• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sifat Kimia Sampel Tanah Mangrove

Keberadaan mikroba di dalam tanah terutama dipengaruhi oleh sifat kimia tanah. Hasil analisis sifat kimia sampel tanah dapat dilihat pada Tabel 1 dan hasil analisis salinitas tanah pada Tabel 2.

Tabel 1. Hasil analisis sifat kimia sampel tanah mangrove

Parameter Satuan Nilai Kriteria

pH (H2O) - 7.23 Netral

C-Organik % 3.44 Tinggi

P-tersedia Ppm 13.47 Rendah

P-total Mg/100g 101.10 Sangat Tinggi

Sumber kriteria : Staf Pusat Penelitian Tanah-Bogor dan BPP-Medan (Lampiran 6) Tabel 2. Hasil analisis salinitas tanah mangrove pada tiap petak pengambilan

tanah

Jenis Contoh Satuan Nilai Kriteria

Petak 1 Mmho/cm 0.251 Sangat Rendah

Petak 2 Mmho/cm 0.364 Sangat Rendah

Petak 3 Mmho/cm 0.410 Sangat Rendah

Petak 4 Mmho/cm 0.416 Sangat Rendah

Petak 5 Mmho/cm 0.434 Sangat Rendah

Sumber kriteria : Staf Pusat Penelitian Tanah-Bogor dan BPP-Medan (Lampiran 6) Hasil analisis menunjukkan pH tanah termasuk dalam kriteria netral yaitu 7,23. Menurut Bengen (2000) kondisi salinitas air berpengaruh kepada salinitas tanah dan pH tanah di hutan mangrove. Nilai pH di hutan mangrove akan lebih tinggi dibanding hutan lain yang tidak terpengaruh oleh salinitas air. Kebanyakan pH tanah pada hutan mangrove berada pada kisaran 6-7, meskipun ada beberapa yang nilai pH tanahnya dibawah 5. Selain itu, Menurut Kaswadji (1971) pH dengan nilai 5,5 – 6,5 dan >8,5 termasuk perairan yang kurang produktif, perairan dengan pH 6,5 – 7,5 termasuk dalam perairan yang produktif serta pH 7,5 – 8, 5 termasuk perairan dengan produktivitas yang tinggi. Oleh karena itu, maka kondisi perairan hutan mangrove tempat pengambilan sampel tanah termasuk

Mikroorganisme memainkan peran penting dalam ekosistem mangrove. Keberadaan dan keanekaragaman mikroorganisme dalam ekosistem mangrove salah satunya dipengaruhi oleh faktor salinitas. Aksornkoae (1993) menyatakan bahwa salinitas merupakan lingkungan yang sangat menentukan perkembangan organisme sehingga dilakukan pengukuran salinitas tanah. Dari pengambilan sampel tanah pada rhizosfir hutan mangrove diukur salinitas tanahnya. Salinitas tanah mulai dari petak 1 sampai 5 berkisar antara 0,251-0,434 Mmho/cm yang termasuk dalam kriteria sangat rendah. Berdasarkan hal itu maka tanah tersebut merupakan tanah yang sangat mendukung pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, tumbuhan tumbuh dengan baik pada tanah tersebut sehingga keberadaan mikroorganisme pada tempat pengambilan sampel tanah tergolong banyak. Dan hal ini didukung oleh pernyataan Hrenovic et al., (2003) yang mengatakan bahwa jumlah dan keanekaragaman mikroorganisme akan berkurang dengan peningkatan kadar garam.

Ketersedian fosfat dalam tanah sangat dipengaruhi oleh pH karena P sangat rentan diikat pada kondisi masam maupun alkalin. Ketersediaan fosfat akan menurun pada pH <5,5 atau >7,0. Pada kondisi masam aktivitas besi dan aluminium yang tinggi menjadi unsur pengikat P yang utama. Pada kondisi alkalin aktivitas fiksasi atau jerapan dilakukan oleh kalsium dan magnesium yang banyak tersedia dan larut. Menurut Poerwowidodo (2000), umumnya ketersediaan fosfat dalam tanah maksimum dijumpai pada kisaran pH 5,5–7,0.

Hasil pengukuran C-organik sampel tanah mangrove adalah 3,44 %. Kadar C-organik dapat memberi gambaran kandungan bahan organik dalam tanah. Bahan organik sebagai sumber hara makro dan mikro tanaman juga menjadi

sumber nutrisi bagi kehidupan mikroba tanah yang akan mempengaruhi populasi dan aktivitasnya. Menurut Kusumahadi (2008) kondisi pH tanah yang demikian nampaknya juga menjadi faktor perombakan bahan organik menjadi lancar. Hal ini ditunjukkan pada kandungan bahan organik tanahnya (C-organik, %) berkisar antara 3,44 %. Nilai tersebut menggambarkan pada tanah mangrove memiliki simpanan karbon yang tinggi. Hal ini disebabkan karena ketersediaan serasah vegetasi mangrove di lokasi penelitian yang cukup tinggi. Didukung oleh pendapat Hidayanto et al., (2004) yang menyatakan bahwa potensi kandungan C-organik akan semakin meningkat seiring dengan ketersediaan serasah.

Kandungan C-organik yang tinggi karena menerima sumbangan dari perakaran mangrove yang mati, daun dan ranting yang berguguran, dimana diketahui bahwa kerapatan mangrove yang bagus dapat memproduksi serasah yang tinggi sehingga aktivitas dekomposisi dapat terjadi, dimana bisa menyumbangkan C-organik yang lebih besar ke substrat yang yang ada di daerah habitat mangrove yang ada disekitarnya. Kandungan C organik pada lahan habitat mangrove biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan lahan lain, karena adanya dekomposisi dari tanaman dan sisa hewan yang ada di kawasan mangrove. Ferreira et al., (2007) menyebutkan bahwa dekomposisi bahan organik pada lahan mangrove sangat dipengaruhi oleh frekuensi dan lama perendaman dan distribusi ukuran partikel substratnya.

Kandungan bahan organik berhubungan dengan keadaan P-total serta hubungan antara bahan organik dengan pH tanah. Bahan organik mengandung berbagai hara, termasuk fosfat yang akan terlepas selama dekomposisi baik dalam bentuk P-terikat ataupun P-tersedia. Besarnya bahan organik yang terdekomposisi

dipengaruhi pH tanah karena besarnya pH mempengaruhi jumlah mikroba pendekomposer. Jika pH mendukung, jumlah dan aktivitas dekomposer akan meningkat sehingga semakin besar hara yang dilepaskan dalam tanah.

Mikroba tanah mampu menghasilkan enzim ekstraseluler yaitu kelompok enzim fosfatase dan fitase yang berperan dalam mekanisme pelarutan P-organik menjadi P-anorganik secara biologis. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Rao (1994) yang menunjukkan bahwa mikroba pelarut fosfat mampu meningkatkan ketersediaan unsur P melalui aktivitas enzim. Enzim ini diproduksi selama proses dekomposisi bahan organik berlangsung. Dengan kata lain enzim fosfatase yang dihasilkan berbanding lurus dengan besar bahan organik yang didekomposisi. Aktivitas fosfatase dalam tanah meningkat dengan meningkatnya C-organik, temperatur dan kelembaban. Selain faktor diatas, kemasaman atau pH turut mempengaruhi aktivitas fosfatase. Hasil penelitian Fitriatin et al., (2008) menunjukkan bahwa pH media mempengaruhi aktivitas fosfatase. Jamur lebih dominan aktivitas fosfatasenya pada pH masam karena merupakan habitat yang baik untuk pertumbuhannya yang optimum. Pada kebanyakan tanah, P-organik berkorelasi dengan C-organik tanah sehingga mineralisasi P meningkat dengan meningkatnya total C-organik. Semakin tinggi C-organik dan semakin rendah P-organik menggambarkan semakin meningkatnya imobilisasi P. Fosfat anP-organik dapat diimobilisasi menjadi P-organik oleh mikroba pelarut fosfat.

Isolasi Mikroba Pelarut Fosfat dari Bahan Tanah Mangrove

Biakan campuran yang tumbuh di media isolasi diamati dan dihitung jumlah mikroba yang mampu membentuk holozone. Populasi mikroba pelarut fosfat yang diperoleh yaitu 4,049 ×106 SPK/ml. Sampel tanah diambil disekitar

rhizosfer vegetasi mangrove karena umumya mikroorganisme hidup disekitar perakaran tanaman, yaitu di daerah permukaan tanah sampai kedalaman 25 cm dari permukaan tanah. Keberadaan mikroba ini berkaitan dengan banyaknya jumlah bahan organik yang secara langsung mempengaruhi jumlah dan aktivitas hidupnya. Akar tanaman mempengaruhi kehidupan mikroba dan secara fisiologis mikroba yang berada dekat dengan daerah perakaran akan lebih aktif daripada yang hidup jauh dari daerah perakaran. Pengambilan sampel dari daerah top soil sesuai dengan pernyataan Rao (1994) yang menyatakan bahwa mikroorganisme umumnya dijumpai pada tanah yang lebih dangkal dan jarang ditemukan di bagian tanah yang lebih dalam. Hal ini dikarenakan ketersediaan bahan organik dan rasio antara oksigen dan karbon dioksida yang berbeda antara daerah permukaan dengan bagian tanah yang lebih dalam. Sehingga pemilihan sampel dari bagian top soil sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk memperoleh mikroorganisme pelarut fosfat.

Berdasarkan penampakan struktur tumbuhnya, mikroba pelarut fosfat hasil isolasi dibedakan atas bakteri pelarut fosfat dan jamur pelarut fosfat. Bakteri pelarut fosfat(BPF) tampak tumbuh pada 14 cawan petri dengan jumlah koloni 2,373×106 SPK/ml sedangkan Jamur Pelarut Fosfat (JPF) tampak tumbuh pada 13 cawan petri dengan jumlah koloni 1,676×106 SPK/ml. Dominannya keberadaan BPF dibanding JPF diperkirakan karena populasi mikroba pelarut fosfat dari kelompok bakteri di dalam tanah jauh lebih besar dibanding kelompok jamur. Hasil analisis menunjukkan bahwa pH tanah yang didapat adalah 7,23 dan hal ini juga mempengaruhi pertumbuhan bakteri karena umumnya bakteri bertumbuh dengan baik pada pH optimum 6,5-7,5, sehingga populasi BPF lebih

banyak dibandingkan dengan JPF. Hal ini didukung Alexander (1977) yang menyatakan bahwa jumlah populasi bakteri pelarut fosfat dapat mencapai 12 juta organisme per gram tanah sedaangkan fungi pelarut fosfat hanya berkisar 20 ribu sampai dengan 1 juta per gram tanah.

Tingginya populasi BPF kemungkinan karena media isolasi yang digunakan telah diatur besar pH nya sekitar netral serta kandungan nutrisi media di dalamnya sesuai untuk pertumbuhan mikroba. Hal ini yang menyebabkan BPF dapat berkembang dengan pesat pada kondisi pH yang netral tidak menghambat pertumbuhannya serta nutrisi yang tercukupi membuat BPF mampu berkembang maksimal. Populasi BPF yang tinggi selain didukung media tumbuh yang sesuai juga didukung sifat genetiknya yang berkembang lebih cepat dibanding jamur. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penghambatan pertumbuhan JPF oleh BPF pada media isolasi. Menurut Foth (1994), bakteri dapat berbiak sangat cepat dengan pembelahan biner yang dapat berlangsung tiap menit bahkan lebih cepat bila kondisi lingkungan dan nutrisi mendukung. Media isolasi yang digunakan mengandung nutrisi lengkap untuk pertumbuhan mikroba. Kelengkapan nutrisi inilah yang kemungkinan turut mendukung tingginya perkembangbiakan BPF.

Hasil pemurnian isolasi 30 sampel tanah yang diambil dari 5 petak pengamatan pada kedalaman 0-20 cm diperoleh 10 isolat JPF dan 6 isolat BPF. Isolasi menggunakan media tumbuh Pikovskaya dengan sumber P dari Ca3(PO4)2. Tumbuhnya JPF ditandai dengan terbentuknya holozone di sekeliling koloni. Isolasi bertujuan memindahkan mikroba dari lingkungan asalnya sehingga diperoleh kultur murni. Kultur murni adalah biakan yang sel-selnya berasal dari pembelahan satu sel tunggal. Biakan murni diperlukan untuk mengindentifikasi

dan mendapatkan hasil pengujian yang valid dari aktivitas 1 jenis mikroba saja (Fitter, 1991).

Kemampuan MPF Melarutkan P dalam Media Pikovskaya Padat

Mikroba pelarut fosfat yang diperoleh selanjutnya diukur kemampuannya melarutkan P-terikat pada media Pikovskaya padat. Sebagai sumber P media padat adalah Ca3(PO4)2, AlPO4, FePO4 dan batuan fosfat (RP). Penggantian sumber fosfat ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan Premono (1998) dengan tujuan untuk menjaring mikroba dari tanah masam yang diduga mampu melarutkan aluminium fosfat maupun besi fosfat.

MPF yang tumbuh pada media akan melarutkan P yang ditandai dengan terbentuknya holozone yang mengelilingi MPF. Holozone terbentuk sebagai akibat terjadinya pelarutan butiran fosfat dari media. Evaluasi kemampuan MPF dilakukan dengan mengukur lebar sempitnya diameter holozone yang di sekeliling koloni. Cara ini umum dilakukan, namun karena tidak memperhitungkan faktor pertumbuhan koloni, sering menghasilkan hubungan korelasi yang rendah antara

lebar holozone dengan jumlah P-terlarut secara kualitatif. Menurut Premono (1998), hal tersebut dapat diatasi dengan menggunakan nilai

indeks pelarutan (dissolving indeks) yaitu nisbah antara diameter holozone terhadap diameter koloni. Hasil indeks tersebut terbukti berkorelasi tinggi terhadap jumlah P yang dapat dilarutkan secara kualitatif. Maka pengukuran holozone dilakukan dengan menghitung nilai indeks pelarutan tiap isolat (Tabel 3).

Seluruh isolat MPF yang diuji memiliki efektivitas yang berbeda dalam melarutkan fosfat pada media Pikovskaya padat. Hal ini menunjukkan bahwa

MPF yang mampu melarutkan ikatan Ca3(PO4)2 pada media isolasi, belum tentu memiliki kemampuan untuk melarutkan fosfat yang terikat Al, Fe, dan pada batuan fosfat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Elfiati (2005) yang menyatakan setiap mikroba memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam melarutkan ikatan fosfat Ca3(PO4)2, AlPO4, FePO4 dan RP. Pernyataan tersebut terbukti oleh isolat yang mampu melarutkan Ca3(PO4)2 pada media isolasi, namun tidak mampu melarutkan ikatan AlPO4, FePO4, dan pada batuan fosfat (RP) pada media uji potensi.

Hasil pengukuran indeks pelarutan dalam media Pikovskaya padat dengan berbagai sumber P yang berbeda dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil pengukuran indeks pelarutan dalam media Pikovskaya padat dengan berbagai sumber P yang berbeda

Isolat Indeks Pelarutan

Ca3(PO4)2 AlPO4 FePO4 RP

J1 1,228 0,759 - - J2 1,181  0,981 - - J3 1,100  0,795 - - J4 1,241 - - - J5 1,222 - - - J6 1,865 - - - J7 1,185 0,998 - - J8 1,148 - - - J9 1,151 - - - J10 1,333 - - - B1 1,583 - - - B2 1,452 - - - B3 1,307 - - - B4 1,600 - - - B5 1,416 - - - B6 1,440 - - -

Keterangan : (-) tidak membentuk holozone

Berdasarkan hasil pengukuran indeks pelarutan (pada Tabel 3) terlihat bahwa semua isolat mampu melarutkan fosfat dari sumber Ca3(PO4)2 dengan nilai indeks pelarutan yang berbeda, namun hanya beberapa isolat yang mampu melarutkan fosfat dari sumber AlPO4 sementara melarutkan fosfat dari sumber

FePO4 dan sumber RP tidak satupun isolat yang mampu melarutkannya. Indeks pelarutan terbesar ditunjukkan oleh isolat J6 dengan indeks pelarutan 1,865 dari sumber Ca3(PO4)2. Dari sumber AlPO4 indeks pelarutan terbesar ditunjukkan oleh isolat J7 yaitu 0,998. Dari sumber FePO4 dan sumber RP tidak ada isolat yang mampu melarutkan fosfat. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh isolat MPF yang diuji memiliki efektivitas yang berbeda dalam melarutkan fosfat pada media Pikovskaya padat.

Urutan kemampuan asam organik dalam melarutkan fosfat adalah: asam sitrat > asam oksalat = asam tartarat = asam malat > asam laktat = asam fumarat = asam asetat. Asam organik yang membentuk kompleks yang lebih stabil dengan logam akan lebih efektif dalam melepas Ca, Al dan Fe mineral tanah sehingga akan melepas P yang lebih besar. Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa semua isolat JPF dan BPF mampu melarutkan fosfat dari sumber Ca3PO4. Hal itu didukung oleh pernyataan Premono (1998) yang mengatakan bahwa urutan kemudahan fosfat terlepas mengikuti urutan Ca3(PO4)2 > AlPO4 > FePO4.

Mikroba pelarut fosfat yang mampu melarutkan fosfat dari ikatan Ca3(PO4)2, belum tentu mampu melarutkan fosfat dari ikatan FePO4. Selanjutnya MPF yang mampu melarutkan fosfat dari ikatan AlPO4 juga tentu belum mampu melarutkan fosfat dari ikatan RP. Hal ini sesuai dengan pernyataan Elfiati (2005) yang menyatakan setiap mikroba memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam melarutkan ikatan fosfat Ca3 (PO4)2, AlPO4, FePO4 dan RP. Isolat MPF yang mampu mereduksi senyawa fosfat mungkin terkait erat dengan kemampuannya dalam menghasilkan asam organik, karena menurut Ginting et al., (2006) asam organik yang dilepaskan oleh isolat MPF mampu mengikat PO4 sehingga dapat

membentuk H2PO4- dari Ca3(PO4)2. Tabel 3 menunjukkan bahwa beberapa isolat tidak mampu melarutkan P dari sumber RP (batuan fosfat) hal ini disebabkan karena RP merupakan fosfat alam yang sukar larut dalam air sehingga menyebabkan MPF sulit melarutkan P pada media tersebut.

Perbedaan kemampuan tiap isolat MPF membentuk holozone, juga diduga karena isolat MPF tidak berasal dari titik pengambilan sampel tanah yang sama. Titik pengambilan sampel yang berbeda tentunya memiliki kondisi lingkungan, kelembaban, keadaan nutrisi dari bahan organik dan eksudat akar tegakan yang berbeda pula. Hal ini juga berkaitan dengan kemampuan mikroba pelarut fosfat dalam menghasilkan asam organik, dimana asam organik ini berperan dalam proses reduksi fosfat sehingga dapat membebaskan fosfat dari bentuk terikat menjadi bentuk yang lebih sederhana sehingga dapat diserap oleh tanaman.

Jamur pelarut fosfat dan bakteri pelarut fosfat mempunyai kemampuan yang berbeda melarutkan fosfat pada sumber P yang berbeda. Efektivitas MPF dalam melarutkan P terikat berkaitan erat dengan cara adaptasi MPF terhadap lingkungannya. Menurut Wagner dan Wolf (1998) mineral fosfat anorganik pada umumnya terikat sebagai AlPO4.2H2O (variscite) dan FePO4.2H2O (strengite) pada tanah masam dan sebagai Ca3(PO4)2(trikalsium fosfat) pada tanah basa. Pelarutan fosfat dari sumber dan FePO4 sesuai untuk pertumbuhan JPF karena umumnya jamur tumbuh optimal pada kondisi masam sehingga JPF efektif melarutkan fosfat dari sumber AlPO4. Dan sebaliknya terhadap BPF dimana bakteri umumnya tumbuh optimal pada kondisi lingkungan dengan pH optimum 6-7,5(netral) sehingga BPF tidak efektif melarutkan fosfat dari sumber AlPO4 dan FePO4 dan dapat dilihat pada tabel 2 bahwa bakteri hanya efektif melarutkan

fosfat dari sumber Ca3(PO4)2. Didukung dengan pernyataan Rao (1994) bahwa lingkungan yang sesuai akan meningkatkan aktivitas MPF dalam mengeluarkan asam-asam organik dan enzim untuk melarutkan unsur P tanah serta beberapa hormon tumbuh.

Secara garis besar, mekanisme mikroba pelarut fosfat dalam mereduksi fosfat melalui dua tahapan yaitu secara kimiawi dan secara biologis.

1. Mekanisme pelarutan fosfat secara kimia dimulai saat MPF mengekresikan sejumlah asam organik berbobot molekul rendah hasil metabolismenya ke dalam tanah. Asam-asam organik tersebut dapat membentuk kompleks stabil dengan kation-kation pengikat P di dalam tanah seperti Al dan Fe yang merupakan pengikat P pada tanah masam. Setiap MPF memiliki kemampuan yang berbeda secara genetik dalam mengekskresikan jenis dan jumlah asam organik. Sifat asam organik lebih penting dari jumlah yang dihasilkan. Hal ini terlihat dari perbedaan kemampuan tiap jenis MPF dalam melarutkan P. Efektivitas asam-asam organik yang dihasilkan tergantung pada kondisi lingkungan mikro di dalam tanah.

2. Reduksi fosfat secara biologis terjadi karena mikroorganisme tersebut menghasilkan enzim antara lain enzim fosfatase. Fosfatase merupakan enzim yang akan dihasilkan apabila ketersediaan fosfat rendah, apabila ketersediaan fosfat tinggi maka enzim fosfatase kurang berguna atau produksi mikroba untuk menghasilkan fosfat tidak efektif. Fosfatase diekskresikan oleh akar dan mikroorganisme dalam tanah. Pada proses mineralisasi bahan organik, senyawa fosfat organik diuraikan menjadi bentuk fosfat anorganik yang tersedia bagi tanaman dengan bantuan enzim fosfatase. Enzim fosfatase dapat memutuskan

fosfat yang terikat menjadi bentuk tersedia (Ginting et al., 2006) pada pengujian di media padat tampak pertumbuhan tiap MPF berbeda-beda.

Berdasarkan penelitian Telaumbanua (2011), pada pengujian di media padat tampak pertumbuhan tiap MPF berbeda-beda, yang disebabkan beberapa hal antara lain:

1. Fraksi Ca3 (PO4)2, AlPO4, FePO4 dan RP dalam media padat yang tidak merata dalam cawan petri akan mempengaruhi holozone yang terbentuk.

2. Ketebalan media yang tidak seragam di dalam cawan petri akan mempengaruhi holozone yang terbentuk. Fraksi Ca3 (PO4)2, AlPO4, FePO4 dan RP pada media yang lebih tebal tentunya lebih sulit untuk dilarutkan daripada media yang tipis. 3. Mikroba pelarut fosfat ada yang mampu tumbuh dengan cepat dan ada mikroba yang tumbuh lambat.

Menurut Noor (2001), luas holozone yang terbentuk di sekitar koloni MPF secara kualitatif dapat menunjukkan besar kecilnya kemampuan MPF melarutkan unsur P dari bentuk yang sukar larut. Inilah yang mendasari pemilihan 4 isolat untuk dapat diuji kembali pada media cair. Begitu juga dengan Tatiek (1991) yang menyatakan daerah bening pada media padat tidak dapat menunjukkan banyak sedikitnya jumlah P terlarut yang dapat dihasilkan MPF, namun luas sempitnya daerah bening pada media padat dapat menunjukkan besar kecilnya mikroba dalam melarutkan P. Untuk itulah perlu dilakukan uji lebih lanjut pada media cair untuk mengetahui kemampuan isolat melarutkan fosfat secara kuantitatif sehingga diperoleh informasi yang lengkap tentang potensi MPF hasil isolasi dalam melarutkan fosfat.

Kemampuan MPF melarutkan P dalam Media Pikovskaya Cair

Dari hasil uji potensi pada media padat diperoleh 4 isolat yang paling potensial melarutkan fosfat. Dari JPF dipilih 3 isolat yaitu J1, J2, J7 sedangkan dari BPF dipilih hanya 1 isolat yaitu B4. Pemilihan isolat dilakukan berdasarkan isolat yang paling tinggi indeks pelarutan. Pada media Ca3PO4 isolat yang paling tinggi indeks pelarutannya adalah isolat J8 namun isolat tersebut tidak mampu melarutkan fosfat pada sumber AlPO4 sehingga tidak dipilih untuk pengujian pada media pikovskaya cair dikareakan masih ada isolat lain yang lebih berpotensi melarutkan fosfat pada sumber Ca3PO4 dan AlPO4. Sementara, untuk isolat bakteri hanya mampu melarutkan fosfat pada Ca3PO4 sehingga dipilih hanya satu isolat yang memiliki indeks pelarutan paling tinggi untuk melihat kemampuannya melepaskan ikatan P menjadi bentuk yang tersedia pada pengujian pikovskaya cair. Keempat isolat tersebut diuji kembali kemampuannya dalam melarutkan fosfat dalam media cair (sumber Ca3(PO4)2, AlPO4, FePO4, RP).

Berdasarkan hasil penelitian Goenadi dan Saraswati (1994), uji in vitro lebih sensiftif daripada uji indeks pelarutan fosfat. Uji in vitro menggunakan media Pikovskaya tanpa agar. Metode ini tergolong lebih rumit dan mahal dalam menganalisis besar P terbebas dalam media. Oleh karena itu umumnya uji ini dilakukan setelah uji indeks pelarutan fosfat pada media padat dengan jumlah isolat yang diujikan lebih sedikit. Tabel 4 menunjukkan jumlah P terlarut dalam 50 ml medium Pikovskaya cair dengan berbagai sumber P selama 7 hari.

Tabel 4. Kemampuan isolat dalam melarutkan berbagai sumber fosfat dalam media pikovskaya cair

Isolat Sumber P Rataan P-tersedia (Ppm) Kriteria

J1 Ca3PO4 47,186 def Sangat tinggi

AlPO4 26,593 bc Tinggi FePO4 13,153 ab Rendah RP 13,063 a Rendah J2 Ca3PO4 47,480 ef Sangat tinggi AlPO4 19,630 ab Sedang FePO4 25,773 bc Tinggi RP 18,776 ab Sedang J7 Ca3PO4 53,406 f Sangat tinggi

AlPO4 35,630 cde Sangat tinggi

FePO4 26,8633 bc Tinggi

RP

18,090 ab Sedang

B4 Ca3PO4 35,333 cde Sangat tinggi

AlPO4 17,226 ab Sedang

FePO4 25,853 bc Tinggi

RP 12,89 a Rendah

Sumber kriteria : Staf Penelitian Tanah-Bogor dan BPP-Medan (Lampiran 2)

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Berdasarkan hasil pengujian yang disajikan pada Tabel 4 terlihat bahwa kemampuan MPF dari sumber P yang berbeda sangat bervariasi. Jumlah P yang dapat dilarutkan dari sumber Ca3(PO4)2 lebih tinggi dibandingkan dengan sumber AlPO4, FePO4 dan RP. Hal ini disebabkan karena sumber AlPO4, FePO4, dan RP lebih sukar larut atau memerlukan waktu yang lama untuk melarutkannya dibandingkan dengan sumber Ca3(PO4)2 dan berkaitan erat dengan kemampuan MPF dalam menghasilkan asam organik yang berbobot molekul rendah karena jumlah asam organik yang diekskresikan oleh mikroba pelarut fosfat berbeda-beda, asam organik ini berperan membentuk khelat organik yang stabil sehingga

dapat membebaskan ion fosfat dari bentuk tidak tersedia menjadi bentuk yang tersedia (Widjajanti, 1991).

Jumlah fosfat yang dapat dilarutkan dari sumber Ca3(PO4)2 hampir sama untuk semua isolat. Jumlah P yang dilarutkan dari sumber Ca3(PO4)2 yaitu sekitar

Dokumen terkait