• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Kondisi Umum

Penelitian berlangsung dari bulan Februari hingga Mei 2007. Curah hujan rata-rata pada bulan-bulan tersebut cukup tinggi, yakni sebesar 389.5 mm per bulan dengan jumlah hari hujan rata-rata 22 hari per bulan. Mengacu pada data iklim dari BMG Unit Stasiun Klimatogi Darmaga, Bogor, suhu minimum rata-rata per bulan di lokasi percobaan adalah 22.6oC, sedangkan suhu maksimum rata-rata per bulannya dapat mencapai 30.9oC (Tabel Lampiran 2).

Sesuai dengan analisis tanah yang dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan IPB, dapat diketahui bahwa lahan percobaan memiliki kemasaman tanah (pH) sebesar 6.80 (jenis tanah netral) dan bertekstur liat, dengan kandungan C-organik sebesar 1.65% (Tabel Lampiran 3). Kriteria penilaian dari sifat kimia tanah yang dianalisis, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 4.

Gambar 6. Tanaman Kacang Tanah Umur 5 MST

Keadaan pertanaman di Kebun Percobaan Leuwikopo ini sangat baik pada masa awal pertumbuhannya. Penyulaman dilakukan pada umur 1 MST (Minggu Setelah Tanam) atau 7 HST (Hari Setelah Tanam). Daya tumbuh tanaman pada tiap ulangan berkisar antara 80-90% pada umur 3 MST hingga 4 MST. Pada saat

pembentukan polong dan biji (6 MST), kondisi tanaman mulai mengalami penurunan, ditandai dengan banyaknya tanaman yang terkena hama maupun penyakit. Tercatat bahwa penyakit yang mendominasi lahan pertanaman antara lain adalah bercak daun, busuk leher akar, mozaik kuning yang disebabkan BYMV atau Bean Yellow Mozaic Virus, sapu setan (witches broom) yang disebabkan oleh MLO atau Mycoplasma Like Organism, penyakit belang (disebabkan PMoV atau Peanut Mottle Virus), dan penyakit bilur yang disebabkan oleh PStV atau Peanut Stripe Virus. Menurut Rais (1997) PStV hingga saat ini belum tertanggulangi dan kerugian akibat serangan penyakit bisa mencapai 60-80%.

Hama yang menyerang lahan pertanaman antara lain adalah kutu daun (Aphis sp.). Hama jenis ini mengisap cairan sel sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil dan permukaan daun menjadi kuning dan mengkerut.

Penyiraman dilakukan secara intensif sebelum 6 MST (Minggu Setelah Tanam) terutama apabila hujan tidak turun. Pembumbunan dilakukan dua kali yakni saat umur tanaman menjelang 4 MST dan pada 10 MST. Gulma disiangi sebanyak dua kali selama masa tanam, yaitu ketika umur tanaman 3 MST dan 5 MST. Penyiangan gulma dilakukan dengan menggunakan kored, selain juga dicabut dengan tangan, karena pada umur 5 MST sudah banyak rumput yang tumbuh, terutama pada ulangan 4. Gulma yang banyak tumbuh adalah jenis gulma rumput dan berdaun lebar, diantaranya yaitu putri malu (Mimosa pudica). Penyemprotan dilakukan sebanyak dua kali aplikasi (5 MST dan 10 MST) untuk meminimalisir tingkat kerusakan akibat hama. Penyemprotan menggunakan bahan kimia Decis dengan konsentrasi 4cc/l pada tiap aplikasi. Panen dilakukan pada saat tanaman berumur 98 hari (14 MST).

Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam

Rekapitulasi hasil Uji F menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan varietas kacang tanah memberikan hasil yang sangat nyata pada peubah bobot 100 butir biji (g), bobot biji (g/tan), rendemen (%), dan indeks biji(%). Hasil uji F pada peubah jumlah polong isi/tanaman, bobot basah polong ubinan (g/tan, ton/ha), dan bobot kering polong sampel total (g/tan) menunjukkan pengaruh yang nyata (Tabel 1).

Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Peubah-peubah Pengamatan Saat Panen

Peubah Varietas KK(%)

Bobot Basah Polong Ubinan * 13.79

Bobot Basah Polong per Hektar * 13.79

Bobot Kering Tajuk saat Panen tn 24.10

Bobot Kering Polong * 14.34

Bobot Kering Polong Isi tn 16.97

100.01 (23.94)

Bobot Kering Polong Cipo tn

Jumlah Polong Isi * 15.23

57.86 (22.88)

Jumlah Polong Cipo tn

Bobot Kering 100 Butir Biji ** 4.67

Bobot Biji ** 7.68

Indeks Panen tn 5.66

Rendemen ** 8.65

Indeks Biji ** 5.98

Persentase Jumlah Polong Isi tn 17.01

72.61 (30.85)

Persentase Jumlah Polong Cipo tn

Ket: tn=tidak nyata; * = nyata pada taraf α = 0.05; ** = nyata pada taraf α =0.01 ( ) = data setelah ditransformasi dengan √x

Karakter Vegetatif

a. Bobot Kering Tajuk (g)

Bobot kering tajuk adalah bobot kering batang ditambahkan dengan bobot kering daun yang diukur mulai 3 MST hingga 13 MST. Varietas yang memiliki bobot kering tajuk yang paling besar adalah Varietas Jepara, yaitu sebesar 193.92 g. Varietas yang bobot kering tajuk totalnya paling kecil, yaitu 116.77 g, adalah Varietas Garuda Biga. Perkembangan bobot kering batang dan tajuk dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8.

-5 0 5 10 15 20 25 30 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 MST Bo b o t K er in g (g ) Gajah Jepara Panter Biga Biawak Poly. (Jepara) Poly. (Gajah) Poly. (Biga) Poly. (Panter) Poly. (Biawak)

Gambar 7. Pertambahan Bobot Kering Batang Kacang Tanah

Berdasarkan data yang didapat, bobot kering tajuk tiap minggunya tidak selalu bertambah. Khususnya pada jenis kacang berbiji besar (Gajah, Jepara, Biawak) bobot kering tajuk relatif meningkat hingga umur 8-9 MST tetapi kemudian berkurang. Varietas Panter memiliki bobot kering tajuk yang lebih besar dibandingkan dengan Varietas Garuda Biga. Bobot kering tajuk untuk Varietas Garuda Biga masih dapat dikatakan mengalami peningkatan hingga umur 11 MST, tetapi bobot kering tiap minggu nya adalah yang paling kecil apabila dibandingkan dengan keempat varietas lain pada minggu yang sama.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 MST B o b o t K er in g ( g ) Gajah Jepara Panter Biga Biawak Poly. (Gajah) Poly. (Jepara) Poly. (Biawak) Poly. (Biga) Poly. (Panter)

b. Specific Leaf Area (cm2/g)

Specific Leaf Area, atau lebih sering disingkat SLA, menunjukkan perbandingan antara luas daun per tanaman (cm2) dengan bobot kering daun per tanaman (g). Berdasarkan hasil pengamatan, SLA tiap minggu pada tiap varietas tidak turun ataupun naik secara tajam. Rata-rata SLA tiap varietas pun tidak jauh berbeda, karena masih sama-sama berada di kisaran angka 200 cm2/g. Nilai rata-rata untuk SLA paling tinggi dicapai oleh Varietas Panter yaitu sebesar 249.06 cm2/g. Varietas Garuda Biga memiliki SLA yang paling kecil, yaitu sebesar 213.84 cm2/g (Gambar 9). 235,289 246,453 249,058 213,836 241,162 190 200 210 220 230 240 250 260

Gajah Jepara Panter Biga Biaw ak

Varietas SL A ( cm 2/g)

Gambar 9. Nilai SLA Rata-rata Tiap Varietas Kacang Tanah Karakter Fisiologis

a. Indeks Luas Daun (ILD)

Daun memiliki peranan penting sebagai tempat berlangsungnya fotosintesis dalam tubuh tanaman. Tanaman yang menyalurkan sebagian besar hasil fotosintesisnya pada daun dapat diartikan mendorong berkembangnya tanaman itu sendiri secara lebih cepat. Indeks luas daun, sehubungan dengan hal tersebut, menggambarkan nilai luasan daun tertentu yang efektif digunakan untuk fotosintesis. ILD merupakan perbandingan antara satu sisi luas daun dengan luas lahan yang ternaungi dibawahnya.

Nilai ILD kacang tanah pada percobaan ini mengalami kenaikan hingga mencapai umur maksimal pada umur 10 atau 11 MST, kemudian menurun pada masa-masa menjelang panen. Nilai ILD rata-rata antar varietas tidak terlalu jauh berbeda. Varietas Gajah memiliki ILD rata-rata yang paling tinggi yaitu sebesar 1.71, disusul oleh Panter (1.63), Jepara (1.52), Biawak (1.46), dan terakhir adalah

Garuda Biga (1.03). 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4 6 8 10 12 MST IL D Gajah Jepara Panter Biga Biawak Poly. (Jepara) Poly. (Biga) Poly. (Panter) Poly. (Gajah) Poly. (Biawak)

Gambar 10. ILD Kacang Tanah pada 4,6,8, dan 12 MST b. Nett Assimilation Ratio (NAR)

NAR atau yang lebih dikenal dengan istilah Laju Asimilasi Bersih yakni ukuran rata-rata efisiensi daun dalam hal fotosintesis pada tanaman. NAR mencapai nilainya yang maksimal bila daun tidak ternaungi dan mendapat sinar matahari penuh. Nilai NAR yang cenderung tinggi adalah saat umur tanaman masih muda, berkaitan dengan masih kecilnya tanaman yang tumbuh, sehingga tidak ada yang menghalangi masuknya sinar matahari kedalam daun. Nilai laju asimilasi bersih rata-rata dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Laju Asimilasi Bersih Rata-rata Kacang Tanah

Perlakuan NAR ---(g/m2 /hari)---Gajah 2.49 Jepara 2.83 Panter 1.88 Garuda Biga 3.27 Biawak 2.48 Karakter Reproduktif a. Jumlah Ginofor

Ginofor kacang tanah sudah terbentuk ketika umur tanaman 6 MST.

Varietas Gajah dan Jepara pertambahan jumlah ginofornya tidak terlalu drastis pada tiap minggu pengamatan. Ginofor yang terbentuk pada awal minggu pengamatan bertambah secara perlahan-lahan dan mencapai nilai paling tinggi pada umur 8 MST. Setelah umur 8 MST, Varietas Gajah dan Jepara mengalami penurunan jumlah ginofor hingga masa panen. Pertambahan jumlah ginofor Varietas Panter pada tiap minggu pengamatan hanya sedikit, tetapi kontinu hingga mencapai nilai tertinggi di 11 MST dan barulah mengalami penurunan setelah itu. Lain hal nya dengan Varietas Biawak, varietas ini pada umur 9MST memiliki jumlah ginofor yang paling banyak dan mulai mengalami penurunan jumlah pada minggu berikutnya (10 MST). Pertambahan jumlah ginofor pada varietas ini adalah sebanyak 19 buah ginofor dari 8 MST ke 9 MST. (Tabel 3). Varietas Garuda Biga, jumlah ginofor tertinggi nya diperoleh pada umur 11 MST, yakni sebanyak 17 buah ginofor. Jumlah ginofor yang dihasilkan pada tiap minggu pengamatan tidak banyak, sehingga ketika diakumulasikan jumlah total ginofor yang dihasilkannya hingga umur 13 MST adalah yang paling sedikit (Tabel 3).

Jumlah rata-rata ginofor yang paling tinggi terdapat pada varietas Biawak, yaitu sebanyak 11.7 ginofor. Keempat varietas lainnya (Gajah, Jepara, Panter, dan Garuda Biga) memiliki jumlah ginofor rata-rata yang berada dibawah angka 10. Varietas Garuda Biga adalah varietas yang jumlah ginofor rata-ratanya paling kecil (Tabel 3).

Tabel 3. Pertambahan Jumlah Ginofor Kacang Tanah

Perlakuan MST Jumlah Rata-rata

6 7 8 9 10 11 12 13 Gajah 3 8 14 8 8 14 6 2 63 7.9 Jepara 3 9 19 8 9 6 5 2 61 7.7 Panter 4 9 10 10 11 22 1 3 70 8.8 Garuda Biga 2 5 3 10 2 17 1 3 43 5.3 Biawak 4 8 9 28 12 15 8 10 94 11.7 b. Jumlah Polong

Polong sudah terbentuk pada umur 6 MST. Jumlah polong meningkat seiring bertambahnya umur tanaman. Tiap varietas berbeda dalam jumlah polong yang dihasilkan. Gajah, Jepara, dan Biawak sebagai varietas kacang tanah berbiji

besar memiliki total jumlah polong yang lebih banyak dibandingkan dengan yang berbiji kecil (Panter, Garuda Biga). Nilai rata-rata tertinggi dari jumlah polong per tanaman diperoleh dari Varietas Gajah dan Jepara yakni sebanyak 31 polong per tanaman, sedangkan yang terendah adalah dari varietas Garuda Biga sebanyak 22 polong per tanaman.

Jumlah polong per tanaman kacang tanah yang berbiji dua (Gajah, Jepara, dan Biawak) lebih banyak apabila dibandingkan dengan Varietas Panter dan Garuda biga yang merupakan jenis kacang tanah berbiji tiga (Tabel 4).

Tabel 4. Pertambahan Jumlah Polong Kacang Tanah

Perlakuan MST

6 7 8 9 10 11 12 13 Jumlah Rata-rata

Gajah 14 23 23 28 28 47 37 44 244 31

Jepara 12 27 32 28 40 37 41 31 248 31

Panter 7 26 23 32 19 38 35 31 211 26

Garuda Biga 5 13 28 30 26 29 24 19 174 22

Biawak 9 24 24 21 26 39 49 32 224 28

c. Bobot Kering Polong (g)

Bobot kering polong pada kacang tanah mulai dihitung pada 6 MST. Hampir seluruh varietas mengalami kenaikan bobot kering polong setiap minggunya, kecuali pada beberapa MST saja dimana penurunannya tidak begitu tajam. Setelah 13 MST, bobot kering tiap varietas diakumulasi untuk kemudian dihitung rata-rata bobot kering per tanaman tiap minggu. Nilai rata-rata tertinggi untuk bobot kering polong per tanaman yakni 11.49 g (Varietas Gajah), dan nilai terendahnya adalah 8.79 g (Varietas Garuda Biga) (Tabel 5). Varietas Gajah memiliki total bobot kering yang paling besar, sedangkan varietas yang bobot keringnya paling rendah setelah ditotal tiap minggunya adalah Varietas Garuda Biga.

Perlakuan MST Rata-rata 6 7 8 9 10 11 12 13 Gajah 1.17 1.79 4.75 6.15 9.19 21.32 23.25 24.36 11.49 Jepara 0.33 3.05 7.08 7.07 13.97 10.46 18.63 18.59 9.89 Panter 0.48 2.75 4.99 10.17 7.53 12.14 15.64 22.78 9.56 Garuda Biga 0.02 0.72 6.95 10.30 10.47 16.10 13.09 12.70 8.79 Biawak 0.75 2.95 5.19 7.52 10.53 18.85 26.68 15.72 11.02 Komponen Hasil

a. Bobot Basah dan Bobot Kering Polong (g)

Bobot basah polong per ubinan yaitu bobot basah polong kacang tanah dalam luasan 1 m2. Bobot kering didapat setelah polong dari tanaman ubinan dikeringkan di oven dan dihitung bobot per tanamannya. Berdasarkan data, varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah bobot basah dan bobot kering polong ubinan. Varietas Gajah memiliki rataan yang paling tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan keempat varietas lainnya (Tabel 6).

Tabel 6. Bobot Basah dan Bobot Kering Polong (g)

Perlakuan BB Polong BK Polong

---g/tan--- ----ton/ha---

---g/tan---Gajah 407.67a 4.07a 26.19 a

Jepara 278.51b 2.78b 17.92 b

Panter 310.27b 3.10b 19.38 b

Garuda Biga 272.17b 2.72b 18.16 b

Biawak 261.35b 2.61b 17.88 b

Keterangan : Nilai rataan pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf

yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT 5%.

b. Jumlah dan Bobot Kering Polong Isi dan Polong Cipo (g)

Polong yang dihitung jumlahnya dibagi menjadi dua jenis, yakni polong isi dan polong cipo. Perlakuan varietas terbukti berpengaruh nyata terhadap jumlah polong isi tanaman kacang tanah, sedangkan untuk jumlah polong cipo perlakuan varietas tidak memberikan pengaruh yang nyata. Sesuai dengan analisis data, Varietas Gajah berbeda nyata dengan keempat varietas lain untuk peubah jumlah polong isi (Tabel 7).

Tabel 7. Jumlah Polong Isi dan Polong Cipo/Tanaman

Perlakuan Jumlah Jumlah

Polong Isi Polong Cipo

Gajah 19.83 a 4.20

Jepara 15.00 b 2.60

Panter 11.23 b 5.66

Garuda Biga 13.16 b 3.53

Biawak 14.55 b 3.70

Keterangan : Nilai rataan pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT 5%.

Tabel 8 menunjukkan bahwa perlakuan varietas tidak berpengaruh nyata pada bobot kering polong isi maupun bobot kering polong cipo. Varietas Gajah memiliki nilai tertinggi untuk bobot kering polong isi maupun bobot kering polong cipo (25.13 g dan 1.06 g).

Tabel 8. Bobot Kering Polong /Tanaman (g)

Perlakuan Bobot Kering

Polong Isi Bobot Kering Polong Cipo ---(g)--- ---(g)---Gajah 25.13 1.06 Jepara 17.71 0.21 Panter 17.88 0.15 Garuda Biga 17.41 0.66 Biawak 17.46 0.42

Keterangan: Nilai rataan pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT 5%.

c. Persentase Jumlah Polong Isi dan Polong Cipo (%)

Hasil Uji F menunjukkan bahwa varietas tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah persentase jumlah polong isi dan persentase polong cipo. Persentase jumlah polong isi rata-rata Varietas Jepara adalah yang paling tinggi, yaitu sebesar 85.39%, sedangkan Varietas Panter memiliki persentase jumlah polong isi paling kecil yaitu sebesar 77.57%. Varietas Panter berada di urutan tertinggi pada peubah persentase jumlah polong cipo, rata-rata persentase polong cipo nya sebesar 22.43%. Sebaliknya, Varietas Jepara adalah varietas yang persentase jumlah polong cipo rata-ratanya paling rendah (17.26%).

Tabel 9. Persentase Jumlah Polong Isi dan Polong Cipo Perlakuan Persentase Polong Isi Persentase Polong Cipo ---(%)--- ---(%)---Gajah 82.74 17.26 Jepara 85.39 14.61 Panter 77.57 22.43 Garuda Biga 79.17 20.83 Biawak 79.80 20.20

Keterangan : Nilai rataan pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT 5%.

d. Bobot Kering 100 Butir Biji dan Bobot Biji (g)

Tabel 10 memperlihatkan bahwa perlakuan varietas berpengaruh sangat nyata terhadap bobot 100 butir biji kering kacang tanah. Rata-rata bobot kering 100 butir biji yang paling tinggi dicapai oleh varietas Gajah, yaitu sebesar 50.67 g. Varietas yang paling rendah rata-rata bobot 100 butir nya yaitu Varietas Panter (37.73 g).

Sama halnya untuk peubah bobot biji, perlakuan varietas menghasilkan pengaruh yang sangat nyata terhadap bobot biji kacang tanah. Rata-rata bobot biji kacang tanah yang paling tinggi hasilnya adalah Varietas Gajah, yaitu seberat 10.461 g. Nilai ini tidak berbeda nyata dengan Varietas Biawak yang memiliki bobot kering biji/tanaman sebesar 9.59 g (Tabel 10). Varietas Panter dan Garuda Biga, rata-rata bobot biji per tanamannya adalah yang paling rendah yaitu seberat 7.39 g.

Tabel 10. Bobot Kering 100 Butir Biji dan Bobot Biji (g)

Perlakuan Bobot 100 Butir Biji Bobot Biji ---(g)--- ---(g)---Gajah 50.67 a 10.46 a Jepara 44.72 b 9.11 b Panter 37.73 c 7.39 c Garuda Biga 39.16 c 7.72 c Biawak 46.60 b 9.59 ab

Keterangan : Nilai rataan pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT 5%.

e. Rendemen, Indeks Biji, dan Indeks Panen (%)

Berdasarkan hasil analisis data, didapat bahwa perlakuan varietas berpengaruh sangat nyata pada indeks biji dan rendemen kacang tanah yang diamati. Indeks biji dan rendemen tertinggi dihasilkan oleh Varietas Biawak yang tidak berbeda nyata dengan Varietas Jepara (Tabel 11). Jenis kacang tanah berbiji besar lainnya yaitu Varietas Jepara dan Gajah menempati posisi kedua dan keempat bila dilihat dari persentase rendemen maupun indeks biji yang tertinggi. Perlakuan varietas tidak berpengaruh nyata pada indeks panen tanaman kacang tanah yang diamati. Rata-rata persentase indeks panen yang didapat dari hasil perhitungan berada di kisaran 40-55% (Tabel 11).

Tabel 11. Rendemen, Indeks Biji, dan Indeks Panen (%)

Perlakuan Rendemen Indeks Biji Indeks Panen

---(%)--- ---(%)--- ---(%)---Gajah 40.092 b 33.179 b 82.98 Jepara 51.062 a 38.658 a 75.70 Panter 38.812 b 31.662 b 81.79 Garuda Biga 42.527 b 34.392 b 80.86 Biawak 53.954 a 39.919 a 74.16

Keterangan : Nilai rataan pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT 5%.

Pembahasan

Tanaman kacang tanah untuk mencapai produktivitas yang maksimal dibutuhkan polong yang banyak dan penuh. Oleh karena itu perlu diperhatikan beberapa karakteristik varietas-varietas yang ada, terutama dalam aspek pengisian polong. Tahap pengisian polong pada tanaman kacang tanah turut menentukan komponen hasil tanaman tersebut.

Varietas Gajah memiliki produksi yang tinggi dan berbeda nyata dengan keempat varietas lainnya. Produksi tinggi ini didukung bobot kering polong Varietas Gajah yang lebih berat dibandingkan dengan Varietas Panter dan Garuda Biga. Bobot kering polong ditentukan banyaknya polong dalam suatu tanaman. Hal ini terlihat pada pengamatan mingguan, varietas yang berbiji dua memiliki jumlah polong yang lebih banyak dibandingkan dengan varietas yang berbiji tiga.

Polong yang sudah mengisi dengan sempurna akan menghasilkan biji. Biji dari tiap varietas memiliki bobot yang berbeda. Bobot biji Varietas Gajah adalah yang tertinggi (Tabel 10). Hal ini dapat disebabkan karena Varietas Gajah dan varietas berbiji dua pada umumnya memiliki tampilan biji yang agak membulat dibandingkan dengan varietas yang berbiji tiga. Bentuk biji varietas berbiji tiga agak lebih panjang. Menurut Rais (1997) tanaman yang berdaya hasil tinggi harus mempunyai jumlah polong yang banyak, yaitu lebih dari 20, jumlah biji per polong 2 atau lebih, dan memiliki bobot biji yang berat (45-55 gram per 100 butir biji.).

Bobot biji juga berhubungan dengan rendemen dan indeks biji tanaman yang diukur. Rendemen menyatakan perbandingan antara biji dalam polong dengan keseluruhan polong yakni polong tersebut beserta bijinya. Rendemen, yang dinyatakan dalam persen, akan tinggi jika bobot biji semakin tinggi pula. Apabila rendemen-nya tinggi berarti kulit polongnya itu tidak tebal. Hal ini karena total polong yang dijadikan pembanding tidak jauh berbeda bobotnya dengan bobot biji itu sendiri, menandakan bobot polongnya sendiri saja tergolong ringan. Rendemen pada Varietas Biawak adalah yang paling tinggi, disusul oleh Varietas Jepara dan Garuda Biga. Dari hasil penelitian didapat bahwa rata-rata varietas berbiji dua memiliki rendemen yang lebih besar dibandingkan dengan varietas berbiji tiga. Namun pada peubah ini, walau sama-sama berbiji dua, Varietas

Biawak lebih tinggi rendemen-nya dibandingkan dengan Varietas Gajah. Artinya Varietas Biawak memiliki kulit polong yang lebih tipis dan bobot polongnya menjadi lebih ringan.

Indeks biji Varietas Biawak (biji dua) adalah yang paling tinggi, diduga karena bobot biji yang cukup tinggi dan bobot kering brangkasan yang lebih ringan dibandingkan dengan Varietas Panter (Tabel 11). Varietas Panter (biji tiga) ini memiliki bobot biji paling rendah dan bobot kering brangkasan yang paling tinggi. Hal ini menjadi poin utama karena rumus indeks biji itu sendiri adalah bobot biji per tanaman dibagi jumlah bobot kering brangkasan dan bobot kering polong per tanaman.

Varietas Gajah memiliki bobot 100 butir biji sebesar 50.67 gram, disusul oleh Varietas Biawak dan Jepara dengan bobot sebesar 46.60 gram dan 44.72 gram. Jika dibandingkan, varietas berbiji dua memiliki bobot 100 butir biji yang lebih besar dibandingkan dengan yang berbiji tiga (Tabel 10). Hal ini kemungkinan karena bobot biji varietas berbiji dua yang lebih besar daripada varietas berbiji tiga.

Keunggulan lain yang menyebabkan Varietas Gajah menjadi varietas yang produktivitasnya paling tinggi dalam penelitian ini yaitu karena Varietas Gajah memiliki jumlah polong yang tinggi dan jumlah polong isi yang tinggi pula. Jumlah polong isi yang semakin banyak per tanaman akan membuat bobot basah polong kacang tanah semakin berat sehingga produksi akan meningkat.

Sebagai varietas yang sama-sama berbiji dua, bila dibandingkan dengan Varietas Gajah, rata-rata jumlah polong isi Varietas Jepara dan Biawak menunjukkan hasil yang lebih rendah. Walaupun begitu, rata-rata jumlah polong isi dari Varietas Jepara dan Biawak tetap lebih tinggi apabila dibandingkan dengan jumlah polong isi varietas yang berbiji tiga (Panter, Garuda Biga). Artinya, dapat diduga bahwa varietas berbiji dua secara umum memiliki produksi yang lebih tinggi daripada varietas berbiji tiga karena varietas berbiji dua memiliki jumlah polong isi yang lebih banyak pada tiap tanamannya.

Jumlah polong yang terdapat pada tanaman bergantung pada jumlah ginofor yang dihasilkan tanaman tersebut. Polong akan mulai mengisi jika ukuran polong telah maksimal. Ginofor yang lebih awal terbentuk akan lebih cepat dalam

membentuk polong dan polong isi dibandingkan dengan ginofor yang terbentuk sesudahnya.

Mengacu pada data hasil pengamatan tiap minggunya, jumlah ginofor total pada tiap varietas berbeda-beda. Varietas Gajah dan Jepara memiliki jumlah ginofor total sebanyak 63 dan 61 buah, sedangkan Varietas Biawak 94 buah. Keadaan ini menggambarkan bahwa dengan jumlah ginofor yang begitu banyak, Varietas Biawak menjadi kurang cepat dalam mengisi polong yang terbentuk. Lain halnya dengan Varietas Gajah dan Jepara, meskipun jumlah ginofornya tidak begitu banyak tetapi polong diisi semaksimal mungkin sehingga jumlah polong isi per tanaman dari kedua varietas ini lebih banyak dibandingkan Varietas Biawak.

Varietas yang berbiji tiga, yakni Panter dan Garuda Biga memiliki jumlah polong isi yang lebih sedikit dibandingkan dengan ketiga varietas berbiji dua. Keadaan ini dapat disebabkan oleh jumlah ginofor pada Varietas Panter dan Garuda Biga yang tidak banyak membentuk polong, sehingga jumlah polongnya pun lebih sedikit (Tabel 4). Salah satu faktor penyebab ginofor yang tidak membentuk polong diduga karena ginofor tersebut mati sebelum berkembang. Ginofor yang jaraknya cukup jauh dari permukaan tanah (sekitar 15 cm) umumnya tidak bisa mencapai tanah dan ujungnya akan mengering dan mati (Somaatmaja, 1981). Selain itu, ginofor yang tidak berkembang kemungkinan karena jumlah fotosintat yang tidak banyak atau meskipun banyak tetapi terjadi

Dokumen terkait