah menunjukkan tanah memiliki resistensi rendah yakni sudah berkisar > 1 g/cm3. Sehingga dapat dikatakan lahan dikawasan hulu DAS Padang sudah mengalami degradasi lahan.

Kandungan karbon organik merupakan indikator yang paling penting pada sifat tanah yang sulit berubah. Terjadi sedikit peningkatan karbon organik pada lahan kebun sawit, lalu kembali penurunan sejalan dengan semakin terbukanya

lahan (semak-semak). Sumber karbon di tanah dapat berasal dari biomassa tanaman, serasah tanaman yang melapuk dan sebagian kecil CO2 yang terurai. Pada lahan hutan karbon dalam tanah termasuk rendah. Kemungkinan karbon masih dalam bentuk biomassa yang belunm hancur. Pada lantai hutan kelembaban umumnya tinggi, dan intensitas matahari kurang akibatnya perubahan iklim yang drastis tidak terjadi di lahan hutan. Selanjutnya proses pelapukan juga sangat

rendah. Ini dapat dilihat dengan rasio C/N di tanah hutan yakni sebesar 10,41 (kriteria sedang) yang menandakan proses pelapukan belum lanjut. Dapat dilihat

di lapangan bahwa permukaan tanah hutan banyak mengandung batuan dan tanah mengandung kandungan pasir yang tinggi (Tabel 4). Tanah dengan kandungan pasir tinggi kurang memiliki kemampuan untuk berikatan dengan kation yang berikatan dengan lignin pada bahan organik yang ada. Hasil penelitian Monde (2008) di DAS Nopu menunjukkan bahwa kandungan karbon menurun akibat berubahnya penggunaan lahan hutan menjadi kebun kakao umur < 3 tahun (2,01 – 3,00 %), sedangkan pada lahan jagung dan kacang tanah kandungan karbon semakin menurun (1,00 – 2,00 %). Hal ini disebabkan sumbangan karbon yang rendah dari jaringan tanaman jagung dan kacang tanah lebih rendah dibandingkan kakao. Daun kakao mengandung sumber bahan organik berupa lignin yang lebih sulit terdekomposisi dibandingkan daun jagung dan kacang tanah. Menurut penelitian Al Dariah (2004) akibat alih fungsi lahan hutan menjadi lahan kopi, kadar karbon organik tanah Ultisol daerah Bodong (Typic Paleudult) di kawasan hutan register Kecamatan Sumberjaya Lampung Barat mengalami penurunan drastis. Kandungan karbon organik pada lahan kopi muda > 2,5 %

sedangkan kadar karbon organik di lahan kopi muda daerah (Oxic Dystrudept) masih > 3 %.

Pada kebun kelapa sawit umur 30 tahun kandungan bahan organik merupakan yang tertinggi (3,55 %) dan terendah pada lahan semak – semak. Hal ini dapat dijelaskan dengan respirasi spesifik pada kebun sawit 30 tahun, merupakan nilai tertinggi yakni 0,997 kg/hari. Tingginya respirasi spesifik pada kebun sawit menunjukkan tingginya aktivitas mikroba. Aktivitas mikroba meningkat dengan adanya sumber bahan organik sebagai sumber energi. Hal ini diduga karena pada lahan kelapa sawit umur 30 tahun dan kebun campuran dipengaruhi oleh pemberian pupuk baik dan teratur secara organik maupun kimia yang mengakibatkan peningkatan bahan organik. Hasil ini didukung dengan pernyataan Winarso (2005) bahwa kadar bahan organik tanah meningkat dalam sistem penanaman yang berbeda setelah penggunaan pupuk jangka panjang (10 tahun), baik sumber organik maupun pupuk anorganik.

Permeabilitas tanah merupakan aliran air dalam tanah dalam keadaan jenuh. Secara umum permeabilitas tanah pada setiap penggunaan lahan tidak berbeda dan termasuk kriteria cukup. Permeabilitas lahan hutan, kebun campuran, kelapa sawit 4 tahun dan semak – semak termasuk agak lambat dan justru meningkat pada kebun kelapa sawit umur 30 tahun. Fraksi liat pada tanah kebun sawit lebih tinggi dibandingkan pada kebun campuran dan hutan dan tertinggi pada lahan semak – semak. Fraksi liat mengandung pori – pori mikro yang lebih besar dari pada fraksi pasir, dan pori – pori ini akan menahan dan mengalirkan air meski pada hisapan yang rendah. Faktor yang sangat mempengaruhi sehingga permeabilitas di lahan hutan ini lebih rendah adalah faktor kadar air yang

dikandung lahan hutan saat dilakukan pengambilan sampel dan analisis. Lahan hutan memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan lahan lainnya, sehingga ketika dilakukan pengukuran, kondisi tanah hutan sudah jenuh air sehingga permeabilitas menjadi lambat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Asdak (2002) yang menyatakan bahwa berkurangnya laju infiltrasi dapat terjadi karena bertambahnya kadar air atau kelembaban dari tanah, sehingga menyebabkan butiran tanah berkembang dengan demikian menutup pori-pori tanah. Peningkatan permeabilitas tanah juga dipengaruhi oleh porositas tanah, sedangkan porositas tanah dipengaruhi oleh tekstur tanah. Pada kebun sawit umur 30 tahun terjadi penurunan kandungan pasir serta peningkatan liat dan debu. Dengan berkurangnya fraksi pasir maka pori – pori makro juga semakin berkurang akibatnya tanah memiliki kemampuan menahan air yang lebih tinggi. Hal ini dapat didukung dengan adanya peningkatan respirasi spesifik didalam tanah. Hasil penelitian Monde (2008) menunjukkan bahwa alih fungsi lahan hutan menjadi kakao menurunkan permeabilitas tanah secara nyata pada kedalaman 10 cm dan 30 cm. selanjutnya ada kecenderungan bahwa lahan hutan yang telah dialihgunakan menjadi lahan pertanian mengalami penurunan permeabilitas seperti lahan kacang tanah, jagung dan vanilli, sebaliknya pada lahan yang baru dibuka tingkat penurunan permeabilitasnya relatif rendah (kakao umur < 3 tahun). Demikian juga pada lahan kacang tanah terjadi penurunan permeabilitas yang tajam (kriteria sedang hingga agak cepat).

Peningkatan respirasi spesifik menunjukkan adanya peningkatan aktivitas

mikroba dalam tanah. Peningkatan aktivitas mikrobia meningkatkan laju dekomposisi bahan organik, terutama di kebun sawit umur 30 tahun

(0,997 kg/hari) dan laju C/N 10,25 (sedang). Pada lahan semak laju dekomposisi juga termasuk tinggi dengan hasil C/N yang semakin menurun (< 5) namun respirasi spesifik termasuk tinggi (0,97 kg/hari). Hal ini menunjukkan bahwa karbon yang stabil belum terdekomposisi sempurna pada lahan semak, namun aktivitas mikrobia justru terus meningkat. Pada lahan yang lebih terbuka, faktor pencucian dan perubahan iklim sangat mempengaruhi laju dekomposisi bahan organik. Kondisi aerase yang baik juga mendukung meningkatnya aktivitas mikrobia. Hasil penelitian Al Dariah (2004) pada hutan kawasan lindung di Kecamatan Sumberjaya Lampung Barat, menunjukkan bahwa respirasi spesifik tanah semakin menurun dengan adanya alih fungsi lahan hutan menjadi lahan kaliandra, kebun campuran, kopi umur 10 tahun dan 3 tahun secara berturut – turut. Hal ini didukung dengan semakin menurunnya karbon mikrobia dan karbon organik pada penggunaan lahan di atas secara berturut – turut pula.

Dokumen terkait